Friday, 29 March 2013

Memasyarakatkan Iptek: Belajar dari Negeri Sakura dan Negeri Ginseng



Seorang kutu buku bercerita bahwa saat Jepang menyerah kalah pada Sekutu bulan Agustus 1945, Kaisar Jepang Hirohito mengundang pakar-pakar dari berbagai disiplin ilmu yang masih hidup di negeri Matahari Terbit itu. Pada kesempatan pertemuan tersebut Kaisar Hirohito bertanya: 

“Berapa banyakkah guru yang masih hidup di negeri kita ini?” 

Pertanyaan Kaisar tadi mengundang reaksi dari seorang jenderal yang hadir pada waktu itu, dan balik bertanya:

“Yang Mulia, saya sebagai anggota tentara keberatan atas pertanyaan Yang Mulia. Mengapa justru Guru yang Kaisar tanyakan, dan bukan tentara?

Sebab, banyak sekali tentara kita yang meninggal di Laut Cina Selatan, di Borneo, Celebes, Papua, Burma, dan lain-lain. Mereka mati untuk membela Tanah Air dan Kaisar.”

Sebagai orang bijaksana, Kaisar Hirohito menjawab:

“Tuan-tuan, apabila profesi-profesi yang lain tidak saya tanyakan, harap Tuan-tuan tidak tersinggung. Saya tahu banyak tentara kita yang gugur, dan untuk itu kita semua merasa sedih. Mengapa justru yang saya tanyakan itu berapa guru yang masih hidup di Jepang, ini tak lain karena melalui guru inilah Jepang akan cepat bangkit kembali. Seperti yang kita ketahui, hampir semua pabrik kita hancur dibom Sekutu. 

Banyak pakar kita yang mati, dan sekarang negeri ini hancur dan lumpuh. Kita harus mulai membangun negeri ini dari nol, dan hanya melalui gurulah kita dapat membangun kembali negeri ini. Mari kita benahi pendidikan melalui guru-guru kita yang ada. 

Melalui kerja keras kita, terutama guru-guru, saya yakin Jepang akan bangkit kembali, bahkan akan lebih hebat dari kemampuan kita sebelum perang terjadi.” 

Rivalitas Abadi Jepang dan Korea Selatan

Lihat Tulisan sahabat saya: Kang Mohamad Rian Ari Sandi berikut:

http://sosbud.kompasiana.com/2013/01/30/jangan-malas-seperti-orang-jepang-529227.html





Dan jika mereka sudah mampu menghidupi bangsanya sendiri tanpa meminjam, kedepannya kita harus bisa menghidupi bangsa sendiri sekaligus memberikan bantuan kepada bangsa-bangsa lain yang kesulitan.


Ketertinggalan pendidikan kita bila dibandingkan dengan negara lain bukan karena pendidikan kita tidak mengalami kemajuan, tetapi lebih karena negara lain mengalami kemajuan yang jauh lebih pesat daripada kita.

Pesatnya perkembangan pendidikan di negara lain terjadi karena suburnya iklim berkreasi dalam bidang pendidikan.

Baik guru-murid maupun dosen-mahasiswa mempunyai daya kreativitas yang tinggi sehingga mampu melahirkan berbagai konsep pendidikan yang maju.

Kemajuan pendidikan kita lamban karena tidak ada ruang kreativitas untuk mengembangkan pendidikan sesuai tantangan zaman.

Baik guru-murid maupun dosen-mahasiswa tidak mendapat kesempatan berkreasi karena sistem pendidikan kita menganut pola jawatan-birokratis.

Seluruh kebijakan ditetapkan pemerintah dalam bentuk peraturan perundangan yang harus dipatuhi oleh baik guru-murid maupun dosen-mahasiswa layaknya sebuah instansi pemerintah.

Kita harus lebih semangat dan kreatif lagi.

Pasti Kita Bisa, Indonesia Bisa!.

Tulisan ini diperbaiki pada tanggal 13-04-2015.

Ucapan Permohonan Maaf dan Terima Kasih Kepada Kang Mohamad Rian Ari Sandi, atas koreksi tulisan di blog ini karena telah mengkopi tulisan beliau di kompasiana.

Ttd: Arip Nurahman

Salam Hormat Saya.

Apabila ada tulisan-tulisan sahabat pembaca blog ini yang kebetulan saya kopi dan tak sesuai dengan etika penulisan silahkan untuk diajukan untuk perbaikan.

Atas nama saya pribadi saya memohon maaf yang sebesar-besarnya.

Salam.


High Tech and High Touch

"The five essential entrepreneurial skills for success are: concentration, discrimination, organization, innovation and communication."
 ~Michael Faraday~ 

Sisi lain yang perlu dimaknai dengan hati yang terbuka dari penerapan Pendidikan, Sains, Teknologi, dan Seni berkualitas tinggi dari berbagai bangsa adalah bagaimana kita dapat menerapkannya terhadap masyarakat luas?

Atau bila tak dapat segera diaplikasikan minimal proses penyerapannya terhadap kebutuhan rakyat dapat dipercepat dan tak menimbulkan jeda waktu terlalu panjang.

Ipteks haruslah menyentuh sisi dimensi kemanusiaan sebagai akibat dari penerapannya, khususnya Ipteks tingkat lanjut (high-tech) pada masyarakat luas. Mengingat Iptek itu sendiri dalam dirinya (embodied) melekat kemungkinan "baik" dan "buruk".

 Penulis Berada di Pusat Penelitian Fisika, LIPI.

Mari bersama kita tingkatkan budaya belajar dan meneliti dengan penuh semangat, semoga dapat menjadi jalan bagi kita untuk berbakti kepada-Nya.

Amin.

Semoga.