Inter-Religious Cooperation
Kerjasama Antar Umat Beragama
Oleh: A Khudori Soleh
BENAR bahwa secara normatif, tidak ada satupun agama yang menganjurkan pemeluknya untuk melakukan tindak kekerasan (violence). Akan tetapi, secara faktual, tidak jarang dijumpai tindak kekerasan yang dilakukan masyarakat agamis. Bahkan, ada kecenderungan bahwa kekerasan ini justru dilakukan oleh mereka yang mempunyai basic agama yang kuat dan melakukannya dengan atas nama agama. Apa yang terjadi di Sulawesi Tengah, Maluku, dan Aceh beberapa waktu lalu, juga pengemoman dan kekisruhan di Jakarta, Afganistan, Pakistan, India dan Palestina akhir-akhir ini adalah bukti-bukti yang menyatakan hal itu.
Kenyataan–kenyataan tersebut akhirnya mendorong para pemikir untuk menemukan konsep alternatif dan menyajikan agama yang sejuk serta damai. Muncullah gagasan-gagasan untuk melakukan dialog dan kerja sama di antara umat beragama, seperti di Bali atau di beberapa negara lain akhir-akhir ini. Namun, semangat dan intensitas dialog dan saling menyapa tersebut agaknya masih banyak yang dilakukan atas dasar kepentingan sosiologis, politis atau sejenisnya. Belum dibarengi dengan perubahan dogma dan tata pikir keagamaan yang lebih mendasar, sehingga dialog, kerja sama dan kerukunan yang dihasilkan hanya merupakan kerukunan semu, bukan kerukunan yang tulus, sehingga sedikit masalah telah mampu merusak kesepakatan dan kerja sama yang di bangun.
Farid Esack, tokoh pemikir Islam asal Afrika Selatan yang tengah banyak mendapat perhatian internasional lewat karya dan keterlibatannya dalam gerakan praksis, mendobrak klaim kebenaran eksklusif agama untuk kemudian menggantinya dengan gagasan-gagasan pluralis dan membebaskan. Berdasarkan teori hermeneutikanya, Esack menjelaskan dan memberikan landasan teologis bagi terlaksananya kerja sama antar umat beragama, khususnya muslim-non muslim. Lebih dari itu, Esack bahkan mengorientasikan tafsirannya atas teks suci (al-Qur`an) agar dapat menggerakan massa muslim dan non-muslim untuk secara bersama-sama melakukan perubahan-perubahan.
Berdasarkan uraian di atas, persoalan pokok yang akan dikaji dalam penelitian ini dirumuskan dalam pertanyaan: Bagaimana konsep kerja sama antar umat beragama yang ditawarkan Esack?
Narasi Data
Berdasarkan metode hermeneutika yang digunakan, Farid Esack mencapai kesimpulan bahwa kerja sama dengan umat agama lain adalah sesuatu yang tidak dilarang, jika tidak malah dianjurkan. Kesimpulan ini didasarkan atas penafsirannya terhadap (1) ayat-ayat pluralitas, (2) ayat-ayat afinitas, dan (3) kisah eksodus Musa serta Bani Israil dari Mesir.
1. Ayat-Ayat Pluralisme.
Menurut Esack, al-Qur'an sebenarnya secara tegas dan jelas menunjukkan adanya pluralitas dan keanekaragaman agama. “Sungguh, orang-orang yang beriman, Yahudi, Sabi’in, Nasrani, dan siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah, Hari Akhir, dan berbuat kebajikan, mereka akan mendapatkan balasan dari sisi Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka akan bersedih hati”. (QS. al-Baqarah, 62).
Ayat tersebut, menurut Esack, secara tegas menyatakan adanya keselamatan yang dijanjikan Tuhan bagi setiap orang yang beriman kepada-Nya dan Hari akhir, yang diiringi dengan berbuat kebajikan (amal salih) tanpa memandang afiliasi agama formal mereka. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Rasyid Ridla dan Thabathaba’i. Menurut Ridla, semua yang beriman kepada Allah dan beramal salih tanpa memandang afiliasi keagamaan formal mereka akan selamat, karena Allah tidak mengutamakan satu kelompok dengan mendlalimi kelompok yang lain. Thabathaba’i dengan bahasa yang berbeda menyatakan ‘tidak ada nama dan tidak ada sifat yang bisa memberi kebaikan jika tidak didukung oleh iman dan amal shalih. Aturan ini berlaku untuk seluruh umat manusia’. Bahkan dalam pandangan Ridla dan Thabathaba’I, teks-teks tersebut juga sebagai respon atas sikap eksklusivisme yang terkungkung dalam sektarianisme dan khauvinisme keberagamaan yang sempit. Rasyid Ridla menegaskan: “keselamatan tidak dapat ditemukan dalam sektarianisme keagamaan, tetapi dalam keyakinan yang benar dan kebajikan”.
2. Prinsip Afinitas (wilâyah)
Masalah afinitas (wilâyah) telah menjadi kajian serius sejak masa klasik. Sebagian besar ulama klasik dan umat Islam Afrika Selatan menolak kerjasama dengan umat agama lain berdasarkan makna teks al-Qur’an surat al-Maidah, 51.
Menurut Esack, benar bahwa ayat ini secara tekstual tidak mengizinkan afinitas (wilâyah) dengan kaum agama lain, dalam hal ini Yahudi dan Nasrani. Akan tetapi, kita tidak bisa berhenti di sini melainkan harus melihat lebih jauh ayat-ayat yang terkait dengan hal ini secara keseluruhan dan konteks turunnya ayat. Di tempat lain, larangan ini juga ditujukan pada orang-orang munafiq (QS. al-Nisa, 89), orang yang mengejek din-mu (QS. al-Maidah, 57), orang yang memerangi kamu karena din-mu dan mengusir kamu dari negerimu (QS. al-Mumtahanah, 13). Artinya, larangan-larangan tersebut adalah karena adanya sikap-sikap atau tindakan tertentu yang merugikan umat Islam, sehingga jika sikap-sikap tersebut tidak ditemukan berarti kontekstualisasinya adalah boleh melakukan afinitas dengan mereka.
Selain itu, adalah fakta bahwa dalam sejarah Islam terdapat kisah kaum muslim yang mencari suaka dan perlindungan dari penganiayaan Quraisy pada umat Nasrani di Abysina pada tahun kelima kenabian Muhammad SAW. Di sana mereka terlindungi dari bahaya kemurtadan dan penganiayaan. Juga, sejarah kaum muslim awal di bawah kepemimpinan nabi Muhammad sering membuat perjanjian politik dan pertahanan bersama kaum lain, terutama pada era awal kehidupan di Madinah.
3. Paradigma Eksodus
Selain didasarkan atas pemahamannya tentang prinsip afinitas, juga didasarkan atas kisah keluarnya Bani Israel dari Mesir (eksodus) seperti yang tercatat dalam al-Qur’an. Signifikansi kisah tersebut adalah komitmen Tuhan pada kebebasan politik bagi manusia, terlepas dari soal keimanan mereka. Dalam al-Qur’an sendiri digambarkan bahwa Bani Israel yang dibela Musa bukanlah kaum yang beriman melainkan justru orang yang keras kepala dan kufur. Yang beriman di kalangan mereka hanya kelompok dzurriyah yang oleh para ahli tafsir klasik diartikan dengan “sebagian kecil”, “anak-anak mereka” atau “beberapa pemuda”.
Lebih dari, mereka bahkan malah membuat patung sesembahan (QS. al-Baqarah, 51; Thaha, 85-97) dan ketika berbicara dengan Musa, mereka menyebut Allah dengan “Tuhanmu” (QS. al-Baqarah, 61). Ketika diminta berperang untuk kemerdekaan mereka sendiri, mereka mengatakan, “Pergi dan berperanglah bersama Tuhanmu, dan kami akan duduk di sini” (QS. al-Maidah, 24). Mereka bahkan mengejek Musa, “Kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami bertatap muka dengan Allah” (QS. al-Baqarah, 55). Meski terus menyangkap dan tidak mau beriman, mereka tetap diajak “masuk ke tanah itu dan makan makanan yang banyak” (QS. al-Baqarah, 58; al-A`raf, 161). Tegasnya, tidak satupun baik kemerdekaan maupun karunia yang telah diberikan kepada mereka, menjadikan mereka beriman kepada Allah.
Meski demikian, mereka tetap dibela Tuhan dengan mengutus Musa. Acuan mustadh’afun (tertindas) yang dialami Bani Israil akibat kesewenang-wenangan Fir’aun mencerminkan posisi utama yang diberikan Tuhan bagi kaum tertindas. Hal tersebut juga menandakan bahwa janji pembebasan tetap ada walaupun dalam ketiadaan iman kepada Tuhan, dengan argumen bahwa ketertindasan mereka harus diselamatkan dulu sebelum menekankan keimanan kepada mereka.
Berdasarkan semua itu, Esack menyatakan bahwa hubungan dan kerja sama dengan pihak non muslim adalah tidak terlarang. Akan tetapi, kerja sama tersebut tidak bisa dilakukan secara sembrono. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. (a) kerja sama tersebut tidak boleh sampai meninggalkan umat Islam sendiri, (b) kerjasama tersebut harus memberikan perlindungan jangka panjang terhadap Islam. Selain itu, pihak yang diajak kerja sama harus memenuhi persyaratan: (a) telah terikat perjanjian damai atau tidak menunjukkan permusuhan terhadap Islam, (b) bukan pihak-pihak yang membuat agama menjadi bahan ejekan, (c) bukan orang yang mengingkari kebenaran, (d) bukan pihak atau yang membantu pihak-pihak yang mengusir umat Islam.
Analisis
Selama ini, hubungan dan kerja sama antar agama masih lebih didasarkan atas kepentingan social dan paradigma inklusif maupun pluralis. Paradigma inklusif adalah pandangan yang mempercayai adanya kebenaran dan keselamatan pada agama dan kelompok lain. Misalnya, dalam komunitas Katolik, paradigma ini tampak pada Konsili Vatikan II tentang hubungan antara gereja dengan agama-agama non Krestiani (Nostra Aetate). Dalam Islam, dikenal istilah non-muslim par excellance dan muslim par excellance. Dengan konsep-konsep ini, maka kerja sama dengan umat agama lain bukan sesuatu yang tabu dan terlarang, karena mereka bukanlah orang kafir. Sementara itu, paradigma pluralis adalah suatu pemikiran yang berpendapat bahwa setiap agama mempunyai kebenaran dan jalan keselamatan sendiri-sendiri, sehingga tidak ada yang berhak mengklaim hanya agamanya yang benar. Tegasnya, paradigma pluralis ini mengekspresikan adanya fenomena “satu Tuhan banyak agama” yang berarti sikap toleran terhadap adanya jalan lain kepada Tuhan. Dalam konteks ini yang diperhatikan adalah aspek esoteris, spiritual atau –menurut istilah Schuon—jantung dari agama-agama (the heart of religions) bukan aspek eksoteris atau wujud zahir antar agama.
Namun, paradigma-paradigma tersebut ternyata tidak mampu memberi bekal dan basis keagamaan yang kokoh bagi terlaksananya hubungan dan kerja sama antar umat beragama, sehingga benturan-benturan di antara mereka masih tetap mudah terjadi. Artinya, hubungan dan kerja sama yang dilakukan hanya kerja sama semu, tidak tulus. Karena itu diperlukan landasan dan basis teologi yang memang pluralis sehingga kerja sama yang dilakukan dapat dilaksanakan secara baik dan langgeng, bukan atas kepentingan social melainkan kesadaran keagamaan.
Esack telah memberikan basis yang diperlukan. Dia merombak penafsiran-penafsiran yang lebih menonjolkan ayat-ayat eksklusif untuk kemudian menggantinya dengan penafsiran yang mengedepankan sifat pluralis. Ini penting, sebab pemikiran masyarakat yang eksklusif dan keras karena memang didasarkan atas penafsiran-penafsiran yang cenderung eksklusif. Padahal, menurut ditulis Esack, al-Qur'an sesungguhnya sangat mengajarkan sikap-sikap pluralis dan justru sangat mengecam sikap-sikap eksklusif.
Selain itu, untuk memberikan basis teologis bagi kerja sama, Esack juga menunjukkan bahwa dalam bidang hukum dan social, al-Qur'an sebenarnya sangat respek terhadap agama lain, dalam hal ini Yahudi dan Nasrani. Tidak sedikit ayat al-Quran yang menyatakan hal itu. Antara lain, ahli kitab sebagai penerima wahyu diakui sebagai bagian dari komunitas, Sesungguh, inilah ummatmu, umat yang satu (QS. al-Mukminun, 52). Norma-norma dan peraturan keagamaan kaum Yahudi dan Nasrani diakui (QS. al-Maidah, 47) dan bahkan dikuatkan oleh Nabi ketika beliau diseru untuk menyelesaikan perselisihan di antara mereka (QS. al-Maidah, 42-43). Dalam bidang sosial terpenting, makanan dan perkawinan, al-Qur’an secara tegas menyatakan, makanan orang ahli kitab halal (sah) bagi kaum muslim dan makanan kaum muslim halal bagi ahli kitab (QS. al-Maidah, 5). Begitu juga, laki-laki muslim dibolehkan mengawini “wanita suci ahli kitab” (QS. al-Maidah, 5). Lebih dari itu, kesucian kehidupan religius penganut agama wahyu lainnya ditegaskan oleh fakta bahwa izin pertama yang pernah diberikan bagi perjuangan bersenjata adalah justru dimaksudkan untuk terjaminnya kesucian ini. Artinya, tujuan pertama dari perang yang dilakukan orang Islam adalah justru untuk melindungi dan memelihara kesucian tempat-tempat ibadah, apapun agamanya (QS. al-Hajj, 40).
Semua itu, menurut Esack, menunjukkan bahwa pluralisme agama tidak hanya diakui dari sisi penerimaan kaum lain sebagai komunitas sosio-religius yang sah melainkan juga dari aspek penerimaan kehidupan spiritualitas mereka dan keselamatan melalui jalan yang berbeda itu. Pemeliharaan kesucian tempat-tempat ibadah seperti diatas tidak dimaksudkan semata-mata demi menjaga integritas masyarakat multiagama seperti dalam masyarakat modern saat ini melainkan atas dasar kenyataan adanya orang lain yang juga tulus dan sama-sama melayani Tuhan.
Hanya saja, catatan untuk Esack, ia belum memberikan perubahan secara lebih luas, masih berkutat pada soal penafsiran. Padahal, sikap masyarakat juga dipengaruhi oleh metode dan ajaran teologis yang diterima. Secara metodologis, kajian teologi Islam memang cenderung eksklusif. Selama ini, kajian-kajian teologi lebih banyak menggunakan logika Aristotelian yang bersifat deduktif-bayaniyah. Metode deduksi ini yang kesimpulannya dihasilkan lewat jalan silogisme mengkonsekuensikan dua hal; keseragaman dan sikap clear and cut. Akibatnya, masyarakat menjadi susah menerima perbedaan dan cenderung melihat sesuatu secara hitam-putih, benar-salah, aku-kamu dan kemudian hanya berbicara tentang dirinya sendiri serta kebenarannya sendiri. Mereka tidak dapat melihat kemungkinan kebenaran fihak lain. Kondisi itu masih diperparah oleh dua kenyataan, (1) bahwa teologi berkaitan dengan emosi dan menuntut kesetiaan total terhadap pengikutnya. Tegasnya, teologi diwarnai oleh tingkat personal commitment yang pekat terhadap ajaran agama yang dipeluknya. (2) bahasa yang digunakan dalam teologi adalah bahasa actor (pemain) bukan pengamat atau peneliti (spectator). Sedemikian, sehingga munculnya sikap truth claim pada pemeluk agama tidak dapat dihindarkan, dan ini akan dapat menyebabkan benturan serta kekerasan ketika berhadapan dengan truth claim dari agama atau fihak lain.
Sementara itu, dalam aspek materi kajian, teologi lebih banyak berbicara dan “membela” Tuhan, bukan tentang realitas kemanusiaan sehingga ia tidak peka terhadap persoalan sosial. Karena itu, ia harus ditarik ke bumi dan dipaksa berbicara dan membela kemanusiaan. Teologi yang teosentris dirubah menjadi antroposentris dan dari yang selama ini hanya bersifat ilâhiyat (metafisika) harus diarahkan menjadi insaniyat (humaniora) dan tarikhiyat (sejarah). Antara lain, misalnya, bahwa tauhid bukan konsep yang menegaskan tentang keesaan Tuhan yang diarahkan pada faham trinitas maupun politheisme, melainkan lebih merupakan kesatuan pribadi manusia yang jauh dari perilaku dualistik, seperti hipokrit, kemunafikan atau perilaku oportunistik.
Apa yang dimaksud tauhid, bukan sekedar merupakan sifat dari sebuah dzat (Tuhan), deskripsi ataupun sekedar konsep kosong yang hanya ada dalam angan, tetapi lebih mengarah untuk sebuah tindakan kongkrit (fi’li); baik dari sisi penafian maupun menetapan (isbat). Sebab, apa yang di kehendaki dari konsep tauhid tersebut tidak akan bisa di mengerti dan tidak bisa difahami kecuali dengan ditampakkan. Jelasnya, konsep tauhid tidak akan punya makna tanpa direalisasikan dalam kehidupan kongkrit. Realisasi nafi (pengingkaran) adalah dengan menghilangkan tuhan-tuhan modern, seperti ideologi, gagasan, budaya, sains --dan bahkan agama tertentu-- yang telah membuat manusia sangat tergantung kepadanya dan menjadi terkotak-kotak. Realisasi dari isbat (penetapan) adalah dengan penetapan satu ideologi yang menyatukan dan membebaskan manusia dari belenggu-belenggu tuhan-tuhan modern tersebut.
Dengan demikian, dalam konteks kemanusiaan yang lebih kongkrit, tauhid adalah upaya pada kesatuan sosial masyarakat tanpa perbedaan agama, suku, kelas, ras dan warna kulit, sebab distingsi kelas bertentangan dengan kesatuan dan persamaan eksistensial manusia. Tauhid berarti kesatuan kemanusiaan tanpa diskriminasi atau perbedaan agama, ras, ekonomi, dan seterusnya.
Dengan konsep-konsep teologi seperti di atas, pemikiran masyarakat tidak akan lagi bersifat eksklusif melainkan pluralis, minimal inklusif. Sebab, yang diutamakan adalah kemanusiaan dan kebaikan bersama tanpa melihat perbedaan warna kulit, ras atau agama, bukan hanya kebaikan golongannya sendiri.
Kesimpulan
Konsep kerjasama Esack didasarkan atas kepentingan sosiologis dan teologis. Secara sosiologis, kondisi masyarakat Afrika Selatan membutuhkan kerja sama untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, sedang secara teologis didasarkan atas penafsirannya terhadap teks al-Qur’an. Menurutnya, al-Qur’an secara eksplisit dan implisit menghargai dan menerima kebenaran pada agama lain, sehingga kerja sama muslim-non muslim harus dilakukan atas dasar kesadaran teologis ini.
Berdasarkan hal itu, maka konsep pluralisme, kerukunan dan kerja sama antar agama yang dikembangkan di tanah air, terutama oleh Departemen Agama, hendaknya juga didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan teologis keagamaan, bukan semata kepentingan sosiologis. Sebab, tanpa dasar teologis, kerja sama yang dilakukan hanya semu, sehingga tetap menyimpan potensi konflik dan mudah meledak.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abu Zaid, Al-Qur`an, Hermenutik dan Kekuasaan, terj. Dede Iswadi, (Yogya, RqiS, 2003)
Abu Zaid, Nasr Hamid, Isykâliyât al-Ta`wîl wa Aliyât al-Qirâ’ah, (Kairo, al-Markaz al-Tsaqafi, tt).
Al-Razi, Tafsî Fakhr al-Râzi, XVII, 150;
al-Nasafi, Majmû`ah Min al-Tafâsir, III, (Beirut, Dar al-Ahya, tt),
Azad, Abu al-Kalam, Tarjuman Qur’an, (Heiderabad, Syed Abd Latif for Qur'an, 1962)
Baidlawi, Majmû`ah Min al-Tafâsir, III, (Beirut, Dar al-Ihya, tt)
Bertens, Filsafat Barat Abad XX, I, (Yogyakarta, Kanisius, 1981).
Bleicher, Josef (ed), Contemporary Hermeneutics (London: Routledge and Kegan Paul, 1980).
Budhy Munawar Rahman, Islam Pluralis, (Jakarta, Paramadina, 2001).
Bultman, Rudolf, Essays, Philosophical, and Theological, (London: SCM Press,1955).
Dagut, Simon, Profile of Farid Esack , http://www.Home page Farid Esack.com
Dzahabi, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, I, (Beirut, Dar al-Fikr, 1976), 15
Esack, Farid, “Contemporary Religious Thought in South Africa and the Emergence of Qur’anic Hermeneutical Notion,” dalam I.C.M.R.,2. (1991)
Esack, Farid, http://www.Home page Farid Esack.com
Esack, Farid, Qur'an Liberation and Pluralism, (England, Oneworld, 1997)
Gadamer, Truth and Method, (New York, The Seabury Press, 1975).
Ibn Arabi, Tafsir Ibn Arabi, II, (Beirut, Dar al-Fikr, tt).
Ibn Hisyam, Abd Al-Malik, Sirah Rasululllah, II, (Kairo: t.p, t.t)
Lyden, John (ed), Enduring Issues In Religion, (San Diego: Greenhaven Press Inc, 1995).
Myers, Michael D. “Qualitative Research in Information System”, dalam Jurnal MIS Quarterly (12: 2), Juni 1997, 241-242,
MISQ Discovery, Archival Version, Juni, 1997, diambil dari situs http://www.misq.org/misqd961/iswolrd, Desember 2001
Rahman, Fazlur, Islam dan Modernitas, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung, Pustaka, 1985).
Ridla, Rasyid, Tafsir al-Manar, (Beirut, Dar al-Makrifah, 1980).
Thabathabai, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an, (Qum, al-Hauzah, 1973).
Segundo, Juan Louis, The Theology of Liberation, (New York: Orbit Books, 1991).
Shihab,Alwi, Islam Inklusif, (Bandung, Mizan, ).
Sumaryono, Hermeneutik, (Yogya, Kanisius, 1996).
Surachmad, Winarno, Dasar dan Teknik Research, (Bandung: Tarsito, 1978).
UGM, Laporan Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan & Kawasan bekerja sama dengan Departemen Agama RI, Perilaku Kekerasan Kolektif, Kondisi & Pemicu, (Yogya, UGM, 1997).
Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, II, (Beirut, Dar al-Ihya, tt).
Hasil Penelitian ini pernah di presentasikan dalam acara Temu Ilmiah Nasional III di Banjarmasin, 28-31 Agustus 2005. Dikembangkan kembali dan dipresentasikan dalam Annual Conference di Bandung, 26-30 Nopember 2006. Untuk mengakses artikel ini secara utuh, klik disini.