Sunday, 9 June 2013

Ibu Karen Agustiawan: CEO Wanita Terkuat Asia

Direktur Utama PT Pertamina Ibu Karen Agustiawan lulusan Teknik Fisika ini menempati urutan teratas daftar 50 wanita pelaku bisnis paling kuat di Asia versi majalah bisnis Forbes. Selain Karen, dua pengusaha dari Indonesia juga masuk dalam daftar tersebut yaitu Shinta Widjaja Kamdani dari Sintesa Group dan Siti Hartati Murdaya dari Central Cipta Murdaya. Karen Agustiawan, adalah perempuan pertama yang menduduki jabatan Direktur Utama Pertamina.

"Seandainya Blok Mahakam kembali sepenuhnya ke negara, dan negara menyerahkannya ke Pertamina, berapa laba Pertamina pada 2018? Dan tahun-tahun berikutnya? Dengan cepat jawaban Ibu Karen masuk ke HP saya: Rp 171 triliun."
*Bpk. Dahlan Iskan, Menteri BUMN Fenomenal*

Sustainable Energy in Southeast Asia 

Ibu Karen Agustiawan Memberikan Ceramah mengenai Energi Terbarukan di Center for Strategic and International Studies. USA.
Ibu Karen Agustiawan Juga merupakan anggota dari International Council Member, Belfer Center for Science and International Affairs, Harvard University.
Ia dilantik pada tahun 2009. Ia diharapkan dapat menyelesaikan persoalan distribusi minyak dan gas yang dianggap bermasalah. Sebelum menjadi Dirut, Karen adalah Direktur Hulu Pertamina yang menangani eksplorasi minyak perusahaan milik negara terbesar di Indonesia tersebut. 
Sebanyak 21 wanita dari daftar tersebut didominasi oleh pengusaha wanita dari China, Taiwan dan Makao. Delapan dari India dan lima dari Singapore. Sisanya berasal dari Korea Selatan, Indonesia, Jepang, Australia, Filipina, Thailand dan Vietnam.

Nostalgia SMA Ibu Galaila Karen Agustiawan 

“Siapa yang mau jadi Dirut Pertamina?” tanya Ibu Galaila Karen Agustiawan di depan 450 siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Cikampek. Semua siswa pun angkat tangan. Bahkan, ada juga beberapa guru yang ikut angkat tangan.


Ibu Karen mengaku sudah lama menyukai kegiatan mengajar. Ia sering mengisi kuliah umum di Universitas Diponegoro Semarang, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dan Universitas Indonesia. Ia terinspirasi film favoritnya, To Sir with Love, yang mengisahkan seorang guru yang diperankan Sidney Poitier dalam mendidik anak-anak nakal di Bronx, New York.

Soal nakal, Karen adalah ratunya. Saat bersekolah di SMA Negeri 3 Bandung, ia pernah mengajak teman-temannya satu kelas “cabut” untuk makan pempek di Jalan Setia Budi. Alasannya bolos sepele. Ia tidak terima guru kimia di sekolahnya digantikan dengan guru baru. Keesokannya, Karen pun dipanggil kepala sekolah, diminta membawa ayahnya, dan disuruh meminta maaf. Kalau tidak, ia terancam tidak ikut ujian akhir.

Raden Asiah Hamimzar, sang ibu, memarahinya karena itu bukan pertama kalinya Karen berbuat “gila”. Sekolah sudah sering memanggil ibunya. Kali ini mereka ingin ayahnya yang hadir. Padahal, sang ayah sedang dinas di Austria. "Saya itu tomboi. Sekolah naik motor meski tidak punya SIM," ucapnya.

Cita-cita Karen saat itu adalah menjadi arsitek. Akan tetapi, sang kakak nomor dua, Lily Dahlia Kuswardani, menyarankan agar dirinya mengikuti kuliah di bidang energi. Karen gamang karena sang ayah juga menuntutnya menjadi dokter.

Awalnya Karen menuruti kemauan ayahnya. Dia masuk ke Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, Bandung, lewat jalur SKALU (Sekretariat Kerja Sama Antar-Lima Universitas). Namun, ternyata ia takut darah dan tidak suka hafalan sehingga memilih keluar, lalu masuk jurusan Teknik Fisika ITB. Sang ayah tak keberatan. “Kamu lahir telanjang, keluar dari rumah ini juga telanjang, kecuali dengan ijazah yang kamu bawa,” kata Karen, menirukan perkataan ayahnya.


Memberikan Pemaparan Proyek Pertamina Kepada Presiden

Visi Pertamina Pak Dahlan Iskan

Program-program Pertamina yang ada sekarang memang ambisius, tapi baru bisa membuat Pertamina masuk ke jajaran perusahaan minyak kelas regional. Masih jauh dari prestasi Petronas.

Memang ada jalan pintas. Bahkan, sangat cepat. Semacam jalan tol di Jerman. Maksudnya, jalan tol yang tidak pakai bayar. Dengan jalan ini Pertamina bisa mengalahkan Petronas hanya dalam waktu empat tahun. Setidaknya bisa membuatnya sejajar dengan Petronas.

Tapi, saat saya menulis naskah ini, di sebuah ruang check-up Rumah Sakit Tianjin, saya terpikir akan kesulitan-kesulitannya: “jalan tol” itu bukan milik Pertamina. “Jalan tol” itu milik perusahaan luar negeri yang akan habis izinnya pada 2017: Blok Mahakam.

Saya pun minta Dirut Pertamina Karen Agustiawan membuat kalkulasi ini: seandainya Blok Mahakam kembali sepenuhnya ke negara, dan negara menyerahkannya ke Pertamina, berapa laba Pertamina pada 2018?

Dan tahun-tahun berikutnya?

Dengan cepat jawaban Karen masuk ke HP saya: Rp 171 triliun.

Saya tidak tergiur dengan angka itu. Saya lebih tergiur pada bayangan betapa bangganya kita memiliki Pertamina yang tidak lagi diejek-ejek sepanjang masa.



Ucapan Terima Kasih:

Bpk. Dr. Ir. Haryo Aswicahyono, M.Ec.
Center for Strategic and International Studies Indonesia.

Maju Terus Indonesia 

Seven Sisters: Perusahaan-Perusahaan Energi Terbesar Dunia

Usai Perang Dunia II, perusahaan perminyakan/Energi multinasional mulai mengembangkan usahanya di negara dunia ketiga. Perusahaan-perusahaan terkemuka yang mendominasi produksi, pengolahan, dan distribusi migas waktu itu dikenal dengan sebutan ”The Seven Sisters”. 


Mengunjungi Perusahaan Chevron, Pertamina dan Indonesia Power

Untuk melindungi kepentingan nasional, negara-negara berkembang kemudian mendirikan perusahaan minyak nasional dengan tujuan mengurangi ketergantungan pada perusahaan multinasional untuk pemasokan migasnya. Lahirnya perusahaan minyak nasional juga memberikan pengetahuan industri perminyakan yang bermanfaat meningkatkan kemampuan pemerintah dalam menilai kinerja perusahaan multinasional di negaranya.

Pada awal 1960, Timur Tengah mulai mengambil alih kontrol perminyakan dunia melalui Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC). Awalnya OPEC didirikan sebagai protes atas usaha ”The Seven Sisters” untuk menurunkan harga minyak yang sangat merugikan negara produsen, dan akhirnya benar-benar menguasai produksi, pengolahan dan distribusi minyak pada tahun 1970. Pamor ”The Seven Sisters” pun mulai meredup.

The Old Seven Sisters

The "Seven Sisters" was a term coined in the 1950s by businessman Enrico Mattei, then-head of the Italian state oil company Eni, to describe the seven oil companies which formed the "Consortium for Iran" cartel and dominated the global petroleum industry from the mid-1940s to the 1970s. 


Prior to the oil crisis of 1973, the members of the Seven Sisters controlled around 85% of the world's petroleum reserves, but in recent decades the dominance of the companies and their successors has declined as a result of the increasing influence of the OPEC cartel and state-owned oil companies in emerging-market economies.

Sekilas Sejarah

Pada kurun waktu sekitar tahun 1920-an hingga 1970-an, di industri perminyakan dikenal sebutan The Seven Sister, yaitu tujuh perusahaan minyak terbesar saat itu. 

Julukan The Seven Sister pertama kali dikemukakan oleh pengusaha asal Italia, Enrico Mattei. Enrico merujuk pada perusahaan-perusahaan yang mendominasi produksi, pengolahan dan distribusi minyak saat itu. 

Tujuh perusahaan tersebut terdiri atas 3 perusahaan minyak yang merupakan pecahan dari Standard Oil plus 4 perusahaan minyak lainnya. 

Ke-tujuh perusahaan minyak/energi itu adalah:
1. Standard Oil of New Jersey (ESSO) 
2. Standard Oil of New York (SOCONI) kemudian berubah nama menjadi Mobil Oil
4. Standard Oil of California, kemudian berubah nama menjadi Chevron 
5. Royal Dutch Shell 
6. British Anglo-Persian Oil Company (APOC) kemudian berubah nama jadi BP 
7. Gulf Oil Texaco Esso kemudian merger dengan Mobil Oil sehingga menjadi ExxonMobil. 

Sedangkan Chevron gabung dengan Texaco menjadi CHEVRONTEXACO. Dengan demikian The Seven Sister yang semula tujuh perusahaan menjadi lima perusahaan, yaitu:

1. ExxonMobil 
2. ChevronTexaco [Chevron Corporation]
3. Shell 
4. BP 
5. Gulf Oil

The New Seven Sisters

The Financial Times has used the label the "New Seven Sisters" to describe a group of what it argues are the most influential national oil and gas companies based in countries outside of the OECD.
According to the Financial Times this group comprises:

Perusahaan-Perusahaan tersebut itulah yang hampir menguasai 90% Energi Dunia saat ini.




Dimana posisi Pertamina dan perusahaan energi swasta Indonesia?

Dalam daftar yang dibuat United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), semua perusahaan energi itu, kecuali Aramco, masuk dalam daftar 19 perusahaan minyak terbesar dunia dengan operasi secara global. Aramco tidak masuk karena sebagian besar kegiatan eksplorasi dan produksi dilakukan di dalam negerinya sendiri.

Di mana posisi Pertamina?


Tidak masuk hitungan!


Dari sisi kepemilikan saham di kegiatan produksi minyak asing, peran BUMN-BUMN minyak Asia, menurut laporan The Role of Asian Oil Companies, memang masih kecil, sekitar 2 persen dari produksi minyak global pada 2005- 2006. Mereka diperkirakan juga belum akan menjadi ancaman bagi perusahaan minyak raksasa dari negara maju dalam pasokan ke pasar dalam waktu dekat.

Namun, ketujuh perusahaan itu kini menguasai sekitar sepertiga produksi serta cadangan minyak dan gas dunia. Sebagai gambaran betapa strategisnya posisi mereka, ”The Seven Sisters” dari negara maju yang sekarang— yang kemudian menciut menjadi empat karena konsolidasi di antara mereka pada tahun 1990-an (menjadi ExxonMobil, Chevron, BP, dan Shell) hanya memproduksi sekitar 10 persen produksi minyak dan gas dunia serta menguasai sekitar 3 persen cadangan minyak dan gas dunia.

Badan Energi Internasional (EIA), memprediksikan 90 persen pasokan minyak dunia dalam 40 tahun ke depan akan datang dari para pemain negara-negara berkembang ini. Ini membalikkan kondisi 30 tahun terakhir di mana 40 persen pasokan minyak dunia berasal dari negara-negara maju, dengan generasi kedua The Seven Sisters sebagai sebagai operator utama.

Para pemain baru dari negara berkembang mulai mengalahkan pemain-pemain lama dalam agresivitas akuisisi saham perusahaan-perusahaan minyak dari berbagai negara. Aktivitas mereka ikut meramaikan demam perburuan minyak di tengah krisis harga minyak yang hampir menyeret perekonomian global dalam resesi akhir-akhir ini.

Motifnya untuk China lebih untuk mengamankan kebutuhan energi skala masif perekonomian mereka di masa depan. Sementara, ekspansi BUMN- BUMN migas Rusia lebih banyak dilandasi oleh kepentingan mengamankan akses pasar, terutama di negara maju, melalui kegiatan terintegrasi di hulu.

Siapa Paling Berhasil?

Dengan menguasai 25 persen cadangan minyak dunia dan kapasitas produksi hampir tiga kali lipat dari pesaing terdekat, ARAMCO, yang merupakan BUMN minyak Arab Saudi, sekarang ini bisa dikatakan sebagai perusahaan minyak nasional paling berhasil di dunia.

Kendati lapangan terbesarnya mulai menua, BUMN ini masih menempati posisi teratas produksi minyak dunia, disusul BUMN migas Rusia (Gazprom) dan BUMN migas Iran (NIOC).



Berbeda dengan Aramco, BUMN-BUMN dari China dan Rusia jauh lebih agresif dalam melakukan ekspansi di luar wilayahnya. Data UNCTAD (World Investment Report 2007), investasi BUMN- BUMN minyak China sudah menyebar di lebih dari 46 negara, kebanyakan di negara-negara berkembang, meliputi kegiatan eksplorasi, produksi, transportasi, pengilangan, hingga kontrak jasa.

Meski gagal mengakuisisi perusahaan minyak AS, Unocal, CNPC menyabet sejumlah kontrak besar di negara maju, termasuk Australia dan Kanada.

BUMN-BUMN China ini bersaing dengan perusahaan-perusahaan minyak Rusia yang beberapa tahun terakhir aktif dalam proyek eksplorasi dan eksploitasi di sejumlah negara bekas Uni Soviet (CIS) atau negara berkembang lain yang memiliki keterkaitan sejarah panjang dengan Federasi Rusia.

Sebagian dari hak kuasa penambangan yang dipegang Rusia sekarang ini diwarisi dari Uni Soviet sebelum pecah. Bukan hanya ekspansi secara internasional, BUMN-BUMN minyak Rusia secara agresif juga mulai ”menasionalisasi” proyek-proyek migas dan energi penting di negaranya yang semula dikuasai oleh pemain-pemain Barat.

Petronas juga tidak mau kalah. Sepak terjang perusahaan ini termasuk spektakuler. BUMN ini baru mulai melakukan ekspansi internasional tahun 1990- an. Dimulai dari negara-negara tetangga terdekat di Asia Tenggara, Petronas kini sudah mengembangkan sayap ke lebih dari 33 negara.

Petronas mulai terjun ke kegiatan di sektor hulu di luar Asia Tenggara pada tahun 1996, dengan mengakuisisi perusahaan pengilangan di Afrika Selatan. Disusul eksplorasi di negara Afrika lain seperti Sudan (1999), Gabon (1999), Chad (2000), Kamerun (2000), Aljazair (2001), Mozambik (2002), Etiopia (2003), dan Niger (2005).

BUMN ini juga terlibat dalam konstruksi jaringan pipa dan pengembangan jaringan stasiun pengisian bahan bakar (SPBU) di berbagai negara, seperti China, India, Argentina, Afrika Selatan, Sudan, dan Inggris. Sekitar 30 persen pendapatan Petronas diperoleh dari operasi di luar negeri dan dari hampir seratus lapangan minyak yang dikelola, sekitar 50 sudah berproduksi.


Kendati tidak seagresif China dan Malaysia, Thailand juga tak mau ketinggalan. PTT, BUMN minyak negara ini, mulai ekspansi di luar negeri akhir 1990-an. Meski konsentrasi investasinya masih di sekitar kawasan Asia Tenggara, beberapa tahun terakhir PTT mulai mengikuti jejak Malaysia melalui joint venture eksplorasi dengan perusahaan minyak lain di Asia Barat dan Afrika. PTT juga menjadi pemain penting dalam pembangunan proyek jaringan pipa trans-ASEAN.


Demam ekspansi global juga menghinggapi negara Asia lain seperti India dan Korea Selatan, dan negara berkembang di luar Asia. Dua perusahaan minyak India, ONGH Videsh dan Indian Oil Corporation, masing-masing sudah memproduksi minyak dari lapangan di Rusia (proyek Sakhalin 1) dan Libya.

Korsel melalui BUMN KNOC juga sudah menggarap proyek pengembangan 26 lapangan minyak di 14 negara. Tahun lalu, perusahaan ini melakukan ekspansi di Australia, Kazakstan, Nigeria, Rusia, dan Yaman. Sementara Petrobras dari Brasil mulai produksi di delapan negara dan terlibat dalam kegiatan eksplorasi dan investasi di sektor hulu di 10 lokasi lainnya.

Satu dekade terakhir menjadi saksi metamorfosa dramatis BUMN-BUMN minyak dari berbagai negara berkembang Asia. Dari semula pemain lokal, mereka menjelma jadi pemain global yang terus merangsek ke atas dalam jajaran TNCs terbesar dunia.

Sepak terjang mereka memudarkan dominasi pemain global negara maju dan mengukuhkan hipotesa abad ke-21 sebagai abad kejayaan Asia, milik Asia.

Sayang, Indonesia dengan BUMN migas Pertamina-nya ketinggalan gerbong dalam eforia ini.




Tapi Kita Tidak Boleh Berputus Asa.


Perbaiki Kinerja PERTAMINA Hingga menjadi perusahaan Energi Terbaik di ASEAN

Perbanyak Perusahaan Energi Swasta Kita dengan melahirkan banyak para Wirausahawan Energi Lokal.

Siapakah yang diuntungkan oleh kenaikan harga Energi ini?

Sepertinya kita semua sudah tahu itu.

F35 MMC: Multi-Mission Capability

Multi-Mission Capability for Emerging Global Threats


Avionics

Air-to-surface 

The F-35's low observable stealth allows it to safely enter areas without being seen by radars that 4th generation fighters cannot evade. The combination of the stealth features, the F-35’s active electronically scanned array (AESA) radar technology, and the aircraft’s ability to carry weapons internally means the F-35 can engage ground targets at long ranges without detection and use precision weapons to successfully complete air-to-ground missions. In this configuration, the F-35 will enter the battlespace first, clearing the way for legacy coalition forces.

Air-to-air 

Integrated sensors, information and weapons systems combined with speed and maneuverability— are critical to the F-35’s air superiority. In air combat, 4th generation aircraft have a higher radar cross-section, which means they can more easily be seen by enemy fighters. In combat, 4th gen aircraft and hostile nations have an equal opportunity to strike against one another. A 5th generation fighter has a lower radar cross-section to allow the F-35 pilot to see the other aircraft first and take action.

Intelligence, Surveillance and Reconnaissance (ISR) 

Again drawing on the advantage of stealth and integrated sensors, the F-35 can fly critical intelligence, surveillance and reconnaissance (ISR) missions with more sophisticated data capture than any previous fighter aircraft. It the most powerful and comprehensive integrated sensor package of any fighter aircraft in history. Its next-generation avionics and sensor fusion give the pilot real-time access to battlefield information with 360-degree coverage.

Command and Control 

The F-35's communication, sensors and information systems enable it to draw on information from around the world - and deliver that information directly to the battlefield. Embedded, network-enabled information capture allows distribution of information to enhance and enable other platforms. Information gathered by F-35 sensors can be securely shared with commanders at sea, in the air or on the ground, providing a high-fidelity view of ongoing operations.

Electronic Attack 

Advanced electronic warfare (EW) capabilities enable the F-35 to locate and track enemy forces, jam radio frequencies and disrupt attacks with unparalleled precision. All three variants of the F-35 carry active, electronically scanned array (AESA) radars with sophisticated electronic attack capabilities, including false targets, network attack, advanced jamming and algorithm-packed data streams. This system allows the F-35 to reach well-defended targets and suppress enemy radars that threaten the F-35.

 

Aspek pengaturan dan kebijakan Industri Pertahanan Dirgantara:
  1. Penetapan industri pertahanan.
  2. Pengaturan kebijakan produksi bagi keperluan komersial dan pertahanan.
  3. Penunjukan Departemen Pertahanan sebagai supervisi bagi industri pertahanan.
  4. Perumusan program pembangunan industri pertahanan berdasarkan skala prioritas.

Sources:

Lockheed Martin
https://www.f35.com/
http://en.wikipedia.org/wiki/Lockheed_Martin_F-35_Lightning_II

Test Terbang Pesawat Tempur

Hear from the F-35 flight test team at Edwards Air Force Base, California.






Lihat Juga
Aircraft of comparable role, configuration and era
Related lists

Sources: 

Lockheed Martin
https://www.f35.com/
http://en.wikipedia.org/wiki/Lockheed_Martin_F-35_Lightning_II