Tampilkan postingan dengan label Syiah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Syiah. Tampilkan semua postingan

Selasa, Oktober 06, 2009

Mut'ah Marriage

Nikah Mut'ah
Oleh: A Khudori Soleh
Benar seperti yang pernah dilaporkan Sdr. Girbal Fachruddin tentang diskusi kawin mut'ah di PP “Badridduja” Probolinggo, Jawa Timur,[1] bahwa diskusi-diskusi atau kajian yang dilakukan masyarakat tentang hubungan Sunnah-Syiah, sering kurang (jika tidak boleh dikatakan tidak) dilakukan dengan terbuka, jujur dan ilmiah. Amalan-amalan Syiah seperti mut'ah, selalu dipandang dengan rasa curiga dan benci, walau kadang --bahkan sering-- belum diketahui begaimana jluntrungnya.
Syiah dan amalan-amalannya mestinya dapat lebih dipandang secara wajar dan dihadapi sebagaimana saudara muslim yang lain. Sebab, pertama, seperti dikatakan KH. Thalhah Hasan, para penganut Syiah bagaimanapun termasuk bagian dari umat Islam juga. Bahkan, madzhab Syiah pernah hadir dalam sejarah yang amat penting dalam Islam dan sampai sekarang masih dianut oleh masyarakat Islam yang tidak sedikit.[2]
Kedua, serangan yang dilancarkan terhadap terhadap Islam dan keutuhannya, oleh para penulis Barat dan penulis Islam sendiri, yang menyatakan (membesar-besarnya) perpecahan Sunnah-Syiah tapi gagal mengingatkan perpecahan serupa pada setiap agama di dunia lainya, mengharuskan telaah yang murni dan terinci atas madzhab Syiah. Bila tuntutan semacam ini tidak ada, maka akan sia-sia (tidak ada gunanya) kita mengetengahkan kepada dunia luar, semua dalil polemik yang memisahkan antara Sunnah dan Syiah.
Apalagi saat ini para ulama Syiah dan Sunnah tengah berusaha menghindari perbenturan satu sama lain demi melindungi Islam, maka kajian-kajian secara jujur dan terbuka tentang Sunnah dan Syiah amatlah penting. Pada tahun 1955 telah didirikan lembaga yang diberi nama "Dar al-Taqrib Bain al-Muhadzdzab al-Islamiah". Tujuannya, untuk menciptakan saling pengertian di antara madzhab fiqih dalam lingkungan Sunnah-Syiah: Jakfariyah, Zaidiyah, Hanafiyah, Malikiyah, Syafi`iyah dan Hambaliyah melalui pendekatan historis, akademis, analisis dan kepentingan umat Islam pada umumnya. Sebagai ketua umumnya yang pertama adalah Syeh Mahmud Saltut, Rektor Universitas al-Azhar (Sunni). sedang Sekjen organisasinya adalah Syeh al-Qumi, Guru Besar di Hauzeh, Qum, Iran.

Kawin Mut'ah
Kawin mut'ah, sebagaimana yang dipahami dan dipraktikan kaum Syiah, adalah suatu bentuk perkawinan sementara atau dalam batas waktu tertentu, antara wanita dan laki-laki, dalam keadaan tidak ada hambatan apapun pada diri wanita tersebut yang membuatnya haram dinikahi, sesuai dengan aturan agama: baik yang berupa hambatan nasab, periparan, persusuan, ikatan perkawinan dengan orang lain, iddah, atau lain sebab yang merupakan hambatan yang telah ditetapkan oleh agama. Misalnya, bila wanita itu pernah dinikahi oleh ayah calon suami, atau ia adalah saudara istri dari calon suami.
Kawin mut'ah harus melalui akad. Dalam akad ini, sebagaimana dalam akad-akad yang lain, diperbolehkan untuk diwakilkan pada orang lain. Dengan terselesainya akad tersebut, maka wanita itu menjadi istri sang laki-laki, dan laki-laki menjadi suaminya, sampai selesai atau berlalunya batas waktu yang telah ditentukan. Dan segera setelah berlalunya masa itu, secara otomatis, perkawinan tersebut tidak berlaku lagi, tanpa talak, sama seperti dalam akad sewa menyewa. Akan tetapi, suami berhak memisahkan diri sebelum habisnya waktu dengan menghibahkan sisanya kepada wanita, bukan dengan talak.
Setelah perkawinan mut'ah itu lewat, atau dihibahkan sisanya, maka bagi si istri yang telah di "campuri", diwajibkan menjalani masa iddah (masa tunggu sebelum boleh kawin lagi) selama dua quru’ (dua kali masa haid). Sedang bagi istri yang belum di “campuri”, tidak ada masa iddah, seperti istri yang dicerai dalam model perkawinan "permanen", sebelum dicampuri.
Tujuan kawin mut’ah bukan untuk membentuk keluarga, tetapi hanya untuk memperoleh legalitas hubungan sosial antara laki-laki dengan perempuan lain yang bukan mahram, termasuk hubungan seks, selama periode tertentu yang disetujui bersama. Karena itu, persetujuan yang dibuat dalam hal ini harus jelas dan pasti. Walau demikian, bukan berarti kawin mut'ah menghalangi kelahiran anak yang biasanya merupakan tujuan utama dalam kehidupan berkeluarga. Mut'ah memperbolehkan adanya anak. Bahkan anak-anak yang dilahirkan dari hasil mut'ah, baik laki-laki ataupun perempuan, memperoleh hak dan keistimewaan yang sama dengan yang dimiliki oleh anak-anak hasil perkawinan biasa. Mereka harus dinibatkan dan ditautkan dengan nasab ayahnya.[3] Mereka juga berhak menerima bagian harta peninggalan ayah dan ibunya.[4]
Tidak ada perbedaan sedikitpun antara kedua anak, yang lahir dari mut'ah atau perkawinan biasa. Segala yang berlaku terhadap anak, ayah dan ibu pada perkawinan biasa, berlaku juga terhadap anak, ayah dan ibu dalam perkawinan mut'ah. Begitu pula ketentuan yang berkaitan dengan kekeluargaan, yang berkaitan dengan saudara (laki-laki atau perempuan), kemenakan, paman, bibi atau saudara secara umum.
Kendati demikian, memang, akad mut'ah tidak mewajibkan adanya hubungan pewarisan timbal balik antara suami dan istri, atau “pembagian malam” bagi suami yang beristri lebih dari satu, atau nahkah untuk istri, kecuali dengan perjanjian sebelumnya.[5]
Dengan begitu, dibanding nikah permanen, nikah mut'ah mempunyai perbedaan sebagai berikut. Pertama, pada nikah mut'ah, antara suami dan istri dapat menentukan jangka waktu yang dikehendaki. Mereka dapat memperpanjang dengan mengulangi akad baru, atau berpisah setelah habisnya waktu yang ditentukan. Sedang dalam nikah permanen, yang menentukan waktu (yang mempunyai hak menjatuhkan talak) hanya pihak laki-laki.
Kedua, dalam nikah permanen, laki-laki selalu wajib menanggung nafkah istrinya dan memberikan segala yang diperlukan, sedang dalam nikah mut'ah tidak, kecuali ada perjanjian sebelum¬nya.
Ketiga, dalam nikah biasa, wanita tidak bisa menolak ajakan (harapan) kehamilan yang dikehendaki suami, sedang dalam nikah mut'ah harus menurut perjanjian. Dan bila nanti benar-benar terjadi kehamilan, maka biaya perawatan dan penghidupan anak, sepenuhnya menjadi tanggung jawab suami (pihak laki-laki).
Keempat, dalam nikah biasa, pihak wanita selalu mendapat warisan bila salah satu pihak meninggal di saat tali perkawinan masih berlangsung. Tapi dalam nikah mut'ah, semua tergantung perjanjian.[6]

Dasar Hukum Mut'ah.
Dasar hukum nikah mut'ah, menurut madzhab Syiah, adalah, pertama, QS. al-Nisa’, 24, “Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikan kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban...”(al-Nisa', 24).
Berkaitan dengan ayat di atas, menurut Syafaruddin al-Musawi,[7] beberapa shahabat seperti Ubay Ibn Ka’ab, Ibn Abbas, Saad Ibn Jubair, dan al-Suddiy, membaca dengan tambahan kata, “sampai batas tertentu”, menjadi “...maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka --sampai batas tertentu-- berikan kepada mereka...”. Al-Zamakhsari dalam tafsirnya, al-Kasysyaf, mengutip bacaan dengan tambahan tersebut dari Ibn Abbas.[8] Begitu pula al-Razi, yang merawikan dari Ubay Ibn Ka’ab. Al-Razi selanjutnya berkata, “Umat tidak menyanggah mereka berdua (Ibn Abbas dan Ubay ibn Ka'ab) dalam bacaan seperti itu. Maka hal itu merupakan Ijma dari mereka sebagai bacaan yang dibenarkan...”.[9] Bacaan serupa juga dilakukan oleh Ibn Mas'ud sebagaimana diceritakan al-Qadli Iyadl dari al-Maziri.[10]
Kedua, hadits-hadits Rasul. Hadits yang dijadikan rujukan madzhab Syiah amat banyak. Lihat al-Amili dalam bukunya Nikah Mut'ah Dalam Islam. Antara lain, hadits yang diriwayatkan dari Jabir Ibn Abdullah dan Salamah Ibn Akwa', mereka berkata, “Seseorang yang ditugasi Rasul muncul dihadapan kami seraya berseru: ‘Sesungguhnya Rasul telah mengizinkan kalian untuk bermut'ah”.[11]
Ketiga, dari fatwa para Imam Syiah. Imam al-Baqir berkata, “Allah menghalalkan nikah mut'ah seperti yang disebutkan dalam kitab suci-Nya dan yang disabdakan oleh Rasul-Nya. Dan nikah mut'ah halal sampai hari kiamat”.[12]
Imam Ali Ridla berkata, “Rasul menghalalkan nikah mut'ah dan tidak pernah mengharamkannya sampai beliau wafat”.[13] Sedang Imam Jakfar Shadiq berkata, “Nikah mut'ah termasuk rahmat yag dianug¬erahkan Allah kepada manusia”.[14] Imam Ali Ibn Abi Thalib berkata, “Farji-farji wanita bisa halal dengan tiga cara. Yakni dengan nikah daim (nikah permanen atau nikah biasa), nikah mut'ah, dan dengan memilikinya sebagai budak”.[15] Karena itu, menurut al-Amili, Imam Ali RA juga melakukan mut’ah dengan wanita dari Bani Nasyal ketika di Kuffah.

Mansukh Atau Tidak?
Tentang ayat al-Nisa’, 24 yang digunakan sebagai dasar diperbolehkannya mut'ah oleh madzhab Syiah, sebenarnya juga ada dan diakui oleh kaum Sunni. Hal itu bisa dilihat dalam kitab-kitab tafsir Sunni, misalnya, al-Qurthubi,[16] al-Khazin,[17] al-Baghawi,[18] Ibn Katsir,[19] Syeh Zadah (Tafsir Baidlawi),[20] dan lainnya. Perbedaan yang muncul adalah berawal dari perbedaan pandangan tentang kedudukan ayat tersebut. Kaum Sunni menganggap, ayat 24 dari surat al-Nisa’ telah dimansukh. Karena itu, hukum mut’ah sudah tidak berlaku: haram. Sebaliknya, menurut madzhab Syiah, ayat mut'ah belum dimansukh, sehingga masih berlaku: boleh. Halal.
Menurut kaum Sunni, ayat mut'ah dimansukh dengan ayat aurat (QS. al-Mukminun, 5 dan al-Ma'arij, 29). Atau dengan ayat perbuda¬kan, dalam hal batas waktu.[21] Atau dengan ayat warisan, sebab dalam mut'ah tidak ada hak pewarisan timbal balik antara suami dan istri. Atau dengan ayat talak dan iddah (di sini memang banyak pendapat).[22] Bahkan ada yang menyatakan, ayat mut'ah dimansukh dengan Ijma Ulama.[23] Tapi yang paling umum adalah pernyataan bahwa ayat mut'ah telah dimansukh dengan hadits. Namun, dalam Sunni sendiri sendiri tidak kesepakatan hadits mana menasikh ayat mut’ah. Sebab, hadits-hadits yang melarang mut’ah berbeda-beda tempat dan waktunya. Ada yang mengatakan di Khaibar, di Authas, saat pembukaan kota Makkah, Haji Wada' dan sebagainya.[24] Karena itu, Imam Syafi`i pernah menyatakan, nikah mut'ah pada mulanya diperbolehkan tapi kemudian dilarang, sampai dua kali. Ulama yang lain menyatakan, mut'ah diperbolehkan tiga kali kemudian dimansukh tiga kali. Yang lain lagi menyatakan, mut'ah diperbolehkan tujuh kali dan mansukh tujuh kali pula. Akan tetapi, menurut Ibbn Hajar, mut'ah diperbolehkan dua kali dan dimansukh dua kali pula.[25]
Madhzab Syiah menolak semua klaim kaum Sunni tersebut. Menurut mereka, mut'ah masih berlaku. Tidak ada satupun ayat atau hadits yang menasikh hukum mut'ah. Ayat aurat, talak, waris atau lainnya yang dianggap oleh kaum Sunni sebagai penasikh mut'ah, tidak bisa dibenarkan. Ayat-ayat tersebut turun di Makkah, jauh sebelum ayat mut'ah yang turun di Madinah. Bagaimana mungkin ayat yang menasikh (mengganti) turun lebih dulu daripada ayat yang dimansukh (diganti)?.[26]
Tentang mut'ah dimansukh dengan Ijma, jauh tidak bisa diterima. Pertama, menurut riwayat, mut'ah masih berlaku pada zaman Rasul, Abu Bakar dan permulaan kekhalifahan Umar. Mut'ah baru dilarang oleh khalifah Umar karena ulah Amr Ibn Khuraits.[27]
Kedua, masalah mut’ah masih dipertentangkan di antara para shahabat dan tabiin. Ketika khalifah Umar ibn Khaththab ra melarang mut’ah, para shahabat terutama Ibn Abbas tetap memperbolehkan, bahkan Ali ibn Abi Thalib RA dan Muawiyah tetap melakukan mut’ah ketika menjadi khalifah.[28]
Ketiga, pernyataan sepakat (Ijma) dari Sunni, sesungguhnya hanya dari sumber Sunni sendiri, tidak meliputi seluruh umat Islam yang berlainan madzhab, sehingga belum bisa dijadikan sebagai hujjah ijma’. Bahkan, dalam fiqh Sunni sendiri, tidak semua melarang. Kalangan Malikiyah (salah satu madzhab fiqh Sunni) kenyataanya masih memperbolehkan mut'ah. Bahkan menurut Imam Tirmidzi, yang melarang mut'ah dalam Sunni --sebenarnya-- hanya Imam Syafi`i, Ahmad, Ishaq, Ibn Mubar¬rak dan al-Tsaury.[29]
Selain itu, dalam ushul fiqih Sunni ada pernyataan bahwa hadits (Sunnah) tidak bisa menasikh al-Qur-an. Lalu apa artinya “kesepakatan ulama”, bila Sunnah Rasul sendiri tidak bisa mena¬sikh al-Qur-an?.
Begitu pula tentang mut'ah dimansukh dengan hadits. Hadits larangan mut'ah yang begitu banyak, yang dianggap shaheh oleh kaum Sunni, hanya yang diriwayatkan oleh Sabirah. Yaitu, pelaran¬gan mut'ah pada waktu pembukaan Makkah.[30] Menurut madzhab Syiah, hadits tersebut perlu dipertanyakan. Kalau benar Rasul melarang dengan berpidato di depan umum, mengapa tidak ada shahabat lain yang meriwayatkan? Mengapa hanya Sabirah seorang?
Selain itu, hadits Sabirah juga mengandung kontradiksi. Di satu hadits ia menyatakan mut'ah dilarang pada saat fathul Makkah, tapi ditempat lain dilarang waktu haji wadak. Di sinipun disebutkan bahwa pelarangan dilakukan di depan umum. Mengapa tidak ada shahabat lain yang meriwayatkan. Mengapa masih terjadi pada zaman Abu Bakar dan Umar? Mengapa shahabat besar seperti Ibn Abbas dan Ali ibn Abi Thalib tidak mengetahui sehingga tetap memperbolehkan mut'ah?[31]
Karena itu, madzhab Syiah tetap menolak bahwa mut’ah telah dimansukh. Menurut mereka, pelarangan mut’ah yang muncul di dunia Sunni sesungguhnya berasal dari keputusan khalifah Umar ibn Khaththab, bukan dari Rasul. Umar melarang mut’ah karena ulah Amr ibn Khuraits. Umar sendiri menyatakan, “…ada dua hal yang terdapat pada masa Rasul tetapi sekarang aku larang, yaitu mut’ah haji dan mut’ah nikah…”.[32]
Hadits tentang pelarangan mutlah dari Umar ibn Khaththab ini shaheh dan itu berarti hadits dari Saburah tidak dapat diterima. Sebab, jika benar bahwa mut’ah telah dilarang sejak zaman Rasul, kenapa Umar berkata begitu? Juga, kenapa shahabat yang lain termasuk keluarga Rasul sendiri, seperti Ali ibn Abi Thalib dan Ibn Abbas tidak melarang? Kenapa masih terus terjadi sampai masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar?
Mengapa Umar melarang mut'ah? Menurut Ibn Hazm dan al-Baquri, seperti dikutip al-Amili, karena Umar melihat adanya orang yang menyalahgunakan mut'ah. Ia takut pelanggaran tersebut akan terulang kembali. Karena itu, kemudian dilarang secara mutlak.[33]
Madzhab Syiah sangat menyayangkan pelarangan tersebut. Harus disadari bahwa disetiap undang-undang pasti ada pelanggaran. Seharusnya, yang melanggar itulah yang diberi sangsi, bukan justru hukumnya yang dihapus. Sebab bila demikian, berarti kita harus angkat tangan terhadap para pelanggar syariat, seperti melanggar tidak mengerjakan shalat, puasa, zakat dan sebagainya. Hal itu jelas tidak boleh terjadi pada sebuah undang-undang, apalagi syariat Islam yang suci. Karena itu, Ibn Abbas pernah mengeluh. “Andaikata Umar tidak melarang mut’ah, tentu tidak akan ada orang yang berzina kecuali mereka yang benar-benar rusak”.[34]

Penutup
Dalam bagian ini ada beberapa hal yang patut di sampaikan,
1. Persoalan nikah mut’ah yang diperselisihkan di antara Sunni dan Syiah, tampak didasarkan atas dalil dan argumentasi yang mapan. Dasar dan argumentasi yang disampaikan kaum Syiah juga tidak dapat dianggap lemah (jika tidak boleh dibilang kuat), bahkan tidak sedikit yang tercatat dalam kitab-kitab Sunni sendiri. Karena itu, persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hubungan antara Sunni dan Syiah menuntut adanya kajian yang mendalam, cermat, adil sekaligus jujur, sehingga dapat dibangun kesepahaman yang baik dan proporsional di antara kedua pihak.
2. Jika kita atau seseorang kemudian menerima konsep mut’ah sebagai sesuatu yang tidak dilarang atau boleh, misalnya, maka hal itu bukan berarti lantas harus melakukannya. Apa yang diperbolehkan bukan berarti wajib dilakukan. Menurut kaidah fiqih, apa yang ada dalam lingkungan mubah (boleh), maka pelaksanaannya haruslah dihubungankan dengan kondisi dan kemaslahatan. Apakah mut'ah sesuai dengan kondisi masyarakat kita. Selain itu, mengingat aturan mut'ah yang demikian ketat, apa masyarakat kita siap (mampu) melakukannya.
3. Perlu dibedakan antara mut’ah sebagai norma ajaran dengan mut’ah dalam prakteknya di lapangan. Masing-masing adalah sesuatu yang berbeda. Karena itu, mut’ah sebagai norma ajaran harus dikaji sendiri secara cermat, jujur dan terbuka berdasarkan kaidah akademis yang dapat dipertanggung jawabkan. Jika memang benar (dapat dipertanggung jawabkan), maka ia harus ditegakkan tanpa dikaitkan dengan perilaku-perilaku yang menyimpang di masyarakat, misalnya. Sebab, ia adalah persoalan lain. Karena itu, saya sepakat dengan keberatan kaum Syiah terhadap kebijakan Umar ibn Khaththab, bahwa undang-undang sebagai norma tetap harus ditegakkan. Jika ada pelanggaran, maka pihak pelanggarlah yang harus ditindak dan bukan undang-undangnya yang dihapuskan.

Catatan Kaki
1. Pembaca Menulis, Harian Jawa Pos, edisi 19 Agustus 1995
2. Majalah al-Syarif, edisi 6/V/1995.
3. Berdasarkan QS. Al-Ahzab, 5.
4. Berdasarkan QS. Al-Nisa’, 11
5. Semua uraian ini, lihat dalam Bahesti dan Bahonar, Hikmah Sejarah Wahyu dan Kenabian, (Jakarta, Risalah Masa, 1991), 180-5.
6. Ja’far Murtadla al-Amili, Nikah Mut’ah dalam Islam, (Jakarta, Yayasan al-Sajjad, 1992), 5-6.
7. Syafaruddin al-Musawi, Isu-isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah, (Bandung, Mizan, 1991), 89
8. Abi Qasim Mahmud Ibn Umar Zamahksari, al-Kasysyaf, I (Beirut, Dar al-Fikr, tt), 519
9. Fahruddin al-Razi, Tafsir al-Razi, III, (Beirut, Dar al-Fikr, tt), 201
10. Muhammad al-Nawawi, Syarh Shaheh Muslim, IX, (Beirut, Dar al-Fikr, tt), 179
11. Ibid, 172.
12. Murtadla al-Amili, Nikah Mut’ah dalam Islam, 100
13. Ibid, 101
14. Ibid.
15. Al-Nawawi, Syarh Shaheh Muslim, IX, 172
16. Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubi, al-Jami` al-Ahkam al-Qur’an, V, (Beirut, Dar al-Fikr, tt), 129-30
17. Ali ibn Muhammad al-Khazin, Tafsir al-Khazin, I, (Beirut, Dar al-Fikr, 1979), 506
18. Husain ibn Mas`ud al-Baghawi, Tafsir al-Baghawi, I, (Beirut, Dar al-Fikr, 1979), 506
19. Ismail ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, I, (Mesir, Dar al-Halabi, tt), 474
20. Syeh Zadah, Hasyiyah Tafsir al-Baidlawi, II, (Beirut, dar al-Fikr, tt), 126
21. Murtadla al-Amili, Nikah Mut’ah dalam Islam, 23. Lihat juga Ibn Ishaq al-Tirmidzi, Al-Sunan, III, (Madinah, al-Kitab, tt), 429-30
22. Murtadla al-Amili, Nikah Mut’ah dalam Islam, 24; Ahmad ibn Ali Ibn Hajar, Fath al-Bari, IX, (Beirut, Dar al-Fikr, tt), 73; al-Qurthubi, al-Jami` al-Ahkam al-Qur’an, V, 130.
23. Pernyataan ini umumnya ada dalam kitab-kitab fiqh. Lihat misalnya Abd Rahman al-Jazairi, Al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba`ah, IV, (Mesir, Dar al-Makmun, tt), pasal mut’ah; Abd Wahab ibn Ahmad al-Sya`rani, Mizan al-Kubra, II, (Beirut, dar al-Fikr, tt), 113
24. Lihat misalnya Ibn al-Qayyim al-Jauzi, Zad al-Ma`ad, III, (Beirut, Dar al-Fikr, tt), 6; al-Syaukani, Nail a-Authar, (Mesir, al-Bab al-Halabi, 1961), psal mut’ah
25. Ibn Hajar, Fath al-Bari, IX, 170; Al-Syaukani, ibid.
26. Murtadla al-Amili, Nikah Mut’ah dalam Islam, 26
27. Ibn Hajar, Fath al-Bari, IX, 172; Al-Nawawi, Syarh Shaheh Muslim, IX, 183-4
28. Ibn Hajar, Fath al-Bari, IX, 174
29. Murtadla al-Amili, Nikah Mut’ah dalam Islam, 42-3
30. Ibn Hajar, Fath al-Bari, IX, 170
31. Murtadla al-Amili, Nikah Mut’ah dalam Islam, 54-8
32. Ibn Hajar, Fath al-Bari, IX, 173; lihat juga Ibn Majah, I, pasal mut’ah
33. Murtadla al-Amili, Nikah Mut’ah dalam Islam, 103
34. Al-Qurthubi, al-Jami` al-Ahkam al-Qur’an, V, 130.

Teks awal artikel ini adalah lampiran skripsi penulis yang diajukan pada Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, Malang, tahun 1993, dibawah bimbingan Drs. H. Muchlis Usman, MA.

Read more...

Selasa, Januari 06, 2009

Made a Martyr for Awareness of Ummah

Renungan Hari Asyura
Berkorban Demi Kesadaran Umat
Oleh: A Khudori Soleh
Dalam kitab Dzurrah al-Nashihin dikatakan, ada tiga macam kesepuluhan yang dipilih Allah. Pertama, sepuluh yang terakhir bulan Ramadlan, karena di sana ada lailatul qadar. Kedua, sepuluh pertama dari bulan Dzul Hijjah, karena di sana ada ibadah haji, Tarwiyah, Arafah dan Idul Adha. Ketiga, sepuluh pertama bulan Muharram, karena di sana ada hari Asyura, hari kesepuluh bulan Muharram.
Tulisan ini tidak akan mendiskusikan tiga kesepuluhan tersebut, melainkan tragedi yang terjadi pada hari Asyura. Pada tanggal 10 Muharram, yang dikenal dengan hari Asyura, pada tahun 60 H lalu, telah terjadi peristiwa tragis, di mana cucu kesayangan Rasul, Husain, bersama keluarga dan para shahabatnya dibantai oleh 5000 tentara yang juga mengaku pengikut Rasul dan mengharap syafaatnya.
Para ahli berbeda pendapat menilai peristiwa tersebut. Ada yang mengatakan, hal itu karena kesalahfahaman. Yaitu, kesalahfahaman antara Yazid dan Ibn Ziyad di satu sisi, dengan Husain di sisi yang lain. Ada juga yang menuduh karena Husain ingin merebut kekuasaan sehingga tumpas pemerintah.

Bukan Untuk Kekuasaan.
Sayyid Husein Muhammad Jufri, seorang Guru Besar Sejarah di American University, Beirut, menolak keras pendapat yang menyatakan bahwa tragedi terbunuhnya Husain karena rebutan kekuasaan. Tidak benar. Tidak ada bukti-bukti yang menunjukkan akan hal itu. Mereka yang menyatakan Husain terbunuh karena merebut kekuasaan, berarti tidak memahami ajaran. Juga tidak memahami tarikh Islam.
Husain berangkat dari Makkah ke Kufah pada tanggal 8 Dzul-Hijjah 60 H/ 10 September 680 M, bersama dengan hanya 50 orang yang mampu memanggul senjata, selain anak-anak dan wanita. Bahkan menurut Ali Syariati, pemberangkatan itu dengan pemberitahuan sebelumnya, dan Husain sangat sadar akan apa yang bakal terjadi pada dirinya sesampainya di Kufah nanti. Sebab, saat itu, ia telah menerima kabar tentang dibunuhnya Muslim ibn Aqil dan Hanik ibn Urwah –orang kepercayaan Husain yang dikirim lebih dulu ke Kufah— juga Qais ibn Munsyir yang dibunuh oleh Ibn Ziyad, si gubernur Kufah. Husain juga mengetahui tentang ditempatkannya 4000 tentara di Qadisiyah –jalan umum yang menghubungkan Kufah dan Hijaz— dan dijaganya Kufah dengan ketat. Namun, Husain terus maju.
Sesampainya di Uzaib al-Hujainat, Husain diajak berlindung pada orang-orang Tayy, karena Kufah telah dikuasai musuh. Bahkan, Husain ditawari bantuan tentara Tayy untuk melabrak Ibn Ziyad, atau mendongkel Yazid di Damascus. Akan tetapi, Husain menolak. Bahkan, pada malam Asyura, malam terakhir sebelum pembantaian, Husain menganjurkan para shahabatnya –terlepas dari jumlah mereka yang tidak berarti— untuk meninggalkannya. Ia tidak ingin melibatkan orang lain.
Dengan melihat secara teliti seluruh rangkaian peristiwa sebelumnya, jelas tidak masuk akal jika perjalanan Husain untuk tujuan politik, atau untuk merebut kekuasaan. Bagaimana mungkin orang yang bertaruh dengan kekuasaan menolak janji dan tawaran dukungan? Bagaimana mungkin orang yang hendak memberontak memberitahukan terlebih dahulu rencana dan rute perjalanannya? Jika demikian, mengapa Husain tetap ngotot pergi ke Kufah?

Kesadaran Religius.
Husain dibesarkan dalam pusaran waktu pendiri Islam dan menerima cinta serta ketaqwaan pada jalan hidup Islam dari ayahnya. Dengan berlalunya waktu, ia melihat perubaan yang amat cepat pada masyarakat, berkenaan dengan perasaan keagamaan dan moral. Sepeninggalan Rasul dan Khulafaur Rasyidin, tampak mulai terjadi pergumulan alamiyah antara “aksi” dan “reaksi”. Yaitu, aksi progresif Islam Muhammad SAW yang berhasil menekan konservatisme Arab jahiliyah di satu sisi, dengan konservatisme Arab lama yang dihidupkan kembali sebagai rekasi oleh Muawiyah. Muawiyah, demi tujuan-tujuan politiknya semata, telah melakukan segala cara tanpa peduli dengan perasaan dan aturan agama. Dialah yang pertama memerintahkan --dengan paksa-- kepada semua khatib untuk mencaci Ali bersama keluarganya --lawan utama politik Muawiyah-- dari atas mimbar Jum'ah. Menggaji orang yang mampu menyampaikan hadits-hadits tentang keutamaan keluarga Utsman dan Muawiyah yang kemudian mendorong maraknya hadits palsu demi memperkuat kedudukannya, memisahkan antara sistem politik dari agama, membentuk sistem kerajaan atas nama agama dan lain-lain. (5).
Pada saat itu, dengan tampilnya Yazid, keadaan justru semakin parah. Konservatisme Arab yang termotori oleh karakter Yazid seolah muncul dengan kekuatan penuh dan cukup tangguh untuk menekan atau setidaknya menodai aksi Muhammad SAW. Yazid adalah seorang khalifah yang dikenal mempunyai track record moral yang tidak baik. Ia adalah orang pertama di antara khalifah yang meminum minuman keras di depan umum. Menghabiskan sebagian besar waktunya dengan musik dan penyanyi wanita. Ia pernah membangun kamar di atas Kakbah untuk bersenang-senang selama musim haji. (6)
Dalam sejarah pemerintahannya, “prestasi” Yazid memang ditulis dengan tinta merah. Kendati menjadi khalifah hanya 3 tahun 8 bulan, umat Islam dipenuhi darah dan air mata. Tahun pertama pemerintahannya, Yazid membantai cucu kesayangan Rasul, Husain ra, bersama keluarga dan shahabatnya di Karbala. Tahun kedua, menyerbu dan melakukan pembantaian massal di Madinah. Dalam pembantaian selama tiga hari di kota suci itu, ribuan masyarakat muslim menjadi kurban, dan tidak kurang dari 700 orang dari kalangan shahabat Muhajirin dan Anshar terbunuh. Tahun ketiga, menyerbu Makkah dan membakar Kakbah. (7) Melihat perangai Yazid seperti itu, Husain, sebagai cucu Rasul, bagaimanapun tidak bisa tinggal diam, apalagi menyetujui (ikut membaiat) Yazid sebagai khalifah. Persetujuan Husain terhadap Yazid, yang sikap reaksionernya jelas-jelas melanggar norma-norma Islam, tidak hanya berarti sebagai langkah politik sebagaimana dalam kasus Hasan --saudara laki-laki Husain-- dengan Muawiyah sebelumnya, tetapi juga berarti pengesahan terhadap sifat dan cara hidup Yazid. Hal itu tidak bisa dibayangkan bakal terjadi pada seorang keturunan Rasul yang sangat dijaga dan disucikan oleh Allah.(8)
Dengan maksud menghadang reaksi konservatisme Yazid itulah, Husain menyusun strateginya. Bukan dengan kekuatan militer tetapi melalui kebajikan keluarga dan kedudukannya sendiri. Husain ingin mempertaruhkan keluarga dan dirinya demi menggugah kesadaran religius umat. Husain tahu bahwa kemenangan yang dicapai dengan kekuatan militer hanya sementara, sebab kekuatan militer yang lebih tangguh akan melumpuhkannya. Sedang kemenangan yang dicapai melalui penderitaan dan pengorbanan akan abadi, meninggalkan bekas yang dalam dan akan tetap ada dalam kesadaran manusia. Selain itu, dalam kondisi umat yang tertekan dan “terganggu” nyala api Islamnya, kemenangan militer tidak akan berpengaruh banyak. Mereka perlu goncangan, sentakan hati dan perasaan. Dan itu hanya bisa dicapai melalui pengorbanan dan penderitaan.
Pemikiran seperti ini, menurut Jafri, (9) tidak sulit diterima jika kita paham mengapa Yesus merelakan diri di salib dan Socrates rela minum racun. Karena itulah, mengapa Husain tetap ngotot membawa kaum wanita dan anak-anak, kendati telah diingatkan oleh Ibn Abbas, Abdullah ibn Umar dan lainnya. Menyadari betapa brutalnya kekuatan reaksioner tersebut, Husain mengerti bahwa setelah membunuh dirinya, Bani Umayyah pasti akan menjadikan kaum wanita dan anak-anak sebagai tawanan, dan akan menyeret mereka disepanjang jalan Kufah ke Damascus. Kafilah tawanan dari anak cucu Rasul ini akan mengumumkan misi Husain, dan akan memaksa kaum muslimin untuk merenungi peristiwa yang terjadi. Hal itu akan membuat mereka berpikir tentang keseluruhan peristiwa, dan akan menyentakkan kesadaran mereka.
Perkiraan Husain tersebut ternyata sama sekali tidak meleset. Tepat pada hari Asyura, ia bersama keluarga dan shahabatnya dibantai tanpa kenal perikemanusian. Kepalanya dipenggal dan dikibarkan di ujung tombak untuk kemudian dibawa dan dipertontonkan di Kufah. Sedang para wanita dan anak-anak diarak keliling kota sebagai tawanan hina. Zainab, cucu Rasul saudara perempuan Husain, tidak tahan menerima perlakukan semacam ini. Ia berteriak-teriak histeris.
Wahai Muhammad! Wahai Muhammad! Malaikat surga mengirim rahmat dan salam atasmu. Tetapi ini Husainmu. Begitu terhina dan dipermalukan. Bersimbah darah dan terpotong-potong. Wahai Muhammad! Anak perempuanmu dijadikan tawanan dan keluargamu yang dibantai dibiarkan begitu saja, agar angin timur menutupi mereka dengan debu”.(10)

Batas Pemisah.
Husain ternyata berhasil dalam tujuan dan missinya. Pada saat-saat awal, pengorbanan Husain telah mengobarkan sentimen religius dan moral kaum “tawwabun”. Yaitu, orang-orang Kufah pendukung Imam Ahli al-Bait yang berapi-api mengundang Husain ke Iraq untuk memimpin mereka, tetapi tidak mampu membelanya ketika terjadi pembantaian. Mereka sangat menyesal atas kejadian tersebut. Demi menebus kelalaian dan untuk memperoleh pengampunan Tuhan, mereka merasa berkewajiban untuk melakukan pengorbanan yang sama sekaligus menuntut balas atas kematian Husain. (11)
Pada tahun-tahun berikutnya, kita juga mengenal orang-orang seperti Mukhtar al-Saqafi, para Imam keturunan Rasul, Abu Hanifah, Ahmad ibn Hanbal, Ibn Taimiyah, Ali Khumaini dan lain-lain. Mereka --sesuai dengan kondisi dan kemampuan masing-masing-- berjuang sekuat tenaga untuk membedakan dan membersihkan ajaran dan aqidah Islamiyah dari berbagai campuran, khurafat dan semua hal yang bisa merusak aksi Muhammad SAW. Dan api semangat yang ditiupkan Husain tersebut akan terus membara disetiap dada manusia muslim yang cinta dan berusaha memperjuangkan nasib keadilan dan kemurnian ajaran, dari tangan-tangan penguasa dzalim dan sewenang-wenang.
Itulah buah pengorbanan Husain. Tidak bisa dibayangkan, bagaimana keadaan moral umat Islam jika Husain tidak menggoncang dan menyentil kesadaran keagamaan mereka. Cara hidup Yazid yang norak dan tidak pantas itu mungkin akan menjadi pola perilaku yang --dianggap-- biasa dan lumrah dalam masyarakat, karena didiamkan (disahkan dan dibenarkan) oleh cucu Rasul. Apalagi kenyataannya, pemerintah Yazid juga tegak (diakui) dalam --sejarah-- Islam, dan karakter para penguasa setelahnya tidak berbeda dengan perlakukan Yazid. Namun, pengorbanan Husain telah merubah perilaku dan pemikiran sebagian kaum muslimin, sehingga tampak beda, mana norma Islam yang sebenarnya dan mana karakter pribadi penguasa yang tidak Islami.

Daftar Rujukan
Usman ibn Hasan, Dzurrah al-Nasihin, 266-267.
2. Jafri, Dari Saqifah Sampai Imamah, 278.
Syariati, Syahadah, 71.
4. Jafri, Dari Saqifah Sampai Imamah, 278.
5. Ibid, 193; Thabathabai, Islam Syiah, 59; Abu Bakar Aceh, Syiah Rasionalisme Dalam Islam, 74-79.
6. Jahiz, Rasail, Risalah fi Bani Umayyah, 294; Mas’udi, Muruj al-Dzahab, III, 67; Ya’qubi, al-Tarikh, II, 228
7. Thabathabai, Islam Syiah, 61; Abu Bakar Aceh, Syiah Rasionalisme Dalam Islam, 78; Syarafuddin, Isu-Isu Penting Ikhtilaf Syiah Sunnah, 139-155.
8. QS. Al-Ahzab, 33. “Sesungguhnya, Allah bermaksud menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahli al-Bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”.
9. Jafri, Dari Saqifah Sampai Imamah, 282
10. Thabari, Tarikh al-Rasul wa al-Mulk, II, 375.
11. Jafri, Dari Saqifah Sampai Imamah, 301-316.

Tulisan-tulisan lainnya, klik

Read more...

Jumat, Oktober 24, 2008

Meeting Point Sunni-Syiah

Titik Temu Sunni-Syiah
Oleh: A Khudori Soleh
Syiah adalah salah satu dari sekian banyak madzhab teologi dalam Islam, sebagaimana Muktazilah, Qadariyah, Ahli Sunnah (Sunni) dan lainnya. Meski demikian, Syiah biasanya diperlakukan “lain” oleh kebanyakan kaum Sunni. Begitu banyak perbedaan ditonjolkan untuk menunjukkan seolah-olah Syiah bukan bagian dari Islam atau yang lain. Karena itu, sungguh sangat tepat pernyataan Joko Susilo beberapa tahun lalu, bahwa perbedaan Sunnah-Syiah sebenarnya tidak perlu diperbesar. Tidak ada untungnya.[1]
Sebaliknya, justru harus giat dicari titik temunya.Harus disadari bahwa bagaimanapun Syiah bukanlah “orang lain”. Mereka adalah bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat muslim lainnya. Mereka pernah lama hadir dalam sejarah Islam dan mengantarkannya kepada masa kejayaan, misalnya pada masa pemerintahan Buyid, Fatimiyah dan Savafiyah. Bahkan, pada dekade terakhir ini, mereka telah berhasil menaikkan gengsi umat Islam di mata dunia internasional dengan tampilnya Imam Khumaini di Iran.
Meributkan adanya perbedaan berarti tidak menyadari bahwa munculnya ketidaksamaan adalah sesuatu yang wajar. Bahkan keniscayaan. Sebab, manusia tidaklah sama. Dalam lapangan fiqh, juga dikenal adanya madzhab-madzhab yang saling berbeda. Begitu pula dalam agama lain. Bahkan lebih parah. Dalam agama Kresten, perbedaan antara Katholik dan Protestan tidak hanya pada soal-soal furuiyah (cabang) tetapi telah masuk pada tataran aqidah, kitab suci dan lain-lain.
Dalam Islam, perbedaan antara Sunni dan Syiah tidak separah itu. Perbedaan keduanya hanya meliputi masalah-masalah furuiyah sebagaimana yang terjadi dalam lapangan fiqh. Keduanya masih sama-sama menyembah Allah Yang Esa, sama-sama menyakini kebenaran Rasul Muhammad saw, sama-sama memegangi kitab suci al-Qur'an, meyakini adanya hari akhir dan lain-lain. Karena itu, dalam Islam, sebenarnya tidak ada istilah "sekte" sebagaimana yang dikenal dan digunakan dalam agama Kresten dan Yahudi.[2]
Apa yang dinamakan "perpecahan" dalam Islam, sebenarnya, hanya perbedaan dalam segi pandangan historis tentang derajat kekuatan hukum yang harus dipertahankan, masalah yang kadang-kadang merupakan huruf atau jiwanya, masalah kata-kata hukumnya atau jiwanya. Karena itu, pada tahun 1958 dibentuk usaha bersama dalam masalah fiqh dengan mendirikan lembaga yang diberi nama "Dar al-Taqrib Bain al-Madzahib al-Islamiyah". Tujuannya, menciptakan saling pengertian di antara para pengikut madzhab dari kedua golongan (Sunnah dan Syiah); Jakfariyah, Zaidiyah, Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah dan Hambaliyah, melalui pendekatan historis, akademis, analisis dan kepentingan umat Islam pada umumnya. Sebagai ketua umumnya saat itu adalah Syekh Mahmud Saltut, Rektor Universitas al-Azhar, Kairo (orang Sunni), sedang sebagai Sekjen organisasi adalah Syekh al-Qumi, Guru Besar di Hauzeh, Qom, Iran.[3]

Soal Ushuluddin.
Menurut Syiah, pokok keimanan dalam Islam (ushuluddin) meliputi lima hal: (1) Tauhid, kepercayaan kepada ke-Esaan Ilahy, (2) Nubuwat, kenabian, (3) Ma'ad, kehidupan di akherat, (4) Imamah atau keimaman, percaya adanya Imam-Imam sebagai pengganti dan penerus nabi, (5) Adil atau keadilan Ilahy.[4] Sedang menurut kaum Sunni, dengan berdasarkan pada beberapa hadits, pokok-pokok agama meliputi enam macam; Tauhid, Nubuwat, Ma'ad, Malaikat, Kitab suci dan Taqdir, percaya adanya ketentuan bahwa baik dan buruk berasal dari Tuhan.
Kedua konsep tersebut, walau kelihatan tidak sama, sebenarnya tidak berbeda. Menurut al-Ghazali, prinsip yang paling pokok dalam Islam sebenarya hanya tiga macam; Tauhid, Nubuwah dan Ma'ad.[5] Selain ketiga masalah tersebut, hanya menempati posisi furuiyah (cabang), yang berarti sah ada perdebatan dan perbedaan. Dan kenyataannya, konsep aqidah kaum Syiah tidak sedikitpun meninggalkan salah satu, apalagi keseluruhan dari tiga prinsip utama tersebut. Bahkan, uraian-uraiannya tentang ketiga prinsip tersebut sama sebagaimana yang dipahami kaum Sunni. Itu berarti aqidah Syiah, bagaimanapun, tidak bisa dianggap sesat, dalam arti telah menyimpang dari ajaran-ajaran Islam yang baku.
Memang, dalam masalah sifat-sifat Ilahy, antara Sunni dan Syiah ada sedikit perbedaan. Tetapi itu tidak penting. Menurut al-Ghazali, masalah-masalah seperti sifat-sifat Tuhan, hanya soal penafsiran. Seseorang atau suatu madzhab, bisa (boleh) menafsirkan masalah-masalah seperti itu menurut kadar kemampuan akalnya, sejauh tidak sampai menyekutukan-Nya. Rasul sendiri, tidak pernah menjelaskan apakah sifat Tuhan berjumlah 20 atau 13. Apakah sifat-sifat-Nya termasuk Dzat-Nya atau tidak, dan lain sebagainya. Yang diajarkan hanya keyakinan bahwa Allah adalah Esa. Dialah penguasa tunggal alam semesta yang wajib disembah dan dimintai pertolongan.[6]
Adapun dalam dua masalah yang lain: soal keadilan Ilahy dan Imamah, antara Sunni dan Syiah hanya berbeda dalam hal penekanan.[7] Dalam konsep Syiah, sifat adil dianggap sebagai bawaan sifat Ilahy. Artinya, tidak mungkin Tuhan berbuat sesuatu secara tidak adil, sebab adalah sifat-Nya untuk berbuat adil. Bagi-Nya berlaku tidak adil berarti memperkosa sifat-Nya sendiri, dan hal itu adalah mustahil. Akal dapat menilai suatu tindakan sebagai adil dan tidak, dan penilaian itu tidak sepenuhnya batal oleh keyakinan akan keunggulan kehendak Allah. Sebab, akal adalah ciptaan Tuhan yang diberikan kepada manusia, sesuai dengan fitrah-Nya. Sedang dalam pemahaman Sunni, titik tekannya terletak pada iradah atau kehendak-Nya. Apapun yang dikehendaki Tuhan adalah adil, dan akal --dalam pengertian tertentu-- ditundukkan oleh kehendak ini. Bila diteruskan, konsep ini --sebenarnya-- bisa menjurus pada paham Jabariyah. Dan benar, dalam masalah perbuatan dan kebebasan manusia, konsep Sunni sesungguhnya tidak ada bedanya dengan paham Jabariyah, yaitu paham yang menyatakan bahwa segala sesuatu telah ditentukan Tuhan dan manusia tidak mempunyai kuasa atasnya; suatu paham yang sering dikecam oleh para ulama Sunni sendiri. Karena itu, menurut Muthahari,[8] paham Sunni --dalam masalah keadilan-- sebenarnya telah gagal menempatkan dirinya sebagai penengah antara Jabariyah dan Qodariyah.
Dalam masalah Imamah, titik tekan Sunni adalah pada fungsi lahiriyahnya. Sunni mengakui Imamah sebagai kepala negara, tidak pada yang lain. Sementara itu, dalam perspektif Syiah, seorang Imam, selain sebagai kepala negara juga berposisi sebagai penafsir rahasia-rahasia batin al-Qur'an dan Syariat. Para Imam adalah pelanjut wewenang kerohanian Rasul --walau bukan berfungsi sebagai pembawa hukumnya. Kata-kata dan tindakan mereka memberikan kelengkapan pada hadits dan sunnah Nabawi. Dengan kata lain, para Imam merupakan perluasan dari pribadi Rasul pada abad-abad berikutnya. Karena itu, mengapa Syiah kemudian juga menyatakan bahwa seorang Imam harus "maksum", bebas dari kesalahan dan dosa, dan mereka harus dipilih dari langit dengan nash, dengan ketetapan Tuhan melalui Nabi-Nya. Munurut Khumaini, sifat maksum (ismah) yang ada pada para Imam Ahli Al-Bait ini, tidak bermakna bahwa mereka dijaga (dikawal) oleh Jibril dari melakukan perbuatan-perbuatan dosa dan maksiat. Kemaksuman mereka terjadi karena tingginya tingkat keimanan dan kedekatannya dengan Tuhan. Begitu pula sifat ismah yang ada pada para Rasul.[9]

Titik Temu.
Walau secara syariat kaum Sunni mengakui Imamah hanya sebagai kepala negara, tetapi dalam prakteknya di dunia tasawuf, mereka --secara tidak langsung-- sebenarnya juga mengakui keberadaan seorang Imam lengkap dengan segala fungsinya sebagaimana yang dipahami kaum Syiah. Mereka menyakini adanya "Quthub" dan suasana kewalian. Kewalian, sebagai hasil dari tuntunan ke jalan kerohanian yang oleh para sufi dianggap sebagai kesempurnaan manusia, tidak lain adalah suatu keadaan yang menurut kepercayaan Syiah dipunyai sepenuhnya oleh Imam-Imam, dan melalui pancaran wujudnya bisa dicapai oleh para pengikutnya yang setia. Begitu pula dengan Quthub (puncak kerohanian) yang kehadirannya dianggap perlu oleh kaum sufi disepanjang zaman, ada pertalian erat dengan konsep Syiah tentang keberadaan seorang Imam.[10]
Sesuai dengan konsep Syiah, Imam --menurut istilah kaum Sunni adalah "Insan Kamil"; manusia sempurna atau manusia universal-- adalah manifestasi Nama-Nama Ilahy dan pembimbing kerohanian terhadap kehidupan dan perbuatan manusia. Dialah yang paling dekat dengan Allah, pelindung agama, dan menerima perintah dari Allah secara langsung. Imam Ali ibn Abi Thalib ra pernah berkata kepada muridnya, Kumayd ibn Ziyad:
Bumi ini tidak pernah kosong dari seorang yang --demi Allah-- membawa hujjah. Boleh jadi ia menampakkan diri dan dikenal, atau khawatir dan bersembunyi; agar hujjah Allah dan tanda-tanda-Nya yang jelas tidak pudar. Berapa jumlah mereka dan di mana? Demi Allah, mereka sangat sedikit tetapi sangat agung kedudukannya disisi Allah. Melalui mereka Allah memelihara hujjah dan tanda-tanda-Nya, sampai Allah menyimpan hujjah dan tanda-tanda itu dalam diri orang-orang seperti mereka. Pengetahuan telah membimbing mereka pada hakekat pemahaman dan mereka telah mencapai ruh keyakinan...."
Selain menyakini konsep imamah sebagaimana yang dipahami kaum Syiah, dalam tasawuf, orang Sunni --tanpa sadar-- juga telah mengikuti ajaran-ajaran Imam Syiah. Para mursyid (guru ruhani) dari tarikat sufi --kecuali Naqsabandi-- kenyataanya menarik mata rantai silsilah keruhanian --yang dalam kehidupan ruhani seperti silsilah keturunan seseorang-- melalui mursyid-mursyid mereka yang terdahulu kepada para Imam Syiah, umumnya dari Imam Jakfar al-Shadiq sampai kepada Imam Ali ibn Abi Thalib. Atau langsung kepada Imam Ali. Imam Ali disebut sebagai "Sayyid al-Auliya" (pemuka para wali dan sufi). Juga, hasil kasyaf (vision) dan ilham mereka, kenyataanya banyak memuat kebenaran mengenai ke-Esaan Ilahy dan martabat kehidupan ruhani yang terdapat dalam ajaran dan perkatan para imam Syiah.
Karena itu, dengan melihat "cara kerja" dan ajaran kaum sufi, secara ekstrem bisa dikatakan bahwa mereka yang memasuki dunia tasawuf sebenarnya telah masuk dan mengikuti (ajaran) Syiah, walau dari syariat mengikuti madzhab fiqh Sunni. Atau menurut Gus Dur, mereka adalah penganut Syiah kultural.

Penutup
Dari kenyataan tersebut dapat dikatakan bahwa sebenarnya ada hubungan yang erat antara Syiah dan Sunni, terutama dalam dunia tasawuf. Ada titik temu yang menghubungkan dan menyatukan di antara kedunya, sehingga mereka sebenarnya tidak perlu mempertentangkan atau bermusuhan dengan saling mencari perbedaan melainkan harus saling mendekat dengan saling mencari kesamaan. Karena itu pula, madzhab Syiah tidak bisa dianggap sebagai madzhab (gerakan) yang menghancurkan kesatuan Islam, akan tetapi --sebagaimana madzhab Sunni sendiri-- ia menambah kekayaan bentangan sejarah dan penyebaran pesan al-Qur'an.
Apalagi kenyataanya, budaya dan kebiasaan (kultur) masyarakat Sunni banyak yang mengikuti budaya dan kultur Syiah. Dalam dibaiyah misalnya, kitab yang selalu dibaca dan menjadi ciri khas masyarakat Sunni atau pesantren. Di dalamnya penuh sanjungan-sanjungan dan "ketergantungan" kita kepada para Imam Syiah.

ولنا خير الأنام اب # علىّ المرتضى حسب
والى السبطين ننتسب # نسبا ما فيه من دخن
كم إمام بعده خلفوا # منه سادات بذا عرفوا
وبهذاالوصف قد وصفوا # من قديم الدّهروالزمن
مثل زين العابدين على # وابنه الباقر خير ولى
والإمام الصادق الحفل # وعلىّ ذى العلا اليقن
فهم القوم الذين هدوا # وبفضل الله قد سعدوا
ولغير الله ما قصدوا # ومع القرأن فى قرن
اهل بيت المصطفى الطهر # هم امان الأرض فادّكر
شبّهوابالأنجم الزهر # مثل ما قد جاء فى السنن
وسفين للنجاة إذا # خفت من طوفا ن كل اذا
فانج فيها لا تكون كذا # واعتصم بالله واستعن
ربّ فانفعنا ببركتهم # واهدنا الحسنى بحرمتهم
وأمتنا فى طريقتهم # ومعافاة من الفتن

Kami mempunyai bapak sebaik-baik makhluk
Ali yang diridlai adalah keturunanya
Kepada kedua cucunya kami senasab
Keturunan yang tidak rusak
Banyak imam-imam yang menggantikannya
Di antaranya dikenal dengan gelar "Sayyid"
Seperti Zainal Abidin, yaitu Ali
Dan putranya, al-Baqir, seorang wali yang terkenal baik
Imam Jakfar Shadiq yang sangat bijak
Dan Ali yang kuat keyakinannya
Merekalah orang-orang yang mendapat pentunjuk
Dengan karunia Allah mereka berbahagia
Kepada selain Allah mereka tidak menginginkan
Hanya pada al-Qur'an mereka berpegang
Ahli bait yang terpilih lagi suci
Ingat! Merekalah pengaman bumi
Mereka bagai bintang gemintang
Sebagaimana yang dikatakan hadits-hadits
Mereka adalah kapal keselamatan
Bila kamu takut akan topan yang menyusahkan
Selamatkan dirimu di dalamnya
Jangan khawatir
Berpegang teguh pada Allah
Dan minta pertolongan pada-Nya
Ya Allah! Jadikan kami bermanfaat sebab berkah mereka
Tunjukkan kami kebaikan sebab penghormatan mereka
Matikan kami pada jalan mereka
Dan selamatkan kami dari segala fitnah

Catatan Kaki

[1] Jawa Pos, 23 Agustus 1993
[2] Marmaduke Pickthall, Perang dan Agama, 58
[3] Majalah Yaum al-Quds, No. 33, Syakban 1412 H.
[4] Thabathabi, Islam Syiah, 9.
[5] Al-Ghazali, al-Munqid Min al-Dlalal, dalam Majmû`ah Rasail, 543.
[6] Al-Ghazali, Fashl al-Tafriqah, dalam Majmû`ah Rasail, 238 dan seterusnya.
[7] Thabathabi, Islam Syiah, 10.
[8] Muthahhari, Keadilan Ilahy, 17-27.
[9] Ali Khumaini, Mata Air Kecemerlangan, 86.
[10] Thabathabi, Islam Syiah, 127.

Tulisan-tulisan lainnya, klik di sini.

Read more...

Popular Posts

Guestbook Slide

Family Album

My Published Books

  © Blogger templates Islamic Philosophy by A Khudori Soleh Juni 2009

Back to TOP