Tuesday, 30 October 2012

Sinergi Pendidikan IMTAQ dan IPTEKS untuk Membangun Generasi Muda

Belajar dari Mimpi-Mimpi Para Pemuda


"Innallaha la yughayyiru maa biqawmin, hattaa yughayyiruu maa bi anfusihim”:
”Sesungguhnya Allah tidak mengubah nasib suatu kaum, sampai kaum itu mengubahnya sendiri” 
(Qs. Ar-Ra’du: 11)

Sumpah Pemuda versi orisinal:

Pertama : "Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia."

Kedoewa : "Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia."

Ketiga : "Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia."


84 Tahun yang lalu para pemuda Indonesia dari berbagai penjuru tanah air mendeklarasikan bersatunya Bangsa ini, dengan sebuah cita besar yang kala itu cita mereka oleh sebagian rakyat dianggap sebuah hal yg sulit bahkan mustahil, cita mereka adalah MERDEKA, merdeka dari segala bentuk penjajahan. 

Namun seiring dengan berjalannya waktu disertai semangat perjuangan tanpa henti, do'a dan segala bentuk pengorbanan-pengorbanan, cita yang nampaknya muskil itu ternyata menemui takdirnya, tahun 1945 Indonesia Merdeka.
Kini tantangan semakin besar, peran pemuda sebagai bahan bakar utama proses pengisian kemerdekaan dituntut untuk kembali membuat Bangsa ini menjadi besar, menjadi kuat dan hebat. Ratusan ribu bahkan jutaan mimpi dan harapan para pemuda untuk tanah air yang lebih baik mesti kita perjuangkan. 

Peranan pendidikan sebagai mesin pengolah putra-putri terbaik bangsa mesti ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya, agar pemuda Indonesia dapat berdiri tegap di tengah badai globalisasi yg kuat menerpa. 

Cita kita para pemuda membuat pendidikan tanah air, kedaulatan ekonomi dan ketahanan budaya bangsa semakin kuat dimasa datang mesti diperjuangan agar kelak anak cucu kita bangga terhadap perjuangan para pendahulunya. 


Founder Indonesia Mengajar: Prof. Anies Rasyid Baswedan, Ph.D., melantik para pengajar muda di Pusat Pendidikan Komando Pasukan Khusus (PUSDIK KOPASUS) Situ Lembang.

Generasi muda saat ini yang sepertinya kehilangan rasa kebangsaan dan nasionalismenya perlu digembleng dengan pendidikan yang serius dan berkelanjutan, wajib militer perlu digalakan bagi kalangan muda agar semangatnya kembali tumbuh, agar mereka dapat bertahan pada kondisi terburuk dalam hidup sekalipun.

Kita dapat belajar dari negeri gingseng Korea Selatan, meskipun taraf ekonomi dan peradaban IPTEKS-nya sudah maju, mereka tetap menerapkan wajib militer bagi para pemudanya, bahkan dari kalangan selebritis pun tak luput dari tugas negara ini.


"Untuk menemukan jati diri, kita mesti mengalami keadaan antara hidup dan mati, kekurangan air, kekurangan makanan, sehingga kita hanya berharap kehidupan hanya kepada Pencipta Alam Raya ini"
~Arip Nurahman~

PERANAN IMTAQ DAN IPTEKS

Peran Imtaq

Dimana peran Imtaq dalam pembangunan peradaban Indonesia Madani?
Maka jawabnya sangat jelas pada “jantung” peradaban itu sendiri.  Alasannya sederhana, karena  Indonesia Madani adalah masyarakat berperadaban tinggi dan maju yang berbasiskan pada nilai-nilai, norma, hukum, moral yang ditopang oleh keimanan; menghormati pluralitas; bersikap terbuka dan demokratis; dan bergotong royong menjaga kedaulatan negara.
Kalau kita karakterisasi lebih lanjut, maka pertama, unsur manusia menjadi obyek dan subyek.  Kedua, ruh dari peradaban madani adalah relijiusitas-keimanan.  Ketiga, tujuannya adalah kesejahteraan, keadilan, martabat dll. adalah nilai-nilai luhur yang merupakan diferensiasi dari nilai keimanan.
Dengan demikian domain peradaban madani ekuivalen dengan domain Imtaq sendiri, karenanya peran Imtaq menjadi urgen, strategis dan dominan dalam pembangunan peradaban Indonesia Madani.

Pertama, karena membangun peradaban madani ini bertumpu pada manusia sebagai obyek sekaligus subyek (aktor), maka pembangunan manusia ini perlu dijalankan secara terpadu antara sisi brain (aqliyah), mind (qolbiyah), dan body (jasadiyah).
 
Pada titik inilah pentingan Imtaq-spiritualitas-relijiusitas.  Membangun kecerdasan manusia Indonesia, kesalehan sosial, dan kemajuan budaya menuju peradaban madani atau dalam bahasa yang lebih operasional, menghapus kebodohan, kekerasan sosial, dan keterbelakangan budaya”, sebab kita memandang kebodohan (rendahnya kualitas pendidikan), kekerasan (hilangnya kesantunan dan kedamaian dalam menyelesaikan segala bentuk konflik), serta keterbelakangan (kemandegan dan kejumudan) sebagai musuh sosial bangsa memerlukan kecerdasan bukan hanya dari sisi intelektual/rasional (IQ), namun juga mencakup sisi emosional (EQ) dan spiritual (SQ), agar sempurnalah sosok manusia Indonesia yang kita citakan (insan kamil).
Sisi emosional dan spiritual perlu mendapat perhatian yang memadai dalam proses pembangunan manusia Indonesia ke depan. Manusia yang cerdas paripurna itu akan lebih mampu menanggung beban dan menghadapi segenap cobaan hidup (adeversity quotient/AQ) dalam menggerakkan roda dan sebagai subyek pembangunan bangsa.

Manusia yang seimbang antara sisi intelektual, emosional dan spiritual itu sangat menyadari posisi dirinya dan tujuan yang akan dicapainya. Mereka tidak akan mudah mengalami krisis identitas sebagaimana terlihat pada sebagian warga di sekelilingnya, sehingga mereka dapat berperan sebagai unsur pengubah lingkungan dan pengarah masyarakat untuk menuju masyarakat madani.

Mereka juga menyadari betul agenda reformasi yang harus diperjuangkan, dan sejalan dengan cita-cita kemerdekaan yang telah diproklamsikan sejak lama. Mereka tak mudah goyah dan larut dalam perubahan zaman, bahkan menjadi pilar penjaga nilai-nilai perjuangan dan membuat arus baru yang akan menyelamatkan masyarakat dari kebobrokan dan kehancuran sosial.

Kedua, ruh dari peradaban madani adalah keimanan.  Manusia yang cerdas tidak hanya memikirkan kepentingan dan keselamatan dirinya sendiri, tetapi memikirkan kepentingan dan keselamatan masyarakat umum. Mereka melawan egoisme dan individualisme, lalu bersungguh-sungguh menumbuhkan semangat kolektif dan solidaritas sosial tanpa pamrih.

Bagi insan kamil sebagai subyek masyarakat madani, kesalehan bukan hanya semata bermakna ketaatan menjalankan ritual agama dan ketentuan hukum, melainkan juga mengobarkan spirit agama yang membebaskan dan substansi hukum yang menjunjung keadilan dan kebenaran. Kesalehan (ascetism) berpangkal dari iman (faith) dan taqwa (pious), yang akhirnya melahirkan tindakan nyata yang bermanfaat bagi orang banyak.  Karenanya menjadi jelas bila Imtaq-spiritualitas-relijiusitas menjadi strategis dalam pembangunan peradaban Indonesia madani.

Aktor pembangunan masyarakat madani ialah mereka yang paling besar kontribusinya kepada masyarakat dan mengimplementasikan ketaatannya kepada Sang Khalik dengan berbuat kebajikan serta melayani semua makhluk. Kesalehan pribadi yang berakumulasi menjadi kesalehan publik akan membentuk lingkungan yang positif untuk berkembangnya seluruh potensi kemanusiaan (humanity) dan kewargaan (citizenry), melalui cermin peningkatan etos kerja, sikap terbuka akan kreasi dan inovasi baru, serta menguatnya solidaritas sosial.

Ketiga, tujuan akhir dari peradaban Indonesia madani adalah kesejahteraan, keadilan, martabat dll. yang merupakan nilai-nilai luhur diferensiasi dari nilai keimanan. Manusia madani berperan untuk menanggulangi krisis identitas dan modalitas bangsa; mengubah kondisi keterbelakangan menjadi kemajuan budaya. Kemajuan personal tidak hanya bersifat fisik, namun mengembangkan nilai-nilai universal kemanusiaan, sehingga tiap warga menyadari fungsi dan peran hidupnya sebagai seorang hamba, pemimpin, dan pembangun peradaban baru berbasis nilai-nilai keimanan. Kemajuan kolektif juga tak hanya bersifat fisik dan material, melainkan tumbuh suburnya nilai dan pranata keimanan, serta semakin menipisnya nilai dan pranata keburukan dan kemungkaran. Kemajuan budaya bagi suatu bangsa berarti bangsa ini menyadari kembali jati dirinya yang telah lama tererosi.

Jati diri itu antara lain sebagai bangsa pejuang yang membenci segala bentuk penindasan, bangsa yang mandiri dan menolak segala format ketergantungan, serta bangsa yang terbuka terhadap perubahan dan menolak eksklusifisme atau fanatisme sempit. Bangsa yang maju tak selalu berarti meninggalkan nilai-nilai relijius, tradisional dan lokal, sepanjang itu masih mencerminkan substansi kebaikan dan kebenaran universal.

Namun, bangsa yang maju adalah bangsa, yang mampu memadukan nilai-nilai modern yang lebih baik dengan warisan tradisional yang sesuai tuntutan zaman, yang berbasis keimanan.

Dengan demikian peran Imtaq menjadi urgen, strategis dan dominan dalam seluruh bangunan peradaban Indonesia Madani.  Imtaq menjadi ruh dan spirit peradaban Indonesia madani, yang menyediakan basis epos, etos dan elan vital dinamika transformasi bangsa menuju keunggulan.

Para Pemuda Pasukan Pengibar Bendera Pusaka


"Rasa takut adalah musuh terbesar diri, orang yang dapat membunuh rasa takutnya akan menemukan siapa dirinya"
~Arip Nurahman~

 Peran Ipteks

Sekarang, dimana peran Iptek dalam pembangunan peradaban Indonesia Madani?

 Perlukah sebuah rekonstruksi Iptek seperti di masa keemasan Islam?

Mungkin sulit kita mengulang prestasi itu, tapi kita pasti bisa.  George Sarton dalam Introduction: History of Science mewakili setiap setengah abad dengan satu tokoh ilmuwan.  Setelah abad Yunani dan China, maka berturut-turut sejak tahun 750-1100 M disebut oleh Sarton sebagai abad Jabir al Hayyan, Al Khawarizmi, Al Razi, Masudi, Ibnu Wafa, Ibnu Sina, Al Biruni, Ibnu al Haytsam, dan Umar Khayam.
Baru sejak tahun 1100 M muncul nama-nama Eropa seperti Roger Bacon dan Gerard de Cremona, menyusul Galileo, Kepler serta Issac Newton.  Sampai 250 tahun setelah itu, pemikiran sains masih didominasi oleh tokoh-tokoh Muslim seperti Ibnu Rusyd, Nasiruddin Al Tusi, dan Ibnu Navis.

Menurut Abdus Salam Peraih Nobel Fisika, untuk maju di bidang Iptek, maka diperlukan komitmen, kemandirian, Hardware yang kuat, dan manajemen yang tangguh.  Ketika Al Ma’mun (785-833M) berkuasa, komitmen itu terlihat, karenanya harus diakui gerakan keilmuan Islam menampakkan fajarnya.  Al Kindi adalah tokoh rasional masa itu yang mengembangkan filsafat (falasifah) dan salah satu tokoh gerakan penerjemahan sistematik.
Al Ma’mun mensponsori gerakan intelektual ini dan menghimpun para ilmuwan di istananya serta membangun perpustakaan besar Bayt Al Hikmah.  Dan merupakan tokoh yang paling berpengaruh bagi kemajuan ilmu pengetahuan umat di Abad Pertengahan.  Minat Al Ma’mun terhadap Astronomi, matematika dan kedokteran dapat dengan mudah difahami, karena disiplin-disiplin ilmu ini menyatu dalam kehidupan harian umat.  Ia pun menerjemahkan banyak karya filsafat Plotinus dan mazhab Alexandria lainnya.
Pengembangan Iptek Islam terus berlanjut.  Bahkan pada masa kesultanan Buwaih tiga abad setelah Al Ma’mun ilmu pengetahuan umat mencapai puncaknya.  Filosof dan ilmuwan Islam besar eksis pada masa ini seperti Ibnu Sina, Al Farabi, Al Biruni dlsb.

Namun, kondisi umat kini sudah berubah.  Abdus Salam, peraih Nobel Bidang Fisika tahun 1979 bersama-sama Sheldon L. Glashow dan Steven Weinberg mengembangkan risetnya di Cambridge University, London University dan ICTP (International Center for Theorytical Physics) di Italia bukan di Pakistan.  Al Azhar yang berumur ratusan tahun masih harus kita tunggu prestasi keilmuan kauniyahnya.

Karenanya secara normatif dan bahkan terbukti oleh sejarah, bahwa pembangunan peradaban material sangat bertumpu pada pembangunan Iptek.  Iptek adalah engine for tommorow.  Agar pembangunan Iptek memiliki dampak nyata bagi pembangunan peradaban, maka ia harus bersinergi dan terintegrasi serta membentuk Sistem Inovasi Nasional.

Paling tidak ada 4 alasan yang menghajatkan orientasi pembangunan Iptek menuju Sistem Inovasi Nasional.

Pertama Iptek adalah hasil olah akal-budi yang mengelola ide menjadi penemuan (invention).  Penemuan ini akan menemui maknanya yang utuh dalam praksis (praxis) ketika menghasilkan nilai tambah (value added) secara ekonomi-sosial-hankam.  Proses value creation inilah yang kita sebut sebagai inovasi (innovation).  Dengan demikian, Iptek akan bermanfaat dalam praksis kehidupan ketika ia telah tumbuh menjadi inovasi.

Kedua, Iptek adalah hasil olah akal-budi yang mengelola ide melalui suatu proses pembelajaran (learning) yang terus-menerus melintasi ruang-waktu generasi.  Ide dapat merambat (menginspirasi), berkembang, dan saling menguatkan.  Karenanya iklim yang kondusif bagi penumbuh suburan ide adalah ruang yang memungkinkan bagi interaksi, sinergi, share dari ide-ide.  Jaringan (network) yang membentuk sistem untuk mengelola ide menjadi inovasi adalah sebuah keniscayaan.  Dengan demikian, pembangunan inovasi menuntut pendekatan sistem.

Selain itu, Iptek bukanlah  sebuah sektor, seperti pertanian atau industri, tetapi serupa dengan Lingkungan Hidup, Iptek adalah bidang pembangunan yang melekat pada setiap sektor, merupakan factor sukses dari sektor-sektor tersebut. Pembangunan Iptek secara sendirian dan mandiri akan menjadi "menara gading" dan sebuah enclave.  Namun tanpa Iptek, sektor-sektor lain tidak akan mampu meningkatkan produktivitas dan daya saing mereka. Secara lugas kita dapat menempatkan Iptek sebagai engine of growth dan power for competitiveness.  Karenanya pembangunan Iptek dan penguatan Sistem Inovasi Nasional menuntut koordinasi dan sinergi.

Ketiga, Reformasi adalah proses yang mengokohkan demokratisasi yang berujung pada peningkatan kesadaran publik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.  Kesadaran ini menghasilkan peningkatan aspirasi dan kontribusi (peran) masyarakat dalam pembangunan nasional.  Karenanya pendekatan para pihak (multi stake holders) dalam mengelola pembangunan menjadi prasyarat yang makin menonjol.  Dengan demikian pembangunan Iptek akan lebih diorientasikan untuk memperhatikan kebutuhan masyarakat (demand driven oriented), ketimbang mengembangkan pendekatan yang berat ke arah supply push technology (market pull).

Keempat, perkembangan global yang makin cepat, kesadaran publik yang makin tinggi, serta diferensiasi tugas komponen negara yang semakin tajam menuntut redefinisi peran Negara.  Semakin maju suatu bangsa, maka peran Negara harus semakin efisien pada wilayah-wilayah strategis saja. Dengan demikian, negara akan lebih diposisikan menjadi stabilisator, fasilitator dan dinamisator.



Prof. Yohanes Surya, Ph.D. bersama para pemuda Team Olimpiade Fisika Indonesia saat Menjadi Juara Dunia 
The Absolute winner dalam Olimpiade Fisika Internasional di Singapura.

Pelaku utama perubahan (transformasi) adalah masyarakat.  Karenanya diffusion oriented yang menyebarkan hasil-hasil riset dan teknologi ke dalam masyarakat, sehingga dapat langsung dimanfaatkan untuk kepentingan daya saing industri, layanan masyarakat atau national security menjadi lebih mendapat prioritas.

Dengan demikian, kunci sukses untuk mengintegrasikan Iptek dengan peradaban masyarakat madani adalah inovasi. Kita memerlukan inovasi untuk memerangi kebodohan, kemiskinan, dan untuk memacu pertumbuhan menjadi bangsa yang terhormat, maju dan kompetitif.  Sistem inovasi nasional mesti dibangun dan menjadi bagian integral dari peradaban kita.  Artinya kita akan membangun bangsa inovasi (innovation nation) sebagai pilar kokoh bagi peradaban Indonesia madani.

Terkait dengan kinerja Sistem Inovasi Nasional kita, saya ingin mengungkap data dari Global Competitiveness Index (WCI), World Economic Forum (WEF). Pada tahun 2010, peringkat daya saing Indonesia meningkat dari urutan ke-54 menjadi peringkat ke-44.  Dari 12 pilar yang ada dalam Global Competitiveness Index, untuk pilar Kesiapan Teknologi (technological readiness) kita menempati peringkat ke-91, berada di bawah negara-negara ASEAN, kecuali terhadap Filipina.
Technological readiness adalah indikator yang mencerminkan sejauh mana industri maupun masyarkat kita, secara umum, mempunyai kesiapan untuk menyerap teknologi dalam rangka meningkatkan produktifitas industri dan kemampuan ekonomi mereka. Rendahnya aspek ini menunjukkan bahwa industri dan masyarakat kita secara umum belum banyak memanfaat teknologi, baik teknologi yang dikembangkan di dalam negeri, maupun teknologi yang didatangkan dari luar negeri.

Sedang untuk pilar Inovasi, Indonesia menempati peringkat ke-36, berada di atas negara-negara ASEAN, kecuali Singapura dan Malaysia. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan anak-anak bangsa dalam pengembangan inovasi sesungguhnya tidak perlu diragukan.

Membangun peradaban Indonesia Madani memerlukan dukungan Imtaq dan Iptek.  Karena sudah sangat jelas pilar utama masyarakat madani adalah SDM-manusia.  Manusia yang terdiri dari darah dan daging, dapat tegak berdiri hanya dan hanya jika “ruh” ada di dalamnya.

Kekuatan ruh menjelma dalam akal (rasio)  dan hati (mind).  Itulah mengapa Imtaq dan Iptek menjadi kepakan dua sayap, yang harus mengembang secara harmonis, sebab yang kita ingin bangun adalah peradaban yang digusung oleh manusia yang memiliki Integritas (Ilahiyah-Insaniyah-Wathoniyah),  Akseptabilitas dan Profesionalitas, manusia yang punya kredibilitas (intelek sekaligus relijius).

Pembangunan peradaban madani bukan hanya memerlukan kecerdasan akali tetapi juga qolbi bukan hanya rasional-intelektual, tetapi juga sarat aturan moral-spiritual.

Inilah pembangunan yang bukan hanya menuai keberkahan “bumi”, tetapi juga restu dari “langit”, amin ya rabbal ‘alamin.
Tribuana Chandraca Satya Dharma Cahaya Chandraca
 BERANI, BENAR, BERHASIL

~Pengajar Muda Berada di PUSDIK KOPASUS Situ Lembang, Gunung Burangrang~
 

"Mari kita melahirkan generasi muda yang mempunyai world class quality leadership with grass root understanding"

~Arip Nurahman~


Wallohualam Bissawab

Semangat Para Pemuda 

Semangat Generasi Muda Indonesia


Sumber:

1. https://indonesiamengajar.org/
Prof. Anies Rasyid Baswedan, Ph.D.

2. http://ristek.go.id/
Dr. Suharna Surapranata, M.T.

3. http://www.tofi.or.id/
Prof. Yohanes Surya, Ph.D.

Friday, 26 October 2012

Memahami Perjalanan Spiritual Nabi Ibrahim Dari Sudut Pandang Ilmiah

 Ketika Planet-Planet Bertawaf 

"Ya Rabbana Izinkanlah suatu hari nanti kami, orang tua, keluarga dan sahabat-sahabat serta orang-orang yang telah mengajarkan kebaikan kepada kami untuk dapat mengunjungi tanah suci dan meneladani kebaikan para Nabi-Mu"

Tiada kata yang patut disampaikan dan tiada kalimat yang pantas diucapkan kecuali puja dan puji syukur kehadirat Allah S.W.T Yang Maha Ada. Allah SWT Yang Maha Ada sebelum alam semesta ini ada, Allah SWT Yang Ada sebelum kita seluruh manusia di bumi ini ada, dan Allah Yang Maha ada sebelum kata ada itu ada, bahkan Allah SWT Yang Maha ada walaupun suatu saat kata ada sudah tiada.

Tiada kemenangan tanpa perjuangan dan tiada perjuangan tanpa pengorbanan, Kita kembali mengulang dan mengenang tentang kisah perjuangan dan pengorbanan hamba Allah yang shaleh, yang telah mencapai puncak dan hakekat dari sebuah makna perjuangan dan pengorbanan, yang karena perjuangan dan pengorbanannya beliau lulus dengan predikat dan gelar "Khaliluloh" yaitu orang yang mencintai dan dicintai Allah, beliaulah NabiyaAllah Ibrahim yang dikenal di dunia barat sebagai Abraham. Bapak para Nabi, sumber dari seluruh agama dan kepercayaan langit (Yahudi, Keristen dan Islam). Pendiri baitullah.

Kisah perjuangan dan pengorbanan Nabi Ibrahim berserta keluarga bukanlah sekedar dongeng yang hanya untuk meninabobokan anak kita, Kisah Nabi Ibrahim bukan pula seperti novel dan bukan cerita yang setelah kita  baca kita tinggalkan begitu saja, Kisah Nabi Ibrahim bukan pula layaknya telenovela dan sinetron yang biasa kita tonton, lantas meninggalkan kita tanpa makna dan bekas.

Sesungguhnya kisah perjuangan dan pengorbanan Nabi Ibrahim adalah pelajaran terpenting bagi siapapun hamba Allah yang ingin mencapai derajat taqwa, kisah Nabi Ibrahim adalah tuntunan hidup suci bagi hamba Allah yang ingin menggapai perjuangan dan pengorbanan hakiki, Kisah Nabi Ibrahim adalah contoh dan teladan yang penuh arti bagi siapa pun hamba Allah yang merindukan Tauhid Murni pedoman untuk mencapai kehidupan abadi.


Kisah Pencarian Tuhan oleh Nabi Ibrahim

Nabi Ibrahim: "Wahai ibu dan ayahku, siapa yang telah menjadikan aku ini?

Jawab Ayahnya :''Ayah dan Ibu yang menjadikan kamu, karena kamu lahir disebabkan kami".

Kemudian Nabi Ibrahim bertanya lagi: "Dan siapa pula yang menjadikan Ayah dan Ibu?

Jawab orang tuanya: "Ya Kakek dan nenekmu."

Demikian tanya jawab seterusnya sampai ketitik puncak.

Nabi Ibrahim menyatakan: "Siapakah orang pertama yang menjadikan semua ini?

Maka orang tuanya tidak bisa menjawab, karena mereka tidak tahu kepada Tuhan.

Ibrahim kemudian bertanya kepada orang lain, namun mereka semua tidak bisa menjawab.

Nabi Ibrahim kemudian menggunakan akal dan fikirannya untuk mencari Tuhan Sang Pecipta alam semesta ini, karena akal manusia sangat terbatas, nabi Ibrahim pun gagal untuk mengetahui siapa sebenarnya yang telah menciptakan alam semesta ini. 

Firman Allah SWT: (QS. Al-An'am: 76-79)

"Falammaa janna 'alayhi allaylu raaa kawkaban qaala haadzaa rabbii falammaa afala qaala laa uhibbu al-aafiliina"

76. Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam."

"Falammaa raaa alqamara baazighan qaala haadzaa rabbii falammaa afala qaala la-in lam yahdinii rabbii la-akuunanna mina alqawmi aldhdhaalliina

77. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat."

"Falammaa raaa alsysyamsa baazighatan qaala haadzaa rabbii haadzaa akbaru falammaa afalat qaala yaa qawmi innii barii-un mimmaa tusyrikuuna

78. Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar". Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.

"Innii wajjahtu wajhiya lilladzii fathara alssamaawaati waal-ardha haniifan wamaa anaa mina almusyrikiina"

79. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.


Ketika hari telah malam, Ibrahim melihat bintang, katanya: "Inilah Tuhanku...?"
Maka setelah dilihatnya bintang terbenam, ia berkata: "Saya tidak akan berTuhan pada yang terbenam."
Kemudian ketika melihat bulan purnama, iapun berkata lagi: "Inilah Tuhanku...?"

Setelah bulan itu lenyap, lenyap pula pendapatnya berTuhan kepada bulan itu, seraya berkata:
"Sungguh kalau tidak Tuhan yang memberi petunjuk, tentu saya menjadi sesat."

Maka ketika siang hari, nampak olehnya matahari yang sangat terang, ia pun berkata:
"Inikah Tuhanku yang sebenarnya...? Inilah yang lebih besar."
Setelah matahari terbenam, iapun berkata: "Hai kaumku! Saya tidak mau mempersekutukan Tuhan seperti kamu. Saya hanya berTuhan kepada yang menjadikan langit dan bumi dengan ikhlas dan sekali-kali saya tidak mau menyekutukanNya."

Itulah cara Nabi Ibrahim as. mencari Tuhan dengan menggunakan akal fikiran untuk memperhatikan alam sekitarnya. Awwaluddin ma'rifatullah, yaitu awal agama adalah mengenal Allah, barangsiapa yang ingin mengenal Allah, maka kenali dirinya baru ia akan mengenal siapa Allah itu sesungguhnya, siapa Tuhan itu dan dimana Allah itu, kenapa kita wajib menyembahnya.



Ketika Bintang-Bintang Bertawaf mengelilingi Pusat Galaksi

Memahami Sejarah Ibadah Haji Dari Sudut Pandang Ilmiah

Kita dapat memaknai fenomena thawaf. Ratusan ribuan orang yang berthawaf, silih berganti tanpa henti, terlihat seperti  ribuan asteroid, komet, dan planet yang mengitari matahari. Atau seperti milyaran bintang di galaksi bima sakti yang mengitari pusat galaksi. Mereka adalah miniatur alam semesta yang tak pernah membangkang kehendak Khaliqnya, Allahu Rabbul ‘alamin. Sejak penciptaannya mereka tetap taat mengikuti hukum-hukum Allah.

Makhluk langit (bintang-bintang dan benda-benda langit lainnya) ‘disempurnakan’ (fasawwahaa) dengan kematian dan kelahiran bintang-bintang. Hukum Allah mengendalikan evolusinya dan dinamikanya yang dicirikan dengan gerakan mengitari pusat massanya. Bulan mengitari bumi. Bumi dan planet-planet mengitari matahari. Matahari dan milyaran bintang mengitari pusat galaksi. Dalam bahasa fisika, gerakan benda-benda langit akibat gaya gravitasi. Dalam bahasa Alquran, gerakan itu bukti ketaatan langit dan bumi kepada Khaliq-nya, tanpa tawar-menawar sesuai janjinya.

Dia (Allah) berkata kepada langit dan bumi, “Datanglah kalian dengan taat atau terpaksa”. Keduanya menjawab, “Kami datang dengan taat”. (QS 41:11)

‘Mengelilingi sesuatu’ disebut thawaf. Alam berthawaf sebagai bukti ketaatannya kepada Allah. Secara jasmani, tubuh manusia pun taat pada hukum-Nya dengan terus berthawaf bersama alam tanpa bisa kita tolak. Namun secara ruhani, manusia berpotensi membangkang. Padahal, seperti halnya alam, manusia pun dalam salah satu tahapan perkembangannya di rahim telah berjanji untuk taat kepada Allah.

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak  Adam dari sulbi mereka dan Allah  mengambil kesaksian terhadap jiwa  mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi (QS 7:172)

Dengan merenungi ketaatan alam, thawaf pada ibadah haji dan umrah semestinya menyadarkan akan janji manusia tersebut. Tujuh kali mengitari kabah merupakan perlambang jumlah putaran yang tidak berhingga, terus menerus, seperti thawafnya alam semesta. Langit dan bumi adalah makluk fisik yang tidak berjiwa, tidak mempunyai kemampuan berkreasi. Mereka mengerjakan sebatas ‘program’ yang telah ditetapkan penciptanya, tidak ada kemampuan lebih dari itu. Karenanya ketika amanat diberikan Allah mereka menolaknya.

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh 
(QS 33:72).

Jasad manusia pun benda fisik yang tidak berbeda dengan alam. Unsur kimiawinya yang didominasi karbon, hidrogen, oksigen, dan nitrogen juga terdapat di alam. Gerakannya pun mengikuti hukum yang berlaku di alam. Bila terpeleset akan jatuh ke bawah, sama seperti jatuhnya batu. Bila mati akan terurai bersatu kembali dengan tanah.

Secara jasmaniah, manusia memang sudah terikat dengan janji ketika langit dan bumi diciptakan. Namun, manusia bukan sekadar jasmani, tetapi ada bagian ruhani yang menjadi ciri dasar kemuliaan dan kelebihan manusia dibandingkan makhluk lainnya.

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan  makhluk yang telah Kami ciptakan.  (QS 17:70). 

Manusia dipercaya sebagai khalifah di bumi dan diberi pengajaran yang tidak diberikan kepada malaikat (QS 2:30-32), hingga malaikat pun diperintahkan Allah untuk bersujud.

Allah memang menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang  sebaik-baiknya. (QS 95:4). 

Namun keistimewaan itu bersyarat, bila sejumlah kelemahannya dapat dikendalikan agar tidak mendominasi. Manusia punya kecenderungan tidak sabar, banyak berkeluh kesah, dan kikir.

Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. (QS 70:19). 

Manusia juga lemah.

Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia  dijadikan bersifat lemah. (QS 4:28). 

Juga bersifat tergesa-gesa.

Dan manusia mendo’a untuk kejahatan sebagaimana ia mendo’a untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa.  (QS 17:11). 

Kelemahan-kelemahan seperti itu terkait dengan catatan Allah bahwa manusia itu zalim dan bodoh, walaupun sanggup memegang amanat yang berat (QS 33:72). Dengan segala potensi keunggulan dan kelemahannnya itu manusia pun bisa jatuh ke tempat yang serendah-rendahnya bila tidak disertai iman dan amal shalih.

Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka)  (QS 95:5). 

Thawaf saat berhaji yang menirukan gerakan langit dan bumi mengingatkan akan janji hakiki saat awal makhluk diciptakan-Nya. Alam semesta telah berjanji untuk taat kepada Allah. Manusia pun telah berjanji untuk bertauhid kepada-Nya. Namun manusia sering membangkang karena kejumudannya, kebekuan akalnya, hilang rasionalitasnya. Kebenaran ilahiyah kadang diabaikannya karena kesombongan duniawi yang ditonjolkan.


Memahami makna ibadah haji, membutuhkan pemahaman secara khusus sejarah Nabi Ibrahim dan ajarannya, karena praktek-praktek ritual ibadah ini dikaitkan dengan pengalaman-pengalaman yang dialami Nabi Ibrahim as. bersama keluarga beliau. Ibrahim as. dikenal sebagai "Bapak para Nabi", juga "Bapak monotheisme," serta "proklamator keadilan Ilahi" kepada beliaulah merujuk agama-agama samawi terbesar selama ini.

Para ilmuwan seringkali berbicara tentang penemuan-penemuan manusia yang mempengaruhi atau bahkan merubah jalannya sejarah kemanusiaan. Tapi seperti tulisan al-Akkad, "Penemuan yang dikaitkan dengan Nabi Ibrahim as. merupakan penemuan manusia yang terbesar dan yang tak dapat diabaikan para ilmuwan atau sejarawan, ia tak dapat dibandingkan dengan penemuan roda, api, listrik, atau rahasia-rahasia atom betapa pun besarnya pengaruh penemuan-penemuan tersebut, ... yang itu dikuasai manusia, sedangkan penemuan Ibrahim menguasai jiwa dan raga manusia."

Penemuan Ibrahim menjadikan manusia yang tadinya tunduk pada alam, menjadi mampu menguasai alam, serta menilai baik buruknya, penemuan yang itu dapat menjadikannya berlaku sewenang-wenang, tapi kesewenang-wenangan ini tak mungkin dilakukannya selama penemuan Ibrahim as. itu tetap menghiasi jiwanya ... penemuan tersebut berkaitan dengan apa yang diketahui dan tak diketahuinya, berkaitan dengan kedudukannya sebagai makhluk dan hubungan makhluk ini dengan Tuhan, alam raya dan makhluk-makhluk sesamanya ..."

"Kepastian" yang dibutuhkan ilmuwan menyangkut hukum-hukum dan tata kerja alam ini, tak dapat diperolehnya kecuali melalui keyakinan tentang ajaran Bapak monotheisme itu. Dengan demikian monoteisme Ibrahim as. bukan sekedar hakikat keagamaan yang besar, tapi sekaligus penunjang akal ilmiah manusia sehingga lebih tepat, lebih teliti lagi, lebih meyakinkan.
Apalagi Tuhan yang diperkenalkan Ibrahim as. bukan sekedar tuhan suku, bangsa atau golongan tertentu manusia, tapi Tuhan seru sekalian alam, Tuhan yang imanen sekaligus transenden, yang dekat dengan manusia, menyertai mereka semua secara keseluruhan dan orang per orang, sendirian atau ketika dalam kelompok, pada saat diam atau bergerak, tidur atau jaga, pada saat kehidupannya, bahkan sebelum dan sesudah kehidupan dan kematiannya.
Bukannya Tuhan yang sifat-sifat-Nya hanya monopoli pengetahuan para pemuka agama, atau yang hanya dapat dihubungi mereka, tapi Tuhan manusia seluruhuya secara universal.

Ajaran Ibrahim as. atau "penemuan" beliau benar-benar merupakan suatu lembaran baru dalam sejarah kepercayaan dan bagi kemanusiaan, walaupun tauhid bukan sesuatu yang tak dikenal sebelum masa beliau, demikian pula keadilan Tuhan, serta pengabdian pada yang hak dan transenden. Namun itu semua sampai masa Ibrahim bukan merupakan ajaran kenabian dan risalah seluruh umat manusia.
Di Mesir 5.000 tahun lalu telah dikumandangkan ajaran keesaan Tuhan, serta persamaan antara sesama manusia, tapi itu merupakan dekrit dari singgasana kekuasaan yang kemudian dibatalkan oleh dekrit penguasa sesudahnya.

Ibrahim datang mengumandangkan keadilan Ilahi, yang mempersamakan semua manusia dihadapan-Nya, sehingga betapa pun kuatnya seseorang. Ia tetap sama di hadapan Tuhan dengan seseorang yang paling lemah sekali pun, karena kekuatan si kuat diperoleh dari pada-Nya, sedangkan kelemahan si lemah adalah atas hikmah kebijaksanaan-Nya. Dia dapat mencabut atau menganugerahkan kekuatan itu pada siapa saja sesuai dengan hukum-hukum alam yang ditetapkan-Nya.
Keteladanan yang diwujudkan dalam bentuk ibadah tersebut dan yang praktek-praktek ritualnya berkaitan dengan peristiwa yang beliau dan keluarga alami, pada hakikataya merupakan penegasan kembali dari setiap jamaah haji, tentang keterikatannya dengan prinsip-prinsip keyakinan yang dianut Ibrahim, yang intinya adalah:

1. Pengakuan Keesaan Tuhan, serta penolakan terhadap segala macam dan bentuk kemusyrikan baik berupa patung-patung, bintang, bulan dan matahari bahkan segala sesuatu selain dari Allah swt.


2. Keyakinan tentang adanya neraca keadilan Tuhan dalam kehidupan ini, yang puncaknya akan diperoleh setiap makhluk pada hari kebangkitan kelak.


3. Keyakinan tentang kemanusiaan yang bersifat universal, tiada perbedaan dalam kemanusiaan seseorang dengan lainnya, betapa pun terdapat perbedaan antar mereka dalam hal-hal lainnya.



  Atom dan Partikel Sub-Atom sedang bertawaf

Perjalan haji diawali dengan niat untuk memenuhi panggilan Allah SWT. Niat memenuhi panggilan Allah ini disebut oleh Allah dengan perintah untuk merenungkan posisi dirinya sebagai manusia dan hambanya Allah. Perenungan ini diperintahkan Allah dilakukan di Arafah (Wukuf). Penempatan Wukuf di Arafah ini untuk dapat mengingat nenek moyang manusia yaitu Nabi Adam AS yang pertama kali hidup menyadari kesalahannya melanggar perintah Allah. 

Sesudah si hamba sadar tentang posisi dirinya dan misi yang akan diembannya serta niat yang telah dinyatakannya untuk memenuhi panggilan Illahi untuk kerumah-Nya Baitullah, maka selanjutnya Allah memerintahkannya untuk mentauladani perjalan Ibrahim beserta keluarganya yang telah berteguh hati mentauhidkan Allah sepanjang hidupnya walau senantiasa mengahadapi ujian yang berat. 

Sihamba diperintahkan untuk merealisasikan niatnya itu dengan mengikuti jalan Ibrahim meninggalkan Arafah menuju Muzdalifah. Sesampainya di Muzdalifah si hamba diperintahkan untuk bermalam sejenak sebagai persiapan diri baik secara mental maupun fisik untuk perjalanan menghampiri Allah SWT. Persiapan ini perlu dilakukan untuk menghampiri Allah akan dihadang oleh ujian, baik internal maupun eksternal. Ujian internalnya berupa keinginan-keinginan manusia, sedang ujian eksternalnya adalah setan yang akan selalu menghadangnya. 

Dua bentuk rintangan itu haruslah ditaklukan terlebih dahulu, barulah sihamba akan berhasil menghampiri Khaliknya Allah SWT. Penaklukan terhadap dua bentuk rintangan itulah yang diperintahkan oleh Allh SWT dalam bentuk mabit di Mina yang merupakan perlambang jauhnya dari kenyamanan hidup dan jauh dari apa yang diinginkan manusia dan melempar Jumrah selama di Mina. 

Dengan keberhasilan si hamba mengalahkan rintangan di Mina, maka ia harus dapat menghampiri Allah Azza wa Jalla dengan melakukan thawaf ke Baitullah Ka'bah. Akan tetapi sesaat ia telah menyelesaikan thawafnya yang merupakan perlambang penghampirannya kepada Allah, si hamba diperintahkan untuk tidak melupakan nasibnya dalam hidup di dunia ini dengan berusaha mencari karunia (rizki) dari Allah baik untuk dirinya maupun untuk orang-orang lain, yang hal ini diperlambangkan dengan amal sa'i, yang diambil dari peristiwa istri Nabi Ibrahim berkali-kali mencari air untuk kehidupannya dan bayi Ismail yang dilahirkannya. 

Siti Hajar telah berusaha tanpa berputus asa walau ia diuji dengan kegagalan demi kegagalan, dan pada akhirnya Allah memberikan karunia dari arah yang tidak disangkanya, yaitu di dekat bayi Ismail yang ditinggalkannya (berupa air Zam-zam). 

Demikian sebagai hikmah yang dapat dipetik dari Kisah Perjalanan Spiritual Nabi Ibrahim dan syariat peribadatan haji, semoga Allah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua.

Amin.

Do'a-Do'a Nabi Ibrahim
 "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".
~QS Al-baqarah (2) Ayat 127~

"Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang."
~QS Al-Baqarah (2) Ayat 128~

Wallohualam Bissawab.

Sumber:

1. Prof. H. Thomas Djamaluddin, M.Sc., D.Sc.
Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, Deputi Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).
2. Drs. H. Saeful Karim, M.Si.
(Dosen Termodinamika, Pendidikan Fisika Universitas Pendidikan Indonesia, Pendiri Pondok Pesantren Myskatul Anwar, Penasehat Spiritual Mentri, TNI-Polri dan Pemimpin Daerah )
3. Andi Muhammad Ali (Penulis Blog)
4. Achtal Basyuni, M.Pd. (Anggota Pusat Sumber Belajar SMA KEMENDIKBUD)
5. Ustadz H. Komarudin Kholil, M.Ag. (Pengajar di Pondok Pesantren Da'arut Tauhid, Bandung, Jawa Barat. Indonesia)

Tuesday, 23 October 2012

Mentafakuri Karya Agung Sang Pencipta Melalui Fisika



Dari mana kita berasal?

Siapa kita ini?

Untuk apa kita ada?

Dan Hendak kemana kita akan pergi pada akhirnya?

Terkadang kita terlalu tersibukan dengan rutinitas yang kita hadapi setiap hari, hingga kita jarang bertanya kepada diri untuk apa kita ada dan kemana kita akan pergi setelah tiada?

Kesadaran sebagai puncak kecerdasan dan kemanusiaan seolah sirna dengan hiruk pikuk jasadiah yang senantiasa berinteraksi dengan alam materil mayapada.

Sehingga sering kali kita lupa, lupa akan siapa kita dan dari mana kita berasal.

Kesadaran dan kemampuan pemikiran yang kita miliki sebagai pembeda dengan makhluk lain kadang tak digunakan semestinya.

Bukankah menjadikan udara yg kita hirup, tanah yg kita pijak, air yang kita minum sebagai sarana mengenal pencipta alam ini adalah tujuan kita?

Lalu kepada siapa lagi kita meminta petunjuk dan jawaban untuk melapangkan segala keluh susah hidup?

Kepada siapa kita meminta keterbukaan hati dan keluasan samudra jiwa?

Apa mungkin mengkaitkan Sufisme dan Fisika Modern?
Sufisme atau tasawuf biasanya dikaitkan dengan tazkiyat al nafs (mensucikan diri), ishlah al qalb (pembersihkan hati) dari akhlak-akhlak tercela, pendekatan diri kepada Tuhan serta kehidupan spiritual lainnya. 

Sementara Fisika merupakan ilmu modern untuk menerangkan interaksi antara energi dan materi mulai dari partikel-partikel elementer seperti quark, elektron, dan proton sampai benda-benda makroskopis seperti bintang dan galaksi. Fisika berkaitan dengan materi yang tangible (dapat dipegang) atau hal-hal yang dapat diterangkan secara rasional. 

Titik kontras yang lain adalah pandangan awam bahwa belajar tasawuf atau menjadi sufi sering disalahartikan sebagai suatu bentuk kehidupan yang agak egoistik.

Untuk mencapai tujuan, seorang sufi dipersepsikan musti meninggalkan kehidupan material keduniaan, meninggalkan keramaian, mengasingkan diri dari pergaulan manusia, bahkan sampai ekstrimnya berhubungan dengan manusia hanya akan menganggu dirinya untuk bercengkerama dengan Tuhan. 

Sementara untuk belajar Fisika, yang pertama kali dihadapi adalah benda yang ditemui sehari-hari, dan kemudian dilihat sifat dan perilaku material, serta kemudian dilakukan percobaan atau pengamatan di laboratorium atau di lapangan sehingga ditemukan hukum-hukum Fisika yang obyektif, dapat diulang dan konsisten.

Hal-hal yang bersifat spiritual atau yang tidak rasional harus ditinggalkan di Fisika. Belajar Fisika dapat dilakukan oleh semua orang pada semua jenjang, namun untuk belajar menjadi sufi seseorang harus melewati suatu maqam-maqam tertentu yang tidak mudah.

Sekilas tampak sekali susah mencari titik temu antara keduanya, perbedaan-perbedaan tersebut terjadi makin jelas antara Fisika klassik (Newtonian) dengan praktek-praktek yang tampak dari luar Sufisme.

Namun dalam tatanan Fisika modern dan filosofi Sufisme ternyata terjadi banyak kemiripan. Sebagai contoh: bahasa yang digunakan Fisika modern dan Sufisme merupakan bahasa metafora. 

Hal ini merujuk kepada suatu realitas yang lebih dalam, pada hal-hal yang tidak dapat diterangkan, paradoks dan yang tidak masuk akal. Penjelasan metafora untuk menyatakan misteri yang tersembunyi dari realitas metafisik dan energi-energi di luar pemahaman manusia.


Semoga Ilmu dan segala kegiatan yang kami lakukan dapat mendekatkan diri ini pada Mu Ya Rabbana, Melapangkan dada kami, membukakan mata qolbu kami, menjadi penebus segala salah serta khilaf di masa lalu, sekarang dan yang akan datang.



"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." [QS Ali 'Imran 3:190-191]


Wallohualam Bissawab.
   
Sumber: Muhammad Hikam, M.Sc., Ph.D.

Doctor en Sciences et Genie des Materiaux, Université de Nancy I Vandoeuvre, France.

Saturday, 20 October 2012

Southeast Asia Astronomy Network Meeting

The 4th SEAAN meeting aims to promote cooperation in the field of education, research and popularization of astronomy among Southeast Asian member countries. It divided into scientific and business sessions. 


Ilmuwan dan Guru Muda Bersama para pemakalah di SEAAN Meeting ke-4

Session I
(5 speakers)

Chair: Prof. Dr. Suhardja D. Wiramihardja

1. Dr. Lim Jit Ning: Astronomy Research and Education at a Singapore High School

2. Dr. Judhistira Aria Utama: Reliability Test of Visibility Function Prediction on Lunar Crescent Data in Indonesia

3. Prof. Dr. Moedji Raharto: Astronomical Phenomena and National Holiday on Calendar

4. Dr. Nur Hasanah: Statistical Model for Predicting Weather Through Lunar Phase - Meteorological Phenomena Relationships in Makassar City

5. Dr. Premana W. Premadi: Envisioning the Advancement of Astronomy and Astrophysics for the Next Ten Years



Session II
(4 speakers)

Chair: Hesti T. Wulandari, M.Sc., Ph.D.

1. Dr. Hasan Abu Kassim: Nuclear Astrophysics Research in Malaysia

2. Dr. Soheila Abdollahi: Simulations on Energy Spectrum Sensitivity of an Array Consisting 20 Scintillation Detectors Which will Situated at Alborz Cosmic Ray Observatory

3. Dr. Maedeh Fazlalizadeh: Observation of Geomagnetic Field Effect over Simulated Extensive Air Showers using CORSIKA Code

4. Dr. Taufiq Hidayat: Developing Radio Astronomy at the Bosscha Observatory



Physics Students from Indonesia University of Education with Prof. Hakim L. Malasan, D. Sc.
at The 4th South East Asia Astronomy Network Meeting.

Education:
B.Sc. : Institut Teknologi Bandung, Indonesia, 1985
M.Sc. : The University of Tokyo, Japan, 1989
D.Sc. : The University of Tokyo, Japan, 1993

Research Interests:

1. Stellar Physics
2. Photometry of variable and eclipsing binary stars
3. Spectroscopy
4. Development of CCD-based astronomical instruments
5. Image and data processing in astronomy

Session III
(8 speakers):

Chair: Mahasena Putra, M.Sc., Ph.D.

1. Prof. Hakim L. Malasan, Ph.D. : Collaboration in Eclipsing Binary Program

2. Dr. Andrea Richichi : New Binaries in the Pleiades Cluster

3. Dr. Norhasliza Yusof: Very Massive Stars at Local Universe

4. Dr. Siti Jamiah Mohamad Yob: An Optical Look at the Central Star of Planetary Nebula, K 648

5. Dr. Rhorom Priyatikanto: Dissolution of Merging Binary Clusters: Without Tidal Field

6. Dr. M. Ikbal Arifyanto: Physical Parameters of Open Clusters in the Anti-Galactic Center

7. Dr. Puji Irawati: On The Evolutionary Scenario Of IK Pegasi

8. Dr. M. Irfan Hakim: Searching the Progenitor of Rapidly Rotating Be Stars



Session IV
(6 speakers):

Chair: Prof. Moedji Raharto, M.Sc., Ph.D.

1. Dr. Utane Sawangwit: The Clustering of Luminous Red Galaxy at z=1 from SDSS Stripe82

2. Dr. Nooshin Jamshidi: Spectropolarimetric Study of Penumbral Filaments

3. Dr. Suryadi Siregar: Orbital Evolution of Toutatis

4. Dr. Budi Dermawan: Searching for New Venus Coorbital Asteroids

5. Dr. Abdul Rachman: Current Threat from Orbital Debris to Astronomical Observation

6. Dr. Dhani Herdiwijaya: Debris Impact on Low Earth Orbit Space Mission



"Educationists should build the capacities of the spirit of inquiry, learning, creativity, entrepreneurial and moral leadership among students and become their role model."
~Arip Nurahman at Indonesia University of Education~

Foto oleh:  Ella Dawiyah

Monday, 15 October 2012

Membangun Peradaban Dirgantara dan Keantariksaan Nusantara


Duhai sahabatku tahukah kita?

Bahwa: masing-masing dari diri kita memilikinya, yaitu potensi untuk menjadi lebih baik, memimpin dan memberi inspirasi.

"Seringkali kita menganggap apa yang kita lakukan hanyalah sesuatu yang kecil dan tak berarti
Tapi ingatlah Setetes air akan sangat berharga ketika kita kehausan ditengah panasnya gurun pasir
Sebuah Puzzle tak akan lengkap jika satu saja kepingannya tak ada
Maka bersyukurlah atas setiap hal yang dapat kita lakukan
Mulailah membuat langkah-langkah kecil yang sederhana
Teruslah melangkah di jalan yang kita buat
Pasti nanti akan ada banyak yang meragukan kita
Atau bahkan Menghina, Merendahkan dan Menertawakan Kita"


"Terus.,.Teruslah Melangkah.,.Terus.,Berlari.,.Teruslah Terbang"

Don't Give Up!

Pantang Menyerah!

"Karena Keberhasilan itu adalah tentang Kesabaran dalam Bertahan
Disa'at yang lain menyerah pasrah
Ketakutan Kita
Keraguan Kita 
Kesedihan Kita
Hanya akan membuat kita lemah dan kecil"

Mari Kita Berlari...Terbos semua ketakutan.,. Mari Kita Terbang..Hadapai setiap rintangan.,..
Menggapai Puncak Harapan dan Impian Kita  

Jangan hanya selalu menjadi penonton, karena semua orang juga bisa

Tapi tujulah Lapangan

Jadilah Sang Pemain Kehidupan dan

Lesakan Goal Terindah kita

Ambil dan hadapi Resiko

Meski terkadang kita harus terjun bebas

Namun yakinlah Pertolongan Yang Kuasa akan datang disaat kita membutuhkan



Beranilah Bermimpi

Berani Menjadi Kreatif

Karena dengan itu Matahari yang panas akan dapat kita genggam dengan tangan kita

Bermimpilah Berani Bermimpi Besar

Rasakan dengan Sepenuh Hati

Yakini dengan tekad yang Kuat

Kelak kita akan bisa

Menggapai puncak Terindah dan Tertinggi


Apapun Mimpi dan harapan Kita
Majulah, berjuanglah untuk mewujudkannya
Jangan menunggu bukti
Tapi Jadilah Bukti itu sendiri
Mari menjadi teladan bagi diri, keluarga dan masyarakat

Janganlah berputus asa terhadap apa yang kita raih hari ini

Bangkitlah Selalu


Amin


Membangun Peradaban Dirgantara dan Keantariksaan Nusantara

Kalau sebuah hope bisa membuat hidup kita lebih bergairah, lebih bersemangat, dan lebih baik mengapa kita tidak membangun industri harapan? Bahan bakunya gampang didapat: Niat baik, Ikhlas,  Semangat, kreativitas, tekad, dan totalitas.

Semuanya bisa diperoleh secara gratis!

Diadaptasi dari ceramah Prof. Habibie

17 tahun lalu, tepatnya 10 Agustus 1995, dalam rangka peringatan 50 tahun kemerdekaan Indonesia, bangsa kita telah menggoreskan pena sejarahnya dengan terbang perdana pesawat terbang canggih N‐250.

Pesawat turboprop tercanggih, hasil disain dan rancang bangun putra‐putri terbaik bangsa sendiri mengudara di atas kota Bandung dalam cuaca yang amat cerah, seolah melambangkan cerahnya masa depan bangsa karena telah mampu menunjukkan kepada dunia kemampuannya dalam penguasaan sains dan teknologi secanggih apapun oleh generasi penerus bangsa.

Bandung memang mempunyai arti dan peran yang khusus bagi bangsa Indonesia. Bukan saja sebagai kota pendidikan, kota pariwisata atau kota perjuangan, namun Bandung juga kota yang menampung dan membina pusat‐pusat keunggulan Iptek, sebagai penggerak utama proses nilai tambah industri yang memanfaatkan teknologi tinggi (high tech).

Pada tahun 1985, sepuluh tahun sebelum terbang perdananya, telah dimulai riset dan pengembangan pesawat N250. Semua hasil penelitian dari pusat‐pusat keunggulan penelitian di Eropa dan Amerika dalam bidang ilmu dirgantara, ilmu aerodinamik, ilmu aeroelastik, ilmu konstruksi ringan, ilmurekayasa, ilmu propulsi, ilmu elektronik, ilmu avionik, ilmu produksi, ilmu pengendalian mutu (qualitycontrol) dsb, telah dikembangkan dan diterapkan di industri IPTN, di Puspitek, di BPPT dan di ITB, UGM, UI, ITS, dsb.

Dengan terbangnya N250 pada kecepatan tinggi dalam daerah “subsonik” dan stabiltas terbang dikendalikan secara elektronik dengan memanfaatkan teknologi “fly by wire”, adalah prestasi nyata bangsa Indonesia dalam teknologi dirgantara. 

Dalam sejarah dunia penerbangan sipil, pesawat N250 adalah pesawat turboprop yang pertama dikendalikan dengan teknologi fly by wire.

Dalam sejarah dunia dirgantara sipil, pesawat Jet AIRBUS A300 adalah yang pertama kali menggunakan teknologi fly by wire, namun AIRBUS 300 ini terbang dalam daerah “transsonic” dengan kecepatan tinggi, sebagaimana kemudian juga Boeing‐777.

Fakta sejarah mencatat bahwa urutan pesawat penumpang sipil yang menerapkan teknologi canggih untuk pengendalian dan pengawasan terbang dengan “fly by wire” adalah sebagai berikut:

1. A‐300 hasil rekayasa dan produksi Airbus Industri (Eropa)

2. N‐250 hasil rekayasa dan produksi Industrie Pesawat Terbang Nusantara IPTN, sekarangbernama PT. Dirgantara Indonesia (Indonesia)

3. BOEING 777 hasil rekayasa dan produksi BOEING (USA)

Produk pesawat terbang, produk kapal laut dan produk kerata api yang pernah kita rancang bangun dalam “euforia reformasi” telah kita hentikan pembinaannya atau bahkan sedangdalam “proses penutupan”. Misalnya PT. Dirgantara Indonesia yang dahulu memiliki sekitar 16.000 karyawan, sekarang tinggal kurang‐lebih 3.000 karyawan, yang dalam 3 sampai 4 tahun mendatang dipensiun karena tidak ada kaderisasi dalam segala tingkat.

Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) yang mengkoordinir 10 Perusahaan yang pada tahun 1998 memiliki kinerja turn‐over sekitar 10 Milliard US$ dengan 48.000 orang karyawan, kemudian dalam “eufori reformasi” dibubarkan! 

Pembinaan Industri Dirgantara, Industri Kapal Laut, Industri Kereta Api, Industri Mesin, Industri Elektronik‐Komunikasi dan Industri Senjata, dsb.

Tak lagi mendapat perhatian dan pembinaan!

Bila saja pembangunan dan pembinaan industri strategis ini terus dilanjutkan maka tak mustahil bidang ini akan menyerap jutaan tenaga kerja dan keuntungan Trilyunan US $. Sehingga mengantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa ekonomi terkuat di dunia.

Membangkitkan Industri Dirgantara Nusantara

Pasar Domestik yang begitu besar di bidang transportasi, komunikasi, kesehatan dsb.“diserahkan” kepada produk impor yang mengandung jutaan “jam kerja” untuk penelitian, pengembangan dan produksi produk yang kita butuhkan.

Produk yang dibutuhkan itu harus kita biayai dengan pendapatan hasil ekspor sumber daya alam terbaharukan dan tidak terbaharukan, energi, agro industri, pariwisata, dsb. Ternyata potensi ekspor kita ini tidak dapat menyediakan jam kerja yang dibutuhkan sehingga SDM di desa harus ke kota untuk mencari lapangan kerja atau ke luar negeri sebagai TKI dan TKW.

Akibatnya, proses pembudayaan dalam rumah tangga terganggu dsb. Proses pembudayaan (“Opvoeding, Erszeihung, Upbringing”) harus disempurnakan dengan proses pendidikan dan sebaliknya, karena hanya dengan demikian sajalah produktivitas SDM dapat terus ditingkatkan melalui pendidikan dan pembudayaan sesuai kebutuhan pasar.

Pertumbuhan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi seharusnya dipelihara setinggi mungkin untuk dapat meningkatan “pendapatan bruto masyarakat” atau peningkatan“kekayaan national” atau “national wealth”. Namun pemerataan pemberian kesempatan berkembang, pemerataan pendidikan‐pembudayaan dan pemerataan pendapatanlah yang pada akhirnya menentukan kualitas kehidupan, kualitas kesejahteraan dan kualitas ketentraman yang menjadi sasaran tiap masyarakat.

Bukankah jam kerja yang terselubung pada tiap produk yang kita beli itu pada akhirnya menentukan tersedianya lapangan kerja atau mekanisme proses pemerataan dalam arti yang luas itu?

Kita harus pandai memproduksi barang apa saja yang dibutuhkan di pasar nasional dan memberi insentip kepada siapa saja, yang memproduksi di dalam negeri, menyediakan jam kerja dan akhirnya lapangan kerja.

Potensi pasar nasional domestik kita sangat besar. Misalnya, pertumbuhan penumpang pesawat terbang sejak 10 tahun meningkat sangat tinggi, sekitar 10% ‐ 20% rata-rata tiap tahun. Produksi pesawat terbang turboprop N250 untuk 70 penumpang yang sesuai rencana pada tahun 2000 sudah mendapat sertifikasi FAA dan Pesawat Jet N2130 untuk 130 penumpang yang sesuai rencana mendapat sertfikasi FAA pada tahun 2004  adalah jawaban kita untuk memenuhi kebutuhan pasar.

Kedua produk yang dirancang bangun oleh putra‐putri generasi penerus ini yang mengandung jutaan jam kerja, bahkan harus dihentikan.

MENGAPA ? ? ?

Demikian pula dengan produksi kapal Caraka Jaya, Palwobuwono dan kapal Container yang harus dihentikan. Produksi kerata api harus pula dihentikan.

Walaupun pasar domestik nasional begitu besar, namun sepeda motor, telpon genggam dsb. yang semuanya mengandung jam kerja yang sangat dibutuhkan nyatanya barang‐barang tersebut tidak diproduksi di dalam negeri.


MENGAPA? MENGAPA? MENGAPA?



Kita mesti melakukan reaktualisasi peran Iptek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam rangka meningkatkan daya saing dan produktivitas nasional, serta untuk menghadapi berbagai permasalahan bangsa masa kini dan masa datang.

Problema kebangsaan yang kita hadapi semakin kompleks, baik dalam skala nasional, regional maupun global, dan hal tersebut akan mensyaratkan solusi yang tepat, terencana dan terarah. Kita tahu bahwa fenomena globalisasi mempunyai berbagai bentuk.

Salah satu manifestasi globalisasi dalam bidang ekonomi, misalnya, adalah pengalihan kekayaan alam suatu Negara ke Negara lain, yang setelah diolah dengan nilai tambah yang tinggi, kemudian menjual produk‐produk ke Negara asal, sedemikian rupa sehingga rakyat harus "membeli jam kerja" bangsa lain.

"Ini adalah penjajahan dalam bentuk baru, neo‐colonialism, atau dalam pengertian sejarah kita, suatu VOC (Verenigte Oostindische Companie) dengan baju baru".


Saya mengajak kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya paratokoh dan cendekiawan di kampus‐kampus serta di lembaga‐lembaga kajian dan penelitian lain untuk secara serius merumuskan implementasi peran iptek dalam berbagai aspek kehidupan bangsa dalam konteks masa kini dan masa depan.

Terkait dengan hal tersebut, saya sangat menghargai upaya Pemerintah dalam membentuk Komite Inovasi Nasional (yang dikenal dengan KIN) dan Komite Ekonomi Nasional (yang dikenal dengan KEN) dengan tugas sebagai advisory council untuk mendorong inovasi di segala bidang dan mempercepat pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.

Saya mengetahui bahwa KIN maupun KEN telah merumuskan berbagai strategi dan kebijakan dan agenda aksi, khususnya yang menyangkut perbaikan ekosistem inovasi dan pengembangan wahana transformasi industri.

Apa yang ingin saya ingatkan ialah, jangan sampai berbagai konsep yang dirumuskan oleh KIN maupun KEN tersebut hanya berhenti ditingkat masukan kepada Presiden saja, ataupun di tingkat rencana pembangunan saja, namun perlu direalisasikan dalam kegiatan pembangunan nyata.

Jangan kita merasa puas dengan wacana maupun berencana, namun ketahuilah bahwa rakyat menunggu aksi nyata dari kita semua, baik para penggiat teknologi, penggiat ekonomi, pemerintah maupun lembaga legislatif. Saya juga menyarankan agar Pemerintah maupun Legislatif perlu lebih proaktip peduli dan bersungguh sungguh dalam pemanfaatan produk dalam negeri dan “perebutan jam kerja”.

Kerjasama Pemerintah Daerah dan Pusat bersama dengan wakil rakyat di lembaga Legeslatif Daerah dan Pusat perlu ditingkatkan konvergensinya ke arah lebih pro rakyat, lebih pro pertumbuhan dan lebih pro pemerataan.

Pada kesempatan ini, saya juga ingin menyampaikan pesan dan himbauan, hendaknya kita pandai-pandai belajar dari sejarah. Janganlah kita berpendapat bahwa tiap pergantian kepemimpinan harus dengan serta‐merta disertai pergantian kebijakan, khususnya yang terkait dengan program penguasaan dan pernerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kita mengetahui bahwa dalam penguasaan, pengembangan dan penerapan teknologi diperlukan keberlanjutan (continuity).

Jangan sampai pengalaman pahit yang dialami industri dirgantara dan industri strategis pada umumnya sebagaimana saya sampaikan di atas terulang lagi di masa depan! 

Jangan sampai karena euforia reformasi atau karena pertimbangan politis sesaat kita tega “menghabisi” karya nyata anak bangsa yang dengan penuh ketekunan dan semangat patriotisme tinggi yang didedikasikan bagi kejayaan masa depan Indonesia.


Kita dapat bersyukur bahwa bangsa Indonesia adalah suatu bangsa yang multi etnik dan sangat peka terhadap keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa, Allah subhana wata’alla.

Oleh karena itu ini adalah falsafah hidup nyata bangsa ini yang dari masa ke masa selalu disesuaikan dengan kemajuan Ilmu pengetahuan dan teknologi dan peradaban yang dikembangkan dan diterapkan oleh kita bersama.

Dapat kita catat, bahwa saat ini bangsa kita sudah keluar dari “euforia kebebasan” dan mulai kembali ke“kehidupan nyata” antara bangsa‐bangsa dalam era globalisasi. Persaingan menjadi lebih ketat dan berat.

Peran keunggulan Sumber Daya Manusia lebih menentukan dan informasi sangat cepat mengalir. Kita menyadari bahwa tidak semua informasi menguntungkan peningkatan produktivitas dan daya saing SDM Indonesia.

Budaya masyarakat lain dapat memasuki ruang hidup keluarga. Kita harus meningkatkan “Ketahanan Budaya” sendiri untuk mengamankan kualitas iman dan taqwa (Imtak) yang melengkapi pemahaman ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) yang diberikan dalam sistem pendidikan dan pembudayaan kita, yang menentukan perilaku, produktivitas dan daya saing Generasi Penerus.

Kita sudah Merdeka, sudah Melek IPTEKS, sudah Bebas belajar dan menerima informasi dari seluruh penjuru dunia. Kita sadar akan keunggulan masyarakat madani yang pluralistik, sadar akan kekuatan lembaga penegak hukum (Yudikatif) dan informasi yang mengacu pada nilai‐nilai luhur umat manusia yang terus disesuaikan dengan perkembangan pembangunan nasional, regional dan global.

Saya akhiri tulisan ini dengan ucapan:


MARI KITA REBUT KEMBALI JAM BELAJAR, JAM MENELITI, JAM KERJA, JAM BERUSAHA dan JAM BERIBADAH!

WUJUDKAN KEMBALI KARYA NYATA YANG PERNAH KITA MILIKI UNTUK PEMBANGUNAN PERADABAN INDONESIA!

BANGKITLAH, SADARLAH ATAS KEMAMPUAN BANGSA INDONESIA!

MERDEKA!

Wallahualam bissawab



"Saya awali hari dengan impian yang sederhana, banyak orang menertawakan, mengejek dan menghina saya namun saya tetap pada pendirian ini, dan akhirnya saya dapat merasakan berada pada suatu puncak tertinggi di dunia"
~Arip~

Terima Kasih Ya Rabbana.

Terima Kasih Keluarga ku, Sahabat-sahabatku, guru dan kepada orang-orang yang telah memberikan semangat serta kasih mereka.

Allhamdulilah


Mampir ke rumah kami:

Masyarakat IPTEKS Indonesia

http://masyarakatipteksindonesia.blogspot.com/



Tuesday, 9 October 2012

Ground-Breaking Experimental Methods that Enable Measuring and Manipulation of Individual Quantum Systems

The Nobel Prize in Physics 2012 was awarded jointly to Serge Haroche and David J. Wineland

"for ground-breaking experimental methods that enable measuring and manipulation of individual quantum systems"





Allhamdulilah, pada beberapa hari ini ilmuwan muda mendapat berbagai anugrah yang tak terkira dari Yang Maha Kuasa, diantaranya adalah diberikan kenikmatan dapat menyaksikan pengumuman pemenang Olimpiade Sains Pertamina bidang Fisika yang pada kesempatan ini seluruh juara 1, 2, dan 3 disapu bersih oleh adik-adik kelas dari Pendidikan Fisika FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia.

Selanjutnya Ilmuwan muda juga diberikan kesempatan untuk menonton penganugrahan Hadiah Nobel Fisika 2012 secara Online yang diberikan kepada Prof. Serge Haroche, Ph.D. dari Collège de France, Paris, France, École Normale Supérieure, Paris, France. dan Prof. David J. Wineland, Ph.D. dari  National Institute of Standards and Technology, Boulder, Colorado, USA, University of Colorado, Boulder, Colorado, USA. Masing-masing Profesor tersebut mendapatkan lebih dari $ 5.000.000.,- dari panitia Penghargaan.

Pada hari ini pun ketika mengikuti perkuliahan TERMODINAMIKA penulis mendapatkan beberapa pencerahan dan inspirasi dari Bapak Drs. H. Saeful Karim, M.Si. selain dosen beliau juga adalah pendiri pondok pesantren dan penasehat spiritual beberapa mentri serta kepala daerah di Indonesia. Beliau berpesan diantaranya adalah:

"Kita hendaknya tidak membatasi Kekuasaan Tuhan dengan pikiran sempit kita", maksudnya adalah kita sering dalam kehidupan sehari-hari mengesampingkan peran Sang Pencipta dalam kehidupan kita dan menganggap diri kita itu tiada yang menolong, padahal sebenarnya jika kita bersabar dan bersyukur maka tanpa kita sadari ada kekuatan Maha Besar yang akan menolong kita dan menjadikan apa pun yang kita inginkan di masa depan.

Ada sebuah The Law of Spiritual Attraction bila kita menyadarinya. Maka kita harus sadar seberapa berat ujian dan cobaan, seberapa besar impian dan harapan kita akan kehidupan hari ini dan masa depan yang lebih baik, kita mesti yakin dan percaya bahwa ada Yang Maha Segalanya yang mampu mengabulkan setiap getaran mimpi dan harapan kita.

Maka; Ya Rabbana, jadikanlah kami anak-anak yang Sholeh, Cerdas, Sehat, Kuat, Berbakti kepada orang tua, melimpahnya rezeki, diberikan pendamping yang baik menurut Mu, anak dan cucu yang lebih hebat dari kami suatu saat nanti, menuju syurga Mu, berguna bagi orang-orang disekitar kami, bangsa dan agama serta umat manusia.

Bila Engkau berkenan maka jadikanlah kami, keluarga, sahabat, anak, cucu serta bangsa kami suatu hari nanti menemukan berbagai penemuan yang bermanfaat bagi umat manusia dan meraih penghargaan Nobel ini.

Amin Ya Allah Ya Rabbal Alamin.



Ilmuwan Muda bersama para Dosen dan Sahabat dari Department Fisika, Universitas Pendidikan Indonesia
di Pusat Riset dan Pengembangan IPTEK Nuklir, BATAN. Bandung, Jawa Barat, Indonesia.


Melahirkan Ilmuwan Berkualitas  Dunia

Mungkinkah Bangsa ini mampu melahirkan manusia-manusia jenius dan hebat berkualitas dunia dalam bidang IPTEKS?

Belajar dari Tradisi Nobel

”Jika aku punya 300 ide dalam setahun dan hanya satu yang terwujud, aku tetap merasa puas.” 
~Alfred Bernhard Nobel (1833-1896)~


Terobosan pengetahuan

Penerima Nobel Fisika pertama adalah Wilhelm Rontgen, penemu sinar X yang sampai sekarang sangat membantu untuk memeriksa kesehatan tulang dan paru-paru kita. Tahun 2010, penerimanya adalah penemu grafen (graphene), material kristal dua dimensi, yang digadang-gadang sebagai materi masa depan.

Demikian pula halnya Nobel Kedokteran. Kalau tahun 1901 Emil von Behring menerima penghargaan ini atas ketekunannya meneliti terapi serum—yang berperan penting dalam pengobatan difteri—tahun 1962 penghargaan Nobel Kedokteran diberikan kepada Francis Harry Compton Crick, James Dewey Watson, dan Maurice Hugh Frederick Wilkins. Merekalah yang berjasa menemukan struktur molekul asam nukleus yang menyusun materi genetik. Disebut DNA (deoxyribonucleic acid), inilah dasar ilmu genetika sekarang.

Demikian pula penghargaan Nobel Kimia, seperti yang diserahkan kepada para penemu protein ”kiss of death” atau ”ciuman kematian” tahun 2004. Mereka meneliti bagaimana tubuh manusia mengisolasi suatu protein yang tidak diinginkan dan kemudian menghancurkannya, sebagai bagian dari proses pertahanan tubuh. ”Terima kasih atas kerja keras mereka yang memungkinkan kita memahami cara sel mengontrol sejumlah proses dengan memecah beberapa protein yang tidak dikehendaki,” ujar juri waktu itu.

Lepas dari berbagai kontroversi, terutama di bidang Nobel Perdamaian, Nobel Foundation telah menengarai temuan-temuan yang bakal menentukan arah perkembangan ilmu pengetahuan dan memberikan banyak harapan agar manusia lebih sejahtera sekaligus menyelamatkan kehidupan di Bumi.


Tradisi meneliti

Amerika Serikat adalah salah satu negara yang menerima paling banyak penghargaan Nobel. Prestasinya begitu mengagumkan karena hampir setiap tahun ada saja penghargaan Nobel yang diterima ilmuwan AS. Tahun 1983, AS bahkan menyapu bersih penghargaan Nobel Fisika, Kimia, Kedokteran, dan Ekonomi. Tahun 2004, tujuh dari 10 pemenang Nobel Sains berkewarganegaraan AS dan tahun 2005 ada lima warga AS dari 10 penerima.

Kunci tradisi meneliti di AS adalah pendanaan dan ambisi ilmiah. Banyak riset di AS diselamatkan oleh sistem hibah, yang memungkinkan peneliti fokus pada penelitiannya selama bertahun-tahun. Gedung Putih bahkan punya program Educate to Innovate yang didukung nama-nama besar seperti perempuan astronot pertama AS, Sally Ride; mantan Chairman Intel, Craig Barrett; dan eksekutif Xerox, Ursula Burns. Tujuannya satu: mendorong siswa sekolah menengah untuk meminati matematika, sains, teknologi, dan ilmu rekayasa.

Tak dapat dimungkiri, kepemimpinan, jumlah sumber daya manusia yang memadai (critical mass), serta ketersediaan dana menjadi kunci kemajuan sains dan teknologi. Indonesia, dengan anggaran riset yang hanya 0,18 dari produk domestik bruto dan ketiadaan pemimpin yang sadar ilmu pengetahuan dan teknologi, tampaknya masih jauh dari tradisi meneliti ini.

Super Knowledge = Curiosity  + Creativity  +  Righteousness +  Courage + Indomitable spirit.
~Arip~

Kuncinya adalah bagaimana kita membangun sistem pendidikan IPTEKS dari mulai tingkat usia dini hingga tingkat perguruan tinggi yang memungkinkan para pelajar mampu membentuk jati dirinya sebagai calon-calon Ilmuwan tangguh masa depan.

Pada tulisan kali ini temanya memang luar biasa saintifik, tulisan di bawah ini merupakan karya agung dari dua begawan fisika dunia yaitu  Prof. Serge Haroche and Prof. David J. Wineland yang pada tahun 2012 ini mendapatkan Penghargaan Nobel Fisika, sebuah lambang supremasi pencapaian tertinggi dalam dunia ilmiah fisika.

Press Release

Prof. Serge Haroche and Prof. David J. Wineland have independently invented and developed methods for measuring and manipulating individual particles while preserving their quantum-mechanical nature, in ways that were previously thought unattainable.

The Nobel Laureates have opened the door to a new era of experimentation with quantum physics by demonstrating the direct observation of individual quantum particles without destroying them. For single particles of light or matter the laws of classical physics cease to apply and quantum physics takes over.

But single particles are not easily isolated from their surrounding environment and they lose their mysterious quantum properties as soon as they interact with the outside world. Thus many seemingly bizarre phenomena predicted by quantum physics could not be directly observed, and researchers could only carry out thought experiments that might in principle manifest these bizarre phenomena.

Through their ingenious laboratory methods Haroche and Wineland together with their research groups have managed to measure and control very fragile quantum states, which were previously thought inaccessible for direct observation.

The new methods allow them to examine, control and count the particles.

Their methods have many things in common. David Wineland traps electrically charged atoms, or ions, controlling and measuring them with light, or photons. Serge Haroche takes the opposite approach: he controls and measures trapped photons, or particles of light, by sending atoms through a trap.

 Both Laureates work in the field of quantum optics studying the fundamental interaction between light and matter, a field which has seen considerable progress since the mid-1980s.

Their ground-breaking methods have enabled this field of research to take the very first steps towards building a new type of super fast computer based on quantum physics.

Perhaps the quantum computer will change our everyday lives in this century in the same radical way as the classical computer did in the last century.

The research has also led to the construction of extremely precise clocks that could become the future basis for a new standard of time, with more than hundred-fold greater precision than present-day caesium clocks.


Measuring and Manipulating Individual Quantum Systems 
Introduction 
The behaviour of the individual constituents that make up our world – atoms (matter) and photons (light) – is described by quantum mechanics. These particles are rarely isolated and usually interact strongly with their environment. The behaviour of an ensemble of particles generally differs from isolated ones and can often be described by classical physics. From the beginning of the field of quantum mechanics, physicists used thought experiments to simplify the situation and to predict single quantum particle behaviour. 

During the 1980s and 1990s, methods were invented to cool individual ions captured in a trap and to control their state with the help of laser light. Individual ions can now be manipulated and observed in situ by using photons with only minimal interaction with the environment. In another type of experiment, photons can be trapped in a cavity and manipulated. They can be observed without being destroyed through interactions with atoms in cleverly designed experiments. 

These techniques have led to pioneering studies that test the basis of quantum mechanics and the transition between the microscopic and macroscopic worlds, not only in thought experiments but in reality. They have advanced the field of quantum computing, as well as led to a new generation of high-precision optical clocks.




This year’s Nobel Prize in Physics honours the experimental inventions and discoveries that have allowed the measurement and control of individual quantum systems. They belong to two separate but related technologies: ions in a harmonic trap and photons in a cavity (see Fig. 1). 

There are several interesting similarities between the two. In both cases, the quantum states are observed through quantum non-demolition measurements where two-level systems are coupled to a quantized harmonic oscillator – a problem described by the so-called Jaynes Cummings Hamiltonian. The two-level system consists of an ion (with two levels coupled by laser light) or a highly excited atom (with two Rydberg levels coupled by a microwave field). 

The quantized harmonic oscillator describes the ion’s motion in the trap or the microwave field in the cavity. Here, we describe the implemented methods in the two cases, after a short background, and we present some important applications within science and technology.

Trapped ions

This research field started from techniques developed in the 1970s for trapping charged particles. Paul and Dehmelt were awarded the 1989 Nobel Prize in Physics “for the development of the ion trap technique”. An important step towards the control of isolated ions was Doppler cooling, which was proposed by Hänsch and Schawlow (1975) for neutral atoms and by Wineland and Dehmelt (1975) for ions. 

The first experiments with ions were performed independently by Wineland and colleagues (Mg+) and by Neuhauser et al. (Ba+) in 1978. Wineland, Ekstrom and Dehmelt (1973) discussed the possibility of catching a single ion as early as 1973. This was achieved by Toschek’s group in 1980 (Neuhauser et al., 1980), who observed a single Ba+ ion in a Paul trap, and by Wineland and Itano (1981), who caught a Mg+ ion in a Penning trap. The group of Gabrielse has developed closely related techniques to cool single electrons captured in a Penning trap (Peil and Gabrielse, 1999).

Ion traps are created in ultrahigh vacuum using a combination of static and oscillating electric fields. There are traps where only one ion is captured, but also linear traps where a few ions are distributed on a line. A trapped ion has an oscillating movement, which is quantized at low temperature. An ion therefore has two sets of quantized levels: vibrational modes that characterize the motion in the trap (also called external states) and electronic levels that describe the internal quantum state of the ion. 

These levels can be coupled through light absorption or emission, and through a two-photon process, called Raman transition. The ions can be observed through optical transitions that lead to strong light scattering when excited by a laser. 



They can be directly observed by eye   or with a CCD camera (Fig. 2). Moreover, the internal state of the ion can be determined by observingquantum jumps. This was demonstrated by Nagourney et al. (1986) and by Wineland and colleagues (Bergquist et al., 1986).

An important step in controlling the quantum state of an ion was cooling to the lowest energy of the trap using a technique called sideband cooling (Diedrich et al., 1989; Monroe et al., 1995a). 

Figure 3 shows several vibrational states of an ion in a trap for two different electronic levels (|↓> and |↑>).  The technique  consists of exciting the ion, increasing the internal energy and decreasing the vibrational energy. 


This is done with a narrow-bandwidth laser with frequency Ï‰0 – ων, where ων represents the frequency interval between two vibrational modes of the trap and ω0 is the atomic frequency, i.e. the frequency difference between two electronic levels of the ion. The excited ion decays preferentially towards a state with the same vibrational quantum number ν.



This reduces the ion energy and it gradually cools down to the ν = 0 state. This technique, which was developed by Wineland and coworkers, allows the control of both internal and external degrees of freedom of the ion. By precisely monitoring the trap properties, Fock states of motion (with a well-defined ν) can be created, as well as various well-controlled superpositions of Fock states, e.g., coherent or thermal states (Meekhof et al., 1996).


Another breakthrough was the development of techniques to transfer a quantum  superposition of electronic states to a quantum superposition of vibrational modes of the trap (Monroe et al., 1995b), inspired by a theoretical proposal by Cirac and Zoller (1995). Such a quantum superposition can then be transferred to another ion that shares the vibrational states with the first ion, as demonstrated in 2003 by Blatt and collaborators at the University of Innsbruck, Austria (Schmidt-Kaler et al., 2003).

This technique has been extensively used by Wineland and coworkers for decoherence measurements and optical clocks, and is the basis of quantum gates based on trapped ions. We illustrate it with an example in Box 1.





Photons in a cavity

The research field called cavity quantum electrodynamics (CQED) started in the 1980s to  study how the properties of an atom (especially spontaneous emission) were affected when the atom is placed in an optical or microwave cavity (for a review of early work, see Haroche and Kleppner, 1989). The suppression of spontaneous emission when the cavity size approaches the emitted light wavelength was observed successfully by Kleppner and his group (Hulet et al., 1985), DeMartini et al. (1987) and Haroche’s group at Yale University (Jhe et al., 1987).

The next step in this research was to study the light amplification in a resonant cavity, with early input from Haroche and collaborators in the microwave region (Goy et al., 1983). A group at the Max Planck Institute for Quantum Optics in Garching, Germany, led by Walther, demonstrated a one-atom micromaser (Meschede et al., 1985), while Haroche and his group showed evidence for a micromaser with two photons (Brune et al., 1987).

Kimble developed CQED in the optical domain (for a review, see Miller et al., 2005), achieving the so-called strong coupling of atom-field interaction in the cavity (Thompson et al., 1992; Hood et al., 1998), in parallel with Haroche’s work in the microwave  domain (Brune et al., 1996a).

CQED in the optical domain combines cavity field dynamics with laser cooling and trapping techniques, and has interesting applications in quantum optics and quantum information (McKeever et al., 2004). Cavity-QED has also inspired research using superconducting circuits which has been named Circuit-QED (Schoelkopf and Girvin, 2008).

The main experimental component   used by Haroche, Raimond, Brune and their collaborators is a microwave cavity (Fig. 4) that consists of two spherical mirrors separated by a distance of 2.7 cm, made of a superconducting material (Nb) and cooled to very low temperature~0.8 K.

Technological progress in the mirrors’ quality led at the beginning of the past decade to a cavity with an extremely high Q value (4 x 10^10), i.e. implying a very long lifetime of a photon in the cavity, of ~130 ms. In such a cavity, a photon travels about 40,000 km before it disappears.



The field in the cavity is probed by Rb atoms that are prepared in a circular Rydberg state (e.g., n = 50, l = |m|=49). Such atoms have a large area, with a radius of 125 nm, and are very strongly coupled to the field in the cavity.

The transition n = 50 (|↓>) to n = 51 (|↑>) has almost the same frequency as the microwave field in the cavity (51 GHz). Two cavities R1 and R2 (see Fig. 4) are used to create and analyze a controlled quantum superposition between |↓> and |↑>. A selective field ionization detector (D) detects the state of the atom. Photons produced by a coherent source are coupled to the cavity via a waveguide.

The atoms are sent one at a time into the cavity at a controlled velocity and thereby have a controlled time of interaction. In most experiments performed by Haroche’s group, the atom and field have slightly different frequencies. An atom travelling in the cavity does not absorb photons, but its energy levels shift due to the dynamical Stark effect, inducing a phase variation of the microwave field. This phase shift is of the opposite sign, depending on whether the atom is in the |↓> or |↑> state, leading to an entanglement of the atomic and field states (Brune et al., 1996b).

In 1990, Haroche and coworkers suggested a method to measure the number of photons in the cavity in a quantum non-demolition measurement (Brune et al., 1990). Recently, they were able to demonstrate it experimentally (Gleyzes et al., 2007; for a related experiment, see Nogues et al., 1999). Individual photons are captured in a cavity and observed via the interaction with atoms.

The principle of the measurement is explained in more detail in Box 2. This has led to experiments where the "progressive collapse" of a wave function has been observed by means of non-destructive quantum measurements. In these experiments, the number of photons can be followed as it evolves during the measurement (Guerlin et al., 2007).



Experimental investigation of Schrödinger’s cat paradox

A central question in quantum physics is the transition between the quantum and the  classical world. This question is illustrated in a popular way by the so-called Schrödinger’s cat   paradox. This name refers to a thought experiment proposed by Schrödinger in 1935,   emphasizing the difficulty in applying the concepts of quantum mechanics to everyday life (see Fig. 5).

It poses the question: When, as time proceeds, does a quantum system stop existing as a superposition of states and become one or the other? The quantum-classical boundary has been studied by many physicists since the beginning of quantum mechanics in the 1930s (see, e.g., Zurek, 1991, and the review by Leggett et al., 1987).



The control achieved by the groups led by Haroche and Wineland on single quantum systems allowed them to perform Schrödinger’s cat-like experiments in the laboratory, using photons and ions (see a review by Haroche, 1998). In an experiment proposed (Davidovich et al., 1996) and performed by Haroche’s group (Brune et al., 1996b), a superposition of cat-like microwave field states was created by entangling a Rydberg atom with the cavity field. Such a superposition is very fragile and can be destroyed easily via coupling to the environment (in this case, by photons escaping the cavity).

The decoherence of this superposition, i.e. its evolution towards a statistical mixture, could be measured as a function of time and the properties of the superposition of states. Wineland and coworkers performed similar experiments using ion trap technology. They created “cat states” consisting of single trapped ions entangled with coherent states of motion (Monroe et al., 1996) and observed their decoherence (Myatt et al., 2000).

Recently, Haroche and coworkers created cat states, measured them and made a movie of how they evolve from a superposition of states to a classical mixture (Deléglise et al., 2008). This extraordinary control has also led them to implement quantum feedback schemes in which the effects of decoherence are measured and corrected for, thus “stabilizing” a quantum state, e.g., a given Fock state (Sayrin et al., 2011).


Quantum computers



In a seminal theoretical article published in 1995, Cirac and Zoller suggested a way to build a quantum computer with trapped ions. Quantum bits (qubits) are encoded into hyperfine levels of trapped ions, which interact very weakly with the environment and therefore have long lifetimes. Two or more ions can be coupled through the center-of-mass motion (as presented in Box 1). Wineland and his group were the first to carry out experimentally a twoqubit operation (the Controlled NOT gate, CNOT) between motion and spin for Be+ ions  (Monroe et al., 1995b).

Since then, the field of quantum information based on trapped ions has progressed considerably. In 2003, Blatt and collaborators in Innsbruck, Austria, achieved a CNOT operation between two Ca+ ions (Schmidt-Kaler et al., 2003).

Today, the most advanced quantum computer technology is based on trapped ions, and has been demonstrated with up to 14 qubits and a series of gates and protocols (see Blatt and Wineland, 2008, for a review). Developing large devices capable of carrying out calculations beyond what is possible with classical computers will require solving substantial challenges in the future.

Optical Clocks 



An important application of Wineland’s research with trapped ions is optical clocks. Clocks based on a transition in the optical domain are interesting because the frequency of the transition, which is in the visible or ultraviolet range, is several orders of magnitude higher than that of the Cs clocks operating in the microwave range.

Optical clocks developed by Wineland and coworkers (Diddams et al., 2001; Rosenband et al., 2008; Chou et al., 2010a) currently reach a precision just below 10^-17, two orders of magnitude more accurate than the present frequency standard based on Cs clocks.

An optical ion clock uses a narrow (forbidden) transition in a single ion, insensitive to perturbations. The ion also needs to have strong allowed transitions for efficient cooling and detection. Wineland and colleagues developed a new technique, called quantum logic spectroscopy, based on entanglement of two ion species, as explained in Box 1.

In this technique, one ion provides the spectroscopy transition [e.g., 1 S0→3 P1 in 27 Al+ (267 nm)],  while the other one (e.g., 9 Be+ ) has the strong cooling transition (Schmidt et al., 2005).

The  precision of two different optical clocks can be compared with the help of the frequency comb  technique invented by Hänsch and Hall (2005 Nobel Prize in Physics).

The accuracy recently achieved by the optical clocks has allowed Wineland and coworkers to  measure relativistic effects, such as time dilation at speeds of a few kilometers per hour or the  difference in gravitational potential between two points with a height difference of only about  30 cm (Chou et al., 2010b).

Summary

David Wineland and Serge Haroche have invented and implemented new technologies and methods allowing the measurement and control of individual quantum systems with high accuracy. Their work has enabled the investigation of decoherence through measurements of the evolution of Schrödinger’s cat-like states, the first steps towards the quantum computer, and the development of extremely accurate optical clocks.


References

J.C. Bergquist, R.G. Hulet, W.M. Itano and D.J. Wineland, Phys. Rev. Lett. 57, 1699 (1986)

R. Blatt and D. Wineland, Nature 453, 1008 (2008)

M. Brune, J.M. Raimond, P. Goy, L. Davidovich and S. Haroche, Phys. Rev. Lett. 59, 1899 (1987)

M. Brune, S. Haroche, V. Lefevre, J.M. Raimond and N. Zagury, Phys. Rev. Lett. 65, 976 (1990)

M. Brune, F. Schmidt-Kaler, A. Maali, J. Dreyer, E. Hagley, J.M. Raimond and S. Haroche, Phys. Rev. Lett. 76, 1800 (1996a)

M. Brune, E. Hagley, J. Dreyer, X. Maître, A. Maali, C. Wunderlich, J. M. Raimond and S.  Haroche, Phys. Rev. Lett. 77, 4887 (1996b)

C.W. Chou, D.B. Hume, J.C.J. Koelemeij, D.J. Wineland and T. Rosenband, Phys. Rev. Lett. 104, 070802 (2010a)

C.W. Chou, D.B. Hume, T. Rosenband and D.J. Wineland, Science 329, 1630 (2010b)

J.I. Cirac and P. Zoller, Phys. Rev. Lett. 74, 4091 (1995)

L. Davidovich, M. Brune, J. M. Raimond and S. Haroche, Phys. Rev. A 53, 1295 (1996)

S. Deléglise, I. Dotsenko, C. Sayrin, J. Bernu, M. Brune, J.M. Raimond and S. Haroche, Nature 455, 510 (2008)

F. De Martini, G. Innocenti, G.R. Jacobovitz and P. Mataloni, Phys. Rev. Lett. 59, 2955 (1987)

S.A. Diddams, Th. Udem, J.C. Bergquist, E.A. Curtis, R.E. Drullinger, L. Hollberg, W.M.  Itano, W.D. Lee, C.W. Oates, K.R. Vogel and D.J. Wineland, Science 293, 825 (2001)

F. Diedrich, J.C. Bergqvist, W.M. Itano and D.J. Wineland, Phys. Rev. Lett. 62, 403 (1989)

S. Gleyzes, S. Kuhr, C. Guerlin, J. Bernu, S. Deléglise, U. Busk Hoff, M. Brune, J. M. Raimond  and S. Haroche, Nature 446, 297 (2007)

P. Goy, J.M. Raimond, M. Gross and S. Haroche, Phys. Rev. Lett. 50, 1903 (1983)

C. Guerlin, J. Bernu, S. Deléglise, C. Sayrin, S. Gleyzes, S. Kuhr, M. Brune, J.M. Raimond and  S. Haroche, Nature 448, 889 (2007)

S. Haroche and D. Kleppner, Phys. Today 42, 24 (1989)

S. Haroche, Phys. Today 51 (7), 36 (1998)

C.J. Hood, M.S. Chapman, T. W. Lynn and H.J. Kimble, Phys. Rev. Lett. 80, 4157 (1998)

R.G. Hulet, E.S. Hilfer and D. Kleppner, Phys. Rev. Lett. 55, 2137 (1985)

T.W. Hänsch and A.L. Schawlow, Opt. Comm. 13, 68 (1975)

W. Jhe, A. Anderson, E.A. Hinds, D. Meschede, L. Moi and S. Haroche, Phys. Rev. Lett. 58,  666 (1987)

A.J. Leggett, S. Chakravarty, A.T. Dorsey, M.P.A. Fisher, A. Garg and W. Zwerger, Rev. Mod.  Phys. 59, 1 (1987)

J. McKeever, A. Boca, A.D. Boozer, R. Miller, J.R. Buck, A. Kuzmich and H.J. Kimble, Science  303, 1992 (2004)

D.M. Meekhof, C. Monroe, B.E. King, W.M. Itano and D.J. Wineland, Phys. Rev. Lett. 76,  1796 (1996)

D. Meschede, H. Walther and G. Müller, Phys. Rev. Lett. 54, 551 (1985)

R. Miller, T.E. Northup, K.M. Birnbaum, A. Boca, A.D. Boozer and H.J. Kimble, J. Phys. B 38,  S551 (2005)

C. Monroe, D.M. Meekhof, B.E. King, S.R. Jefferts, W.M. Itano, D.J. Wineland and P. Gould,  Phys. Rev. Lett. 75, 4011 (1995a)

C. Monroe, D.M. Meekhof, B.E. King, W.M. Itano and D.J. Wineland, Phys. Rev. Lett. 75,  4714 (1995b)

C. Monroe, D.M. Meekhof, B.E. King and D.J. Wineland, Science 272, 1131 (1996)

C.J. Myatt, B.E. King, Q.A. Turchette, C.A. Sackett, D. Kielpinski, W.H. Itano, C. Monroe and  D.J. Wineland, Nature 403, 269 (2000)

W. Nagourney, J. Sandberg and H. Dehmelt, Phys. Rev. Lett. 56, 2797 (1986)

W. Neuhauser, M. Hohenstatt, P.E. Toschek and H. Dehmelt, Phys. Rev. Lett. 41, 233 (1978)

W. Neuhauser, M. Hohenstatt, P.E. Toschek and H. Dehmelt, Phys. Rev. A 22, 1137 (1980)

G. Nogues, A. Rauschenbeutel, S. Osnaghi, M. Brune, J.M. Raimond and S. Haroche, Nature  400, 239 (1999)

S. Peil and G. Gabrielse, Phys. Rev. Lett. 83, 1287 (1999)

T. Rosenband, D.B. Hume, P.O. Schmidt, C.W. Chou, A. Brusch, L. Loirin, W.H. Oskay, R.E.  Drullinger, T.M. Fortier, J.E. Stalnaker, S.A. Diddams, W.C. Swann, N.R. Newbury, W.M. Itano, D.J. Wineland and J.C. Bergquist, Science 319, 1808 (2008)

C. Sayrin, I. Dotsenko, X. Zhou, P. Peaudecerf, T. Rybarczyk, S. Gleyzes, P. Rouchon, M.  Mirrahimi, H. Amini, M. Brune, J.M. Raimond and S. Haroche, Nature 477, 73 (2011)

P.O. Schmidt, T. Rosenband, C. Langer, W.M. Itano, J. C. Bergquist and D.J. Wineland,  Science 309, 749 (2005)

F. Schmidt-Kaler, H. Häffner, M. Riebe, S. Gulde, G.P.T. Lancaster, T. Deuschle, C. Becher, C.F. Roos, J. Eschner and R. Blatt, Nature 422, 408 (2003)

R.J. Schoelkopf and S.M. Girvin, Nature 451, 664 (2008)

E. Schrödinger, “Die gegenwärtige Situation in der Quantenmechanik (The present situation in Quantum Mechanics)”, Naturwissenschaften 23, 807, 823, 844 (1935)

R.J. Thompson, G. Rempe and H.J. Kimble, Phys. Rev. Lett. 68, 1132 (1992)

D.J. Wineland and H. Dehmelt, Bull. Am. Phys. Soc. 20, 637 (1975)11 (11)

D.J. Wineland, R.E. Drullinger and F.L. Walls, Phys. Rev. Lett. 40, 1639 (1978)

D. J. Wineland, P. Ekstrom and H. Dehmelt, Phys. Rev. Lett. 31, 1279 (1973)

D.J. Wineland and W.M. Itano, Phys. Rev. A 20, 1521 (1979)

D.J. Wineland and W.M. Itano, Phys. Lett. A 82, 75 (1981)

W.H. Zurek, Phys. Today 44, 36 (1991)


"Learning gives creativity 
Creativity leads to thinking 
Thinking provides knowledge 
Knowledge makes you great 
Knowledge gives powers 
Knowledge rules the world 
knowledge provides wisdom" 
~Arip~

Sumber:

1. http://www.nobelprize.org/nobel_prizes/physics/laureates/2012/

2. http://www.nist.gov/pml/div688/grp10/index.cfm

3. http://www.college-de-france.fr/site/en-serge-haroche/

4. Belajar dari Tradisi Nobel oleh: Agnes Aristiarini