Mut'ah Marriage
Nikah Mut'ah
Oleh: A Khudori Soleh
Benar seperti yang pernah dilaporkan Sdr. Girbal Fachruddin tentang diskusi kawin mut'ah di PP “Badridduja” Probolinggo, Jawa Timur,[1] bahwa diskusi-diskusi atau kajian yang dilakukan masyarakat tentang hubungan Sunnah-Syiah, sering kurang (jika tidak boleh dikatakan tidak) dilakukan dengan terbuka, jujur dan ilmiah. Amalan-amalan Syiah seperti mut'ah, selalu dipandang dengan rasa curiga dan benci, walau kadang --bahkan sering-- belum diketahui begaimana jluntrungnya.
Syiah dan amalan-amalannya mestinya dapat lebih dipandang secara wajar dan dihadapi sebagaimana saudara muslim yang lain. Sebab, pertama, seperti dikatakan KH. Thalhah Hasan, para penganut Syiah bagaimanapun termasuk bagian dari umat Islam juga. Bahkan, madzhab Syiah pernah hadir dalam sejarah yang amat penting dalam Islam dan sampai sekarang masih dianut oleh masyarakat Islam yang tidak sedikit.[2]
Kedua, serangan yang dilancarkan terhadap terhadap Islam dan keutuhannya, oleh para penulis Barat dan penulis Islam sendiri, yang menyatakan (membesar-besarnya) perpecahan Sunnah-Syiah tapi gagal mengingatkan perpecahan serupa pada setiap agama di dunia lainya, mengharuskan telaah yang murni dan terinci atas madzhab Syiah. Bila tuntutan semacam ini tidak ada, maka akan sia-sia (tidak ada gunanya) kita mengetengahkan kepada dunia luar, semua dalil polemik yang memisahkan antara Sunnah dan Syiah.
Apalagi saat ini para ulama Syiah dan Sunnah tengah berusaha menghindari perbenturan satu sama lain demi melindungi Islam, maka kajian-kajian secara jujur dan terbuka tentang Sunnah dan Syiah amatlah penting. Pada tahun 1955 telah didirikan lembaga yang diberi nama "Dar al-Taqrib Bain al-Muhadzdzab al-Islamiah". Tujuannya, untuk menciptakan saling pengertian di antara madzhab fiqih dalam lingkungan Sunnah-Syiah: Jakfariyah, Zaidiyah, Hanafiyah, Malikiyah, Syafi`iyah dan Hambaliyah melalui pendekatan historis, akademis, analisis dan kepentingan umat Islam pada umumnya. Sebagai ketua umumnya yang pertama adalah Syeh Mahmud Saltut, Rektor Universitas al-Azhar (Sunni). sedang Sekjen organisasinya adalah Syeh al-Qumi, Guru Besar di Hauzeh, Qum, Iran.
Kawin Mut'ah
Kawin mut'ah, sebagaimana yang dipahami dan dipraktikan kaum Syiah, adalah suatu bentuk perkawinan sementara atau dalam batas waktu tertentu, antara wanita dan laki-laki, dalam keadaan tidak ada hambatan apapun pada diri wanita tersebut yang membuatnya haram dinikahi, sesuai dengan aturan agama: baik yang berupa hambatan nasab, periparan, persusuan, ikatan perkawinan dengan orang lain, iddah, atau lain sebab yang merupakan hambatan yang telah ditetapkan oleh agama. Misalnya, bila wanita itu pernah dinikahi oleh ayah calon suami, atau ia adalah saudara istri dari calon suami.
Kawin mut'ah harus melalui akad. Dalam akad ini, sebagaimana dalam akad-akad yang lain, diperbolehkan untuk diwakilkan pada orang lain. Dengan terselesainya akad tersebut, maka wanita itu menjadi istri sang laki-laki, dan laki-laki menjadi suaminya, sampai selesai atau berlalunya batas waktu yang telah ditentukan. Dan segera setelah berlalunya masa itu, secara otomatis, perkawinan tersebut tidak berlaku lagi, tanpa talak, sama seperti dalam akad sewa menyewa. Akan tetapi, suami berhak memisahkan diri sebelum habisnya waktu dengan menghibahkan sisanya kepada wanita, bukan dengan talak.
Setelah perkawinan mut'ah itu lewat, atau dihibahkan sisanya, maka bagi si istri yang telah di "campuri", diwajibkan menjalani masa iddah (masa tunggu sebelum boleh kawin lagi) selama dua quru’ (dua kali masa haid). Sedang bagi istri yang belum di “campuri”, tidak ada masa iddah, seperti istri yang dicerai dalam model perkawinan "permanen", sebelum dicampuri.
Tujuan kawin mut’ah bukan untuk membentuk keluarga, tetapi hanya untuk memperoleh legalitas hubungan sosial antara laki-laki dengan perempuan lain yang bukan mahram, termasuk hubungan seks, selama periode tertentu yang disetujui bersama. Karena itu, persetujuan yang dibuat dalam hal ini harus jelas dan pasti. Walau demikian, bukan berarti kawin mut'ah menghalangi kelahiran anak yang biasanya merupakan tujuan utama dalam kehidupan berkeluarga. Mut'ah memperbolehkan adanya anak. Bahkan anak-anak yang dilahirkan dari hasil mut'ah, baik laki-laki ataupun perempuan, memperoleh hak dan keistimewaan yang sama dengan yang dimiliki oleh anak-anak hasil perkawinan biasa. Mereka harus dinibatkan dan ditautkan dengan nasab ayahnya.[3] Mereka juga berhak menerima bagian harta peninggalan ayah dan ibunya.[4]
Tidak ada perbedaan sedikitpun antara kedua anak, yang lahir dari mut'ah atau perkawinan biasa. Segala yang berlaku terhadap anak, ayah dan ibu pada perkawinan biasa, berlaku juga terhadap anak, ayah dan ibu dalam perkawinan mut'ah. Begitu pula ketentuan yang berkaitan dengan kekeluargaan, yang berkaitan dengan saudara (laki-laki atau perempuan), kemenakan, paman, bibi atau saudara secara umum.
Kendati demikian, memang, akad mut'ah tidak mewajibkan adanya hubungan pewarisan timbal balik antara suami dan istri, atau “pembagian malam” bagi suami yang beristri lebih dari satu, atau nahkah untuk istri, kecuali dengan perjanjian sebelumnya.[5]
Dengan begitu, dibanding nikah permanen, nikah mut'ah mempunyai perbedaan sebagai berikut. Pertama, pada nikah mut'ah, antara suami dan istri dapat menentukan jangka waktu yang dikehendaki. Mereka dapat memperpanjang dengan mengulangi akad baru, atau berpisah setelah habisnya waktu yang ditentukan. Sedang dalam nikah permanen, yang menentukan waktu (yang mempunyai hak menjatuhkan talak) hanya pihak laki-laki.
Kedua, dalam nikah permanen, laki-laki selalu wajib menanggung nafkah istrinya dan memberikan segala yang diperlukan, sedang dalam nikah mut'ah tidak, kecuali ada perjanjian sebelum¬nya.
Ketiga, dalam nikah biasa, wanita tidak bisa menolak ajakan (harapan) kehamilan yang dikehendaki suami, sedang dalam nikah mut'ah harus menurut perjanjian. Dan bila nanti benar-benar terjadi kehamilan, maka biaya perawatan dan penghidupan anak, sepenuhnya menjadi tanggung jawab suami (pihak laki-laki).
Keempat, dalam nikah biasa, pihak wanita selalu mendapat warisan bila salah satu pihak meninggal di saat tali perkawinan masih berlangsung. Tapi dalam nikah mut'ah, semua tergantung perjanjian.[6]
Dasar Hukum Mut'ah.
Dasar hukum nikah mut'ah, menurut madzhab Syiah, adalah, pertama, QS. al-Nisa’, 24, “Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikan kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban...”(al-Nisa', 24).
Berkaitan dengan ayat di atas, menurut Syafaruddin al-Musawi,[7] beberapa shahabat seperti Ubay Ibn Ka’ab, Ibn Abbas, Saad Ibn Jubair, dan al-Suddiy, membaca dengan tambahan kata, “sampai batas tertentu”, menjadi “...maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka --sampai batas tertentu-- berikan kepada mereka...”. Al-Zamakhsari dalam tafsirnya, al-Kasysyaf, mengutip bacaan dengan tambahan tersebut dari Ibn Abbas.[8] Begitu pula al-Razi, yang merawikan dari Ubay Ibn Ka’ab. Al-Razi selanjutnya berkata, “Umat tidak menyanggah mereka berdua (Ibn Abbas dan Ubay ibn Ka'ab) dalam bacaan seperti itu. Maka hal itu merupakan Ijma dari mereka sebagai bacaan yang dibenarkan...”.[9] Bacaan serupa juga dilakukan oleh Ibn Mas'ud sebagaimana diceritakan al-Qadli Iyadl dari al-Maziri.[10]
Kedua, hadits-hadits Rasul. Hadits yang dijadikan rujukan madzhab Syiah amat banyak. Lihat al-Amili dalam bukunya Nikah Mut'ah Dalam Islam. Antara lain, hadits yang diriwayatkan dari Jabir Ibn Abdullah dan Salamah Ibn Akwa', mereka berkata, “Seseorang yang ditugasi Rasul muncul dihadapan kami seraya berseru: ‘Sesungguhnya Rasul telah mengizinkan kalian untuk bermut'ah”.[11]
Ketiga, dari fatwa para Imam Syiah. Imam al-Baqir berkata, “Allah menghalalkan nikah mut'ah seperti yang disebutkan dalam kitab suci-Nya dan yang disabdakan oleh Rasul-Nya. Dan nikah mut'ah halal sampai hari kiamat”.[12]
Imam Ali Ridla berkata, “Rasul menghalalkan nikah mut'ah dan tidak pernah mengharamkannya sampai beliau wafat”.[13] Sedang Imam Jakfar Shadiq berkata, “Nikah mut'ah termasuk rahmat yag dianug¬erahkan Allah kepada manusia”.[14] Imam Ali Ibn Abi Thalib berkata, “Farji-farji wanita bisa halal dengan tiga cara. Yakni dengan nikah daim (nikah permanen atau nikah biasa), nikah mut'ah, dan dengan memilikinya sebagai budak”.[15] Karena itu, menurut al-Amili, Imam Ali RA juga melakukan mut’ah dengan wanita dari Bani Nasyal ketika di Kuffah.
Mansukh Atau Tidak?
Tentang ayat al-Nisa’, 24 yang digunakan sebagai dasar diperbolehkannya mut'ah oleh madzhab Syiah, sebenarnya juga ada dan diakui oleh kaum Sunni. Hal itu bisa dilihat dalam kitab-kitab tafsir Sunni, misalnya, al-Qurthubi,[16] al-Khazin,[17] al-Baghawi,[18] Ibn Katsir,[19] Syeh Zadah (Tafsir Baidlawi),[20] dan lainnya. Perbedaan yang muncul adalah berawal dari perbedaan pandangan tentang kedudukan ayat tersebut. Kaum Sunni menganggap, ayat 24 dari surat al-Nisa’ telah dimansukh. Karena itu, hukum mut’ah sudah tidak berlaku: haram. Sebaliknya, menurut madzhab Syiah, ayat mut'ah belum dimansukh, sehingga masih berlaku: boleh. Halal.
Menurut kaum Sunni, ayat mut'ah dimansukh dengan ayat aurat (QS. al-Mukminun, 5 dan al-Ma'arij, 29). Atau dengan ayat perbuda¬kan, dalam hal batas waktu.[21] Atau dengan ayat warisan, sebab dalam mut'ah tidak ada hak pewarisan timbal balik antara suami dan istri. Atau dengan ayat talak dan iddah (di sini memang banyak pendapat).[22] Bahkan ada yang menyatakan, ayat mut'ah dimansukh dengan Ijma Ulama.[23] Tapi yang paling umum adalah pernyataan bahwa ayat mut'ah telah dimansukh dengan hadits. Namun, dalam Sunni sendiri sendiri tidak kesepakatan hadits mana menasikh ayat mut’ah. Sebab, hadits-hadits yang melarang mut’ah berbeda-beda tempat dan waktunya. Ada yang mengatakan di Khaibar, di Authas, saat pembukaan kota Makkah, Haji Wada' dan sebagainya.[24] Karena itu, Imam Syafi`i pernah menyatakan, nikah mut'ah pada mulanya diperbolehkan tapi kemudian dilarang, sampai dua kali. Ulama yang lain menyatakan, mut'ah diperbolehkan tiga kali kemudian dimansukh tiga kali. Yang lain lagi menyatakan, mut'ah diperbolehkan tujuh kali dan mansukh tujuh kali pula. Akan tetapi, menurut Ibbn Hajar, mut'ah diperbolehkan dua kali dan dimansukh dua kali pula.[25]
Madhzab Syiah menolak semua klaim kaum Sunni tersebut. Menurut mereka, mut'ah masih berlaku. Tidak ada satupun ayat atau hadits yang menasikh hukum mut'ah. Ayat aurat, talak, waris atau lainnya yang dianggap oleh kaum Sunni sebagai penasikh mut'ah, tidak bisa dibenarkan. Ayat-ayat tersebut turun di Makkah, jauh sebelum ayat mut'ah yang turun di Madinah. Bagaimana mungkin ayat yang menasikh (mengganti) turun lebih dulu daripada ayat yang dimansukh (diganti)?.[26]
Tentang mut'ah dimansukh dengan Ijma, jauh tidak bisa diterima. Pertama, menurut riwayat, mut'ah masih berlaku pada zaman Rasul, Abu Bakar dan permulaan kekhalifahan Umar. Mut'ah baru dilarang oleh khalifah Umar karena ulah Amr Ibn Khuraits.[27]
Kedua, masalah mut’ah masih dipertentangkan di antara para shahabat dan tabiin. Ketika khalifah Umar ibn Khaththab ra melarang mut’ah, para shahabat terutama Ibn Abbas tetap memperbolehkan, bahkan Ali ibn Abi Thalib RA dan Muawiyah tetap melakukan mut’ah ketika menjadi khalifah.[28]
Ketiga, pernyataan sepakat (Ijma) dari Sunni, sesungguhnya hanya dari sumber Sunni sendiri, tidak meliputi seluruh umat Islam yang berlainan madzhab, sehingga belum bisa dijadikan sebagai hujjah ijma’. Bahkan, dalam fiqh Sunni sendiri, tidak semua melarang. Kalangan Malikiyah (salah satu madzhab fiqh Sunni) kenyataanya masih memperbolehkan mut'ah. Bahkan menurut Imam Tirmidzi, yang melarang mut'ah dalam Sunni --sebenarnya-- hanya Imam Syafi`i, Ahmad, Ishaq, Ibn Mubar¬rak dan al-Tsaury.[29]
Selain itu, dalam ushul fiqih Sunni ada pernyataan bahwa hadits (Sunnah) tidak bisa menasikh al-Qur-an. Lalu apa artinya “kesepakatan ulama”, bila Sunnah Rasul sendiri tidak bisa mena¬sikh al-Qur-an?.
Begitu pula tentang mut'ah dimansukh dengan hadits. Hadits larangan mut'ah yang begitu banyak, yang dianggap shaheh oleh kaum Sunni, hanya yang diriwayatkan oleh Sabirah. Yaitu, pelaran¬gan mut'ah pada waktu pembukaan Makkah.[30] Menurut madzhab Syiah, hadits tersebut perlu dipertanyakan. Kalau benar Rasul melarang dengan berpidato di depan umum, mengapa tidak ada shahabat lain yang meriwayatkan? Mengapa hanya Sabirah seorang?
Selain itu, hadits Sabirah juga mengandung kontradiksi. Di satu hadits ia menyatakan mut'ah dilarang pada saat fathul Makkah, tapi ditempat lain dilarang waktu haji wadak. Di sinipun disebutkan bahwa pelarangan dilakukan di depan umum. Mengapa tidak ada shahabat lain yang meriwayatkan. Mengapa masih terjadi pada zaman Abu Bakar dan Umar? Mengapa shahabat besar seperti Ibn Abbas dan Ali ibn Abi Thalib tidak mengetahui sehingga tetap memperbolehkan mut'ah?[31]
Karena itu, madzhab Syiah tetap menolak bahwa mut’ah telah dimansukh. Menurut mereka, pelarangan mut’ah yang muncul di dunia Sunni sesungguhnya berasal dari keputusan khalifah Umar ibn Khaththab, bukan dari Rasul. Umar melarang mut’ah karena ulah Amr ibn Khuraits. Umar sendiri menyatakan, “…ada dua hal yang terdapat pada masa Rasul tetapi sekarang aku larang, yaitu mut’ah haji dan mut’ah nikah…”.[32]
Hadits tentang pelarangan mutlah dari Umar ibn Khaththab ini shaheh dan itu berarti hadits dari Saburah tidak dapat diterima. Sebab, jika benar bahwa mut’ah telah dilarang sejak zaman Rasul, kenapa Umar berkata begitu? Juga, kenapa shahabat yang lain termasuk keluarga Rasul sendiri, seperti Ali ibn Abi Thalib dan Ibn Abbas tidak melarang? Kenapa masih terus terjadi sampai masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar?
Mengapa Umar melarang mut'ah? Menurut Ibn Hazm dan al-Baquri, seperti dikutip al-Amili, karena Umar melihat adanya orang yang menyalahgunakan mut'ah. Ia takut pelanggaran tersebut akan terulang kembali. Karena itu, kemudian dilarang secara mutlak.[33]
Madzhab Syiah sangat menyayangkan pelarangan tersebut. Harus disadari bahwa disetiap undang-undang pasti ada pelanggaran. Seharusnya, yang melanggar itulah yang diberi sangsi, bukan justru hukumnya yang dihapus. Sebab bila demikian, berarti kita harus angkat tangan terhadap para pelanggar syariat, seperti melanggar tidak mengerjakan shalat, puasa, zakat dan sebagainya. Hal itu jelas tidak boleh terjadi pada sebuah undang-undang, apalagi syariat Islam yang suci. Karena itu, Ibn Abbas pernah mengeluh. “Andaikata Umar tidak melarang mut’ah, tentu tidak akan ada orang yang berzina kecuali mereka yang benar-benar rusak”.[34]
Penutup
Dalam bagian ini ada beberapa hal yang patut di sampaikan,
1. Persoalan nikah mut’ah yang diperselisihkan di antara Sunni dan Syiah, tampak didasarkan atas dalil dan argumentasi yang mapan. Dasar dan argumentasi yang disampaikan kaum Syiah juga tidak dapat dianggap lemah (jika tidak boleh dibilang kuat), bahkan tidak sedikit yang tercatat dalam kitab-kitab Sunni sendiri. Karena itu, persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hubungan antara Sunni dan Syiah menuntut adanya kajian yang mendalam, cermat, adil sekaligus jujur, sehingga dapat dibangun kesepahaman yang baik dan proporsional di antara kedua pihak.
2. Jika kita atau seseorang kemudian menerima konsep mut’ah sebagai sesuatu yang tidak dilarang atau boleh, misalnya, maka hal itu bukan berarti lantas harus melakukannya. Apa yang diperbolehkan bukan berarti wajib dilakukan. Menurut kaidah fiqih, apa yang ada dalam lingkungan mubah (boleh), maka pelaksanaannya haruslah dihubungankan dengan kondisi dan kemaslahatan. Apakah mut'ah sesuai dengan kondisi masyarakat kita. Selain itu, mengingat aturan mut'ah yang demikian ketat, apa masyarakat kita siap (mampu) melakukannya.
3. Perlu dibedakan antara mut’ah sebagai norma ajaran dengan mut’ah dalam prakteknya di lapangan. Masing-masing adalah sesuatu yang berbeda. Karena itu, mut’ah sebagai norma ajaran harus dikaji sendiri secara cermat, jujur dan terbuka berdasarkan kaidah akademis yang dapat dipertanggung jawabkan. Jika memang benar (dapat dipertanggung jawabkan), maka ia harus ditegakkan tanpa dikaitkan dengan perilaku-perilaku yang menyimpang di masyarakat, misalnya. Sebab, ia adalah persoalan lain. Karena itu, saya sepakat dengan keberatan kaum Syiah terhadap kebijakan Umar ibn Khaththab, bahwa undang-undang sebagai norma tetap harus ditegakkan. Jika ada pelanggaran, maka pihak pelanggarlah yang harus ditindak dan bukan undang-undangnya yang dihapuskan.
Catatan Kaki
1. Pembaca Menulis, Harian Jawa Pos, edisi 19 Agustus 1995
2. Majalah al-Syarif, edisi 6/V/1995.
3. Berdasarkan QS. Al-Ahzab, 5.
4. Berdasarkan QS. Al-Nisa’, 11
5. Semua uraian ini, lihat dalam Bahesti dan Bahonar, Hikmah Sejarah Wahyu dan Kenabian, (Jakarta, Risalah Masa, 1991), 180-5.
6. Ja’far Murtadla al-Amili, Nikah Mut’ah dalam Islam, (Jakarta, Yayasan al-Sajjad, 1992), 5-6.
7. Syafaruddin al-Musawi, Isu-isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syiah, (Bandung, Mizan, 1991), 89
8. Abi Qasim Mahmud Ibn Umar Zamahksari, al-Kasysyaf, I (Beirut, Dar al-Fikr, tt), 519
9. Fahruddin al-Razi, Tafsir al-Razi, III, (Beirut, Dar al-Fikr, tt), 201
10. Muhammad al-Nawawi, Syarh Shaheh Muslim, IX, (Beirut, Dar al-Fikr, tt), 179
11. Ibid, 172.
12. Murtadla al-Amili, Nikah Mut’ah dalam Islam, 100
13. Ibid, 101
14. Ibid.
15. Al-Nawawi, Syarh Shaheh Muslim, IX, 172
16. Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubi, al-Jami` al-Ahkam al-Qur’an, V, (Beirut, Dar al-Fikr, tt), 129-30
17. Ali ibn Muhammad al-Khazin, Tafsir al-Khazin, I, (Beirut, Dar al-Fikr, 1979), 506
18. Husain ibn Mas`ud al-Baghawi, Tafsir al-Baghawi, I, (Beirut, Dar al-Fikr, 1979), 506
19. Ismail ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, I, (Mesir, Dar al-Halabi, tt), 474
20. Syeh Zadah, Hasyiyah Tafsir al-Baidlawi, II, (Beirut, dar al-Fikr, tt), 126
21. Murtadla al-Amili, Nikah Mut’ah dalam Islam, 23. Lihat juga Ibn Ishaq al-Tirmidzi, Al-Sunan, III, (Madinah, al-Kitab, tt), 429-30
22. Murtadla al-Amili, Nikah Mut’ah dalam Islam, 24; Ahmad ibn Ali Ibn Hajar, Fath al-Bari, IX, (Beirut, Dar al-Fikr, tt), 73; al-Qurthubi, al-Jami` al-Ahkam al-Qur’an, V, 130.
23. Pernyataan ini umumnya ada dalam kitab-kitab fiqh. Lihat misalnya Abd Rahman al-Jazairi, Al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba`ah, IV, (Mesir, Dar al-Makmun, tt), pasal mut’ah; Abd Wahab ibn Ahmad al-Sya`rani, Mizan al-Kubra, II, (Beirut, dar al-Fikr, tt), 113
24. Lihat misalnya Ibn al-Qayyim al-Jauzi, Zad al-Ma`ad, III, (Beirut, Dar al-Fikr, tt), 6; al-Syaukani, Nail a-Authar, (Mesir, al-Bab al-Halabi, 1961), psal mut’ah
25. Ibn Hajar, Fath al-Bari, IX, 170; Al-Syaukani, ibid.
26. Murtadla al-Amili, Nikah Mut’ah dalam Islam, 26
27. Ibn Hajar, Fath al-Bari, IX, 172; Al-Nawawi, Syarh Shaheh Muslim, IX, 183-4
28. Ibn Hajar, Fath al-Bari, IX, 174
29. Murtadla al-Amili, Nikah Mut’ah dalam Islam, 42-3
30. Ibn Hajar, Fath al-Bari, IX, 170
31. Murtadla al-Amili, Nikah Mut’ah dalam Islam, 54-8
32. Ibn Hajar, Fath al-Bari, IX, 173; lihat juga Ibn Majah, I, pasal mut’ah
33. Murtadla al-Amili, Nikah Mut’ah dalam Islam, 103
34. Al-Qurthubi, al-Jami` al-Ahkam al-Qur’an, V, 130.
Teks awal artikel ini adalah lampiran skripsi penulis yang diajukan pada Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, Malang, tahun 1993, dibawah bimbingan Drs. H. Muchlis Usman, MA.