Roadmap Pembangunan Kelautan
Para Sahabat sedang Bertafakur di Pantai Sayang Heulang, Garut Selatan.
Sayang, sejak zaman kolonial hingga sebelum terbentuknya DKP dan DMI (Dewan Maritim Indonesia) pada September 1999, kita kurang serius mengelola SDA kelautan.
Akibatnya, potensi ekonomi kelautan yang sangat besar, ibarat “raksasa yang tertidur”, itu belum dapat kita transformasikan menjadi sumber kemakmuran, kemajuan, dan kedaulatan bangsa.
Bayangkan, dari 114 pelabuhan umum yang kita miliki, tidak satu pun memenuhi standar pelayanan internasional.
Selama Orde Baru, kredit yang dikucurkan untuk sektor-sektor ekonomi kelautan kurang dari 15%, dan untuk sektor perikanan hanya 0,02% dari total kredit.
Wajar, kalau hingga saat ini kontribusi ekonomi kelautan hanya sebesar 22% PDB. Sementara, negara-negara dengan potensi laut yang jauh lebih kecil ketimbang Indonesia, seperti Jepang, Korea Selatan, Thailand, China, Islandia, dan Norwegia, sumbangan ekonomi kelautannya terhadap PDB mereka rata-rata mencapai 40%.
Oleh sebab itu, kini saatnya kita melakukan reorientasi paradigma pembangunan (paradigm shift), dari pembangunan berbasis daratan menjadi pembangunan berbasis kelautan dan kepulauan.
Kita galakkan pendayagunaan sumberdaya kelautan melalui peningkatan alokasi anggaran publik, kredit, sumberdaya manusia, teknologi, infrastruktur, dan management inputs lainnya berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) secara terpadu dan ramah lingkungan.
Dalam jangka pendek, kita optimalkan pembangunan sektor-sektor ekonomi kelautan yang bisa menghasilkan pertumbuhan ekonomi tinggi dan menyerap banyak tenaga kerja, seperti perikanan budidaya, perikanan tangkap, industri pengolahan hasil perikanan, pariwisata bahari, pertambangan dan energi, pelayaran, pelabuhan, dan industri galangan kapal.
Sekedar contoh, dengan potensi total muatan nasional 502 juta ton/tahun (200 juta ton batubara, 55 juta ton crude oil, 60 juta ton CPO, 7 juta ton produk perikanan , 8 juta ton LNG, 2 juta ton LPG, 120 juta ton containers, dan 50 juta ton general cargo), melalui pendekatan “kluster maritim” kita bisa meraup devisa perhubungan laut US$ 15 miliar setiap tahunnya (IMPC, 2008).
Untuk dapat melayani kebutuhan angkutan muatan sebesar itu, diperlukan sekitar 650 kapal tambahan dengan total investasi sebesar US$ 5 miliar.
Selain itu, kluster maritim juga akan meningkatkan pendapatan negara, menciptakan lapangan kerja baru sedikitnya untuk 1 juta orang, membangkitkan sejumlah multiplier effects, dan mendongkrak daya saing ekonomi nasional.
Kluster maritim juga dapat mempercepat pembentukan 24 pelabuhan sebagai hub port. Hingga kini, semua pelabuhan Indonesia masih berstatus sebagai feeder port.
Ini menjadi salah satu penyebab utama yang membuat ekonomi kita kurang kompetitif, karena hampir 70% dari ekspor barang dan komoditas Indonesia harus melalui Singapura.
Dengan mengusahakan 1 juta ha budidaya rumput laut (30% total potensi), dapat diproduksi sekitar 16 juta ton rumput laut kering per tahun. Bila kita ekspor 10 juta ton/tahun dengan harga sekarang US$ 0,7/kg, maka akan diperoleh devisa sebesar US$ 7 miliar/tahun.
Kepiting di Telapak Tangan
Jumlah tenaga kerja yang terserap mencapai 3 juta orang. Apalagi, kalau rumput laut itu diproses menjadi berbagai semi-refined products (seperti agar, karaginan, alginat, makanan dan minuman) atau refined products (seperti bahan pencampur coklat, milk shake, es krim, permen, pasta gigi, salep, pelembab, shampoo, lotion, industri cat, tekstil, dan film), tentu devisa, pendapatan negara, tenaga kerja, dan multiplier effects yang dihasilkan menjadi berlipat ganda.
Padahal, masih banyak komoditas perikanan lain yang harganya tinggi dan laku keras di pasar domestik maupun ekspor, antara lain udang, tuna, kerapu, patin, nila, ikan hias, kerang mutiara, teripang, cerax, dan abalone.
Agar tidak selalu menjadi ‘bangsa pemadam kebakaran’, dalam jangka panjang kita kembangkan SDM dan teknologi kelautan mutakhir (future technology) seperti bioteknologi, teknologi informasi dan komunikasi, nanotechnology, coastal and ocean engineering, bioenergi dari algae, gas hidrat, dan teknologi pemanfaatn SDA non-konvensional lainnya.
Dengan roadmap (peta jalan) pembangunan seperti itu, maka pulau-pulau kecil dan wilayah laut diyakini tidak lagi menjadi ‘beban pembangunan’ (cost center) serta tempat berlangsungnya perampokan, penyelundupan, dan berbagai kegiatan ilegal lainnya, tetapi akan menjadi pusat-pusat kemajuan dan kemakmuran yang tersebar di seluruh Nusantara.
Wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, dan laut yang makmur (prosperity belt) secara otomatis bakal menjadi sabuk pengaman (security belt) yang semakin mengukuhkan kedaulatan NKRI.
Bung Muhammad Ismail Sedang Memegang Induk Penyu Raksasa di Batu Hiu, Pangandaran.
Lebih dari itu, implementasi peta jalan pembangunan kelautan nasional ini secara cerdas dan konsisten juga diyakini mampu menghantarkan Indonesia menjadi kekuatan ekonomi baru dunia pada 2025 bersama Brazil, Rusia, India, dan China.
Sumber:
Center For Coastal and Marine Resources Studies
Bogor Agricultural University
Ocean Paradigm Study Group
Kementrian Kelautan dan Perikanan
LIPI
Foto Oleh: Bung Deni Nugraha dan Bung Widia Prima
Semoga Bermanfaat
Indonesia Bisa!