Oleh : Ust. Achmad Rofi’i, Lc. (Siri 2)
...sambungan
Dengan demikian, jika diqiyaskan pada masa sekarang adalah bahwa : Orang yang hidup dari usaha Menyanyi, Musik, Alat-Alat Musik dan sejenisnya terhukumi Harom penghasilannya, sebagaimana telah dijelaskan oleh Al Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله.
Hadits-Hadits dan atsar perkataan para ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah sehubungan dengan hal ini adalah sangat banyak, namun menurut Al Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله, bukanlah disini tempatnya untuk menyebutkan semua larangan yang berkenaan dengan hal tersebut satu per satu, karena Al Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله menjelaskan dengan singkat bahwa perkara yang dibahasnya adalah berkenaan dengan perintah ber-Ittiba’ (mengikuti Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم) dan larangan berbuat Bid’ah.
Kata beliau, Al Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله:
“Ketahuilah olehmu semoga Allooh سبحانه وتعالى memberikan Taufiq agar engkau taat kepada Allooh سبحانه وتعالى. Bahwa syair, lirik dan bait-bait lagu yang dinyanyikan oleh para biduan hari ini (– di zaman hidupnya Al Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله –), dimana melalui nyanyian-nyanyian tersebut mereka menggambarkan sesuatu yang indah-indah tentang khamr, tentang mata dan sebagainya, yang bisa menggerakkan tabiat manusia dan mengeluarkan manusia dari keseimbangan dirinya, bahkan membuat orang menjadi bergairah untuk senang dan gemar terhadap lahwun (— sesuatu yang tidak berfaedah dalam pandangan Syar’i — pent.), maka hukumnya adalah Harom.”
Kata “Harom” yang kita sering dengar, janganlah dianggap sebagai sesuatu yang biasa saja, sebab “Harom” itu maknanya besar sekali. Orang yang melanggar sesuatu yang Harom, maka ia sesungguhnya termasuk orang yang berdosa, bahkan jika ia sering melakukannya, maka ia termasuk pelaku dosa besar. Na’uudzubillaahi min dzaalik.
Lalu oleh Al Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله dibawakan perkataan dari Imaam Ath Thobari Ibnu Jariir رحمه الله dimana beliau mengatakan dalam Kitabnya yang berjudul KitabTafsir Ibnu Jariir :
“Sepakat diantara para ‘Ulama dari berbagai pelosok negeri untuk meng-Haromkan Al Ghinaa (Nyanyian) dan melarangnya.”
Berarti para ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah di zaman Al Imaam Ath Thobari Ibnu Jariir رحمه الله telah sepakat untuk meng-Haromkan Nyanyian.
Kemudian Al Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله meneruskan:
“Walaupun ada yang mengatakan bahwa nyanyian itu mengajak supaya orang berbuat zuhud, tetap yang demikian itu adalah termasuk yang dilarang. Itu adalah tambahan-tambahan yang buruk. Hindarilah wahai saudaraku, ikutilah mereka orang-orang Salafus Shoolih.”
Lalu disampaikan oleh beliau perkataan dari ‘Abdullooh bin Mas’uud رضي الله عنه: “Nyanyian itu menimbulkan kemunafikan dalam hati seseorang, sebagaimana air telah membuat suburnya tumbuhan, rumput-rumputan yang hijau.”
Jadi, walaupun ada orang yang berdalih dengan menyatakan bahwa “Nyanyian itu supaya mengajak orang berbuat zuhud”, bila di zaman kita sekarang adalah sebanding dengan yang dinamakan sebagai “Musik Islami” dan sejenisnya; maka menurut Al Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله, tetap saja itu termasuk perkara yang dilarang di dalam Islam,sebagaimana penjelasan Shohabat ‘Abdullooh bin Mas’uud رضي الله عنه bahwa Nyanyian itu menimbulkan kemunafikan pada hati seseorang.
Tentu kita harus mengetahui dan menyadari bahwa tumbuhnya kemunafikan didalam hati manusia itu adalah seperti tumbuh suburnya rumput yang hijau, tetapi secara tidak terasa dan tidak kelihatan. Nyanyian dapat membuat seseorang menjadi munafiq, tanpa disadarinya. Diantara tanda munafiq adalah suka mendengarkan Nyanyian, suka Musik dan meninggalkan Al Qur’an (Kalamullooh). Bahkan akan kita ketahui pula bahwa tanda dari orang munafiq itu adalah suka terhadap pujian.
Diantara perkataan para ‘Ulama berkenaan dengan hal tersebut adalah sebagai berikut:
Seseorang bertanya kepada Al Qasim bin Muhammad رضي الله عنه, beliau adalah cucu Abu Bakar As Siddiq رضي الله عنه, berkenaan dengan masalah Al Ghinaa. Maka beliau menjawab, “Aku larang kalian dari (nyanyian) itu, aku benci kalian melakukan itu (nyanyian).”
Lalu seseorang bertanya lagi, “Apakah itu Harom?”
Jawab beliau, “Wahai saudaraku, jika engkau tahu bahwa Allooh sudah membedakan antara yang Haq dan yang Baathil, lalu dimanakah letak nyanyian itu?”
Jawaban Al Qasim bin Muhammad رضي الله عنهadalah justru berupa pertanyaan lagi, yang menunjukkan jelasnya bahwa Nyanyian itu tidak ada kemungkinan termasuk sebagai perkara yang Haq. Jadi, jelaslah bahwa Nyanyian tergolong sebagai yang Baathil.
Yang sangat memprihatinkan adalah justru di zaman kita hidup sekarang ini, Nyanyian itu dijadikan sebagai bagian dari budaya Islam; padahal Nyanyian telah jauh-jauh hari diingkari oleh para ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah dan digolongkan sebagai kema’shiyatan.
Lalu bila sebagian kalangan di masyarakat kita di zaman sekarang ini berdalih bahwa mereka mengadakan “Musik Islami” itu untuk membantu dakwah, maka sadarilah: “Bagaimanakah engkau berdakwah (menyeru manusia ke jalan Alloohسبحانه وتعالى) dengan sesuatu yang dibenci dan di-Haromkan oleh Allooh سبحانه وتعالى?” Tentu tidaklah mungkin !!
‘Umar bin ‘Abdul Aziz رضي الله عنه (yang oleh Al Imaam Asy Syaafi’iy رحمه الله dikatakan sebagai Khaliifah yang ke-5 menuliskan sebuah surat kepada guru yang mengajar anaknya, sebagai berikut:
“Ajarilah kepada mereka, anak-anak itu dan jadikanlah sesuatu yang harus diyakini bahwa hendaknya mereka benci pada sesuatu yang tidak berfaedah. Yang mana hal itu adalah permulaannya dari syaithoon, sehingga hal itu dianggap nikmat, dianggap mensejahterakan bathin seseorang, padahal itu adalah syaithoon yang menghiasinya pada manusia. Menghadiri dan mendengarkan Al Ma’aazif adalah menumbuhkan kemunafikan dalam hati, sebagaimana rumput-rumputan telah ditumbuhkan oleh air. Aku bersumpah agar engkau, wahai Guru, menjauhkan anak-anak itu dari hadirnya mereka ke tempat-tempat yang seperti itu.”
Lalu ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah yang juga merupakan seorang Qodhi (Hakim) pada masanya, yakni Al Fudhail bin ‘Iyaadh رحمه الله, beliau berkata:
“Al Ghinaa ruqyatuzzina(Nyanyian adalah jampi-jampi yang membawa orang untuk berzina).
”
Hal ini tidak bisa diingkari. Bermula dari Nyanyian, lalu seseorang mulailah mengkhayalkan sesuatu, lalu berakhirlah dengan zina. Baik zina yang dilakukan oleh dirinya sendiri ataupun zina sebagaimana yang sekarang banyak dilakukan dan tersebar dimana-mana, dimana para biduan dan biduanitanya memakai pakaian yang terbuka aurotnya serta berbagai kemunkaran lainnya.
Berkata Adh-Dhohhaak رحمه الله, seorang ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah dari kalanganTaabi’iin, bahwa: “Yang disebut dengan Nyanyian adalah merusak hati dan membuat Alloohسبحانه وتعالى murka.”
Berkata Yaziid Ibnul Waliid رحمه الله. “Wahai Bani Umayyah, berhati-hatilah dan hindarilah oleh kalian dari Al Ghinaa (Nyanyian). Sesungguhnya Nyanyian itu akan menambah kepada seseorang syahwat dan kemudian meruntuhkan muruu’ah (rasa malu yang dimiliki orang tersebut), dan menggiring seseorang kepada khamr dan apa yang dilakukan oleh para pemabuk.”
Kalau kita perhatikan maka orang-orang yang berjoget itu adalah laksana orang yang kehilangan akal (gila), atau mungkin memang sebelumnya mereka telah meminum khamr atau narkoba, sehingga mereka melakukan gerakan-gerakan yang ia tidak sadari bahwa hal itu merupakan bagian dari kekonyolan dan bagian dari unsur Junuun (gila).
Imaam Ahmad bin Hanbal رحمه الله juga mengatakan bahwa: “Nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan didalam hati.”
Lalu beliau ditanya, bagaimanakah tentang mendengarkan Qasidah-qasidah?
Dalam bahasa Arab, Qasidah artinya adalah untaian syair atau pembacaan puisi. Jadi Imaam Ahmad bin Hanbal رحمه الله ditanya bagaimana tentang mendengarkan pembacaan puisi,maka beliau mengatakan, “Aku membenci yang demikian itu. Itu adalah Bid’ah dan kelalaian. Janganlah duduk bersama mereka.”
Demikianlah ketegasan para ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah terhadap perkara Nyanyian. Hal ini bukanlah karena seorang Ahlus Sunnah anti terhadap peradaban, tetapi karena bila perkara Nyanyian itu dikaitkan dengan dienul Islam, maka akan berbenturan dengan firman Allooh سبحانه وتعالى serta berbenturan dengan rambu-rambu yang telah diajarkan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Lalu diriwayatkan pula oleh Al Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله, bahwa Ishaq Ibnu ‘Isa bertanya kepada Imaam Maalik رحمه الله, dimana pada zaman mereka itu Al Ghinaa (Nyanyian) itu sudah mulai ada dan mulai masuk ke wilayah Madinah.
Maka Imaam Maalik رحمه الله, Imaam Ahlul Madinah dan ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ahmenjawab ketika beliau ditanya tentang masalah Al Ghinaa, “Menurut kami, yang melakukan nyanyian itu adalah mereka orang-orang yang disebut Al Fusaq (orang-orang Faasiq).”
Berarti menurut Imaam Maalik رحمه الله, orang-orang yang menyanyi itu adalah orang-orang yangFaasiq.
Imaam Ath Thobari رحمه الله, salah seorang Imaam Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah, dan beliau adalah Ahli Tafsir yang masyhur, beliau berkata, “Imaam Maalik رحمه الله melarang kita mendengarkan nyanyian. Dari menyanyinya, mendengarkannya, beliau melarang. Apabila ada orang yang membeli budak (hamba sahaya), dan ternyata budak tersebut adalah seorang biduan, maka budak itu harus dikembalikan karena ia sudah cacat.”
Imaam Abu Hanifah رحمه الله, salah seorang Imaam Madzab yang Empat, beliau mengatakan bahwa beliau membenci nyanyian; dan mendengarkan nyanyian adalah bagian dari dosa.Semua ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah dari Kuufah, seperti Ibrohim An Nakhaa’i , Asy Sya’bi, Hammad, Sofyan Ats Tsauri رحمهم الله, mereka mengatakan bahwa Nyanyian adalah termasuk dosa dan bagian dari ma’shiyat. Tidak dikenal seorang pun dari mereka yang menyelisihi haromnya Musik dan Nyanyian.
Imaam Asy Syaafi’iy رحمهم الله, yang demikian dekat di hati orang-orang Indonesia yang kebanyakan ber-madzab Syaafi’iy, mengatakan:
“Aku datang ke sebuah negeri Iraq, lalu aku mengetahui disana ada budaya yang diada-ada oleh orang Zanaadiqoh (orang-orangZindiq atau Munaafiq), yaitu Nyanyian. Bahkan yang demikian itu telah menyibukkan mereka dari Al Qur’an.”
Lalu beliau رحمهم الله mengatakan, “Al Ghinaa’u huwa maqruunun yusbihul baathil(Nyanyian itu adalah makruh, mendekati baathil).”
Yang disebut “makruh” pada zaman beliau yakni zaman sebelum abad ke-3 Hijriyah maka “makruh” menurut mereka itu (‘Ulama Mutaqoddimiin) hukumnya adalah Harom. Tidak seperti yang kita pahami selama ini bahwa makruh adalah bila dilakukan itu tidak berdosa dan bila ditinggalkan adalah berpahala. Pendapat yang seperti ini adalah datangnya dari ‘Ulama belakangan (Mutaa’akhiriin). Tetapi pada zaman Imaam Asy Syaafi’iy رحمهم الله dimana beliau hidup di abad ke-2 Hijriyah, maka yang dimaksud dengan “makruh”, menurutnya adalah Harom dan mirip dengan baathil.
Al Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله mengatakan, “Itulah perkataan ‘Ulama dalam masalah Nyanyian.” Lalu beliau رحمه الله mengatakan bahwa yang termasuk diharomkan adalah: Hadirnya wanita, Duf (rebana), Syababab (sejenis gitar) dan lain-lain kemunkaran sejenisnya.
Berkata Syaikh Jamaluddin Abul Kharaj Ibnul Jauzi: “Berapa banyak orang terfitnah karena suara Nyanyian. Jangankan orang faasiq, orang yang termasuk zuhud dari dunia pun terkena. Orang yang ahli ibadah pun akan ikut terpaut hatinya, tergoda dengan Nyanyian.”
Kata beliau selanjutnya, bahwa telah beliau sebutkan contoh-contoh itu semua dalam kitab yang berjudul Dzam Al Hawa, yang didalamnya dijabarkan tentang Hukum-Hukum Syari’at terhadap perkara Nyanyian.
Lalu kata Al Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله: “Hendaknya orang yang berakal menasehati dirinya, saudaranya dan mengajak mereka agar terhindar dari tipu-daya syaithoon.”
Kalau saja tidak khawatir menjadi berkepanjangan pembicaraan mengenai masalah Nyanyian ini, saya akan tambahkan lagi berbagai penjelasan tentang apa yang ada dalam masalah ini. Tetapi bagi orang yang berakal dan cerdik, orang yang Allooh سبحانه وتعالى berikan Taufiq, dan orang yang menerima nasehat, tentu akan mengikuti nasehat tersebut walaupun dengan isyarat yang pendek.
Muslimin dan Muslimat yang dirahmati oleh Allooh سبحانه وتعالى,
Mudah-mudahan kita termasuk orang yang mau menerima nasehat. Dan penjelasan yang telah diuraikan diatas adalah sebagai isyarat. Adakah kita mau menerima isyarat tersebut ataukah tidak? Adakah kita mau menerima tuntunan Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuul-Nya صلى الله عليه وسلم atau lebih suka pada hawa nafsu?
Ibarat lampu lalu lintas, maka ini adalah suatu lampu merah dimana kita hendaknya berhenti dari kema’shiyatan tersebut, bila telah datang dalil berupa Al Qur’an dan Hadits-Hadits Shohiih serta penjelasan para ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah tentangnya.
Ada beberapa madhorot, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Allooh سبحانه وتعالى tentang masalah Menyanyi, yaitu:
- Mukholafatul Qur’aani Was Sunnah, bukan lagi merupakan suatu Bid’ah, melainkan terang-terangan melawan apa yang telah diharomkan oleh Allooh سبحانه وتعالى dan yang diharomkan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
- Nyanyian menumbuhkan kemunafikan didalam hati manusia. Nyanyian mengganggu para ahli ibadah. Mengganggu orang-orang yang tadinya tidak tergiur dengan masalah dunia, lalu karena mendengar suara Musik dan Nyanyian tersebut maka mereka menjadi tergoda dan terpukau, lalu pada akhirnya menjadi orang yang tertarik dan cinta pada dunia dan melalaikan untuk mempelajari Al Qur’an dan Hukum-Hukum Allooh سبحانه وتعالى. Dan ini adalah berbahaya.
- Menjauhkan manusia dari jalan Allooh سبحانه وتعالى. Orang yang tadinya mendengar dan betah terhadap Al Qur’an, maka dengan Nyanyian ia pun menjadi lebih terlena dengan suara Musik dan Nyanyiannya, serta lebih dekat pada hawa nafsunya, sementara dalam Al Qur’an itu ada aturan kehidupan, tetapi manusia lalu menjadi tidak mau diatur oleh Allooh سبحانه وتعالى dan lebih cenderung untuk mengikuti hawa nafsu dirinya.
- Menjauhkan manusia dari keseriusan (Serius dalam ibadah, serius dalam mencari kebaikan dunia dan akhirat, serius berjihad, dsbnya). Tetapi Nyanyian itu akan membawa kepada ma’shiyat, dan ini tidak boleh terjadi.
Karena besarnya kemadhorotan Nyanyian, maka para ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah sejak zaman dahulu sudah mewanti-wanti, memberi peringatan keras kepada kita agar tidak tergiur dengan Nyanyian. Maka waspadalah wahai kaum muslimin, bila kalian hendak menjaga dien kalian, maka hendaknya mengikuti apa yang telah dinasehatkan baik didalam Al Qur’an danSunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم serta oleh para ‘Ulama Ahlus Sunnah yang mu’tabar.
Mudah-mudahan kita selalu puas dengan apa-apa yang telah ditunjukkan jalannya yang lurus oleh Al Qur’an dan As Sunnah.
Video:
Joget Sasak Hot Bebas Dicium dan Dipeluk Sepuasnya
12 Apr 2014 - Dimuat naik oleh Ijma'83
Mengupas hukum seputar musik dari dalil al-Qur'an dan Hadits yang Sohih. Disampaikan oleh Dr Zakir Naik ...
Bersambung..
Lihat sebelum ini..