Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan

Minggu, Oktober 18, 2009

Improve the Quality of Lecturer by Writing

Meningkatkan Mutu Dosen dengan Menulis
Oleh: A Khudori Soleh
Salah satu cara yang sering ditempuh oleh Perguruan Tinggi untuk meningkatkan mutu dan profesionalitas dosennya adalah dengan mengirim mereka untuk belajar ke strata pendidikan yang lebih tinggi, Magister atau Doktor. Ini memang salah satu dari sekian banyak cara yang --secara formal-- agak "menjamin". Akan tetapi, benarkah kualitas mereka secara otomatis akan menjadi baik dan profesional setelah menyabet gelar Master atau Doktor?
Pertanyaan ini patut direnungkan berkaitan dengan fenomena yang ada. Pertama, saat ini semakin marak adanya program pendidikan S-2 di perguruan tinggi. PTN maupun PTS seolah saling berlomba untuk membuka program pascasarjana, sehingga sistem penyeleksian dan kelulusannya menjadi lebih longgar dan mudah. Direktur Sarana Akademik Dikti, beberapa tahun lalu, pernah menyatakan dan memperingatkan akan hal ini. Artinya, kualitasnya akan semakin "dimaklumi".
Kedua, munculnya banyak istilah yang bernada pesimis dan sinis terhadap kemampuan seorang pakar, seperti istilah GBHN (Guru Besar Hanya Nama), 'Doktor tukang', dan lain-lain, karena apa yang disampaikan dari forum ke forum, dari kuliah ke kuliah hanya itu-itu saja. Tidak ada wawasan atau pemikiran baru sebagai layaknya seorang pakar. Mereka sepertinya lupa bahwa mengajar tanpa pembaruan ilmiah dan informasi baru berarti sama artinya dengan mengajarkan kesesatan ilmiah. Sebab, apa yang dinamakan kebenaran ilmiah adalah relative, dalam arti apa yang dulu dinilai ilmiah belum tentu masih bertahan sebagai kebenaran pada saat ini. Kepala Biro Kalautan, Kedirgantaraan, Lingkungan dan Iptek Bappenas saat seleksi Riset Unggulan Terpadu (RUT) tahun 1994 lalu pernah mengatakan bahwa ternyata banyak dosen yang bergelar Doktor dan profesor tidak dapat mengajukan proposal penelitian buatan sendiri, tetapi dikerjakan oleh orang lain.[1]
Kualitas pakar atau dosen kita yang kurang layak ini dikarenakan mereka memang kurang dibiasakan atau kurang 'dipaksa' untuk banyak belajar, merenung dan berpikir. Jelasnya, mereka tidak pernah dipaksa untuk membuat tugas karya ilmiah secara rutin. Selesai mengikuti pendidikan program pascasarjana, kebanyakan mereka langsung kembali kepada kegiatan-kegiatan rutin di kampus, sehingga ilmunya tidak berkembang.Karena itu, kalau mahasiswa diharuskan membuat tugas, maka untuk mengembangkan kualitas dan profesionalitas dosen, mereka juga harus 'dipaksa' untuk membuat tugas, yaitu membuat karya ilmiah secara berkala. Tugas ini kemudian diajukan kepada sebuah tim yang terdiri atas para pakar dari berba­gai disiplin ilmu untuk menilai hasil karya mereka.
Dengan adanya tugas ini, mau tidak mau, para dosen akhirnya dituntut untuk lebih banyak belajar dan membaca. Kenyataannya, mereka memang dituntut untuk itu. Menurut sebuah penelitian, pada era informasi global seperti saat ini, seseorang harus dapat menyerap informasi sebanyak 820.000 kata per-minggu (kpm) jika ingin tetap mempertahankan prestasi dan eksistensi­nya di tengah perubahan dan persaingan global. Jika dihitung dengan jam membaca, beban itu setara dengan membaca antara 4-6 jam per hari. Ini waktu yang tidak sedikit.[2]
Jika kemampuan membaca seorang dosen bagus, maka akan dapat di 'pastikan' bahwa kualitasnya juga akan semakin bagus. Pproduktivitasnya dalam melahirkan karya ilmiah juga akan meningkat. Ada hubungan yang sangat signifikan antara kemampuan membaca dengan produktivitas menulis karya ilmiah ini.
Di sisi lain, dengan semakin banyak karya tulis yang dihasilkan dan dipublikasikan, maka itu akan bisa mendorong segera tercapainya peningkatan kualitas masyarakat, sehingga perguruan tinggi tidak hanya menjadi lembaga untuk sekedar mencari gelar, tetapi benar-benar sebagai lembaga ilmiah dan pelopor perubahan masyarakat (agent of change). Secara matematis, kita dapat menghitung. Jika di sebuah Universitas ada sekitar 400 orang dosen, dan setiap dosen mampu menelorkan dua judul karya ilmiah dalam setahun, maka berarti sudah terlahir 800 tulisan ilmiah dalam setahun. Jika 50% dari tulisan tersebut di terbitkan, maka berarti akan ada satu tulisan atau satu gagasan baru muncul setiap harinya dari lembaga pendidikan tinggi yang bisa diakses masyarakat luas.

Sanksi Dosen.
Untuk memberlakukan dan menegakkan aturan ini, maka Fakultas atau Perguruan tinggi harus berani memberi sangsi kepada para dosen yang malas, yaitu dosen yang tidak produktif, tidak membuat karya ilmiah. Jadi tidak hanya memberikan sangsi kepada para mahasiswa yang 'mbeling' saja. Sanksi-sanksi tersebut dapat dilakukan secara bertahap. Misalnya, seorang dosen yang tidak menulis karya ilmiah selama setahun tidak dipekenankan membimbing dan menguji skripsi, tesis atau disertasi. Secara finasial, sanksi ini cukup terasa berat. Sebab, honor bimbingan --dan kemudian ujian—skripsi, tesis atau disertasi merupakan salah satu dari masukan yang cukup lumayan.
Berikutnya, sang dosen diberi kesempatan selama setahun kedua untuk menghasilkan karya-karya tersebut, dengan format yang telah ditentukan dan disepakati, tentunya. Antara lain, misalnya, tulisan harus diterbitkan oleh jurnal ilmiah berakriditasi atau yang lain. Atau minimal, dipublikasikan koran nasional, misalnya. Jika sampai setahun kedua, seorang dosen tetap juga tidak bisa menghasilkan sebuah karya akademik, maka sanksinya ditambah. Yaitu, yang bersangkutan tidak diperbolehkan mencantumkan gelar akademiknya, Master, Doktor atau Profesor, meskipun masih diperbolehkan mengajar. Ini penting, sebab gelar akademik membawa konsekuensi adanya produk ilmiah. Seorang dosen yang tidak mampu atau tidak pernah menghasilkan karya ilmiah sendiri --karena sering terjadi seorang pakar yang karya ilmiah dibuatkan oleh sekretaris pribadi atau asistennya-- tidak layak mengguna­kan gelar tersebut.
Memasuki tahun ketiga, sanksinya makin bertambah. Jika sampai tiga tahun berturut-turut seorang dosen tidak mampu menghasilkan karya ilmiah, maka yang bersangkutan harus dicutikan sementara. Ia harus dibebaskan dari semua tugas mengajar, pembimbingan dan seterusnya, sehingga ada banyak waktu untuk melakukan kegiatan-kegiatan penelitian atau menulis karya ilmiah.
Jika selama masa cuti satu tahun yang bersangkutan belum juga mampu menghasilkan karya akademik, cutinya mungkin bisa diperpanjang satu tahun lagi sebagai peringatan terakhir. Tentu pada masa-masa cuti ini gaji tetap diberikan sehingga pencutian sementara ini mirip dengan sistem “sabbatical leave” di Perguruan Tinggi negara-negara maju.
Jika dalam masa satu tahun kesempatan terakhir ini --berarti selama empat tahun sejak tidak boleh membimbing skripsi-- dilewati dengan tanpa ada satupun karya ilmiah yang dihasil­kan, maka perguruan tinggi yang menaunginya harus rela dan tega untuk mempensiunkan dosen tersebut. Perguruan Tinggi yang tetap mempekerjakan dosen yang tidak mampu menulis karya ilmiah selama empat tahun, sulit dipertanggungjawabkan kualitasnya.

Kendala-Kendala.
Kendala pertama dan yang paling besar dari gagasan ini, mungkin akan muncul dari para dosen senior yang telah mapan. Sebagaimana dapat dipahami, system ini akan melahirkan perubahan dan menciptakan kompetisi. Para dosen senior yang telah mapan tetapi merasa tidak akan mampu berkompetisi dengan sistem seperti ini akan merasa terancam, sehingga mereka akan berusaha menentang sekuat tenaga dan menggalang kekuatan untuk mengamankan kedudukan­nya.
Kendala kedua adalah tentang sistem karier dosen. Kita bisa membayangkan bagaimana sulitnya menjadi seorang dosen dengan system ini. Akan tetapi, mereka memang dituntut untuk melakukan itu, sehingga benar-benar qualified dan diakui. Sebagai perbandingan dapat kita lihat sistem serupa yang berlaku di Amerika. Untuk Universitas "kelas dua" saja, di Amerika melakukan syarat minimal satu buku dan sejumlah karya ilmiah di jurnal akademik (yang ditentukan, tidak boleh sembarang) sebelum seorang calon dosen bisa diangkat sebagai tenaga pengajar tetap di Perguruan Tinggi yang bersangkutan. Hal yang sama juga berlaku pada associate professor. Mereka harus menulis buku dan karya-karya ilmiah sekualitas jurnal pilihan sebelum dapat diangkat sebagai guru besar. Dengan demikian, ukurannya bukan sekedar penguasaan dan kemampuan mengajar di kelas atau administrasi kepangkatan yang sudah tinggi dan lama, tetapi terutama adalah “kemampuan akademik” dalam makna yang sebenarnya.
Karena itu, berkaitan dengan upaya ini, perlu ada pemisahan dan pemahaman yang jelas antara jenjang karir akademik dengan karier adminis­trasi (struktural). Selama ini ada kesan bahwa jabatan ketua program, ketua jurusan, dekan atau rektor dianggap sebagai puncak karier seorang dosen, sehingga mereka saling berebut dan merasa berhasil dengan jabatan tersebut. Padahal, mestinya tidak demikian. Jabatan ketua jurusan, dekan sampai rektor hanyalah jabatan politis dan administrasi yang tidak berkaitan dengan kemampuan akademik keilmuan. Karir akademik dosen dimulai dari Lektor dan berpuncak pada guru besar, yang masing-masing sekaligus menunjukkan kualitas dan kuantitas pemikiran dan karya ilmiahnya (hanya sayangnya, pangkat struktural memang tampak lebih "berkuasa" dan bergengsi dibanding pangkat fungsional dan keilmuan). Wallahu a`lam.

Catatan Kaki

[1] Posman Sibuea, Nobel dan Semangat Penelitian Kita, HR. Suara Pembaharuan, 11 Nopember 1996.
[2] Khairuddin K, Visi Ilmiah Dosen, HR. Suara Karya, 21 Nopember 1996.

Pernah dimuat dalam Majalah "Kata Buku" UIN Malang, edisi April 2009. Tulisan-tulisan lainnya klik disini

Read more...

Senin, Juli 13, 2009

The Concept of Ulul Albab

Tentang Ulul Albab
Oleh: A Khudori Soleh
Simbol, lambang dan cita-cita Universitas Islam Negeri (UIN) "Maulana Malik Ibrahim" Malang adalah Ulul Albab. Ulul Albab sendiri adalah istilah khusus yang dipakai al-Qur’an untuk menyebut sekelompok manusia pilihan semacam intelektual. Istilah Ulul Albab 16 kali disebut dalam al-Qur’an. Namun, sejauh itu al-Qur’an sendiri tidak menjelaskan secara definitive siapa yang dimaksud sebagai ulul albab. Ia hanya menyebutkan tanda-tandanya saja. Karena itulah, para mufassir kemudian memberikan pengertian yang berbeda-beda tentang ulul albab. Imam Nawawi, misalnya, menyebut bahwa ulul albab adalah mereka yang berpengetahuan suci, tidak hanyut dalam derasnya arus. Dan yang terpenting, mereka mengerti, menguasai dan mengamalkan ajaran Islam. Sementara itu, Ibn Mundzir menafsirkan bahwa ulul albab sebagai orang yang bertaqwa kepada Allah, berpengetahuan tinggi dan mampu menyesuaikan diri di segala lapisan masyarakat, elit ataupun marginal.

Sarjana, Ilmuwan dan Intelektual.
Sebelumnya melihat tanda-tanda atau ciri-ciri ulul albab yang disampaikan al-Qur’an, ada baiknya kita diskusikan pengertian istilah-istilah ini. Dalam bahasa Indonesia ada tiga istilah yang hampir sama tapi sangat jauh berbeda artinya; sarjana, ilmuwan dan intelektual. Sarjana diartikan sebagai orang yang telah menempuh jenjang perguruan tinggi dengan menggondol gelar sarjana. Jumlahnya amat banyak, karena setiap tahun perguruan tinggi selalu memprodoksi sarjana.
Ilmuwan adalah mereka yang mendalami ilmunya, kemudian berusaha mengembangkannya, baik dengan pengamatan atau analisa sendiri. Dalam berbagai kesempatan, seorang ilmuwan terkadang berbicara dengan bahasa yang universal dan terkesan asing, sehingga sulit dipahami umatnya. Dari sekian sarjana, hanya beberapa yang menjadi ilmuwan. Lainnya hanya sebuk dalam kegiatan-kegiatan rutin.
Adapun intelektual adalah mereka yang terlibat secara kritis dengan nilai, tujuan dan cita-cita, yang mengatasi kebutuhan-kebutuhan praktis. Maksudnya, intelektual adalah orang yang menggarap sekaligus menggabungkan antara teori dengan operasionalnya berdasarkan gagasan-gagasan normatif. Kaum intelektual adalah mereka yang berusaha membentuk lingkungan dan masyarakatnya dengan gagasan-gagasan analisis dan normatif.
Ali Syariati memberi istilah intelektual dengan Rausyanfikr yang artinya pemikir yang tercerahkan. Rausyanfikr tidak hanya menemukan kenyataan atau menyajikan fakta sesuai apa adanya seperti kerja ilmuwan tetapi berusaha menemukan kebenaran sekaligus memberikan penilaian terhadap sesuatu bagaimana seharusnya. Selain itu, rausyafikr tidak bersikap netral dalam pekerjaannya sebagaimana ilmuwan. Rausyanfikr terjun langsung melibatkan diri pada idiologi. Ia adalah "fa'il" (penentu dan pelaku) sejarah, bukan "maf'ul" (objek) sejarah. Terjemahan yang paling tepat untuk rausyanfikr, mungkin, adalah intelektual dalam arti yang sebenar-benarnya. Menurut Jalaluddin Rahmad intelektual bukan sekedar sarjana atau ilmuwan. Intelektual adalah orang yang benar-benar merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakat dan bangsanya, menangkap aspirasinya, kemudian merumuskan dan menawarkan strategi serta alternatif pemecahannya. Sudah barang tentu, dalam hal ini mereka ikut terjun langsung dalam pelaksanaannya, bukan sekedar menyodorkan konsep. Kaum intelektual sangat dekat dengan umatnya, sehingga segala kebutuhan dan kesusahan umat dapat diketahui dengan jelas. Dengan begitu, konsep-konsep penyelesaian yang disodorkan benar-benar bisa menemui sasaran. Tegasnya, intelektual bukan sekedar orang yang hanya dapat berbiacara di mimbar dan seminar atau kerja di belakang meja, melainkan orang yang mempunyai konsep sekaligus mampu mengaplikasikannya.
Dalam Islam, seorang intelektual bukan sekedar orang yang sanggup melahirkan gagasan-gagasan normatif dan aplikasinya, tetapi sekaligus juga memahami ajaran dan sejarah agamanya. Artinya, intelektual muslim harus menguasai ajaran-ajaran agamanya.

Ciri-Ciri Ulul Albab.
Ciri-ciri ulul albab yang disebut dalam al-Qur’an adalah, pertama, bersungguh-sungguh menggali ilmu pengetahuan. Menyelidiki dan mengamati semua rahasia wahyu (al-Qur’an maupun gejala-gejal alam), menangkap hukum-hukum yang tersirat di dalamnya, kemudian menerapkannya dalam masyarakat demi kebaikan bersama. "Sesungghnya, dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi ulul albab" (QS, Ali Imran, 190).
Menurut Ibn Katsir, selain mampu memahami fenomena alam dengan segenap hukumnya yang menunjukan tanda-tanda keagungan, kemurahan dan rahmat Ilahy, ulul albab juga seorang yang senantiasa berdzikir dan berpikir, yang melahirkan kekuatan intelektual, kekayaan spiritual dan keluhuran moral dalam dirinya.
Ibn Salam fisikawan muslim yang mendapatkan hadiah Nobel tahun 1979 menyatakan bahwa dalam al-Qur’an terdapat dua perintah; tafakur dan tasyakur. Tafakur adalah merenungkan serta memikirkan semua kejadian yang timbul dalam alam semesta, kemudian menangkap hukum-hukumnya yang dalam bahasa modern dikenal dengan istilah science. Sedang tasyakur adalah memanfaatkan segala nikmat dan karunia Allah dengan akal pikiran, sehingga nikmat tersebut semakin bertambah yang kemudian dikenal dengan istilah teknologi. Ulul Albab menggabungkan keduanya; memikirkan sekaligus mengembangkan dan memanfaatkan hasilnya, sehingga nikmat Allah semakin bertambah (Jalaluddin Rahmad, 1988, 213). "Sesungguhnya, jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu. Jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih"(QS, Ibrahim, 7).
Manusia akan mampu menemukan citra dirinya sebagai manusia, serta mampu menaklukkan jagat raya bila mau berpikir dan berdzikir. Berpengetahuan tinggi serta menguasai teknologi. "Jika kamu mampu menembus (melintasi) penjuruu langit dan bumi, maka lintasilah. Kamu tidak akan mampu menembusnya, kecuali dengan kekuatan (teknologi)" (QS, Ar-Rahman, 33).
Kedua, selalu berpegang pada kebaikan dan keadilan. Ulul Albab mampu memisahkan yang baik dari yang jahat, untuk kemudian memilih yang baik. Selalu berpegang dan mempertahankan kebaikan tersebut walau sendirian dan walau kejahatan didukung banyak orang. "Tidak sama yang buruk (jahat) dengan baik (benar), meskipun kuantitas yang jahat mengagumkan dirimu. Bertaqwalah hai ulul albab, agar kamu beruntung" (QS, Al-Maidah, 100)
Dalam masyarakat, Ulul Albab tampil bagai seorang "nabi". Ia tidak hanya asyik dalam acara ritual atau tenggelam dalam perpustakan; sebaliknya tampil dihadapan umat. Bertabligh untuk memperbaiki ketidakberesan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, memberikan peringatan bila terjadi ketimpangan dan memprotesnya bila terjadi ketidak-adilan dan kesewenang-wenangan.
Ketiga, teliti dan kritis dalam menerima informasi, teori, proporsisi ataupun dalil yang dikemukakan orang lain. Bagai sosok mujtahid, ulul albab tidak mau taqlid pada orang lain, sehingga ia tidak mau menelan mentah-mentah apa yang diberikan orang lain, atau gampang mempercayainya sebelum terlebih dahulu mengecek kebenarannya. "Yang mengikuti perkataan lalu mengikuti yang paling baik dan benar, mereka itulah yang diberi petunjuk oleh Allah, dan mereka itulah ulul albab" (QS, Az-Zumar, 18).
Keempat, sanggup mengambil pelajaran dari sejarah umat terdahulu. Sejarah adalah penafsiran nyata dari suatu bentuk kehidupan. Dengan memahami sejarah kemudian membandingkan dengan kejadian masa sekarang, ulul albab akan mampu membuat prediksi masa depan, sehingga mereka mampu membuat persiapan untuk menyambut kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi.
Sampai pada ciri-ciri ini, ulul albab tidak ada bedanya dengan intelektual yang lain. Tapi bila dilanjutkan, maka ada nilai tambah yang dimilikinya yang tidak dimiliki oleh seorang intelektual biasa. Yakni, kelima, rajin bangun malam untuk sujud dan rukuk dihadapan Allah swt. Ulul Albab senansiasa "membakar" singgasana Allah dengan munajadnya ketika malam telah sunyi. Menggoncang Arasy-Nya dengan segala rintihan, permohonan ampun, dan pengaduan segala derita serta kebobrokan moral manusia di muka bumi. Ulul Albab sangat "dekat" dengan Tuhannya. "(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung), ataukah orang yang beribadah di waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (adzab) akherat dan mengharap rahmat Tuhannya. Katakanlah: 'Adakah sama orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?'. Sesungguhnya, hanya ulul albab yang dapat menerima pelajaran"(QS, Az-Zumar, 9).
Keenam, tidak takut kepada siapapun, kecuali Allah semata. Sadar bahwa semua perbuatan manusia akan dimintai pertanggungan jawab, dengan bekal ilmunya, ulul albab tidak mau berbuat semena-mena. Tidak mau menjual ilmu demi kepentingan pribadi (menuruti ambisi politik atau materi). Ilmu pengetahuan dan teknologi ibarat pedang bermata dua. Ia dapat digunakan untuk tujuan-tujuan baik, tapi bisa juga digunakan dan dimanfaatkan untuk perbuatan-perbuatan yang tidak benar. Tinggal siapa yang memakainya. Ilmu pengetahuan sangat berbahaya bila di tangan orang yang tidak bertanggung jawab. Sebab, ia tidak akan segan-segan menggunakan hasil teknologinya untuk menghancurkan sesama, hanya demi menuruti ambisi dan nafsu angkara murkanya.
Dengan demikian, ulul albab bukan sekedar ilmuwan atau intelektual. Dalam diri ulul albab terpadu sifat ilmuwan, sifat intelektual dan sekaligus sifat orang yang dekat dengan Allah. Atau dalam terjemahan UIN Malang, di istilahkan dengan intelek professional yang ulama dan ulama yang intelek profesional. Dalam dunia pendidikan dewasa ini, kita sangat mengharapkan perguruan tinggi mampu mencetak sosol sarjana yang mempunyai kemampuan keilmuan dan kepribadian seperti itu. Seorang sarjana yang benar-benar, bukan hanya sekedar sarjana.

Artikel ini dan lainnya tersimpan dalam document scribd. Untuk mengaksesnya, klik disini.

Read more...

Sabtu, Juni 13, 2009

Pesantren as Agent of Change

Pesantren Sebagai Pelopor Pembaharuan
Oleh: A Khudori Soleh
SEBAGAI lembaga pendidikan keagamaan dan kemasyarakatan, pesantren tidak hanya dituntut untuk mendidik masyarakat tentang ajaran agamanya, terlebih juga dituntut untuk tampil sebagai pelopor pembaharuan (agent of change). Maksudnya, pesantren harus mampu memberikan pemikiran dan tindakan alternatif dalam berbagai persoalan keagamaan dan kemasyarakatan. Tuntutan ini disebabkan bahwa sejak pertama kali didirikan oleh para wali, pesantren memang dimaksudkan untuk membentuk manusia muslim yang peduli akan persoalan masyarakat.
Akan tetapi, yang ada saat ini ternyata tidak mengarah ke sana. Dunia pesantren justru mandek dan terjebak dalam lingkup pusat pelatihan, bukan sebagai pusat pengembangan seperti yang diharapkan. Karena itu, tidak heran bila banyak orang pesantren yang kemudian canggung dan kaget ketika melihat realitas di masyarakat, sehingga solusi-solusi yang diberikan menjadi kaku dan tekstual.

Lemah Metodologi.
Kenyataan bahwa pesantren telah terjebak dalam lingkup pelatihan dan bukan lembaga pengembangan keilmuan bisa dilihat dari sedikitnya porsi yang diberikan pesantren terhadap ilmu-ilmu yang bersifat pengembangan wawasan seperti ushul al-fiqh, musthalah al-hadits atau ulum al-Qur`an, dibanding ilmu-ilmu yang bersifat terapan seperti fiqih. Benar bahwa mencari ilmu untuk diamalkan adalah prinsip yang harus dipegangi terutama dalam ilmu-ilmu agama. Akan tetapi, harus pula disadari bahwa misi suatu lembaga pendidikan seperti pesantren tidak hanya berhenti sampai disitu. Pesantren juga dituntut untuk membekali santrinya dengan kemampuan untuk mengembangkan wawasan, sehingga tidak akan canggung dalam menghadapi kehidupan nyata di masyarakat.
Dalam pesantren, perhatian serius terhadap ilmu-ilmu metodologis umumnya baru terbatas pada ilmu bahasa (arab). Itupun, masih terbatas pada gramatika (nahwu dan sharaf) dengan kitab acuan yang juga masih perlu dipertanyakan kelayakan dan efisiensinya.
Bahwa kitab-kitab nahwu yang diajarkan di pesantren saat ini, Alfiyah Ibn Malik dan syarahnya pada zaman dulu telah melahirkan ulama besar yang tidak disangsikan kemampuan bahasa Arabnya adalah benar. Akan tetapi, untuk masa sekarang yang tuntutan hidup semakin komplek dimana santri tidak hanya dituntut untuk menyelesaikan tugas-tugas pondok tetapi juga memenuhi tugas-tugas sekolah dan kuliah di luar pesantren, maka kitab acuan seperti itu rasanya terlalu berat. Jika tetap dipaksakan, maka dibutuhkan waktu yang sangat lama sehingga tidak afektif. Apalagi jika dikaitkan dengan kurang adanya kontrol yang ketat untuk mengikuti penjenjangan pendidikan di pesantren, maka kajian Alfiyah dapat dengan mudah diikuti oleh santri yang belum memiliki modal dasar ilmu bahasa yang memadai. Akibatnya, pengajaran Alfiyah hanya menjelma dalam bentuk menghafal bait demi bait tanpa didukung kesadaran dan pemahaman dalam praktek bahasa. Kenyataannya, tidak jarang dijumpai santri yang hafal bait-bait Imrithi atau Alfiyah tetapi kesulitan mempraktekkannya pada kitab-kitab yang belum pernah dikenal sebelumnya.
Begitu pula yang terjadi dalam bidang fiqh. Akibat pesantren lebih banyak memberikan fiqih dalam bentuk ilmu terapan daripada alat pengembangannya (ushul-nya), para santri akhirnya lebih cenderung menerima rumusan fiqh dengan tanpa reserve. Apa yang termaktub dalam kitab-kitab fiqh dianggap telah menjadi rumusan hukum Islam yang final dan fixed yang tidak dapat diganggu gugat. Ini jelas bertentangan dengan kenyataan yang ada. Fiqih hanyalah tanggapan “pribadi” seorang mujtahid atas problem sosial yang ada saat itu ketika tidak ditemui dalil al-Qur`an atau al-Sunnah yang qath’i dan shareh. Karena itu, ia sangat berkaitan dengan kondisi sosial politik disekitarnya disamping tingkat kemampuan sang mujtahid sendiri.
Karena itu pula, adalah sikap yang tidak bijaksana jika kita mensakralkan dan mengambil begitu saja fatwa mereka untuk menjawab problem kita saat ini. Kondisi dan problem sosialnya sudah sangat berbeda. Begitu pula, adalah tidak bijaksana jika kita ngotot dan hanya memegangi satu pendapat tanpa memperhatikan pendapat imam yang lain. Al-Sya`rani, dalam pengantar al-Mizan al-Kubra menyatakan, tidak akan sempurna ibadah seorang mulim jika hanya mengikuti satu madzhab saja. Sebab, dengan demikian, ia berarti hanya mengikuti hadits shaheh menurut imam madzhabnya sementara meninggalkan banyak nash lain yang shaheh menurut Imam lainnya. Meski demikian, memegangi pendapat yang berbeda pada saat yang bersamaan juga merupakan sikap yang sangat tidak bertanggung jawab.
Dalam kondisi seperti itu, penguasaan ushul al-fiqh dan qawaid al-fiqh menjadi sangat penting, disamping sejarah pembinaan hukum Islam (tarikh tasyri` al-Islami). Sebab, dengan ilmu-ilmu tersebut, para santri akan mendapat gambaran yang utuh tentang proses metodologi yang dilalui seorang mujtahid dan kontek historis yang melatarbelakanginya. Sedemikian, sehingga penerimaan dan penolakan terhadap suatu pendapat tidak didasarkan atas perasaan suka atau tidak suka melainkan atas kerangka metodologis yang dapat dipertanggungjawabkan. Lebih dari itu, dalam menghadapi masalah-masalah yang belum ter-cover dalam kitab kuning dapat diupayakan jawabannya dengan memanfaatkan kerangka metodologis yang telah diletakkan secara mapan oleh ulama zaman dulu.
Begitu pula dalam studi tafsir dan hadis. Pengetahuan tentang ulum al-hadis menjadi sangat penting dalam pengembangan studi hadits, terutama dalam masa-masa seperti sekarang dimana banyak kecenderungan untuk mempersoalkan eksistensi hadits, baik dalam bentuk tasykik (skeptis) terhadap kebenaran suatu hadits atau dalam bentuk pengingkaran kehujahannya (ingkar al-sunnah). Pembekalan santri tentang kemampuan untuk menjawab tantangan-tantangan semacam itu dan mendudukkannya secara benar tidak mungkin bisa dilakukan secara baik tanpa pengetahuan yang memadai tentang ulum al-hadits.

Tidak Dari Sumber Primer
Keterjebakan dan kemandegan pesantren juga disebabkan pengambilan rujukannya yang tidak dari sumber primer. Dalam bidang fiqih misalnya. Jika benar bahwa pesantren mengikuti madzhab Syafii, mereka seharusnya lebih dahulu mengkaji kitab-kitab Imam Syafii seperti al-Umm, sebelum kitab yang lain. Akan tetapi, yang dikaji hanya seputar kitab Fath al-Qarib, Fath al-Mu'in, Fath al-Wahhab atau bahkan kitab-kitab fiqh kecil lainya. Padahal, kitab-kitab tersebut adalah kitab mutaakhir yang kadang --bahkan sering-- berbeda dengan induk madzhabnya. Akibatnya, masyarakat pesantren lebih akrab dan lebih kenal kitab-kitab tersebut daripada karya-karya al-Syafi`I, sehingga mereka lebih tahu ijtihad Ibn Sujak, Nawawi atau yang lain dari ulama mutaakhirin daripada ijtihad Imam Syafii sendiri. Akhirnya dikatakan bahwa orang pesantren sebenarnya tidak bermadzhab Syafii tetapi bermadzhab pada orang yang mengikuti madzhab Syafii.
Pengambilan rujukan yang tidak pada sumber primer itu akhirnya melahirkan tatatan masyarakat “sempit” dan “mbulet”. Ini bisa dilihat dalam kasus tahlilan yang pernah ramai beberapa tahun lalu, misalnya. Kalangan pesantren sangat menggalakkan tahlil dan menganggap sebagai “identias” santri, padahal Imam Syafii sendiri menyatakan bahwa pahala bacaan al-Qur'an dan tahlil tidak bisa sampai kepada mayat (tidak berguna). Yang menyatakan bahwa pahala bacaan al-Qur'an dan tahlil berguna dan bisa sampai kepada mayat adalah para Imam madzhab lain yang selama ini dipegangi oleh kalangan non-pesantren yang justru enggan dan bahkan mengecam tahlil. Terbalik-balik. Kalangan non-pesantren sebenarnya yang harus membela tahlil dan bukan orang-orang pesantren.
Pengambilan rujukan secara tidak langsung seperti itu juga terjadi dalam bidang hadits dan tafsir. Selama ini, kitab hadits yang dianggap paling shaheh adalah kitab al-Bukhari dan Muslim. Akan tetapi, kedua kitab tersebut ternyata kurang mendapat tempat di pesantren. Jika ada hanya sebatas pada kajian kilatan pada bulan Ramadlan, bukan kajian secara mendalam dan teliti. Yang digalakkan dan laris justru kitab hadits kecil-kecil seperti Durah al-Nasihin, Usfuriyah, Daqaiq al-Akbar atau lainnya yang menurut santri Syekh Maliki perlu dikaji ulang karena banyak mengandung hadits dlaif.
Itulah kondisi di pesantren. Sistem dan struktur keilmuan pesantren kiranya perlu dikaji ulang, bahkan dirombak, agar dapat tampil sebagai agent of change dan bukan sekedar lembaga pelatihan. Perombakan ini bukan untuk merusak kemapanan tetapi justru demi “memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik”.

Read more...

Minggu, April 12, 2009

Respons to A Khudori Soleh

Perguruan Tinggi Unggulan Bermoral Pesantren
(Tanggapan Tulisan A Khudori Soleh)
Oleh D Yahya Khan
(Staf Pengajar FPBS IKIP Semarang)
Dimuat dalam Harian SUARA MERDEKA, Semarang, Senin, 24 Maret 1997
SEMUA berawal dari mimpi, dan tulisan A Khudori Soleh di Suara Merdeka, Senin 3 Maret 1997, merupakan gagasan orisinal yang perlu ditanggapi. Gagasan itu berawal dari rasa keprihatinan dan kepedulian untuk mengantisipasi kepincangan dalam masyarakat.
Karena itu, dia menawarkan solusi bentuk pendidikan yang dianggapnya lebih memadai: perguruan tinggi khusus yang mampu membekali sains dan teknologi tinggi bersamaan dengan itu juga penanaman moral agama yang mendalam, atau perguruan tinggi unggulan yang bernapaskan moral pesantren (PTU-MP).
Untuk mewujudkan PTU-MP, dilontarkan gagasan untuk menyerahkan pengelolaannya kepada investor asing. Investor tentu akan mengadakan studi kelayakan lebih dulu, apakah proyek PTU-MP itu pantas diberi dana.
Sebagai proyek PT unggulan, pendiri harus memikirkan penyusunan perencanaan strategis secara profesional yang mengacu pada konsep-konsep manajemen modern. Yaitu pertama, visi adalah cita-cita akhir yang ingin dicapai oleh suatu lembaga PTU di masa yang akan datang, yang berdasarkan pada suatu pandangan hidup yang teguh serta berkaitan dengan masa depan.
Kedua, misi adalah tugas pokok serta langkah-langkah strategis lembaga yang dilaksanakan untuk mencapai cita-cita. Ketiga, prinsip adalah keyakinan dan inspirasi lembaga yang menjadi dasar strategis untuk melaksanakan misi dalam suatu usaha mencapai cita-cita (visi).
Keempat, tujuan adalah hasil belajar yang dapat diukur, dan yang merupakan penjabaran dari visi, misi, dan prinsip. Kelima, analisis pasar adalah suatu studi untuk mengetahui secara objektif siapa peminat PTU tersebut dan apa kebutuhan mereka. Keenam, analisis keadaan diri adalah suatu studi untuk mengetahui secara objektif kekuatan dan kelemahan serta kesempatan, kendala, ancaman, dan faktor-faktor lain yang mungkin timbul dan dihadapi, dengan menggunakan model analisis antara lain SWOT Analisis (Strenghths, Weaknesses, Opportunities, Threats).
Ketujuh, rencana lembaga adalah rencana strategis yang memuat program dan langkah-langkah strategis yang akan dijabarkan dan dilaksanakan dalam usaha mencapai tujuan lembaga. Kedelapan, kebijaksanaan mutu adalah ketentuan tentang mutu yang akan dicapai dengan standar yang ditentukan. Kesembilan, rencana mutu adalah penjabaran operasional kebijakan mutu yang dapat dijadikan pedoman untuk memperbaiki, meningkatkan, dan memelihara kualitas PTU. Kesepuluh, pembiayaan mutu adalah perhitungan rasional biaya yang diperlukan untuk mencapai mutu yang direncanakan, termasuk penghitungan keuntungan dan kerugian mencakup kerugian yang diakibatkan oleh berbagai faktor kelemahan, seperti perencanaan yang kurang cermat, kesalahan, dan kegagalan. Kesebelas, evaluasi dan pemantauan adalah usaha untuk mengetahui secara objektif apakah hasil pendidikan PTU-MS sesuai dengan rencana.
Di samping itu, tujuan evaluasi dan pemantauan juga bertujuan untuk mendapatkan umpan balik. Adapun evaluasi yang dilakukan mencakup tiga jenis, yakni evaluasi harian, evaluasi jangka pendek, dan evaluasi jangka panjang. Kesebelas konsep tersebut perlu dipahami oleh para pengelola perguruan tinggi. Penyusun perencanaan strategis berprinsip melakukan sesuatu secara benar dari awal, bukan mengatasinya kalau ada masalah yang timbul. PTU yang efektif dan efisien memerlukan strategi yang jelas dan mantap untuk menghadapi persaingan yang makin tajam di masa yang akan datang.

Sumber Daya Manusia
Menurut Khudori, rendahnya PT kita disebabkan oleh minimnya dana pendidikan yang diberikan Pemerintah. Memang diakui oleh Pemerintah, dana pendidikan masih terbatas dan dana itu pun dibagi secara merata untuk membiayai empat aspek pendidikan, yakni pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, peningkatan kualitas, relevansi antara pendidikan dan kebutuhan pembangunan, dan peningkatan efisiensi ke arah perwujudan reorganisasi dan desentralisasi, agar sumber daya pendidikan dapat dimanfaatkan secara maksimal.
Pemerintah sedang berupaya meningkatkan SDM pada dosen PT dengan menyediakan berbagai beasiswa untuk studi lanjut S2 dan S3 dalam berbagai disiplin ilmu, baik di dalam maupun di luar negeri. Hasilnya sudah mulai terlihat, dosen yang dulu waktu masih berkualitas S1 bersikap tertutup dan otoriter terhadap mahasiswa (karena mungkin takut diketahui bekal ipteknya yang pas-pasan), tetapi setelah berkualitas S2 atau S3, mereka mampu menunjukkan cara berpikir ilmiah dan mau diajak berdiskusi mahasiswanya berkat kematangan teori dan wawasan keilmuannya yang luas. Pembinaan kualitas SDM dan SDP (sumber daya pendidikan) sedang dalam proses. Dampak kinerja para lulusan studi lanjut sudah akan terasa dalam waktu 5-10 tahun mendatang.
Karena itu, Mendikbud meminta semua pihak untuk membantu atau bersabar karena penanganan masalah pendidikan tidak semudah membalikkan tangan. Dana yang melimpah sebagaimana yang ditempatkan sebagai persyaratan utama untuk pendirian PTU-MP yang dikemukakan oleh Khudori, bukanlah jaminan untuk meningkatkan kualitas PTU atau untuk mendirikan PTU-MP tanpa dukungan SDM yang memadai: yang mampu berpikir kritis, inovatif, dinamis, dan kreatif.
Di samping SDM dan SDP tersebut, juga dibutuhkan seorang manajer pendidikan yang memenuhi persyaratan, yakni mempunyai visi yang jelas, mempunyai kemampuan untuk bekerja keras, mempunyai sifat kepelayanan (bukan minta dilayani), dan mempunyai disiplin baja. Pendidikan bertujuan memandirikan manusia untuk menekankan Eksistensinya, bukan cuma bisa hidup.
Proses pendidikan yang baik, siswa atau mahasiswalah objek utama yang mendidik dirinya sendiri, bukan objek pasif yang menerima pelajaran, tentu saja perlu didampingi guru atau dosen sebagai dinamisator dan fasilitator. Dengan cara demikian, diharapkan PTU mampu mencetak lulusan yang mempunyai daya inovasi, kreatif, mandiri, analitis, mau membaca buku sendiri, dan punya leadership tinggi.
Salah satu akibat dari lemahnya SDM adalah pendidikan di sekolah sejak SD hingga ke PT lebih menitikberatkan pada pengenalan dan penguasaan materi pelajaran dan kurang mendidik untuk berpikir. Kondisi semacam itu berakibat kurang ada perkembangan ke arah kemandirian dan justru menciptakan ketergantungan.
Hal ini tentu kurang menunjang kewiraswastaan dan semangat bersaing. Terjadinya banyak penyelewengan, kolusi, dan korupsi, menurut Khudori, disebabkan oleh lemahnya pembinaan moral keagamaan di PT. Menurut saya, kesimpulan Khudori merupakan salah nalar karena ditarik dari generalisasi yang terlalu luas. Gagasan pendirian PTU-MP semestinya tidak dikaitkan dengan masalah pembinaan moral agama, tetapi lebih relevan jika didasarkan atas pemahaman agama dan umum serta membina kerja sama ilmuwan dan kaum ulama.
Dikotomi pelajaran agama untuk akhirat dan pelajaran umum untuk dunia yang dilontarkan selama ini telah melemahkan anak didik yang memiliki moral keagamaan kuat untuk menekuni pengetahuan dasar iptek seperti matematika, kimia, fisika, biologi, dan juga penguasaan bahasa asing. Sebenarnya kitab suci dan alam merupakan kebenaran dari Allah. Diturunkan lewat wahyu. Sedangkan kebenaran ilmiah harus dicari di alam ciptaan Allah juga. Keterbatasan kemampuan manusia merupakan rahmah, hikmahnya manusia perlu ada pemahaman bersama antara ilmuwan dan ulama dalam mencari kebenaran.

Ilmu Tanpa Agama Buta
Jatuhnya bom atom di Nagasaki dan Hiroshima merupakan tragedi sejarah manusia. Peristiwa itu telah menyadarkan manusia akan arti penting peran agama sebagai pelita untuk menerangi “kebutaan'' manusia dalam penerapan iptek. Pengeboman pada saat itu dipertimbangkan sebagai senjata pamungkas untuk mematahkan ambisi Nippon yang ingin menguasai dunia. Einstein berkomentar pada saat jatuhnya bom: roket telah mendarat di planet yang salah. Sejak saat itu, percobaan tenaga nuklir diwaspadai.
Akhir-akhir ini dunia dikejutkan oleh keberhasilan pembuatan klon si Dolly, dan orang orang yang beriman di seluruh dunia mengisyaratkan agar teknologi kloning tidak diaplikasikan untuk
manusia. Ilustrasi ini menunjukkan ketidaksempurnaan manusia merupakan suatu rahmat yang hikmahnya agar manusia saling bekerja sama dalam mencari kebenaran, baik yang diwahyukan maupun di alam ciptaan Allah. Mereka bisa melakukan kajian bersama dalam mengungkapkan ayat-ayat suci yang menyiratkan penolakan klon manusia yang menurut intuisi pasti ada. Di samping berisi pesan moral, Alquran dikenal kaya informasi iptek.
Satu contoh, model Dioxyriboncleic Acid spiral yang dikemukakan secara spekulatif oleh Wilson dan Crick, dan ternyata benar, sesungguhnya dapat ditemukan dalam Alquran, binatang, dan manusia diciptakan berpasang-pasangan yang menyiratkan 2 angka ajaib. Bagi seorang ilmuwan yang beriman, penemuan DNA dobel spiral yang ternyata merupakan disket yang berisi pesan terprogram rapi dan lengkap tentang perkembangan embrio, sehingga menjadi anak seorang manusia, dapat meningkatkan derajat keimanan terhadap Sang Pencipta-Nya.

Agama Tanpa Ilmu Lumpuh
Menurut Einstein, kaitan ilmu dan agama erat sekali. Keterkaitan itu dinyatakan dalam suatu pepatah: ilmu tanpa agama buta dan agama tanpa ilmu lumpuh. Sebagai ilustrasi agama tanpa ilmu lumpuh dikemukakan satu kajian dari Bucaille, seorang ahli bedah Prancis. Ia menyimpulkan, ada ayat-ayat dalam Alquran yang menyiratkan tentang iptek yang tidak tepat ditafsirkan hanya melalui kompetensi kebahasaan, namun keterbatasan itu dimaklumi, mengingat ide-ide tersebut ditemukan pada zaman modern.
Dalam salah satu kajian ayat suci, Bucaille mengutip terjemahan dari surat An Nahl (lebah) Ayat 66 oleh Blachere dan satu lagi oleh Hamidullah. Kedua terjemahan itu isinya mirip dengan terjemahan Alquran yang diterbitkan oleh Depag RI Pelita III/Tahun IV/1982/1983 yang berbunyi: "Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum daripada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.''
Terjemahan yang sesuai, menurut Bucaille dalam kapasitasnya sebagaiseorang ilmuwan, dokter bedah, dan psikolog sebagai berikut:
"Sesungguhnya bagi kamu, dalam binatang ternakmu terdapat suatu pelajaran. Aku memberi minum kepadamu, dari zat yang terdapat dalam badan ternak itu dan yang terjadi karena hubungan antara zat yang ada dalam usus dan darah, susu murni yang mudah ditelan oleh mereka yang meminumnya.

Penjelasan Bucaille
Tafsiran Bucaille sangat dekat dengan tafsiran Muntakhab, cetakan tahun 1973 yang disusun oleh Majelis Tertinggi Urusan Islam di Kairo, yang diterjemahkan berdasarkan pada pengetahuan tentang pokok bahasan psikologi modern. Hasil penelitian kimia dan psikologi tidak diketahui orang pada zaman Rasulullah dan baru diketahui pada zaman modern, darah bertindak sebagai pengumpul dan pembawa zat-zat makanan ke seluruh tubuh, yang antara lain ke kelenjar susu dan menghasilkan susu murni. Sistem peredaran darah baru ditemukan oleh Harvey 10 abad sesudah Alquran diturunkan.
Ulasan kecil tersebut menunjukkan perlunya kerja sama ulama dan ilmuwan dan semangat semacam inilah nanti yang akan menjiwai ide Khudori, yakni PTU-MP. Dengan ilmu, agama akan bangkit dan mencapai zaman keemasan sebagaimana telah terjadi pada masa yang lalu.
Tanggapan ini hanya merupakan tambahan kecil dan sedikit hal yang perlu diluruskan. Akhirnya selamat berjuang, semoga impian menjadi kenyataan.(18t)

Read more...

Sabtu, April 04, 2009

Excellent University Base on Pesantren Morality

Perguruan Tinggi Unggulan Bermoral Pesantren (PTU-MP)
Oleh: A Khudori Soleh
TERUS terang, lermbaga pendidikan tinggi kita saat ini belum mampu memenuhi tuntutan pendidikan nasional secara utuh sebagaimana yang diamanatkan GBHN: terciptanya kualitas manusia Indonesia yang beriman, bertaqwa dan berilmu pengetahuan tinggi.Di samping, juga demi memenuhi keinginan orang tua wali murid, agar anak-anaknya mampu menguasai Iptek dan sekaligus mempunyai modal keimanan dan ketaqwaan yang kuat kepada Allah.
Padahal, masyarakat kita sangat membutuhkan adanya lembaga pendidikan ideal seperti itu. Yaitu, lembaga pendidikan yang mampu memberikan ilmu pengetahuan dan teknologi maju (Iptek) sekaligus menubuhkan keimanan dan ketaqwaan. Hal ini bisa dibuktikan dengan membludaknya calon mahasiswa yang igin masuk IAIN ketika masih terbuka program tadris, matematika dan bahasa Inggris. Di situ mereka bisa mendapatkan dua keuntungan, menguasai ilmu-ilmu umum (matematika dan bahasa Inggris) dan sekaligus ilmu-ilmu agama.

Kondisi Perguruan Tinggi.
Perguruan tinggi kita saat ini telah banyak memberikan andil bagi pembangunan SDM nasional. Amat banyak sarjana dan ilmuwan dilahirkan dari sana. Akan tetapi, jika dilihat dari segi kualitas keilmuan dan pembinaan moralnya, masih sangat jauh ketinggalan dan kita patut prihatian.
Untuk soal kualitas, bisa dilihat dari segi relevansinya dengan dunia kerja. Pada tahun 1989, angka partisipasi pendidikan tinggi kita 2,3%, sedang Malaysia telah mencapai 5,1% dan Taiwan 10,1%. Tahun 1991 ada kenaikan, menjadi 10%. Namun, itu juga belum bisa dibanggakan, karena angka itu telah dicapai Korea pada tahun 1975. Sebagai perbandingan, angka partisipasi pendidikan tinggi 38% dicapai Filipina tahun 1985, Thailand 20% tahun 1985, Singapura 12% tahun 1983.
Rendahnya partisipasi pendidikan tinggi kita terhadap dunia kerja ini kemudian memunculkan masalah baru; soal pengangguran yang semakin tahun semakin meningkat. Dalam hasil suatu studi proyeksi yang diadakan ketika mempersiapkan Repelita V yang lalu disimpulkan bahwa jika dunia pendidikan kita tetap berjalan sebagaimana yang ada sekarang, akhir Repelita V akan terdapat surplus tamatan pendidikan sebanyak 614,2 ribu, seterusnya 1 juta lebih pada akhie Repelita VI, dan 1,7 juta pada akhir Repelita VII (Tilaar, 1992, 152).
Bahkan, dilihat dari poros pendidikan dasar - pendidikan tinggi, ada kecenderungan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin tinggi pula peluangnya untuk jadi penganggur. Kelebihan lulusan pendidikan tinggi ini cenderung semakin berlipat-lipat dari Repelita ke Repelita.
Tentang lemahnya pembinaan moral keagamaan di perguruan tinggi, bisa dibuktikan dengan banyaknya penyelewengan, kolusi, korupsi --yang menurut Sumitro sampai mencapai 30 % dari dana pembangunan-- yang dilakukan oleh "orang-orang besar" yang notabene pernah dididik di lembaga perguruan tinggi. Juga bisa dilihat dari seringnya muncul kasus kumpul kebo, narkoba, maraknya budaya sontek-menyontek ketika ulangan, menjiplak skripsi, jual-beli nilai atau yang lain yang tidak sesuai dengan moral akademis dan moral agama.
Dari situ, apa yang dinamakan nilai-nilai keihlasan dalam menuntut ilmu akhirnya juga menjadi terasa hambar. Kegiatan kuliah tidak lagi didasarkan pada niat yang murni untuk meningkatkan kualitas dan potensi diri sebagai aktualisasi ibadah, tapi telah bergeser kearah tujuan-tujuan lain yang lebih prakmatis dan duniawi. Akibatnya, mereka masuk kuliah bukan untuk mencari ilmu, tetapi hanya mengejar nilai formalitas; angka-angka atau selembar ijazah, yang cara mendapatkannya bisa dengan jalan pintas sebagaimana yang banyak terjadi dalam kasus pendidikan kita.

Lembaga Pesantren.
Sementara itu, lembaga pesantren, yang oleh banyak kalangan dinilai sebagai lembaga pendidikan nomor tiga --setelah lembaga pendidikan umum dan agama, dari MIN sampai IAIN-- ternyata mempunyai banyak kelebihan dalam bidang pembentukan moral, yang itu justru sangat dibutuhkan dalam masa-masa kegersangan ruhani seperti saat ini. Di pesantren, nilai-nilai keihlasan --yang di dunia perguruan tinggi telah banyak bergeser ke arah materialistik-- justru tumbuh dengan subur. Dalam pandangan mereka, belajar mengajar, bukan semata demi mengejar prestasi duniawi, tetapi lebih merupakan salah satu dari realisai ibadah.
Di samping itu, pesantren juga punya nilai lebih dalam soal kemandirian dalam kewirausahaan. Para santri punya gairah yang kuat untuk mandiri, sehingga dalam soal pengangguran yang telah mencapai ambang mengkhawatirkan dewasa ini, karena banyaknya sarjana yang tidak mendapat lahan kerja, justru para santri tidak ada yang menganggur. Mereka bisa bekerja apa saja, tanpa pilih-pilih, asal halal. Dan dengan modal semangat seperti itu, bisa dilihat akhirnya banyak santri yang tidak hanya mampu menciptakan lapangan kerja yang baik untuk diri dan keluarganya, tetapi juga untuk masyarakat lain.
Terbentuknya sifat dan sikap yang bagus dalam pribadi para santri tersebut adalah karena adanya sistem dan kondisi yang kondusif dalam pesantren. Dalam kehidupan pesantren, para santri --secara tidak langsung-- telah dilatih untuk mandiri, dibiasakan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, sehingga tumbuh sikap tidak menggantungkan diri pada orang lain.
Disamping itu, pengajaran pesantren lebih menekankan kemampuan aplikasi, kemampuan menterjemahkan ilmu dalam kehidupan sehari-hari, yang dalam pesantren dikenal dengan istilah ilmu manfaat. Keberhasilan seorang santri tidak diukur dari sisi banyaknya ilmu atu jumlah kitab yang telah dikaji melainkan pada kemampuan dan keberhasilannya dalam mengaplikasikan ilmunya di masyarakat, yang itu sekaligus merupakan berkah atau barokah. Karena itu, setiap santri berusaha mendayagunakan semua ilmunya bila telah keluar, dan karena itu mengapa santri mempunyai "etos kerja" yang lebih baik dibanding lulusan perguruan tinggi; santri lebih bisa diterima (berguna) di masyarakat.

Penyebab Mutu Rendah
Rendahnya kualitas PT kita seperti di atas, sehingga selalu tertinggal oleh perguruan tinggi negara-negara jiran, jika diamati, salah satunya adalah dikarenakan minimnya dana pendidikan yang berikan pemerintah. Tahun 1994/1995, dunia pendidikan di Indonesia hanya mendapat jatah 3,9% dari APBN (JP/7/01/94), pada tahun ini bahkan lebih minim, 4,3%. Sementara itu, di Malaysia, Korea Selatan, dan Filipina, lembaga pendidikan mendapat alokasi dana sebesar 30 % dari APBN (Studwick, 1991).
Kondisi seperti ini tidak bisa dibiarkan. Dalam memasuki era global dan pasar bebas ini, di mana persaingan semakin tajam dan kualitas produk termasuk produk perguruan tinggi semakin menjadi tuntutan, mau tak mau, lembaga perguruan tinggi harus mau dan mampu bersaing dengan lembaga-lembaga di luar negeri, minimal tidak kalah dengan lembaga pendidikan negara tetangga. Untuk bisa meningkatkan kualitas atau agar lembaga pendidikan mampu mengejar ketertinggalannya, maka diperlukan tambahan dana yang besar untuk pendidikan, minimal empat kali dari yang ada sekarang.
Tentang penyebab lemahnya pembentukan dan pembinaan moral keagamaan di perguruan tinggi, karena tidak adanya keseimbangan antara muatan agama dan pengetahuan umum dalam kurikulum pendidikan. Di Perguruan tinggi, untuk mencapai sarjana S1, seseorang harus menempuh sekitar 160 SKS, dan hanya 2 SKS yang berupa pendidikan atau pengetahuan keagamaan. Itupun sudah untuk pengetahuan agama yang amat luas; aqidah, syariah dan ahlak.
Dalam perbandingan seperti itu, sudah barang tentu akan sulit bagi perguruan tinggi untuk mampu menelurkan sarjana-sarjana yang utuh sebagaimana yang diamanatkan GBHN. Bila kita tengok kembali tujuan pendidikan nasional terakhir, kurikulum yang ada di perguruan tinggi saat ini, juga lembaga-lembaga di bawahnya, berarti patut ditinjau kebali, khususnya kurikulum lokalnya. Memang ada perguruan tinggi yang memberikan tambahan pendidikan keagamaan sendiri secara khusus, seperti perguruan tinggi yang dikelola al-Maarif seperti Unisma Malang, Universitas Muhamadiyah, atau yang lain. Di sana pendidikan agama mencapai 8 SKS. Namun, di sini kita juga masih patut bertanya, apakah itu sudah mencukupi? Mengingat, dalam perguruan tinggi-perguruan tinggi tersebut kurang adanya penekanan soal pengamalan keagamaan pada waktu-waktu yang lain.
Bukankah banyak juga sarjana yang mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang keagamaan dan mereka dahulu di didik di perguruan tinggi umum? Secara kasuistik, memang tidak bisa dipungkiri adanya kenyataan seperti itu. Saat ini, tidak jarang kita temui tokoh-tokoh yang mempunyai pengetahuan Iptek tinggi sekaligus pengetahuan agama yang mendalam dan mereka pada mulanya menempuh pendidikan di perguruan tinggi umum (bukan pesantren). Tidak jarang ditemukan seorang professor atau Doktor di berbagai bidang keilmuan yang ternyata memiliki kedalaman ilmu agama. Sehingga lantas sering terjadi ada professor yang sekaligus seorang ustad atau ustadzah. Banyak ilmuan yang tampil sebagai penceramah agama di berbagai tempat.
Namun, hal itu bukan berarti materi pendidikan agama di perguruan tinggi telah mampu mengembleng seorang mahasiswa menjadi ahli dan bermoral agama yang kuat. Sebab, jika ada guru besar yang juga seorang ustad, ternyata hal itu karena adanya gemblengan agama yang demikian insentif dalam keluarga atau lingkungannya.

Unggulan.
Untuk mengatasi berbagai kelemahan dan ketertinggalan pendidikan kita dibanding pendidikan di Negara-negara tetangga, perlu adanya perguruan tinggi khusus yang mampu membekali sains dan teknologi tinggi kepada mahasiswanya, di samping penanaman moral keagamaan yang mendalam. Atau sebuah perguruan tinggi unggulan yang bernafaskan moral pesantren (PTU-MP)
Selama ini –walau mutunya masih kalah bersaing, bahkan tertinggal jauh dari lembaga pendidikan yang ada di luar negeri— dunia perguruan memiliki keunggulan dalam bidang penguasaan Iptek. Sedang pondok pesantren, sebagaimana diuraikan, memiliki keunggulan bisang pembinaan pribadi yang beriman dan bertaqwa. Di samping itu, juga dalam sikap kemandirian dan keihlasan yang demikian intensif dalam menuntut dan mengaji ilmu. Perguruan tinggi unggulan yang diharapkan mampu memenhi tuntutan GBHN tersebut adalah sebuah perguruan tinggi yang mengabungkan kelebihan-kelebihan perguruan tinggi dengan kelebihan-kelebihan pesantren, dengan system dan pengelolaan khusus.
Namun demikian, yang perlu diperhatikan, PTU ini tidak berniat menelorkan sarjana yang menguasai pengetahuan umum sekaligus agama. Tetapi, sarjana yang menguasai Iptek sekaligus berperilaku agamis. Soal perilaku dan sikap inlah yang dipentingkan. Bukan sekedar penguasaan terhadap ilmu-ilmu agama. Karena itu, dalam kurikulum PTU itu nantinya, tidak semata-mata dengan menambahkan materi-materi agama dalam jumlah besar dengan perbandingan 50-50 misalnya. Tidak. Materi agama bahkan hanya sekitar 30 SKS saja. 160 SKS lainnya tetap dengan ilmu-ilmu pengetahuan umum.
Lalu baaimana dengan model kurikulum seperti itu PTU mampu membentuk sarjana yang berperilaku agamis? Perilaku manusia sangat dipengaruhi lingkungannya. Karena itu, untuk menciptakan sarjana yang berkepribadian santri, maka para mahasiswa PTU ini akan dididik dalam lingkungan pesantren. Kasarnya, mereka di asramakan. Sehingga, dengan demikian, pembinaan mahasiswa dalam berbagai aspek kehidupan dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin. Begitu pula aktivitas ekstrakurikulernya.
Namun, model asrama yang dimaksudkan disini bukanlah sekedar asrama sebagaimana yang sering dijumpai di kota-kota, atau di instansi-instansi tertentu. Sistem asrama atau pemindikan bagi segenap mahasiswa PTP ini harus diupayakan sedemikian rupa sehingga mampu meniru dan menumbuhkan "dimensi positip" pesantren, baik segi kegiatan maupun pembinaannya. Misalnya dalam soal kegiatan salat jamaah sehari-harinya, tahajud atau yang lain, sehingga dari sana bisa tumbuh rasa keihlasan, hubungan yang harmonis antara santri (mahasiswa) dengan kyai (dosen), antara mahasiswa dengan mahasiswa, juga sikap kemandirian.
Dengan format seperti itu, PTU akan tampil dengan sosok baru, lembaga pendidikan tinggi yang relatif lebih komplet dibanding lembaga pendidikan lainnya. Dan jika gagasan ini bisa direalisasikan, maka tujuan pembangunan nasional; menciptakan manusia Indonesia yang adil dan makmur, kiranya akan cepat terwujud.

Biaya Investor
Untuk mewujudkan PTU, jelas membutuhkan dana yang sangat besar. Untuk itu, pengelolalannya ini diserahkan kepada investor, bisa dari dalam negeri atau luar negeri (investor asing). Gagasan untuk menyerahkan pengelolaan PTU kepada investor (asing) ini didasarkan atas beberapa alasan. Pertama, saat ini kita tidak mampu menaikkan anggaran dana pendidikan sampai minimal 30% dari APBN, untuk mengejar ketertinggalan dengan Negara-negara tetangga. Padahal, lembaga pendidikan kita sangat membutuhkan dana tersebut untuk mengejar keteringgalan tersebut.
Kedua, untuk menghemat biaya dan menjaga moral plus nasionalisme. Jika pemuda kita sekolah di PTU dalam negeri, karena mtunya yang tidak kalah dengan luar negeri, maka berarti dapat menghemat biaya pendidikan bila dibanding dengan sekolah di sana (luar). Minimal biaya hidup lebih ringan di samping rasa nasionalismenya tidak akan luntur dan pembinaan moralnya terjamin.
Ketiga, bisa untuk menarik devisa. Bila pendidikan kita bermutu karena adanya dana dari investor sehingga mampu membuka kelas-kelas internasional berarti pemasukan devisa bagi negara. Australia secara sadar menjual jasa pendidikannya keluar negeri sehingga ribuan mahasiswa datang ke sana, dan Australia sempat meraih devisa ketiga besarnya dari sektor industri jasa pendidikan ini.
Keempat, bisa merangsang perkembangan pendidikan di tanah air. Dengan adanya peran investor sehingga PTU memiliki mutu dan peralatan yang lebih lengkap di sini, maka mau tidak mau, hal itu merangsang lembaga-lembaga pendidikan yang ada untuk lebih meningkatkan kualitasnya, bila mereka ingin tetap eksis.

Pernah dimuat dalam Harian SUARA MERDEKA, Semarang, hari Senin, 3 Maret 1997.

Read more...

Popular Posts

Guestbook Slide

Family Album

My Published Books

  © Blogger templates Islamic Philosophy by A Khudori Soleh Juni 2009

Back to TOP