Saturday, 25 August 2007

Gugurnya Tiga Perintis TNI Angkatan Udara



Keberhasilan bangsa Indonesia/AURI dalam melaksanakan operasi udara mendadak di kubu-kubu Belanda di kota Semarang, Salatiga, dan Ambarawa dengan menggunakan tiga buah pesawat, dapat menunjukan ke dunia internasional bahwa Republik Indonesia melalui Angkatan Udaranya masih ada. 

Meskipun hasilnya tidak seberapa namun hal ini sudah cukup menggembirakan bangsa Indonesia, khususnya anggota AURI. Dengan keberhasilan ini memacu anggota lainnya untuk bisa berbuat lebih banyak lagi meskipun dalam keadaan yang serba terbatas. Dilain pihak serangan udara ini membuat pihak Belanda merasa kecolongan dan kalang kabut. Bahkan dapat dikatakan membuat malu Bangsa Belanda. 


Mereka merasa bahwa agresi militer yang dilancarkannya pada tanggal 21 Juli 1947, telah menghabiskan seluruh kekuatan RI, terutama kekuatan udaranya. Tetapi kenyataannya AURI masih mampu mengadakan serangan balas ke kubu mereka. Akibatnya, Belanda membalas tindakan AURI ini dengan menyerang sejumlah wilayah RI lagi seperti sebelumnya. Bahkan pesawat Dakota VT-CLA yang dalam misi kemanusiaan menjadi korban balas dendam Belanda, sehingga tiga orang tokoh dan perintis AURI yang datang bersama pesawat itu gugur. 


Peristiwa ini terjadi tidak jauh dari pangkalan udara Maguwo pada hari itu juga dan berselang hanya beberapa jam dari keberhasilan operasi udara yang telah dijalankan. Hal yang menyedihkan dan membuat duka yang mendalam ialah tiga tokoh dan perintis AURI yang berada didalam pesawat tersebut yakni Komodor Muda Udara Agustinus Adisutjpto, Komodor Muda Udara Abulrachman Saleh dan Opsir Muda Udara I Adisumarmo gugur bersama crew dan beberapa penumpang pesawat. Kebahagian dan kegembiraan yang tercermin di wajah anggota AURI dengan serta merta berubah menjadi duka yang mendalam, apalagi bagi pimpinan AURI. 


Pesawat yang telah ditunggu oleh Kasau Komodor Udara Suryadi Suryadarma ini, ternyata berakhir dengan tragis, ditembak oleh pesawat Belanda. Hal yang sangat menyedihkan adalah bersama pesawat itu terdapat beberapa tokoh pendiri angkatan udara yang selama ini sebagai tangan kanannya. Kejadian itu merupakan suatu pukulan berat bagi Angkatan Udara RI pada saat membutuhkan tokoh-tokoh yang penuh dedikasi itu. Musibah itu benar-benar diluar dugaan Angkatan Udara. 


Kalau saja crew pesawat VT-CLA Dakota mengikuti instruksi Kasau pada saat itu, maka cerita sejarah akan lain. Kebahagian dan kebanggaan mungkin tidak berobah menjadi petaka dan duka. Memang KSAU Komodor Udara S. Suryadarma telah menginstruksikan melalui Perwakilan AURI di Singapura supaya : a. Penerbangan dilakukan pagi-pagi sekali atau sore hari menjelang matahari terbenam. b. Setibanya di atas Maguwo, tidak perlu mengadakan putaran terlebih dahulu tetapi langsung mendarat. c. Penerbangan dilaksanakan secara sendiri. Peringatan Kasau tersebut karena diperkirakan akan ada serangan balasan Belanda atas pemboman yang dilakukan AURI di pagi hari, namun ia tidak mengetahui kapan. 


Oleh karena itu ia menginstruksikan agar pesawat datang di waktu-waktu itu yang diperkirakan militer Belanda longgar dalam pengawasannya. Namun kenyataannya, Pesawat meninggalkan Singapura pada pukul 13.00 tanggal 29 Juli 1947 menuju Pangkalan Udara Maguwo. Entah instruksi KSAU tidak sampai atau ada hal-hal lain yang dipertimbangkannya sehingga pesawat Dakota VT-CLA berangkat tidak sesuai instruksi. Tidak ada pernyataan yang mendukungnya. Dalam perjalanan pulang ke tanah air, penerbangan pesawat Dakota VT-CLA yang mula-mula aman itu, ternyata ketika memasuki perairan Indonesia diatas Bangka-Bliton, pesawat pemburu Belanda secara tiba-tiba muncul dan kemudian membuntutinya beberapa saat sebelum menghilang. Selanjutnya dua pesawat pemburu Kitty Hawk milik Belanda yang berpangkalan di Semarang, muncul namun segera menghilang. Tidak lama kemudian kedua pesawat tersebut muncul lagi, bahkan terus membuntuti. 


Setelah menjalani lebih kurang tiga jam penerbangan, sekitar pukul 16.00 sore, pesawat mendekati pangkalan udara Maguwo. Para penjaga dan petugas lapangan terbang bersiap siaga, melihat kedatangan pesawat yang belum jelas identitasnya, termasuk pula personel penangkis serangan udara. Mereka belum mendapat informasi mengenai rencana kedatangan Dakota itu. Namun tidak lama kemudian, Kasau Komodor Udara Suryadarma memberi tahu tentang kedatangan pesawat pengangkut tersebut, keteganganpun mereda. Bahkan berubah menjadi harap-harap gembira atas hendak turunnya pesawat tersebut. Pesawat Dakota VT-CLA tampak terbang semakin rendah, dan melakukan putaran terakhir untuk mendarat. Sesaat setelah roda-roda pendarat keluar dari tempatnya, secara tiba-tiba dengan kecepatan tinggi dua pesawat P-40 Kitty Hawk Belanda yang dipiloti oleh Letnan Satu B.J. Reusink dan Sersan Mayor W.E. Erkelens, mengejar dan tanpa peringatan terlebih dahulu langsung memberondong dengan senapan mesin. Tembakan-tembakan lawan ini tepat mengenai sebuah mesin sebelah kiri, sehingga pesawat terbakar dan mengurangi daya terbangnya. Akibatnya usaha untuk mencapai lapangan udara gagal. Beberapa saat kemudian pesawat Dakota VT-CLA oleng. 


Sebelum jatuh ke tanah, sayap pesawat sempat menghantam pohon dan akhirnya jatuh di tanggul pematang sawah di Desa Ngoto, Bantul sebelah selatan Yogyakarta, sekitar 2,5 km dari pangkalan udara Maguwo. Badan pesawat patah menjadi dua, bagian ekor masih utuh namun bagian lain hancur berkeping-keping. Dengan keadaan yang demikian maka berserakan bantuan obat-obatan hasil sumbangan berupa ½ ton verband dan sejumlah obat-obat sulpha dan penisilin di sawah. Dari puing-puing pesawat itu tidak ditemukan sepucuk senjatapun seperti yang dicurigai oleh Belanda. Awak pesawat dan beberapa penumpang gugur dalam peristiwa yang menyedihkan itu, termasuk tiga orang perintis AURI. Hanya satu penumpang yang selamat ialah Abdulgani Handonotjokro. Mereka yang gugur adalah Alexander Noel Constantine (Pilot) dan istri Ny. A.N. Constantine berkebangsaan Australia, Roy Hazellhurst (Co-pilot) berkebangsaan Inggris, Bhida Ram (Juru Teknik) berkebangsaan India dan Zainul Arifin (Konsul Dagang Republik Indonesia di Malaya). 



Tiga orang tokoh dan perintis AURI yang gugur adalah Komodor Udara Adisutjipto, Komodor Udara Prof. Dr. Abdulrachman Saleh, Opsir Muda Udara I Adi Sumarmo Wirjokusuma. Sebenarnya keberangkatan pesawat Dakota VT-CLA, yang membawa obat-obatan ini ke Indonesia telah disiarkan secara khusus oleh mass media Malaya “The Malayan Times” sehari sebelumnya. Pada siaran tersebut dinyatakan bahwa penerbangan pesawat Dakota VT-CLA hanya bersifat pengiriman obat-obatan dan telah ada persetujuan antara Pemerintah Inggris dan Pemerintah Belanda. Disamping itu keberangkatan pesawat dari Singapura, biasanya telah dikirim flight plan ke pemerintah Belanda di Indonesia melalui telegram seiring dengan keberangkatan pesawat. Semestinya pengiriman ini telah diterima oleh mereka pada hari itu juga. Dengan dasar ketentuan-ketentuan hukum internasional yang telah dipenuhi itu, maka pesawat Dakota VT-CLA pun seharusnya berlaku secara legal menuju Maguwo Yogyakarta. Namun kenyataannya Belanda tetap menembak pesawat ini. 


Hal ini merupakan fakta awal dari pengkhianatan Belanda yang terencana untuk menghancurkan Dakota VT-CLA yang tidak bersenjata itu. Sehingga sangat sukar untuk diterima oleh pikiran yang sehat apabila pihak Belanda mengatakan, bahwa penembakan pesawat Dakota VT-CLA itu “sangat terpaksa” karena tidak memakai tanda palang merah dan tidak jelas tanda kebangsaannya. Bagaimanapun juga pihak Belanda telah mengetahui, bahwa pesawat tersebut adalah Dakota VT-CLA yang telah dibuntuti lebih dahulu. Kabar tertembak jatuhnya pesawat Dakota VT-CLA yang merenggut 3 orang tokoh AURI sungguh membuat duka segenap masyarakat dan anggota AURI khususnya. Kedukaan yang tiada taranya ini mendorong pemerintah untuk memberi kesempatan kepada masyarakat guna memberikan salam terakhir dan hormat setinggi-tingginya atas ketabahan dan tanggung jawab mereka sebagai prajurit AURI. 


Pemerintah mengambil kebijaksanaan untuk menyemayamkan pahlawan-pahlawan AURI tersebut dan korban yang gugur lainnya di bekas gedung Hotel Tugu Yogyakarta dengan upacara militer. Keesokan harinya, atas permintaan keluarga jenazah Komodor Muda Udara Adisutjipto dan Komodor Muda Udara Prof. Dr. Abdulrachman Saleh dimakamkan dipemakaman umum Kuncen Yogyakarta. Pemakaman bapak Adisutjipto di pemakaman umum Kuncen I bagi yang beragama Katolik dan Bapak Abdulrachman Saleh di Pemakaman keluarga, bagi yang beragama Islam yang juga terletak di Kuncen. Sementara itu, Opsir Muda Udara I Adisumarmo dan Zainul Arifin dimakamkan di pemakaman Semaki, yang kemudian berubah menjadi Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara Semaki. Sedangkan korban warga negara asing dimakamkan di pemakaman Belanda yang terletak disebelah selatan Yogyakarta. Gugurnya ketiga tokoh perintis AURI ini, bukan berarti perjuangan terhenti, bahkan memompa semangat anggota AURI lainnya untuk berjuang melawan militer Belanda.


Mempertahankan kemerdekaan harus terus dilakukan agar benar-benar dicapai kemerdekaan yang sesungguhnya dengan segera, agar tidak lagi di injak-injak oleh kekuasaan asing yang berbuat semena-mena melalui kekuatan udaranya, yang mengakibatkan sejumlah putra-putra terbaik Indonesia gugur. Oleh karena itu kemajuan harus segera diraih untuk menjadi sarana mencapai kemerdekaan yang diinginkan. Agresi Militer Belanda, yang menyerang seluruh wilayah RI ini, menimbulkan reaksi bagi negara-negara lain di seluruh dunia, terutama negara-negara yang bersimpati pada perjuangan bangsa Indonesia. 


Apalagi diketahui bahwa pesawat Dakota VT-CLA yang sedang menjalankan misi kemanusiaan ditembak jatuh oleh pesawat pemburu Belanda, menyebabkan korban yang tidak sedikit dari beberapa warga negara asing. Hal ini semakin menarik simpati dunia. Sejumlah negara mengajukan protes dan menginginkan agar masalah Indonesia dibicarakan di Dewan Keamanan PBB. Protes ini didengar dan disambut baik oleh PBB untuk dicarikan jalan damai.

Sumber: TNI AU