Karena, aku tahu bahwa semua yang ada pasti menjadi tiada pada akhirnya,
dan kematian adalah sesuatu yang pasti,
dan kali ini adalah giliranmu untuk pergi, aku sangat tahu itu.
Tapi yang membuatku tersentak sedemikian hebat,
adalah kenyataan bahwa kematian benar-benar dapat memutuskan kebahagiaan dalam diri seseorang, sekejap saja, lalu rasanya mampu membuatku menjadi nelangsa setengah mati, hatiku seperti tak di tempatnya, dan tubuhku serasa kosong melompong, hilang isi.
Kau tahu sayang, rasanya seperti angin yang tiba-tiba hilang berganti kemarau gersang.
Pada airmata yang jatuh kali ini, aku selipkan salam perpisahan panjang,
pada kesetiaan yang telah kau ukir, pada kenangan pahit manis selama kau ada,
aku bukan hendak megeluh, tapi rasanya terlalu sebentar kau disini.
Mereka mengira aku lah kekasih yang baik bagimu sayang,
tanpa mereka sadari, bahwa kaulah yang menjadikan aku kekasih yang baik.
dan kematian adalah sesuatu yang pasti,
dan kali ini adalah giliranmu untuk pergi, aku sangat tahu itu.
Tapi yang membuatku tersentak sedemikian hebat,
adalah kenyataan bahwa kematian benar-benar dapat memutuskan kebahagiaan dalam diri seseorang, sekejap saja, lalu rasanya mampu membuatku menjadi nelangsa setengah mati, hatiku seperti tak di tempatnya, dan tubuhku serasa kosong melompong, hilang isi.
Kau tahu sayang, rasanya seperti angin yang tiba-tiba hilang berganti kemarau gersang.
Pada airmata yang jatuh kali ini, aku selipkan salam perpisahan panjang,
pada kesetiaan yang telah kau ukir, pada kenangan pahit manis selama kau ada,
aku bukan hendak megeluh, tapi rasanya terlalu sebentar kau disini.
Mereka mengira aku lah kekasih yang baik bagimu sayang,
tanpa mereka sadari, bahwa kaulah yang menjadikan aku kekasih yang baik.
Siapa yang tak mengenal sosok Presiden RI ke-3, Prof Dr Baharuddin Jusuf Habibie? Sosok yang ramah dan rendah hati ini baru saja ditinggalkan sang istri kembali ke Ilahi untuk selamanya. Namun, itulah beliau, ketegaran dan sikap nrimo-nya tak banyak dipunyai oleh mayoritas orang di negeri ini. Dan hal itu ia terapkan dalam berbagai hal, termasuk dalam “karier teknologi” yang dibangunnya.
Baginya, jabatan atau posisi prestisus tak begitu penting, karena yang terpenting bisa mengabdi bagi nusa dan bangsa. Kecerdasan Habibie sebagai ahli teknologi pesawat terbang dikenal tak hanya di Indonesia, ilmuwan Eropa pun banyak yang mengakui keahliannya. Karena kepakarannya itulah, pada tahun 1973 Presiden Soeharto meminta beliau pulang yang ketika itu usianya masih 35 tahun dan tengah meniti karier di negara maju Eropa, Jerman.
Habibie diminta Soeharto untuk memajukan peradaban teknologi Nusantara. Hal yang kemudian disambut Habibie dengan mendirikan PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio, tiga tahun kemudian, 1976. Andi Makmur Makka, dalam bukunya ini, mencoba memotret kembali perjalanan cemerlang sang begawan teknologi yang sangat berharga bagi bangsa kita ini. Maka, lahirlah Jejak Pemikiran Habibie: Peradaban Teknologi untuk Kemandirian Bangsa yang merupakan kumpulan pemikiran sang begawan bidang teknologi.
PT IPTN yang dibidaninya berganti nama menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara (huruf “N” menjadi Nusantara) pada tahun 1985. Soeharto yang begitu percaya dengan kemampuan Habibie selalu mengalokasikan dana besar kepada PT IPTN dalam mengeksplorasi segala perkembangan bidang teknologi yang langsung diarsiteki Habibie. Tak hanya mendirikan IPTN, Habibie berperan besar dalam mendirikan dua perusahaan strategis lainnya, yaitu PT Pindad dan PT PAL.
Dari ketiga perusahaan strategis itu banyak dihasilkan pesawat terbang, jasa di bidang pemeliharaan pesawat, helikopter, amunisi, kapal, tank militer, panser, senapan kaliber, water canon, kendraan RPP-M. Tak hanya itu, dalam skala internasional Habibie pun banyak terlibat dari proyek-proyek besar seperti desain konstruksi Fokker F-28, Air Bus A-300, Hansa Jet 320, pesawat transport DO-31, Transall C-130, CN-235, dan CN-250.
Masa keemasan IPTN mulai surut. Presiden Soeharto atas saran International Monetary Fund (IMF) pada tahun 1992 menyetop dana operasi. Banyak orang menduga IMF sengaja mengerem Habibie karena berencana membuat satelit, pesawat, dan peralatan militer sendiri sehingga mereka (baca: Amerika Serikat) ketakutan akan kehilangan pasar strategis dan potensial, terlebih perindustrian Indonesia akan menjadi pesaingan kelak.
Buku ini hadir untuk meretas kembali jejak-pikir Habibie yang telah banyak berkarya untuk kemajuan teknologi bangsa kita, walau mungkin bagi sebagian orang PT IPTN dan PT DI sebagai produk pikirnya dianggap belum maksimal. Namun, paling tidak, Habibie telah mampu menjadi inspirasi bagi banyak kalangan untuk tetap berkarya sesuai bidangnya masing- masing.
Baginya, jabatan atau posisi prestisus tak begitu penting, karena yang terpenting bisa mengabdi bagi nusa dan bangsa. Kecerdasan Habibie sebagai ahli teknologi pesawat terbang dikenal tak hanya di Indonesia, ilmuwan Eropa pun banyak yang mengakui keahliannya. Karena kepakarannya itulah, pada tahun 1973 Presiden Soeharto meminta beliau pulang yang ketika itu usianya masih 35 tahun dan tengah meniti karier di negara maju Eropa, Jerman.
Habibie diminta Soeharto untuk memajukan peradaban teknologi Nusantara. Hal yang kemudian disambut Habibie dengan mendirikan PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio, tiga tahun kemudian, 1976. Andi Makmur Makka, dalam bukunya ini, mencoba memotret kembali perjalanan cemerlang sang begawan teknologi yang sangat berharga bagi bangsa kita ini. Maka, lahirlah Jejak Pemikiran Habibie: Peradaban Teknologi untuk Kemandirian Bangsa yang merupakan kumpulan pemikiran sang begawan bidang teknologi.
PT IPTN yang dibidaninya berganti nama menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara (huruf “N” menjadi Nusantara) pada tahun 1985. Soeharto yang begitu percaya dengan kemampuan Habibie selalu mengalokasikan dana besar kepada PT IPTN dalam mengeksplorasi segala perkembangan bidang teknologi yang langsung diarsiteki Habibie. Tak hanya mendirikan IPTN, Habibie berperan besar dalam mendirikan dua perusahaan strategis lainnya, yaitu PT Pindad dan PT PAL.
Dari ketiga perusahaan strategis itu banyak dihasilkan pesawat terbang, jasa di bidang pemeliharaan pesawat, helikopter, amunisi, kapal, tank militer, panser, senapan kaliber, water canon, kendraan RPP-M. Tak hanya itu, dalam skala internasional Habibie pun banyak terlibat dari proyek-proyek besar seperti desain konstruksi Fokker F-28, Air Bus A-300, Hansa Jet 320, pesawat transport DO-31, Transall C-130, CN-235, dan CN-250.
Masa keemasan IPTN mulai surut. Presiden Soeharto atas saran International Monetary Fund (IMF) pada tahun 1992 menyetop dana operasi. Banyak orang menduga IMF sengaja mengerem Habibie karena berencana membuat satelit, pesawat, dan peralatan militer sendiri sehingga mereka (baca: Amerika Serikat) ketakutan akan kehilangan pasar strategis dan potensial, terlebih perindustrian Indonesia akan menjadi pesaingan kelak.
Buku ini hadir untuk meretas kembali jejak-pikir Habibie yang telah banyak berkarya untuk kemajuan teknologi bangsa kita, walau mungkin bagi sebagian orang PT IPTN dan PT DI sebagai produk pikirnya dianggap belum maksimal. Namun, paling tidak, Habibie telah mampu menjadi inspirasi bagi banyak kalangan untuk tetap berkarya sesuai bidangnya masing- masing.
“Sosok dan pemikiran Prof. Dr. B.J. Habibie dalam dunia Iptek tidak diragukan lagi. N-250 dan PT DI adalah buah karya beliau yang membanggakan kita. Buku ini sangat menarik dan pantas dibaca oleh seluruh insan Iptek. Kehadiran buku ini akan menambah khazanah pemikiran dalam pembangunan Iptek di Indonesia.” —Suharna Surapranata, Menteri Riset dan Teknologi, Periode 2009-2014
Ketika B.J. Habibie yang waktu itu berusia 35 tahun memutuskan pulang kampung dari Jerman Barat pada 1973, seluruh kolega dan pakar teknologi Eropa tak habis pikir atas keputusannya itu. Untuk alasan apa Habibie kembali ke Indonesia yang saat itu masih tertatih-tatih sebagai negara berkembang, dan meninggalkan karier cemerlangnya sebagai pakar teknologi penerbangan yang disegani di Barat?
Pilihannya menyambut permintaan Soeharto merancang fondasi kemandirian Iptek Indonesia berbuah cetak biru peradaban teknologi yang disebut “Berawal di Akhir dan Berakhir di Awal”—proses transformasi dan integrasi Iptek yang dipercepat dan progresif. Industri-industri strategis seperti PT Dirgantara Indonesia (dahulu IPTN) dan PT PAL, menjadi jejak kemandirian Iptek Indonesia yang dirintis Habibie dan menunjukkan kekuatan gagasannya. Bahkan, krisis ekonomi dan politik yang melanda Indonesia tak memusnahkan aset-aset industri ini. PT Dirgantara Indonesia, yang sempat disindir melayani order cetakan panci pascavonis pailit, kini memenangi tender empat pesawat penjaga pantai untuk Korea Selatan senilai US$ 94,5 juta, dan menjajaki proyek pesawat tempur KFX senilai 8 miliar dolar AS. Tak ketinggalan PT PAL yang mulai membidik berbagai kontrak strategis, antara lain pengadaan kapal pengawal rudal TNI.
Buku ini merangkai jejak pemikiran B.J. Habibie selama menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi sejak tahun 1978 hingga Maret 1998, gagasan-gagasannya tentang arah industri strategis dan pembangunan Iptek yang relevan dan tepat untuk sebuah negara seperti Indonesia. Sebuah peradaban teknologi untuk kemandirian bangsa yang diidam- idamkannya, lebih ketimbang jabatan prestisius korporasi internasional, ataupun reputasi sebagai pakar teknologi ternama.
“Memaparkan tentang peran besar B.J. Habibie dalam mengejar ketertinggalan bangsa Indonesia di bidang Iptek. Wajib dibaca oleh setiap insan yang mendambakan daya saing dan kemandirian bangsa.” —Dr. Ir. Marzan A. Iskandar, Kepala BPPT
Peresensi adalah Yuyu Yuhanah, pemerhati buku, tinggal di Depok
Ketika B.J. Habibie yang waktu itu berusia 35 tahun memutuskan pulang kampung dari Jerman Barat pada 1973, seluruh kolega dan pakar teknologi Eropa tak habis pikir atas keputusannya itu. Untuk alasan apa Habibie kembali ke Indonesia yang saat itu masih tertatih-tatih sebagai negara berkembang, dan meninggalkan karier cemerlangnya sebagai pakar teknologi penerbangan yang disegani di Barat?
Pilihannya menyambut permintaan Soeharto merancang fondasi kemandirian Iptek Indonesia berbuah cetak biru peradaban teknologi yang disebut “Berawal di Akhir dan Berakhir di Awal”—proses transformasi dan integrasi Iptek yang dipercepat dan progresif. Industri-industri strategis seperti PT Dirgantara Indonesia (dahulu IPTN) dan PT PAL, menjadi jejak kemandirian Iptek Indonesia yang dirintis Habibie dan menunjukkan kekuatan gagasannya. Bahkan, krisis ekonomi dan politik yang melanda Indonesia tak memusnahkan aset-aset industri ini. PT Dirgantara Indonesia, yang sempat disindir melayani order cetakan panci pascavonis pailit, kini memenangi tender empat pesawat penjaga pantai untuk Korea Selatan senilai US$ 94,5 juta, dan menjajaki proyek pesawat tempur KFX senilai 8 miliar dolar AS. Tak ketinggalan PT PAL yang mulai membidik berbagai kontrak strategis, antara lain pengadaan kapal pengawal rudal TNI.
Buku ini merangkai jejak pemikiran B.J. Habibie selama menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi sejak tahun 1978 hingga Maret 1998, gagasan-gagasannya tentang arah industri strategis dan pembangunan Iptek yang relevan dan tepat untuk sebuah negara seperti Indonesia. Sebuah peradaban teknologi untuk kemandirian bangsa yang diidam- idamkannya, lebih ketimbang jabatan prestisius korporasi internasional, ataupun reputasi sebagai pakar teknologi ternama.
“Memaparkan tentang peran besar B.J. Habibie dalam mengejar ketertinggalan bangsa Indonesia di bidang Iptek. Wajib dibaca oleh setiap insan yang mendambakan daya saing dan kemandirian bangsa.” —Dr. Ir. Marzan A. Iskandar, Kepala BPPT
(Sang Professor Cinta dengan Para Buah Hatinya)