Tampilkan postingan dengan label Etika. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Etika. Tampilkan semua postingan

Jumat, November 20, 2009

John Rowls' Justice Theory

Mencermati Teori Keadilan John Rawls
Oleh: A. Khudori Soleh
Abstract
Rawls’ justice theory is based on three basic concepts: concept of property from John Locke, social contract from Rousseau, and imperative categories from Kant. This Rawls’ justice conception itself emerges as respond for social injustice in society as well as inequitable behavior affected by the ethics of utilitarianism.
Furthermore, according to Rawls, justice is fairness. The principle of justice are, (1) equal and maximum feasible liberty for all, (2) power and wealth to be distributed equally except where inequalities would work for the advantage of all and where all would have equal opportunity to attain the higher positions. The first principle suppose as permanent principle and qath'I, which cannot be interpreted. On the other hand, the second principle degrades two formulas: (a) everyone’s advantage, (b) equally open. So forth, from formula (a) can be degraded two possibilities: principle of efficiency and principle of differentiation, whereas from formula (b) also can be degraded two possibilities: equality as careers open to talents and equality as equality of fair opportunity. Henceforth, from possibility of (a) and (b) yielded 4 possibility of justice interpretation: natural freedom, free equality, free aristocracy and the equality democratize. According to Rawls, this last interpretation fulfill category as a justice.
Keywords: justice, fairness, and freedom.

Masyarakat adalah bentuk kerja sama saling menguntungkan di antara individu. Namun, yang terjadi dalam masyarakat tidak hanya bersifat cooperate melainkan juga kompetitif, bahkan tidak jarang saling menjatuhkan di antara yang lain. Kenyataan ini memberikan ruang pada konsep keadilan, bagaimana mengatur kehidupan individu-individu yang berbeda dan sama-sama mempunyai kepentingan sendiri, sehingga bisa berjalan bersama saling menguntungkan dan tidak merugikan pihak lain. Tulisan ini mengungkap pemikiran John Rawls dalam bukunya A Theori of Justice yang berusaha menjawab persoalan tersebut.

Sekilas Tentang Rawls.
John Rawls, sejak tahun 1962 adalah Guru Besar Filsafat di Harvard University, USA, dan sebelumnya pernah menjadi dosen di Princeton University dan guru besar pada Cornell University. Dia lahir di Baltimore tahun 1921. Pendidikan tingginya ditempuh di Cornell University kemudian meraih gelar Doktor di Princenton University, tahun 1950.[1]
A Theory of Justice dianggap sebagai karya besarnya tentang etika yang membahas tentang keadilan sosial. Buku ini, sejak terbit pertama tahun 1971 sampai 1997, telah cetak ulang sebanyak lebih dari 22 kali. Setelah itu, ia banyak menulis artikel atau makalah untuk mempertahankan dan menjelaskan teorinya dalam buku tersebut. Idenya juga telah dibahas dalam berbagai simposium maupun seminar dan ditanggapi oleh banyak pemikir. Di antara mereka yang terkenal adalah Robert Paul Wolff, Michael Sandel, William Galston, Brian Barry, Patrick Riordan dan Ross Poole.[2]

Peta Pemikiran Etika.
Sebelum berbicara tentang Rawls, perlu dipetakan dulu pemikiran etika secara keseluruhan, sehingga diketahui posisi konsep keadilan Rawls dalam kancah pemikiran etika. Harus dikatakan bahwa etika bukan disiplin ilmu tersendiri yang terpisah dari lainnya melainkan justru merambah pada seluruh sendi keilmuan, teoritis maupun praktis. Ia adalah salah satu dari sekian fondasi peradaban manusia. Di sini akan dilihat persoalan-persoalan etika dalam kaitannya dengan sumber pengambilan keputusannya, etika dalam dataran normatif (teoritis), sosial dan hukum.
Pertama, dalam kaitannya dengan sumber pengambilan keputusan moral. Ada tiga kelompok pemikiran dalam masalah ini. (1) Antara ekspresi dan tuntutan (assertion). Menurut kelompok ini, sebuah tindakan adalah wujud dari ekspresi langsung dari pelaku atau sikap yang tanpa harus dipikir lebih dulu. Artinya, sumber keputusan moral adalah reaksi langsung, insting dan gharizah tanpa berkaitan dengan kondisi lingkungan (lokus dan tempus). Sebaliknya, menurut yang lain, sumber tindakan moral adalah adanya tuntutan dari lingkungan, misalnya, sikap ketika menghadap raja berbeda dengan ketika menghadapi bawahan.
(2) Antara pernyataan dari rasa pelaku (personal taste) dan pilihan-pilihan yang dihadapi pelaku (personal preference). Menurut kelompok ini, sumber tindakan moral bukan gharizah atau kondisi tertentu melainkan pada perasaan yang bersangkutan. Sebaliknya, lawan kelompok ini menyatakan sebuah tindakan dilakukan setelah seseorang mempertimbangkan berbagai alternatif. Artinya, sumber keputusan moral adalah rasio setelah mempertimbangkan berbagai alternatif yang ada.
(3) Antara subjektif dan objektif. Menurut kelompok ini, moralitas lebih merupakan penilaian subjektif pelaku. Misalnya, ketika seseorang mengatakan bahwa sesuatu adalah baik atau buruk, itu adalah subjektif. Sebaliknya, menurut yang lain, moralitas adalah objektif, sesuai dengan kondisi yang ada. Misalnya, ketika seseorang menyatakan meja itu hijau, adalah karena kondisi riil meja adalah hijau.[3]
Kedua, dataran etika normatif (teoritis). Di sini ada beberapa kelompok pemikiran. (1) Teleologis, paham bahwa baik-buruknya tindakan etis ditentukan oleh tujuan tertentu. Karena itu, menurut kaum teleolog, etika adalah konsep yang relatif terhadap tujuan.[4] Termasuk dalam kategori ini, antara lain; (a) etika eudamonia, bahwa baik buruknya tindakan manusia dilihat dari sejauh mana ia mampu mengantarkan si pelaku pada kebahagiaan tertinggi.[5] Tokoh utamanya adalah Aristoteles; (b) etika egoisme, bahwa baik buruk perbuatan individu diukur dari kemampuannya meningkatkan kesejahteraan, kebahagiaan dan kepentingan pribadi si pelaku.[6] Tokohnya, antara lain, GC. Scotti dan Max Sterner; (c) etika utilitarianisme, bahwa benar salahnya perbuatan dilihat pada dampaknya dalam memberikan sebanyak mungkin kebaikan, pada diri pelaku dan kebaikan kepada sebanyak mungkin orang lain.[7] Tokohnya adalah Jeremy Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1873).
(2) Deontologis, kebalikan dari teleologis, bahwa baik buruk tindakan tidak dilihat pada tujuan atau konsekuensi tindakan melainkan pada perbuatan itu sendiri, dengan merujuk pada aturan perilaku formal, di mana aturan perilaku formal ini dihasilkan dari intuisi atau a priori.[8] Misalnya, berbohong adalah jelek, karena perbuatan bohong itu sendiri secara moral memang tidak baik, meski ia dilakukan untuk tujuan-tujuan yang baik. Tokoh pemikiran etika ini adalah Immanuel Kant (1724-1804).
(3) Relativism, bahwa dalam putusan-putusan moral tidak ada kriteria yang absolut. Semua tergantung pada kebudayaan masing-masing individu, sehingga nilai moralitas masing-masing orang atau masyarakat akan berbeda. Pemikiran ini dianut, antara lain, oleh Protagoras, Pyrrho, Westermack, Joseph Fletcher dan kaum skeptis.[9]
(4) Nihilism, suatu paham yang menyangkal keabsahan alternatif positif manapun. Menurut paham ini, semua putusan nilai etis telah kehilangan kesahehannya, sehingga tidak ada satu pun yang bisa digunakan sebagai patokan etis. Paham ini, antara lain, diberikan oleh Nietzche (1844-1900), Schopenhauer dan Giorgias.[10]
(5) Universalism, bahwa apa yang dianggap baik oleh seseorang harus juga dianggap baik atau benar oleh orang lain dalam situasi yang sama. Misalnya, jika A tidak boleh mencuri dalam situasi tertentu, maka B, C, D dan seterusnya juga tidak boleh mencuri dalam situasi yang serupa.[11]
Ketiga, etika dalam kaitannya dengan persoalan masyarakat (sosial). Ini lebih bersifat praktis dan langsung menjawab persoalan yang timbul, terbagi dalam tiga pemikiran. (1) Dalam kaitannya dengan hukum sosial, etika membahas persoalan seperti, euthanasia, aborsi,[12] pengawasan senjata, kebebasan berbicara, tentang hak kepemilikan dan perlindungan satwa. (2) Dalam hubungannya dengan peran negara, etika berbicara tentang kebebasan, hak azazi manusia (HAM), demokrasi dan keadilan. (3) Dalam kaitannya antara hak dan kewajiban, etika membahas persoalan keadilan dan hak-hak pribadi.[13]
Keempat, etika dalam hubungannya dengan hukum (law). Dalam hal ini muncul berbagai teori. Antara lain, (1) Teori hukuman (punishment), bahwa yang berbuat salah mesti dihukum, bisa berupa pemberian ganti rugi (retribution), memberi balas jasa (restitution), atau memberi manfaat pada yang dizalimi (utilitarian). (2) Teori tanggung jawab (responsibility), bahwa siapa yang berbuat harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Di sini berkaitan dengan, apakah tindakan tersebut dilakukan karena tidak-tahu, adanya paksaan atau tekanan, atau karena kesalahan semata. (3) Teori kesengajaan berbuat (intentional acts) dan ketidaksengajaan bertindak (unintentional acts), bahwa berkaitan dengan hukum, perlu dilihat apakah tindakan tersebut disengaja (direncanakan) atau tidak direncanakan.[14]

Locke, Rausseau dan Kant.
Teori keadilan Rawls, sebagaimana diakuinya sendiri dalam pengatar bukunya, didasarkan atas konsep hak individu Locke, kontrak sosial Rauseau dan etika Kant.[15] Karena itu, di sini perlu dijelaskan sedikit pokok pemikiran ketiga tokoh yang diadopsi Rawls tersebut.
Pertama, John Locke (1632-1704). Menurutnya, hak dasar terpenting manusia adalah hak hidup dan hak mempertahankan diri. Dari hak ini kemudian berkembang pada apa yang disebut dengan “hak milik” yang oleh Locke dikembalikan kepada pekerjaan, sehingga secara alamiah, manusia telah mengenal hubungan-hubungan sosial.[16]
Pada masa dulu, sebelum ditemukan uang, perbedaan kekayaan di antara manusia tidak begitu mencolok, karena seseorang tidak akan bisa dan tidak akan boleh --sesuai dengan hukum alam-- mengumpulkan lebih daripada apa yang dapat dikonsumsinya sendiri. Tetapi, kondisi ini segera berubah setelah diciptakan uang, karena secara ekonomi, seseorang bisa mengusahakan kekayaan melebihi kemampuan konsumsi, dengan cara menyimpan dalam bentuk uang, sehingga muncul ketidaksamaan alamiah. Mereka yang lebih trampil akan menjadi lebih cepat kaya, sehingga terjadi perebutan tanah dan modal, yang seterusnya muncul permusuhan dan perang. Menurut Locke, kondisi masyarakat yang dikuasai ekonomi uang seperti ini tidak bisa bertahan tanpa pembentukan negara yang akan menjamin hak milik pribadi. Dengan demikian, pembentukan negara adalah untuk tetap menjamin keutuhan milik pribadi yang semakin berbeda besarnya, bukan menciptakan kesamaan atau untuk mengontrol pertumbuhan hak milik pribadi.[17] Artinya, perbedaan-perbedaan atas hak masing-masing individu tetap ada dan diakui, meski mereka hidup bersama-sama dalam satu “lingkaran” dengan orang lain.
Kedua, Jean-Jacques Rousseau (1712-1778). Secara alamiah, menurutnya, manusia adalah merdeka, bebas dari segala wewenang orang lain, dan karena itu, secara hakiki, mereka mempunyai kedudukan yang sama. Mereka mempunyai kepentingan-kepentingan pribadi yang lepas dari kepentingan umum. Akan tetapi, di sisi lain, mereka juga tidak bisa lepas dari orang lain, karena hanya dalam kesatuan masyarakat inilah, mereka bisa menjamin kebutuhan-kebutuhannya. Di samping itu, setiap individu juga mempunyai kehendak yang merupakan kepentingan bersama, seperti kedamaian, keamanaan dan keadilan. Untuk itu, diadakan perjanjian bersama, social contract, untuk menjamin kepentingan dan kebutuhan bersama.[18] Artinya, perlu adanya kerjasama di antara individu yang berbeda status dan tingkat kebutuhannya untuk menjamin kepentingan dan kelangsungan hidup bersama.
Ketiga, Immanuel Kant (1724-1804). Etika Kant didasarkan atas tiga hal; otonomy, categorical imperative dan rasionality.[19] Otonomi adalah kebebasan, yakni sesuatu yang diberikan oleh kehendak sendiri --secara spontan-- tanpa dipengaruhi ketentuan hukum moral (moral law), adat istiadat (relativism cultural), perasaan pribadi (moral sentiment) atau sopan santun. Kehendak moral ini semata-mata didasarkan atas akal budi yang sama sekali lepas dari pengalaman, sehingga murni a priori.[20]
Imperatif kategori adalah perintah atau kewajiban tanpa syarat.[21] Imperatif yang dimaksud di sini bukan sembarang perintah atau komando melainkan ungkapan sebuah keharusan tanpa paksaan. Sebuah keharusan atas pertimbangan yang meyakinkan yang membuat kita merasa memang harus melakukannya, yakni pertimbangan atas prinsip-prinsip yang tidak hanya berlaku untuk diri kita sendiri tetapi juga pada yang lain, bagi siapa saja.[22] Jelasnya, dalam pemikiran Kant, apa yang dimaksud etis atau moralitas adalah melakukan kehendak baik tanpa pembatasan karena semata-mata ingin memenuhi kewajiban.
Walhasil, apa yang diadopsi Rawls adalah konsep dipertahankannya hak milik individu dari Locke, kemauan hidup bersama demi terpenuhi kebutuhan dan kepentingan bersama (social contract) dari Rousseau dan kemauan melakukan “kebaikan” pada orang lain tanpa tendensi apapun melainkan karena semata ingin melakukannya (categorical imperative), sesuai dengan aturan formal, dari Kant.

Prinsip Keadilan.
Dengan kerangka teori di atas, maka dalam asumsi Rawls, masyarakat adalah kumpulan individu yang di satu sisi mau bersatu karena adanya ikatan untuk memenuhi kepentingan bersama, tetapi di sisi lain, masing-masing individu ini mempunyai pembawaan (modal dasar) serta hak yang berbeda, dan semua itu tidak bisa dilebur dalam kehidupan sosial.[23]
Persoalannya, bagaimana mempertemukan hak-hak dan pembawaan yang berbeda di satu pihak dengan keinginan untuk bersama demi terpenuhinya kebutuhan bersama dipihak lain? Ringkasnya, bagaimana mempertemukan hak individu dan kewajiban sosial secara seimbang dan selaras sehingga tidak ada yang terugikan dan terabaikan. Sebuah hubungan sosial yang berkeadilan. Di sinilah yang mau dijawab oleh Rawls.
Menurut Rawls, keadilan adalah kejujuran (fairness). Agar hubungan sosial seperti di atas bisa berjalan secara berkeadilan, ia harus diatur atau berjalan sesuai dengan dua prinsip yang dirumuskan. Pertama, kebebasan yang sama (principle of equal liberty), bahwa setiap orang mempunyai kebebasan dasar yang sama. Kebebasan dasar ini, antara lain, (1) kebebasan politik, (2) kebebasan berfikir, (3) kebebasan dari tindakan sewenang-wenang, (4) kebebasan personal, dan (5) kebebasan untuk memiliki kekayaan.[24]
Kedua, prinsip ketidaksamaan (the principle of difference), bahwa ketidaksamaan yang ada di antara manusia, dalam bidang ekonomi dan sosial, harus diatur sedemikian rupa, sehingga ketidaksamaan tersebut, (1) dapat menguntungkan setiap orang, khususnya orang-orang yang secara kodrati tidak beruntung dan (2) melekat pada kedudukan dan fungsi-fungsi yang terbuka bagi semua orang.[25] Artinya, Rawls tidak mengharuskan bagian semua orang adalah sama, seperti kekayaan, status, pekerjaan dan lainnya, karena hal itu tidak mungkin, melainkan bagaimana ketidaksaaman tersebut diatur sedemikian rupa sehingga terjadi ikatan, kerja sama dan kaitan saling menguntungkan juga membutuhkan di antara mereka.
Dalam hubungan di antara dua prinsip keadilan tersebut, menurut Rawl, prinsip pertama berlaku lebih dibanding prinsip kedua. Artinya, prinsip kebebasan dari I tidak dapat diganti oleh tujuan-tujuan untuk kepentingan social ekonomi dari prinsip II. Penegasan ini penting guna menghindari “kesalahan” dari konsep keadilan utilitarinisme. Menurut utilitarinisme, kegiatan yang adil adalah kegiatan yang paling besar menghasilkan keuntungan social ekonomi bagi sebanyak mungkin orang (the greatest happiness for the greatest number). Artinya, keadilan dipahami sebagai identik dengan tujuan memperbesar keuntungan sosial-ekonomi, sehingga ruang bagi perjuangan untuk kepentingan diri setiap orang menjadi sempit. Akibatnya, prinsip kebebasan dapat diabaikan dan kepincangan partisipasi dapat dihalalkan.[26]

Syarat Keadilan.
Orang yang ikut ambil bagian dalam kehidupan bermasyarakat, menurut Rawl, umumnya mempunyai dua sifat dasar: cinta pada kepentingan sendiri (self-interested) dan rasional. Cinta pada kepentingan sendiri artinya bahwa mereka senantiasa mengarahkan tindakan-tindakannya untuk kepentingan-kepentinganya sendiri, baik kepentingan keluarga, agama maupun negara.[27]
Adapun yang dimaksud rasional adalah (1) mereka sadar akan kepentingannya sendiri secara pasti dan tahu konsekuensi dari tindakan yang dilakukannya maupun tindakan yang dilakukan orang lain. (2) Tidak iri hati. Artinya, mereka sadar dan terbuka terhadap adanya perbedaan, seperti perbedaan kedudukan atau keuntungan yang diperoleh. (3) Tidak menerima suatu pendapat tanpa dasar atau fakta, sehingga tidak putus asa untuk mencari kebenaran.[28]
Masalahnya, bagaimana orang-orang yang mempunyai kecintaan atas kepentingannya sendiri sekaligus rasional ini dapat menerima prinsip keadilan sebagai fairness dan mau menerima pembatasan hak serta kewajiban? Untuk itu diperlukan persyaratan-persyaratan, yaitu bahwa mereka harus ditempatkan dalam posisi asli (the original position). Dalam pikiran Rawls, agar dapat menerima prinsip keadilan, masing-masing orang harus diposisikan dalam situasi yang sama (similarly situated), baik dalam kekuatan maupun kemampuan.
Bagaimana caranya? Setiap individu, menurut Rawls, harus diasumsikan sebagai orang yang sama-sama tidak tahu (tepatnya tidak mempunyai) kedudukannya, status sosial dalam masyarakat, bagian dari distribusi kekayaan, dan bahkan tidak tahu akan kecerdasan alamiah yang ada dalam dirinya, bakat-bakat alami, kecenderungan psikologis dan seterusnya yang oleh Rawls diistilahkan dengan “tabir ketidaktahuan” (veil of ignorance). Yang mereka ketahui hanyalah cita-cita untuk ambil bagian dalam kehidupan masyarakat yang diatur oleh prinsip-prinsip keadilan sebagai fairness.[29]
Dari situ mereka akhirnya menjadi sadar bahwa tidak ada kemungkinan lagi untuk mendapatkan keuntungan secara khusus bagi dirinya sendiri yang melebihi orang lain.
Dari start yang sama ini, manusia berjalan ke depan menyongsong hidupnya. Akan tetapi, karena mareka mempunyai tujuan, pikiran dan kepentingan sendiri (sifat egoisme), seperti digambarkan Rawls, akhirnya memunculkan perbedaan-perbedaan keberuntungan, perbedaan nasib dan lainnya. Di sini berlaku prinsip kedua, bahwa perbedaan-perbedaan yang ada harus di atur kembali sehingga pihak yang beruntung bisa memberikan manfaat kepada yang kurang beruntung (yang kalah dari kompetisi hidup), tidak justru menindas.
Mengenahi kepekaan soal keadilan, secara khusus, Rawls menyatakan bahwa rasa keadilan atau kepedulian terhadap orang lain yang berada di bawah statusnya bisa ditumbuhkan atau dilatih sejak dari kehidupan keluarga. Menurutnya, keluarga adalah lembaga pendidikan pertama dan utama untuk mendidik mentalitas manusia agar ia mempunyai rasa kepedulian dan keadilan sosial.[30]

Interpretasi Keadilan.
Ketika dua prinsip keadilan Rawls di atas dicoba untuk diterapkan dalam kehidupan masyarakat yang lebih konkrit, butuh interpretasi-interpretasi. Interpretasi ini terpusat pada prinsip kedua, karena bagi Rawls, prinsip pertama sudah diandaikan sebagai syarat qath`i, tidak bisa berubah dalam seluruh interpretasinya.[31]
Prinsip kedua, seperti dijelaskan di atas, mengandung dua rumusan: (1) keuntungan bagi setiap orang (everyone’s advantage), (2) terbuka semua (equally open).
Dari rumus satu (1) dapat diturunkan dua kemungkinan interpretasi (1a) prinsip efisiensi (principle of efficiency) dan (1b) prinsip perbedaan (difference principle), sedang dari rumusan kedua (2) juga dapat diturunkan dua kemungkinan interpretasi (2a) terbuka bagi bakat (equality as careers open to talents) dan (2b) terbuka bagi kesempatan yang fair (equality as equality of fair opportunity).
Selanjutnya, dari kemungkinan 1 (1a dan 1b) dan kemungkinan 2 (2a dan 2b) dapat dihasilkan empat kemungkinan interpretasi; (1) kebebasan alami (KA), (2) kesamaan bebas (KB), (3) aristokrasi alami (AA) dan (4) kesamaan demokrasi (KD) yang bisa digambarkan dalam skema dibawah.[32]
Namun, sebelum menjelaskan skema tersebut, perlu dijelaskan lebih dahulu dua istilah teknis yang dipakai Rawls, yaitu efisiensi dan perbedaan. Prinsip atau istilah efisiensi yang dipakai Rawls di sini sebenarnya tidak berbeda dengan istilah optimalitas dari Pareto. Pareto menggunakan istilah ini untuk menjelaskan bentuk-bentuk system ekonomi yang khusus, seperti pembagian sarana-sarana produksi bagi peserta organisasi produksi. Rawls kemudian menggunakannya secara lebih luas dalam masyarakat. Karena itu, Rawls lebih suka menggunakan istilah “efisiensi” daripada “optimalitas”. Prinsip efisiensi dapat dipenuhi jika system ekonomi yang membawa keuntungan pada sekelompok orang tidak merugikan pada pihak lain. Artinya, konsumsi produksi, pembagian sarana produksi dan seterusnya yang dimaksudkan untuk memperbaiki suatu pihak tertentu akan dianggap efisien jika hal itu tidak mengurangi atau merugikan pihak lainnya. Jika pembagian tersebut hanya menguntungkan suatu pihak dan ternyata kemudian justru merugikan pihak lainnya, berarti tidak efisien.[33]
Adapun prinsip perbedaan dimaksudkan Rawls sebagai batasan untuk mengendalikan ketidakpastian dari prinsip efisiensi. Sebab, menurut Rawls, prinsip efisiensi di atas masih dapat bersifat sewenang-wenang jika hanya diberikan syarat yang samar, “tidak merugikan pihak lain”. Karena itu, di sini harus ada batasan lebih lanjut, yaitu prinsip perbedaan. Prinsip ini menyatakan bahwa mereka yang berada dalam pososi yang menguntungkan harus ikut berperan aktif dalam memperbaiki kondisi mereka yang kurang beruntung. Perbaikan kondisi ini berupa pengadaan prospek yang sama untuk meraih kedudukan dan fungsinya di mana pembagian sarana social ekonomi tersebut dikaitkan.[34]
Artinya, kegiatan masyarakat yang diasumsikan memenuhi tuntutan kebebasan yang sama (prinsip I) dan tuntutan kesamaan kesempatan yang fair (prinsip II) hanya akan dianggap adil jika perolehan sarana social ekonomi yang diterima pihak yang menguntungkan dipergunakan untuk memperbaiki kondisi pihak-pihak yang kurang menguntungkan.
Sekarang marilah kita melihat skema dari prinsip keadilan Rawls dan penjelaskan atas keempat interpretasi yang mungkin terjadi (skema bisa dilihat dalam scribd).

(1) Kebebasan Alami (KA) Prinsip ini merupakan perpadan antara (a.1) prinsip efisiensi, dan (b.1) kesamaan dalam arti karir terbuka bagi bakat. Sistem ini mengandaikan terpenuhinya prinsip I, “kebebasan yang sama”. Diasumsikan juga oleh sistem ini bahwa keadaan ekonomi secara kasar berada pada pasar bebas. Bagi sistem KA, suatu kegiatan stuktur social-ekonomi dianggap adil jika setiap orang mempunyai kebebasan mewujudkan bakat dan kemampuannya untuk mendapatkan apa yang diinginkan sejauh tidak membawa membawa kerugian pada pihak lain.[35]
Rawls mengkritik sistem ini karena bisa melahirkan kesewenang-wenangan. Kesewenang-wenangan ini muncul berdasarkan atas kenyataan bahwa masing-masing individu mempunyai bakat dan keberuntangan alami yang berbeda. Ada sebagian individu yang mempunyai bakat dan keberuntungan alami yang baik, sementara ada sebagian lainnya yang mempunyai bakat dan keberuntungan kurang bagus. Berdasarkan bakat dan kemampuan yang menguntungkan tersebut suatu pihak dapat mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, sementara pihak lain hanya puas dengan apa yang mereka dapatkan. Karena itu, mereka tidak bisa diberikan fasilitas dan kebebasan yang sama. Tegasnya, interpretasi ini tidak memenuhi kriteria sebagai sebuah keadilan.[36]
(2) Kesamaan Bebas (KB)
Interpretasi ini dimaksudkan untuk memperbaiki sistem pertama (KA). Koreksi dibuat dengan memperluas prinsip kesamaan dalam arti karir terbuka bagi bakat (b.1), menjadi kesamaan dalam kesempatan yang fair (b.2). Hasilnya, dengan pengandaian prinsip I, system KB merupakan perpaduan antara prinsip efisiensi (a.1) dengan kesamaan dalam kesempatan yang fair (b.2). Dengan interpretasi seperti ini, persoalan tentang adanya bakat-bakat dan kemampuan yang berbeda dapat diatasi. Yaitu, misalnya, diberikan sarana dan latihan yang lebih pada bakat-bakat yang kurang guna mengejar dan memperoleh kedudukannya dalam sosial, sehingga bisa menghindari kesewenang-wenangan.[37]
Namun, Rawls juga masih keberatan atas interpretasi model kedua ini. Alasannya, KB belum memberikan batasan yang jelas dan tegas tentang konsep “tidak membawa kerugian pada orang lain”. Akibatnya, KB masih tidak berbeda dengan KA dan program pemberian sarana serta pelatihan dalam rangka memberikan prospek bagi mereka yang secara alami kurang beruntung menjadi percuma. Artinya, keuntungan pihak-pihak tertentu masih banyak dipengaruhi oleh loteri alam dan keberuntungan.[38]
Karena itu, perlu interpretasi baru yang selain memberikan prospek yang sama pada pihak-pihak yang berbeda juga memperhatikan tuntutan perkembangan bagi mereka yang kurang beruntung oleh alam.
(3) Aristokrasi Alam (AA).
Interpretasi ketiga ini merupakan perpaduan antara prinsip perbedaan (a.2) dengan prinsip kesamaan dalam arti karir terbuka bagi bakat (b.1). Secara teoritis, system AA sudah mengajukan tuntutan bagi perkembangan dari yang kurang beruntung. Namun, dalam pelaksanaannya, hal itu masih diserahkan pada kebaikan hati yang beruntung tanpa ada aturan tegas dan sangsi. System ini menerapkan prinsip “noblesse oblige” (darah kebangsawanan membawa kewajiban). Artinya, mereka yang beruntung secara nasib dibiarkan memperoleh kekayaan yang besar karena nantinya mereka berkewajiban untuk membantu dan menaikkan nasib kelompok yang secara alamiah kurang beruntung. Di tanah air, system ini agaknya pernah diterapkan pada masa orde baru. Saat itu, para konglomerat diberi modal dan kesempatan besar dengan harapan bahwa setelah berhasil mereka diharapkan akan membantu usaha kaum usaha kelas menengah dan kecil.
Rawls tidak sepakat juga dengan system ketiga ini. Menurutnya, system ini masih memberi peluang pada kesewenang-wenangan. Sebab, hanya berdasarkan kebaikan hati tanpa aturan yang tegas dan sangsi, tidak ada jaminan bahwa system ini akan berjalan seperti yang diharapkan. Selain itu, pembagian kekayaan dalam system ini masih sangat ditentukan oleh mereka yang secara alamiah beruntung.[39] Kenyataan yang terjadi di Indonesia pada masa orde baru juga menunjukkan kebenaran analisa Rawls ini.
(4) Kesamaan Demokratis (KD).
System KD ini dibangun untuk mengatasi kelemahan-kelemahan system sebelumnya sekaligus menggunakan kelebihan-kelebihannya, khususnya system KB dan AA. Dari KB diambil keunggulan “prospek yang sama” sedang dari AA diambil keunggulan “memperkembangan mereka yang secara alamiah kurang beruntung”. Artinya, system KD merupakan perpaduan antara prinsip perbedaan (a.2) dengan prinsip kesamaan dalam kesempatan yang fair (b.2).
Bagaimana kedua prinsip ini digabungkan? Menurut Rawls, tuntutan bahwa yang beruntung harus berperan dalam mengembangkan prospek bagi mereka yang kurang beruntung, dilakukan dengan cara menyediakan sarana dan pelatihan. Yaitu, mereka yang beruntung wajib menyediakan dana untuk penyediaan sarana dan pelatihan bagi kalangan yang kurang beruntung dalam rangka meningkatkan kemampuan dan menyamamakan prospek. Dengan ketentuan ini, kesewenang-wenangan dalam pembagian kekayaan bisa diatasi.[40] Ini merupakan interpretasi yang terbaik dari sistem keadilan, dan Rawls berharap sistem kesamaan demokratis (KD) ini bisa menjadi pedoman untuk menciptakan kerangka kerja yang memungkinkan terpenuhinya keadilan sebagai fairness.

Tanggapan.
Dalam akhir tulisan ini disampaikan beberapa tanggapan berkaitan dengan teori keadilan sosial Rawls.
1. Berkaitan dengan peta pemikiran etika di atas, teori keadilan Rawls agaknya berada dalam persoalan tarik menarik antara keadilan dan kebebasan, dan antara hak dan kewajiban, yang merupakan sub-bagian dari pembahasan soal etika sosial.[41]
2. Dari sisi teoritis, apa yang disampaikan Rawls sebenarnya menarik. Ia membangun teorinya sebagai alternatif atas perilaku etika utilitarian yang dianggap tidak berkeadilan. Namun, teorinya agaknya hanya benar-benar sebuah teori yang tidak banyak bersinggungan dengan fakta sosial, sehingga sulit diaplikasikan meski telah diberikan interpretasi keadilan secara lebih kongkrit. Bagaimana cara membagi kesempatan secara fair, misalnya. Ini adalah sesuatu yang sulit karena menyangkut kekuatan motivasi dan rencana hidup masing-masing orang yang berbeda. Spenello menyatakan bahwa teori keadilan Rawls hanya mimpi.[42]
3. Dari sudut teknis sebuah teori keadilan, teori Rawls juga patut dipertanyakan. Soal gagasan “tabir ketidaktahuan” (veil of ignorenca), khususnya. Ini sulit diterima nalar dan bahkan sulit dibayangkan. Bagaimana mungkin masyarakat yang diasumsikan rasional, yang harus tahu benar tentang kepentingannya sendiri, kepentingan orang lain, persoalan politik dan seterusnya tetapi pada waktu yang sama dituntut juga untuk tidak tahu tentang diri sendiri dan masyarakatnya. Dituntut tidak boleh tahu tentang bakat alaminya, tentang kepentingan dan tujuan hidupnya, bahkan jenis kelaminnya. Seperti ditulis Robert Paul Wolff, teori keadilan Rawls ini tidak dapat diterima oleh filsafat ilmu pengetahuan.[43]
4. Berkaitan dengan makna keadilan. Keadilan –sebagaimana juga ditulis Wallance Matson,[44] adalah persoalan benar dan salah, tetapi Rawls justru memberikan prinsip kebebasan. Kebebasan bukan paradigma keadilan melainkan berkaitan dengan hal-hal yang menyangkut dengan kompetisi soal ekonomi dalam kehidupan sosial. Kenyatannya, Rawls justru lebih banyak berbicara tentang distribusi kekayaan. Karena itu, Rawls sesungguhnya tidak mendiskusikan tentang keadilan melainkan distribusi kekayaaan.
5. Berkaitan dengan kerangka dasar teori yang digunakan. Menurut Rawls, ia membangun teorinya berdasarkan kerangka teori Locke, Rousseau dan Kant. Khusus tentang teori Kant, ia mendasarkan etikanya pada tiga prinsip; otonomi, imperatif kategoris dan rasionalitas. Akan tetapi, Rawls justru membuat asumsi dasar masyarakat dengan veil of ignorence dan original position. Menurut Oliver Johnson,[45] ini terjadi mungkin karena Rawls salah memahami prinsip-prinsip dasar etika Kant di atas, sehingga ia bukan Kantian melainkan justri anti-Kantian.
6. Berkaitan dengan konsep Rawls tentang keluarga sebagai lembaga pendidikan keadilan, muncul persoalan, bagaimana dengan tradisi keluarga kurang terdidik dan terbelakang, dalam arti biasa hidup dalam kekerasan. Keluarga seperti ini sulit diharapkan mampu memberikan pendidikan keadilan karena terbiasa dalam kekerasan dan penindasan. Konsep Rawls ini juga akan terbentur dengan model tradisi yang berbeda, atau tradisi yang tidak menunjang ke arah pembentukan masyarakat yang diangankan Rawls [.]

Catatan Kaki
[1] T. Henderick & M. Barnyeat (ed), Philosophy as It is, (USA, Harmondsworth, 1979), 89.
[2] Uraian tentang artikel dan isi pemikiran para pengkritik Rawls ini, lihat pada Richard J. Anderson, “Introduction: Symposium on Rawlsian Theory of Justice, Ricent Development” dalam Ethic 99, (The University of Chicago, Juli 1989), 695 dan seterusnya.
[3] John Horpers, an Introduction to Philosophical Analysis, (London, Reuledge, 1996), 338-341.
[4] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta, Gramedia, 1996), 1087.
[5] Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika, (Yogyakarta, Kanisius, 1997), 30.
[6] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, 180.
[7] Ibid, 1144. Lihat juga Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika, 177-193.
[8] Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat, (Bandung, Rosda Karya, 1995), 102.
[9] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, 949.
[10] Ibid, 712. Lihat juga Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika, 195-206.
[11] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, 1141. Klasifikasi ini dan uraiannya secara lebih baik, lihat John Hosprs, An Introduction to Philosophical Analysis, (London, Rouledge, 1996), 349-365.
[12] Perdebatan tentang euthanasia dan aborsi, dari perspektif etika, secara lebih luas, lihat Jenny Teichmen, Etika Sosial, (Yogyakarta, Kanisius, 1998), 71-118. Menurut Jenny, aborsi dan euthanasia lebih bisa dibenarkan dan didukung daripada dilarang. Mungkin ini dipengaruhi oleh latar belakang sosial Jenny, Amerika, yang memang telah terjadi kehamilan diluar nikah yang sangat akut dan “keputus-asaan” pasien yang menderita penyakit berat.
[13] John Hospers, An Introduction to Philosophical Analysis, 383-398.
[14] Ibid, 366-382.
[15] John Rawls, A Teori of Justice, (Harvard, Belknap Press, 1997), 11.
[16] Frans Magnis Suseno, Etika Politik, (Jakarta, Gramedia, 1994), 220.
[17] Ibid, 221. Dalam kaitannya dengan peran negara, Locke berpikiran bahwa negara tidak berhak untuk mencampuri segala bidang kehidupan masyarakat. Kekuasaan negara harus seminimal mungkin (minimal state). Ibid, 229.
[18] Ibid, 238-240.
[19] Oliver A. Johnson, “The Kantian Interpretation”, dalam Ethics, vol. 85. No. 1, (The University of Chicago, Oktober, 1974), 58.
[20] Ibid; Lihat juga Frans Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika, (Yogyakarta, Kanisius, 1998), 149-152.
[21] Di sini harus dibedakan antara imperatif kategoris dengan imperatif hipotetif. Imperatif (keharusan) hipotetis adalah keharusan bersyarat, sehingga tidak mutlak dan di lakukan karena adanya tujuan. Misalnya, “Jika saya menghendaki X, saya harus melakukan Y”. Di sini Y harus saya lakukan sepanjang saya menghendaki X, dan Y tidak menjadi perhatian jika saya tidak mengehndai X. Imperatif kategoris adalah keharusan tidak bersyarat, sehingga bersifat mutlak. Imperatif kategoris adalah keharusan secara niscaya, keharusan yang berlaku tanpa kecuali. Lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat, 331-332.
[22] Frans Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika, 145-146.
[23] Rawls, Teori of Justice, 11.
[24] Ibid, 61. Lihat juga Rawls, “A Theory of Justice” dalam Reason and Responsibility, Joel Fainberg (ed), (California, Belmont, 1978), 550.
[25] Rawls, Theori of Justice, 14-5. Tentang tekstualisasi dari kedua prinsip ini, secara utuh lihat, Ibid, 60.
[26] Ibid, 61.
[27] Ibid, 129.
[28] John Rowls, “Justice as Fairness” dalam Richard B. Brandt (ed), Value and Obligation, Systematic Reading of Ethics, (New York, Harcourt, 1961), 553.
[29] Frank N. Magill (ed), Masterpieces of World Philosophy, (New York, Harper Collins, 1990), 679; Richard A. Spenello, Ethical Aspects, (New Jersey, Englewood Cliffs, 1995), 32.
[30] Susan Moller Okin, “Political Liberalisme, Justice and Gender”, dalam Ethics, vol. 105, No. 1 (Oktober 1994), 34.
[31] Wahono Prawiro, “Keadilan Sebagai Feirnes Menurut John Rawls”, dalam Orentasi 11, (Yogya, Kanisius, 1979), 17.
[32] Rawls, A Theory of Justice, 65.
[33] Ibid, 67.
[34] Ibid, 75.
[35] Ibid, 65.
[36] Ibid, 72.
[37] Ibid,
[38] Ibid, 73.
[39] Ibid, 74.
[40] Ibid, 101-2.
[41] Pernyataan bahwa Rawls berbicara dengan kaca mata deontologis ini didasarkan atas statemen Richart A. Sinello, Ethical Aspects, 32.
[42] Richard Sinello, Ethical Aspect, 34; Prawiro, Keadilan Sebagai Fairnes, 37-38.
[43] Walff, Understanding Rawls, A Reconstruction and Critique of A Theory of Justice, (New Jersey, Princenton Univ. Press, 1997), 120.
[44] Wallance Matson, “What Rawls Calls Justice” dalam Masterpieces, 683.
[45] Oliver Jonhson, “The Kantian Interpretation”, dalam Ethics, 85, No. 1, (Oktober 1974), 60. Lihat juga, Masterpieces, 684.

Makalah ini awalnya adalah Tugas Mata Kuliah Filsafat Barat Klasik-Tengah-Modern, pada Program Doktor UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, dan dipresentasikan dalam diskusi kelas pada tgl 5 Mei 2000, dibawah bimbingan Prof. Dr. HM. Amin Abdullah. Pernah diterbitkan dalam Jurnal Ulul Albab, UIN Malang, Vol. 5/ 1, 2005. Tulisan-tulisan yang lain klik disini.

Read more...

Senin, November 09, 2009

Moral Philosophy of Hegel

Filsafat Moral Hegel
Oleh: A Khudori Soleh
Sebelumnya harus dibedakan antara etika dan moral. Menurut Berten,[1] etika adalah tata susila atau tindakan yang mengandung nilai-nilai moral, sedang moral itu sendiri adalah nilai-nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk yang menjadi pedoman dari tindakan etik. Tegasnya, etika lebih merupakan refleksi filosofis dari moral. Jadi etika lebih merupakan wacana normatif yang relatif, sedang moral moral merupakan wacana noramatif dan imperatif yang diungkapkan dalam kerangka baik-buruk, yang dianggap sebagai nilai mutlak dan transenden. Moral menjawab apa yang harus saya lakukan, etika menjawa bagaimana hidup yang baik.[2]
Menurut David Hume,[3] moralitas merupakan sistem tata nilai yang berdasarkan pada fakta-fakta dan pengamatan-pengamatan empiris. Pengalaman sehari-hari, pengalaman indera dan pengalaman perasaan itulah yang membentuk pengetahuan dan kecenderungan pada kita, yang pada giliranya memberikan pertimbangan-pertimbangan moral saat kita meski berbuat. Tidak ada nilai-nilai mutlak diluar yang empiris tersebut.
Sebaliknya, menurut Kant, persoalan moral sama sekali lepas --dan memang harus lepas-- dari pengaruh lingkungan, kebiasaan, pengalaman dan segala yang empiris, tetapi semata didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan moral yang mutlak. Bagi Kant, penilaian dan tindakan moral bukan urusan pribadi (moral sentiment) atau keputusan sewenang-sewenang (decionism) dan juga bukan masalah asal usul sosial-kultural, sopan santun, atau adat istiadat (relativisme kultural), tetapi berada dibawah keterikata moral yang mutlak dan dapat dituntut pertanggungjawabannya oleh orang lain. Artinya, tindakan seseorang yang bisa diterima sebagai bernilai moral adalah tindakan yang didasarkan atas nilai-nilai yang mutlak, yang lepas dari pengaruh-pengaruh kebiasaan, adat-adat dan kecenderungan.[4]
Selanjutnya, menurut Sartre,[5] hampir sama dengan konsep Immanuel Kant, moralitas tidak dipengaruhi oleh lingkungan, budaya, kebiasaan atau adat-adat yang ada, tetapi tidak juga didasarkan atas nilai-nilai mutlak sebagaimana dalam Kant. Menurut Sartre, tindakan moral seseorang ditentukan oleh nilai-nilai yang ciptakan sendiri oleh yang bersangkutan, lepas dari pengaruh lingkungan sekitarnya (empiris) maupun nilai-nilai mutlak (Idea). Sebab, dengan konsepnya tentang eksistensialisme, tindakan manusia yang dipengaruhi oleh fihak luar diluar dirinya; nilai-nilai empiris dari masyarakat maupun nilai mutlak dari Tuhan, tidak lagi dikatakan sebagai tindakan yang mendiri, merdeka, yang berarti tidak bisa dianggap berniali moral. Apa yang dimaksud dengan tindakan bermoral adalah tindakan yang dilakukan secara mandiri, merdeka dan bebas dari keterpengaruhan dari aspek-aspek luar tersebut,[6] sehingga bisa dipertanggungjawabkan.
Bagaimana tindakan etis Hegel? Menurut Hegel, moralitas tidak lepas dari pengaruh nilai-nilai mutlak yang ada dalam Idea, tetapi tidak juga lepas dari apa yang ada dalam dunia empiris, yang ada dalam masyarakat. Bahkan, ia adalah sintesa dari keduanya.[7] Walhasil, jika moralitas Sartre berasal dari manusia sendiri, moralitas Hume dari nilai-nilai empiris masyarakat, moralitas Kant dari alam Ide, moralitas Hegel adalah sintesa dari konsep Hume dan Kant; sintesa antara yang empiris dengan yang ada dalam Idea.

Dialektika: Sintesa Tesa Antitesa.
Semua pemikiran Hegel berangkat dari sistem pemikirannya yang mencoba mencari jalan keluar, atau bahkan mempertentangan dua persoalan yang berbeda dan berseberangan, yang dikenal dengan sistem pemikiran Dialektika.[8] Dialektika Hegel merupakan proses dimana sebuah pemikiran atau sesuatu hal yang eksis dengan pasti menggiring atau berhadapan dengan lawannya (atau kontradiktorinya), sehingga tiba pada sebuah sintesis (kesatuan) baru, atau proses perubahan dalam pemikiran dan alam dimana sebuah tingkat pengetahuan yang lebih tinggi (kebenaran) dan eksistensi (kesatuan) dicapai dengan menghadapi lawan-lawan yang pasti yang ada dibawahnya[9] Jelasnya, sebuah eksistensi dicapai dengan adanya sintesa dan interaksi antara eksistensi-eksistensi yang lain yang ada tingkat bawahnya.
Proses perubahan itu melibatkan tiga elemen yang terdiri dari: (a) sesuatu, realitas atau pemikiran yang eksis (thesis), (b) lawan atau kebalikannya (antithesis), dan (c) kesatuan (synthesis) yang dihasilkan dari interaksinya dan yang kemudian menjadi basis (thesis) dari gerak dialektik berikutnya. Kesatuan tiga unsur pembentuk inilah yang disebut triadic dialektic.
Dialektika Hegel memiliki karakter membangun dan evolusioner, yang tujuan akhirnya adalah penyempurnaan seutuhnya. Menurut filsafat Hegel, seluruh proses dunia adalah suatu perkembangan roh, jiwa atau pemikiran. Sesuai dengan hukum dialektika, pemikiran meningkatkan diri, tahap demi tahap, menuju kepada yang mutlak. Sesuai dengan perkembangan pemikiran ini, filsafat Hegel tersusun dalam tiga tahap, Pertama, tahap ketika roh atau pemikiran berada dalam keadaan “ada dalam dirinya sendiri”. Ilmu filsafat yang membicarakan pemikiran dalam keadaan ini disebut logika. Kedua, tahap dimana pemikiran berada dalam keadaan “berbeda dengan dirinya sendiri”, dan berbeda dengan “yang lain”. Pemikiran disini keluar dari dirinya sendiri, menjadikan dirinya “ diluar” dirinya dalam bentuk alam, benda, atau yang lain yang terikat pada ruang dan waktu. Ilmu filsafat yang membicarakan tahap ini disebut filsafat alam. Ketiga, tahap ketika pemikiran kembali kepada dirinya sendiri, kembali dari berada diluar dirinya, sehingga roh atau pemikiran berada dalam keadaan ”dalam dirinya dan bagi dirinya sendiri”. Tahap ini menjadi sasaran filsafat roh.[10]
Menurut Hegel, dialektika bersifat ontologis,[11] bahwa proses gerak pemikiran adalah sama dengan proses gerak kenyataan. Oleh karena itu pengertian-pengertian, kategori-kategori, sebenarnya bukanlah hukum-hukum pemikiran belaka, tetapi kenyataan-kenyataan atau realita. Pengertian-pengertian dan kategori atau yang lain bukan hanya sesuatu yang menyusun pemikiran kita, tetapi semua adalah kerangka dunia; yang menggambarkan realitas dunia dalam pikiran atau roh.
Sebagai contoh tentang kerja dialektika, misalnya, bisa dilihat dari persoalan “yang ada”. Pengertian “yang ada” harus dirumuskan lepas dari segala isi kongkrit sehingga tesa melahirkan anti tesa. Sepanjang “yang ada” belum menerima penentuan lebih lanjut, belum dapat dikatakan, “yang ada” yang berarti sama dengan “yang tidak ada”. Karena itu, tidak mungkin merumuskan bagaimana “yang ada” itu sekaligus “yang tidak ada”, atau “ketiadaan”, yaitu segi negatif dari “yang ada”. Maka “yang ada” dan “yang tidak ada” mewujudkan dua ungkapan yang saling melengkapi bagi hal yang satu, yaitu “awal yang tidak dapat ditentukan bagaimana”. Ini berarti, didalam “awal yang tidak dapat ditentukan bagaimana” itu ada gerak, gerak yang memindahkan yang satu kepada yanga lain, yang memindahkan “yang tidak ada” menjadi “yang ada”. Gerak dari “yang tidak ada” menuju kepada “yang ada” ini disebut “menjadi” (sintesa).[12]

Sintesa Hukum dan Moral.
Memperhatikan konsep dialektika Hegel sebagai ontologis diatas, dimana yang ideal bukan ideal belaka tetapi juga realitas itu sendiri; ada kesatuan antara idea dan realitas, sedang dalam dunia idea terjadi pergulatan saling mensistesa antara satu dengan lainnya, berarti tidak asa satupaun peristiwa maupun konsep di dunia ini yang tidak terkait satu sama lainnya, secara vertikal maupun herisontal. Vertikal maksudnya hubungan antara yang empiris dengan yang ideal, herisontal adalah hubungan antara yang empiris dengan yang empiris lainnya, yang berarti pula hubungan antara yang ideal dengan yang ideal lainnya.
Menurut Hegel, perkembangan yang ideal atau roh yang merupakan kerangka dunia empiris terdiri atas tiga tingkatan; subjektif, objektif dan mutlak. Dalam roh subyektif, yang merupakan tahapan paling rendah, seorang individu berusaha melepaskan diri dari alam. Disini roh mulai berpindah dari situasi “berada diluar dirinya” kedalam situasi “berada-bagi-dirinya”. Perpindahan ini disebabkan, dalam diri perorangan roh tersebut belum benar-benar dan belum seluruh “bagi-dirinya”. Meski manusia bagi dirinya sendiri dan mempunya pribadi yang tidak bisa ditukar dengan yang lain, tapi manusia masih mewujudkan sebagian jenisnya, sehingga masih termasuk alam.
Interaksi dan sintesa antara roh subjektif diatas melahirkan roh objektif yang merupakan tahapan kedua. Di sini kehendak-kehendak rasionak dikjektifkan menjadi bentuk-bentuk hidup dan umum, dan idea tentang yang baik direalisir dalam lembaga-lembaga yang konkrit. Bentuk dan nafsu-nafsu alamiah diperluas sebagai hak-hak dan kewajiban dalam bentuk dasar kesusilaan. Misalnya, nafsu membalas direalisasikan sebagai hukuman yang menurut hukum, nafsu seksual diperhalus dalam perkawinan dan keluarga, dn lain-lainnya. Karena itulah, dalam roh obyektif ini dibicarakan persoalan-persoalan hukum dalam dunia empirisnya, dan nilai-nilai moral dalam alam idealnya. Moralitas adalah sintesa antara hukum-hukum yang ada dalam dunia empirik dengan nilai-nilai moral yang ada dalam alam ideal.
Mengapa persoalan --nilai-- moral baru muncul pada roh objektif, bukan pada roh subjektif? Menurut Hegel,[13] moralitas berhubungan dengan kesadaran diri. Kesadaran diri individu hanya dan baru bisa diperoleh dan didukung melalui interaksi dengan dan pengakuan oleh kesadaran-diri lainnya. Kita tidak akan memperoleh kesadaran diri dengan mengakui atau diakui oleh orang lain, tetapi melalui kesadaran akan adanya kesadaran lain yang sama sekali berbeda dengan kita. Artinya, kita tidak bisa mengenal diri sendiri kecuali dengan mengakui bahwa ada maksud, pikiran, dan keinginan orang lain yang bukan merupakan keinginan dan pikiran kita. Hanya melalui pengalaman intersubjektifitas inilah kita akan memiliki kesadaran yang memadai mengenai diri kita sendiri sebagai suatu kesadaran diri yang independen, yang oleh Hegel dianalogkan dengan dialektika tuan-budak. Menurut Hegel, kehidupan tuan adalah bentuk yang tidak sempurna dari kesadaran diri persis, karena tidak diakui dalam kesadaran orang lain yang independen, melainkan hanya diakui oleh budak yang tidak independen atau mandiri.
Dalam dunia empirik, roh objektif yang merupakan hasil interaksi-interaksi antara roh subjektif ini terjelma dalam bentuk keluarga, masyarakat dan negara. Disinilah muncul persoalan hukum yang mengatur kehidupan keluarga, masyarakat dan negara, yang dalam alam roh atau idea dikenal dengan istilah “nilai moral”. Sedemikian, sehingga benar bahwa moralitas dalam pandangan Hegel adalah sistesa antara hukum yang bersifat empirik dengan nilai-nilai moral yang bersifat batin atau ideal. Sedemikian pula, sehingga dalam pandangan Hegel, negara, keluarga dan masyarakat dianggap sebagai idea moral yang telah terealisir, tempat idealitas atau nilai-nilai dan realitas atau hukum-hukum bertemu. Institusi-institusi tersebut merupakan substansi moral yang telah sadar akan dirinya, dimana keputusan-keputusan individu yang merupakan keputusan roh subjektif telah tertiadakan.[14]
Selanjutnya, interaksi antar keluarga, masyarakat dan negera yang merupakan refleksi dari roh objektif ini melahirkan tahap ketiga, tahap puncak dari perkembangan roh; sejarah dunia. Maka, sejarah dunia adalah perkembangan Idea mutlak.[15] Di sini, Idea Mutlak meralisir diri dengan menggunakan waktu sebagai alatnya. Sejarah dunia adalah proses dimana roh mengolah pengetahuan tentang apa yang ada pada dirinya, untuk sampai pada dirinya sendiri, yang dari sana ia menemukan kebebasan dan hakekatnya sendiri.[16]
Konsep moralitas Hegel yang memperhatikan dunia empiris masyarakat berarti mengangkat kembali apa yang disampaikan Aristoteles,[17] tentang aktivitas potensi manusia, dimana bahwa aktualisasi potensi tidak akan mencapai kebahagiaan kecuali diaktualisasikan dan dihayati dari norma-norma yang ada dalam dalam masyarakat. Dan dengan konsepnya tentang Idea, ia berarti juga telah memperkokoh konsep Kant tentang imperatif kategoris. Akan tetapi, dengan adanya sistesa antara keduanya, Hegel memberikan makna tersendiri bagi moralitas, yang dengan itu berarti mengisi kekurangan yang ada pada Aristoteles; soal transendensi, dan kekurangan yang ada pada Kant, soal realitas norma yang ada dalam masyarakat.
Persoalan yang ada pada Hegel adalah, terutama dalam konsep dialektikanya, bahwa persoalan dunia tidak mesti, minimal belum tentu merupakan sistesa-sintesa. Dalam alam idea mungkin bisa dijelaskan secara logika, tetapi dalam dunia nyata, hal itu sulit dijelaskan. Banyak hal yang terasa terlalu dipaksakan untuk menjadi sebuah sintesa.

Catatan Kaki
[1] Bertens, Etika, (Jakarta, Gramedia, 1997), 6-7
[2] Haryatmoko, Diktat Kuliah Filsafat Moral, Pascasarjana IAIN Yogyakarta.
[3] Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Rtika Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19, (Yogyakarta, Kanisis, 1997), 126.
[4] Ibid, 137-158. Lihat juga Franz Magnis Suseno, 13 Model Pendekatan Etika, (Yogyakarta, Kanisius, 1997), 151-173.
[5] Frederiks Alafson, “Jean-Paul Sartre”, dalam Edwards, Encyclopedia of Philosopfy, (New York, Macmillan Puclishing, 1967), Vol 7-8, 287-8.
[6] Schneewind, “Modern Moral Philasophy”, dalam Peter Singer (ed), A. Companion to Ethics, (Massachusetts, Blackwell Publishers Inc, 1997), 537.
[7] Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, (Jakarta, Gramedia, 1992), 40. Lihat pula, Ross Poole, Moralitas & Modernitas, (Yogyakarta, Kanisius, 1993), 191.
[8] Dialektika, pada asal katanya berarti dialok, diskusi atau debat, dimana tujuan utamanya adalah untuk membentah argumen-argumen lawan, atau mengarahkan lawan pada kontradiksi, dilema atau paradoks-paradoks. Lebih jelas dalam persoalan ini, lihat Jalaluddin Rahmat, Kamus Filsafat, Rosda Karya, Bandung, 1995), 78.
[9] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat-2, (Yogyakarta, Kanisius, 11988), 100.
[10] Ibid, 101.
[11] Ibid,
[12] Ibid, 102
[13] Ross Poole, Moralitas dan Modernitas, 101. Dalam tulisan Hegel sendiri, lihat Hegel, System of Ethical Life and First Philosophy of Spirit, dalam Harris and Knox (edit & transl), (Albani, State Universiti of New Yirk Press, 1979), 20.
[14] Ross Poole, Ibid.
[15] Pernyataan tenteng keabsolitan roh atau spirit ini, lihat Betrand Russell, History of Westrn Philosophy, (Unwin, University Books, 1948), 702.
[16] Ross Poole, Moralitas dan Modernitas, 104.
[17] Bandingkan persoalan dengan, Walsh, Hegelian Ethics, (London, Macmillan, 1969), 59.

Artikel ini dan lainnya tersimpan dalam document scribd. Untuk melihatnya klik disini

Read more...

Sabtu, Agustus 09, 2008

Moral Philosophy of Aristotle

Filsafat Moral Aristoteles
Oleh: A Khudori Soleh
Aristoteles (384-322 SM) adalah murid terkemuka Plato (427-348 SM), seorang tokoh pemikir idealis. Meski demikian, ia tidak sependapat dengan gurunya yang menyatakan bahwa manusia telah mengenal idea Yang Baik dan bahwa hidup yang baik bisa tercapai dengan kontemplasi dengan idea Yang Baik tersebut. Menurut Aristoteles, kehidupan yang baik justru harus dicari dan bertolak dari realitas manusia sendiri. Dari realitas inderawi kongkret inilah akal budi manusia mengabstraksikan apa yang disebut kebaikan.
Berangkat dari pendekatan --yang serba-- empiris yang digunakan Aristoteles ini, kita akan mencoba membahas konsep-konsepnya tentang moral.

Teleologis.
Pembahasan etika biasanya dibedakan antara etika deontologis dan teleologis. Deontologis menyatakan bahwa kualitas etis tindakan tidak berhubungan dengan akibat tindakan, tetapi bertumpu pada tindakan itu sendiri, benar atau salah. Misalnya, bahwa dusta adalah tidak benar secara etis, entah baik atau buruk akibatnya.[1]
Sebaliknya, teleologis menyatakan bahwa tindakan bersifat netral; baru dinilai benar atau salah setelah melihat akibat atau tujuannya. Sebuah tindakan dinilai benar jika akibatnya baik, salah jika akibatnya tidak baik. Etika Aristoteles termasuk teleologis, karena ia mengkaitkan tindakan dengan dampak atau tujuan tertentu; kebahagiaan. Tindakan dinilai baik sejauh mengarah pada kebahagiaan dan salah jika mencegah kebahagiaan.[2]
Kebahagiaan siapa? Kebahagiaan si pelaku. Karena itu, etika Aristoteles tidak Universalistik, tetapi bisa dikata egoistik, karena lebih menekankan dampak bagi pelaku, bukan dampaknya pada orang umumnya.[3]

Eidomonia Sebagai Ukuran Baik Buruk.
Eidemonia atau kebahagiaan adalah tujuan sekaligus penentu baik buruknya tindakan dalam etika Aristoteles.[4] Menurutnya, sesuatu dinilai baik jika tujuannya mengarah pada pencapaian kebahagiaan, dan dinilai buruk jika tidak diarahkan kepada kebahagiaan.[5] Persoalannya, apa yang dimaksud sebagai bahagia dalam pandangan Aristoteles? Apa unsur-unsurnya? Bagaimana cara mencapainya?
Sebelum mendiskusikan masalah kebahagiaan dalam perspektif Aristoteles, ada baiknya kita lihat konsep kebahagiaan dalam perspektif tokoh-tokoh lain. Menurut Epicuras, kebahagiaan adalah kenikmatan. Seseorang akan bahagia jika merasa nikmat, dan apa yang dimaksud nikmat di sini adalah adanya ketentraman jiwa yang tidak dikejutkan dan tidak dibingungkan oleh sesuatu dengan cara menghindarkan diri dari sesuatu yang tidak mengenakkan. Jelasnya, bahagia dalam pandangan Epicuras adalah bebas dari rasa sakit dan penderitaan.[6] Pengertian yang hampir senada juga diberikan John Stuart Mill. Menurut Mill, kebahagiaan adalah kesenangan (pleasure) dan bebas dari perasaan sakit (pain) sedang ketidakbahagiaan berarti adanya perasaan sakit (pain) dan tidak adanya kesenangan.[7]
Sementara itu, menurut Agustinus, kebahagiaan adalah menyatunya rasa cinta kasih manusia dalam Tuhan. Dalam pandangan Agustinus, tujuan hidup manusia adalah persatuan diri dengan Tuhan.[8] Sedang dalam pandangan Stoa, kebahagiaan adalah kemampuan diri untuk menahan dorongan nafsu (self sufficiency) dengan cara menyatukan diri dan tunduk pada hukum alam. Jelasnya, kebahagian Stoa terletak pada kemampuan seseorang untuk --meminjam istilah Jawa-- “menerima ing pandum”. Menerima apa yang menjadi bagiannya.[9]
Bagaimana konsep kebahagiaan Aristoteles? Menurut Aristoteles, kebahagiaan manusia terdapat pada aktivitas yang khusus dan mengarah pada kesempurnaanya. Apa aktivitas khusus pada manusia yang mengarah pada kesempurnaanya? Menurut Aristoteles, potensi khas manusia yang membedakan dari binatang atau makhluk lain adalah akal budi dan spiritualitasnya. Tidak ada satupun mahluk hidup selain manusia yang mempunyai potensi ini. Karena itu, aktivitas dan aktualitas manusia yang bisa mengarahkan pada kebahagiaan adalah semua bentuk aktivitas yang melibatkan bagian jiwa yang berakal budi. Namun, karena manusia hidup dalam alam dunia dan masyarakat, maka aktualisasi dari akal budi tersebut bukan semata-mata diarahkan pada Yang Maha Budi dan Idea, tetapi juga diarahkan pada kehidupan konkrit melalui partisipasi dalam kehidupan masyarakat. Tegasnya, kebahagiaan tercapai dengan cara memaksimalkan potensi diri untuk memandang realitas ruhani di satu sisi, dan aktif dalam berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat disisi yang lain.[10] Ini sama yang dirumuskan Erich Fromm, bahwa kebahagiaan tidak terletak atas apa yang kita miliki (having) tapi lebih pada kemampuan aktualisasi diri (being). Yaitu, kemampuan menyatakan dan menjadikan potensi-potensi yang dimiliki atau “mimpi-mimpi” menjadi kenyataan.[11]
Dengan demikian, jika kebahagiaan Epicuras dan John S. Mill terletak pada kemampuan lari dari rasa sakit, kebahagiaan Agustinus terjadi dalam Tuhan dan Stoa dalam alam, kebahagiaan Aristoteles terletak pada diri manusia sendiri, pada aktivitasnya untuk mengembangkan potensi-potensi hakikinya untuk menjadi sempurna.
Namun demikian, aktivitas menuju kebahagiaan ini tidak bisa dilakukan sembarangan. Menurut Aristoteles, aktivitas yang menyebabkan kebahagiaan harus dijalankan menurut asas “keutamaan”. Hanya aktivitas yang disertai keutamaan yang dapat membuat manusia bahagia. Di samping itu, aktivitas tersebut mesti dilakukan secara stabil,[12] dalam jangka waktu yang panjang, bukan hanya sporadis. Jelasnya, dilakukan secara istiqamah.

Aktualisasi Diri Sebagai Kebahagiaan.
Bagaimana aktualisasi diri bisa dinilai sebagai kebahagiaan? Dalam pandangan Aristoteles, aktualisasi diri yang dinilai sebagai kebahagiaan adalah aktualisasi yang mengakibatkan kesempurnaan pada yang bersangkutan. Kesempurnaan mata adalah melihat, kesempurnaan makhluk hidup adalah mengembangkan psikhisnya, dan kesempurnaan manusia adalah aktualisasi dari kemungkinan tertinggi yang hanya terdapat pada manusia; akal budi dan ruhaninya. Dengan demikian, kebahagiaan manusia sama dengan menjalankan aktivitas yang spesifik baginya, yaitu mengembangkan pemikiran dan spiritualitas. Bagi manusia, kebahagiaan adalah memandang kebanaran.[13]
Akan tetapi, kebenaran yang harus dipandang tersebut tidak hanya yang ada pada alam Idea sebagaimana dikatakan Plato. Benar bahwa manusia mengandung dimensi-dimensi ruhani dari alam transendent, tetapi ia juga mengandung wadag yang inderawi; begitu pula, ia bukan pula wadag tetapi juga mengandung nilai ruhani. Manusia adalah paduan dimensi ruhani dan duniawi. Karena itu, kebahagiaan manusia hanya bisa dicapai dengan cara bertindak (aktif) mengaktualisasikan potensi atau nilai-nilai luhur manusia yang berasal alam transendent dalam kehidupan nyata, riil.[14]
Mengapa harus aktif? Menurut Aristoteles, manusia menjadi bahagia bukan dengan cara pasif menikmati sesuatu, atau bahwa segala yang diinginkan tersedia, melainkan dengan cara aktif. Dengan bertindak ia menjadi nyata. Hanya dengan perbuatan manusia menyatakan diri, ia menjadi riel. Sesuatu yang hidup bermutu tidak tercapai melalui nikmat pasif, melainkan melalui hidup yang aktif. Manusia bahagia dalam merealisasikan atau mengembangkan potensi-potensi dirinya.
Selain itu, aktualisasi aktif dalam merealisasikan dan mengembangkan potensi khas manusia tersebut harus dilakukan menurut aturan keutamaan.[15] Hanya aktivitas yang disertai keutamaan (aretê) yang membuat manusia menjadi bahagia. Dan yang penting, tindakan maksimal atas potensi-potensi diri tersebut tidak terjadi secara sporadis atau berkala, tetapi terjadi dalam jangka waktu yang lama. Jelasnya, dilakukan secara istiqamah, langgeng.[16]
Dengan demikian jelas bahwa kebahagiaan yang dalam etika Aristoteles digunakan sebagai tolok ukur baik buruknya sebuah tindakan terletak pada kemampuan yang bersangkutan dalam mengaktualisasikan potensi-potensi khas dirinya. Semakin seseorang mampu mengaktualisasikan potensi khasnya, yang tentu disertai keutamaan, maka semakin dinilai baiklah tindakannya, karena itu berarti semakin mengarah kepada kebahagiaan.

Keutamaan.
Aristoteles melukiskan keutamaan moral sebagai suatu sikap watak yang memungkinkan manusia untuk memilih jalan tengah antara dua kutub ekstrem yang berlawanan.[17] Sebagai contoh, dalam belanja, pengeluaran terlalu banyak disebut boros, terlalu hemat disebut kikir. Diantara dua kutub ini, keutamaan adalah mengambil jalan tengah; tidak boros juga tidak kikir yang disebut “murah hati”.
Yang perlu dicatat, bagi Aristoteles, keutamaan baru menjelma sebagai keutamaan yang sungguh-sungguh setelah yang bersangkutan mempunyai sikap tetap dalam menempuh jalan tengah tersebut. Bukan sekedar terjadi dalam beberapa kasus. Juga bahwa jalan tengah tidak dapat ditentukan dengan cara yang sama untuk semua orang. Artinya, apa yang dimaksud jalan tengah ini sangat subjektif, bukan objektif.
Jika subjektif, bagaimana keutamaan bisa tentukan? Adakah norma-norma untuk itu? Menurut Aristoteles, rasio menetapkan pertengahan (keutamaan) tersebut dan harus menentukannya sebagaimana orang yang bijakasana dalam bidang praktis menentukan keutamaan. Aristoteles menganggap bahwa keutamaan bukan persoalan theori, tapi praktek. Seorang sarjana yang mengerti theori moral belum tentu bisa berlaku sesuai keutamaan moral, tapi orang yang mempunyai kebijaksanaan praktis (phronesis) mampu menentukan masalah ini, berdasarkan pertimbangan konkrit.[18]

Phronesis (Kebijaksanaan Praktis).
Aristoteles --sebagaimana yang disinggung-- memisahkan praxis dari theori, meski menggunakan keduanya dalam menggapai kebahagiaan. Menurut Aristoteles, theori diarahkan pada realitas yang tidak berubah (idea), sedang praxis bergerak dalam alam manusia yang berubah yang mana manusia sendiri mempunyai kebebasan untuk memilih mana yang diambil. Nah, kemampuan bertindak tepat berdasarkan pertimbangan baik dan buruk ketika menghadapi pilihan-pilihan inilah yang disebut “phronesis” (kebijaksanaan praktis).[19] Orang yang mempunyai phronesis mengerti bagaimana harus bertindak secara tepat.
Menurut Aristoteles, phonesis tidak bisa diajarkan sebagaimana juga etika tidak bisa diajarkan, tapi bisa dikembangkan atau dilatih dengan cara dibiasakan.[20] Phronesis tumbuh dan berkembangan dari pengalaman dan kebiasaan bertindak etis. Semakin mantap seseorang bertindak etis, semakin kuat pula kemampuannya untuk bertindak menurut pengertian yang tepat; sama dengan orang yang semakin melatih jiwanya akan semakian peka perasaannya.

Tanggapan.
Konsep etika Aristoteles ini, dimana aktualisasi potensi tidak hanya dilakukan di dunia Idea, tetapi harus juga dalam kehidupan praksis, dalam kehidupan bermasyarakat, mendorong manusia untuk bertindak sosial. Manusia bisa dinilai hidup secara baik jika berpartisipasi dalam kehidupan negara dan tidak lepas dari norma-norma serta nilai-nilai masyarakat. Inilah sumbangan utama etika Aristoteles.
Hanya saja, konsepnya tentang kebahagiaan sebagai tolok ukur baik dan buruk ini, sebagaimana dikatakan Immanuel Kant, tidak menyentuh masalah paling mendasar dari etika itu sendiri; apa yang membuat manusia menjadi baik.[21] Persoalan baik dan buruk harus dilihat pada hakekat tindakan itu sendiri, baik atau buruk, yang oleh Kant disebut “kehendak”,[22]
Selain itu, Aristoteles tidak menyediakan tolok ukur bagi nilai moral. Bagaimana kita bisa tahu bahwa itu tindakan etis dan tidak etis? Aristoteles memang menyatakan tentang adanya “phronesis” (kebijaksanaan atau pengertian yang tepat) dalam memilih tindakan. Akan tetapi, bagaimana kita tahu bahwa tindakan yang kita lakukan tersebut tepat atau tidak? Semua tergantung kebiasaan yang dilakukan. Relatif sekali.
Terakhir, dengan adanya konsep bahwa kebaikan berasal dari aktualisasi potensi manusia sendiri berarti Aristoteles telah mengabaikan persoalan yang transenden. Dalam etika Aristoteles, transendensi tidak memainkan peran. Keberadaan Tuhan menjadi terlupakan.
Ini agak berbeda dengan Ibn Maskawaih,[23] meski sama-sama menyatakan kebahagiaan sebagai tujuan etika. Menurut Ibn Maskawaih, kebahagiaan tercapai manakala manusia mampu mentranfer nilai-nilai atau sifat-sifat Tuhan dalam tindakannya sehari-hari. Artinya, tindakan-tindakannya tidak dilakukan sembarangan yang lepas dari dimensi-dimesi ruhani, tetapi justru tersoroti dan tercerminkan oleh nilai-nilai ketuhanan. Artinya lagi, persoalan transenden ikut memainkan peran, tatapi tidak sampai mnghancurkan apalagi menghilangkan kepribadian manusia sendiri sebagaimana dalam Stoa ataupun Aquinas.

Catatan Kaki
[1] Etika deontologis biasanya dinisbatkan pada Kant (1724-1804 M). Lebih jelas, lihat Franz Magnis Suseno, 13 Model Pendekatan Etika, (Kanisius, Yogya, 1997), 151 dan seterusnya.
[2] Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika, (Kanisius, Yogya, 1996), 41; Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, (Tintamas, Jakarta, 1986), 132-134.
[3] Namun, menurut Magnis, egoistik disini bukan berarti hanya memperhatikan diri sendiri, tapi justru demi merealisasikan hakekat sosialnya sebagai zoon politikon. Jadi tidak egoistik dalam makna yang sesunguhnya. Magnis, Ibid, 41.
[4] Tanggapan dan kritik-kritik yang cukup bagus terhadap doktren eudemonisme ini, lihat De Vos, Pengantar Etika, (Tiara Wacana, Yogya, 1987), 168-176.
[5] Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika, (Kanisius, Yogya, 1996), 41; Muhammad Hatta, Alam Filsafat Yunani, (Tinta Mas, Jakarta, 1986), 132-134.
[6] Franz Magnis Suseno, Ibid, 49.
[7] Ibid, 181.
[8] Ibid, 69
[9] Ibid,56-59. Lihat pula Poespoprodjo, Filsafat Moral Kesusilaan Dalam teori dan Praktek, (Bandung, Remaja Karya, 1986), 48.
[10] Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Kanisius, Yogya, 1997), 160-1.
[11] Magnis Suseno, Op Cit, 42.
[12] Bertens, Op Cit, 161
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa perbuatan yang baik adalah perbuatan yang dilakukan secara terus menerus meski sedikit, bukannya banyak tapi hanya sekali dua kali.
[17]Ibid; Magnis, 13 Tokoh Etika, 39. Ini mungkin sama dengan sebuah hadits yang menyatakan, sebaik-baik perkara adalah yang sedang-sedang, tengah-tengah.
[18] Bertens, Op Cit,164.
[19] Ibid, 165.
[20] Magnis Suseno, Op Cit, 38. Tentu saja, pada mulanya dengan melakukan tindakan-tindakan yang pada umumnya dikenal tepa dan baik. Dari sana, lambat laun akan menjadi kebiasaan atau kemampuan yang kokoh untuk bertindak tepat.
[21] Ibid, 151
[22] Ibid, 156.
[23] Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, terj. Ilyas Hasan, (Bandung, Mizan, 1994), 98-99.

Artikel ini dan lainnya tersimpan dalam document scribd. Untuk melihatnya, klik disini

Read more...

Popular Posts

Guestbook Slide

Family Album

My Published Books

  © Blogger templates Islamic Philosophy by A Khudori Soleh Juni 2009

Back to TOP