Tuesday, April 20, 2010

My Name is Khan

Rating:
Category:Movies
Genre: Drama
Kapan yah terakhir kali gue nonton berdua bang kribo…………. Kayaknya 31 desember 2008 deh. Waktu itu kita berdua bisa pulang cepet dari kantor, nyempet-nyempetin nonton ke blitz GI, milih film apa aja yg ada, Bedtime story pun jadi, yang penting bisa nonton berdua sambil pegangan tangan kikikikik….. Filmnya std banget buat bunda, boro-boro lucu, tapi berhub si ayah abis makan ‘brownies ajaib’ di kantornya, dia mah ketawa gak karuan, doh!

Habis itu gak pernah nonton berdua lagi. Gak bisa dibilang gak ada kesempatan samsek sih, tapiiiiii….. gak bisa aja rasanya ninggalin eneng buat nonton berdua doang, seperti yang dulu pernah tertulis di sini ( http://zeeva-athena.blogspot.com/2008/01/mad-about-you.html ... eh kalo review mah gak bisa ngelink yah?). Hingga sekitar sebulan yang lalu, si eneng kekeuh pengen ikut abah n eni ke tangerang n ke Bekasi. Berhub rute panjang gila, dijamin si eneng masih lama pulangnya…. Bang kribo pun mengajukan ide cemerlang buat kencan di bioskop. Gak ada beban perginya, secara dalam hal ini si eneng yang ‘ninggalin’ aybund, bukan sebaliknya.

Paling asik ya margo platinum. Paling deket sih ke 21plaza depok, depan terminal. Tapi berhub filmnya gak jauh dari Arisan Brondong, Pocong Perawan, Kuntilanak Datang Bulan (eh bener gak sih itu judul2 pilem?) jadi aybund ogeng bener dah, bukan apa-apa, pelem-pelem kyk gitu mah udah kita tonton semua wagagagag…..

Akhirnya, pilihan tontonan jatuh ke My Name is Khan, penasaran aja mengingat beberapa resensi yang pernah gue baca.

Melupakan semua resensi, in my humble opinion… we should salute the original story writer… and together with him (or her?) lets curse the producer, script writer and talent artist! May you guys burn in Hell-i-wood!

Ide besar ceritanya sungguh cemerlang. Mengalirkan sebuah konflik dalam track alami yang ‘dijaga’ seorang penderita Autis bernama Khan. Khan adalah seorang muslim India yang kemudian migrasi ke Amerika Serikat. Seperti kita ketahui, posisinya begitu rawan konflik. Baik di India maupun di Amerika Serikat, muslim bukanlah sebuah golongan yang bisa bebas menenteng samurai, mengintimasi, dan bahkan, membunuh seseorang sambil menyerukan nama Tuhan, lalu melenggang begitu saja dengan kepala tegak bak seorang pahlawan selesai berjuang.

Intimidasi, diskriminasi, atau sekedar tatapan curiga bukanlah barang aneh bagi muslim dalam posisi Khan. Tidak hanya dari orang selain muslim, tapi juga dari saudara seiman. Dan semuanya dipertanyakan oleh Khan dalam ‘kenaifan’ seorang penderita autis. Maka, dibalik ‘kenaifan’ tersebut, film ini mampu bercerita secara ‘naif’ pula, dalam kepolosan hati yang bersih, simple, dan menjadi terasa begitu tak menggurui.

Salah satu adegan menyentuh adalah ketika Khan kecil melihat konflik antar muslim dan hindu di India, kemudian dia mengikuti omongan tetangganya sesama muslim yang mengutuk umat hindu. Dengan segera, ibunya mengambil buku tulis, menggambarkan orang sedang memukul orang lain dengan tongkat yang kemudian Khan simpulkan sebagai orang jahat. Sebuah gambar lagi ditorehkan ibunya di buku yang sama, yang menggambarkan orang memberi lollipop pada orang lain, yang disimpulkan Khan sebagai orang baik. Dan ibunya menutup dengan… hanya ada dua jenis orang di dunia ini, baik dan jahat! Dia bisa muslim, bisa hindu, bisa juga agama, jenis kulit, atau warga Negara lain. Simple, cenderung naïf, tapi siapa bisa menyangkal?

Selain itu, ada sebuah quote yang juga begitu terasa menyengat, salah satunya menyatakan: (sorry, sayah bukan pengutip yang baik, jadi seingetnya aja ya kalimatnya) Orang di dunia barat membagi masa dalam dua bagian, sebelum masehi dan sesudah masehi, tapi setelah tragedy 9/11 mereka memulai sebuah masa yang baru. Setidaknya begitulah dalam dunia Khan dan keluarganya yang adalah imigran muslim di Amerika Serikat.

Nah di sini salah satu ‘keajaiban’ Bollywood (yang kayaknya diadaptasi, kalau tidak mau disebut ditiru, oleh sinetron Indonesia) entah kenapa nama Khan begitu identik dengan nama muslim di sebuah lingkungan yang sangat ‘ngamerika’. Okeh…. Di India boleh lah, seperti mungkin di Sumatra Utara orang dapat mengasosiasikan nama keluarga seseorang dengan sebuah agama. Tapi di luar itu kan tidak banyak yang ngeh toh? Kedua, hampir semua tokoh kunci adalah orang India. Dua reporter kampus, seorang reporter dari stasiun televis ternama, sama siapa lagi ya? Lupa dah… intinya, orang India top banget lah, ada di berbagai posisi strategis di Amerika sana.

Rasa bollywood juga begitu kental, tidak hanya dari scene-scene kecil macam: cewek cantik yang sedang ketawa dalam slow motion, rambutnya berkibar-kibar, terus tau-tau bengong pas ketauan diliatin, terus ketawa lagi… syet daaaah ada berapa kali aja tuh scene kyk gitu (opini dikontaminasi oleh rasa ngiri karna rambut cuma bisa kiwir-kiwir, boro-boro kibar-kibar). Selain itu juga dalam hal yang lebih prinsip seperti multi-ending yang memang sepertinya begitu kental mengalir dalam darah sutradara-sutradara bollywood….. and I bet, some of them are related to the Punjabis! Banyaaaaak dah adegan yang aturan tuh udah aja gituh, tutuuuuup, eh dia masih ada terusannya… haruslah menutup dengan menolong Mama Jenny yang kebanjiran, mesti keluar RS sambil dieluk-elukan dulu lah, abis gitu masih kuduuuu aja gitu salaman sama Obama….capew dew! Padahal pointnya udah nyampe dari kapan tau. Tapi entah karna takut penontonnya kurang pinter, atau emang kru filmnya saling menyayangi sehingga gak mau buru-buru selesai shooting terus bubar, jadilah happy ending terus menerus digelar.

Speaking about penonton yang (dikhawatirkan) kurang pinter, para pembuat My Name is Khan juga merasa perlu untuk menjabarkan dengan symbol-simbol ‘dangkal’ mengenai banyak hal. Seperti kerukunan antar umat manusia digambarkan dengan menolong Mama Jenny dan warga kota lainnya yang terperangkap badai di dalam gereja. Para penolong entah bagaimana berhasil masuk ke daerah terisolir, beberapa memakai atribut muslim, beberapa dari etnis berkulit putih, beberapa berkulit hitam, semua lagi jalan menembus banjir yang sampai sedada. Dan mereka bekerja, ngangkat-ngangkat barang, di bawah badai yang konon mematikan, sambil terus disiram hujan, oh iya… dengan diiringi lagu-lagu pembawa perasaan dan dalam slow motion mode on cencunya…… Dan mereka pikir, mereka sudah jauh dari bollywood dengan tidak membiarkan khan dan kajol bernyanyi dan menari! Yeah rite!

Oh iya, satu lagi…. The talent agent! Siapapun orangnya, harusnya dia belajar banyak pada talent agent yang menemukan perempuan aneh yang joget-joget aneh di iklan tori cheese crackers bersama dua pahlawan bertopeng aneh di belakangnya! Setidak-tidaknya mereka begitu menyebalkan sampai membuat gue inget tori cheese crackers setiap kali lewat lorong snack di supermarket, walaupun itu tidak berarti gue mau membelinya, tapi dalam teori red ocean dunia periklanan, takdirnya sebagai iklan tercapai, menancapkan produknya dalam ingatan penonton iklan. Sementara di my name is Khan, talent agent bahkan tidak dapat memilih Obama yang setidaknya, mirip presiden, dan bukan mirip agen asuransi kemaren sore….. masih jauh lebih meyakinkan Obama yang kuliah di BSI deh! Belum lagi orang FBInya yang lebih mirip orang-berusaha-mirip-agen-FBI-dan-gagal! Belum lagi adegan Khan diinterogasinya…. Yeilaaaah gak sekalian lagi disetrum dengan posisi nungging dengan background lampu disko aje, biar sekalian gak meyakinkan pol! Dan walaupun akting Sharuk Khan sebagai penderita Autis kelihatan cukup meyakinkan, tapi tolong deh… totalitasnya sebagai aktor, mbok ya otot diumpetin dulu, badan digembyorin dulu kek, tiru dong Sly di film apaan tuh yang dia jadi polisi budek… dia aja yang mantan Rambo rela ngegemukin badannya buat peran itu. Atau paling enggak sutradaranya kek menghilangkan adegan di mana ototnya Khan terekspos. Langsung buyar semua aktingnya sebagai penderita Autis begitu Khan ngangkat kedua lengan ‘bergunung-gunung’nya.

Dan walaupun gue begitu mengapresiasi kemampuan pemilik ide ceritanya yang mampu menggambarkan perspektif muslim dalam konflik ini dengan sangat lugas, sederhana, dan ‘masuk akal’, tapi toh ceritanya juga kurang orisinil…. Sebelumnya, kita bisa ngeliat ide serupa dalam Forrest Gump. Mempertanyakan dunia dalam perspektif orang dengan kbutuhan khusus, yang ujungnya membuat kita, yang katanya tidak punya kebutuhan khusus ini, jadi merasa... ternyata dunia bisa terlihat sesederhana itu, kalau kita mau menggeser sudut pandang.

Well… setidaknya kami punya waktu untuk bergandengan tangan sepanjang film… *wink wink*

note: foto hasil gugling dari mana tau, lupa euy.. maap yah yg punya