Demang Nara, Demang Neri dan
Demang Nuru duduk bertiga di depan sebuah meja kotak dari kayu cendana di
tengah pendopo kadipaten. Para demang yang lain juga duduk di beberapa meja
lain yang ditata apik di pendopo. Wangi-wangian berupa dupa yang dibakar
pojok-pojok ruangan menghiasi udara pendopo. Hari ini di ruangan itu akan
dilakukan pertemuan para pejabat kadipaten dengan perwakilan Ksatria Jepara
untuk merundingkan berbagai hal. Sang Adipati akan memimpin sendiri delegasi kadipaten
pada pertemuan kali ini.
Hal-hal yang penting untuk
dibicarakan adalah soal perdagangan, disamping soal-soal keamanan. Kadipaten
memiliki hasil bumi seperti beras, jagung dan kelapa untuk dipasok ke Jepara.
Sementara Jepara selaku salah satu kota pelabuhan terbesar di pantai utara Jawa
memiliki kain sutera, minyak ikan, ter, kertas, kapur barus, minyak wangi,
barang-barang pecah belah dari porselin & kristal, peralatan rumah tangga
dari logam dan obat-obatan yang dibutuhkan rakyat kadipaten.
Demang Nara yang tiba duluan
di tempat itu memesan minuman buat dirinya dan dua temannya. Awalnya dia
memesan teh tawar untuk dirinya, tapi kemudian dia tertarik dengan tawaran
pelayan untuk mencoba minuman air kelapa muda ditambah sirup strawberry yang
didatangkan khusus dari Venesia. Sirup yang dibawa oleh pedagang-pedagang dari
Gujarat itu telah tersohor kenikmatannya. Namun karena dia sudah memesan satu gelas
teh tawar, maka Demang Nara hanya memesan dua gelas kelapa muda strawberry.
Yang menyusul datang adalah
Demang Neri, si juragan beras muda belia dari wilayah timur kadipaten. Demang
Neri mengendalikan lumbung-lumbung padi yang berada di wilayah kekuasaannya.
Makanya dia adalah aktor penting dalam perundingan ini mengingat Jepara
bukanlah daerah yang memiliki petani. Hampir seluruh penduduk Jepara adalah
kaum pedagang, para tukang, tabib, ahli kimia, pembuat senapan & meriam, pemintal kain dan profesi lain yang tak
terkait dengan produksi beras.
Melihat di depannya telah
tersuguh minuman kelapa muda strawberry, Demang Neri tertarik untuk
mencicipinya seperti yang dilakukan Demang Nara. Dan dia tidak kecewa dengan
kelezatan paduan rasa kelapa muda strawberry.
Demang Nuru baru muncul satu
jam kemudian. Agaknya dia masih sibuk membuat sapu lidi di halaman belakang
rumahnya sehingga terlambat tiba di kadipaten. Demang Nuru memimpin wilayah
selatan kadipaten yang merupakan pusat perkebunan kelapa. Setiap tahun ratusan
ribu kelapa dihasilkan oleh wilayah itu, namun tidak semuanya dapat terjual.
Belakangan muncul permintaan baru yaitu kelapa yang telah dikeringkan untuk
dipasok ke Jepara. Kelapa kering itu selanjutnya akan diangkut ke Makasar yang
merupakan pusat perdagangan kopra dunia di masa itu. Sebuah peluang perdagangan
yang sangat menguntungkan bagi Demang Nuru.
Hasil sampingan dari perkebunan
kelapa adalah sapu lidi yang dibuat dari daun-daun kelapa. Adalah hobby Demang
Nuru untuk membuat sendiri sapu lidi menemani para pegawainya, yang tak lain
adalah anak istrinya. Sayang sapu lidi bukanlah barang yang gampang dijual
karena relatif awet. Orang bisa beli satu untuk dipakai satu dua-tahun,
sehingga penjualannya juga kurang bagus.
Melihat dua temannya minum
kelapa muda berwarna merah muda -- warna sirup strawberry Venesia, terbitlah
air liur Demang Nuru karena kepengin merasakan juga. Namun alangkah kecewanya
dia saat pelayan datang malahan membawakan teh tawar bagi dirinya. Dilihatnya
Demang Nara senyum-senyum sambil pasang muka tidak bersalah, sementara Demang
Neri pura-pura sibuk menulis-nulis dengan pensil arang di atas kertas yang
dibawanya. Setelah diamat-amati ternyata Demang Neri cuman menggambar dua
gunung dan matahari terbit diantaranya. “Sungguh Demang yang kekanak-kanakan”
pikir Demang Nuru.
Karena untuk pesan minuman
lagi dia malu pada Sang Adipati, maka terpaksalah Demang Nuru meminum teh tawar
yang disuguhkan. Rasanya beda banget sih dibanding teh yang dirumahnya. Teh ini
teh kelas satu yang telah dibumbui dengan bunga melati dan diracik oleh empu
teh nomor satu di kadipaten. Sementara teh di rumahnya adalah daun teh kering
tanpa bumbu yang rasanya biasa-biasa saja. Jadi agak sedikit terhiburlah hatinya.
Dicoba dinikmatinya setiap tetesnya. “Hmmm benar-benar nikmat tidak seperti teh
yang di rumah. Lagipula kalau aku minum
manis-manis malahan bisa serak” pikir Demang Nuru.
^_^
Sayup-sayup Demang Nara
mendengar suara derap puluhan ekor kuda mendekati halaman pendopo kadipaten. Sejurus
kemudian dilihatnya ada kurang lebih dua puluh ksatria berkuda dengan pakaian
warna putih, sorban warna putih dan bersepatu hitam memasuki halaman kadipaten.
Merekalah para Ksatria Jepara yang ditunggu-tunggu.
Ksatria di barisan terdepan
membawa panji-panji gula kelapa – merah putih lambang Kesultanan Demak Bintoro.
Jepara adalah salah satu wilayah Kesultanan Demak Bintoro – salah satu kerajaan
maritim terbesar di nusantara sepanjang masa. Demak Bintoro mengandalkan
pendapatannya bukan dari pertanian, tetapi dari perdagangan internasional di
kota-kota pelabuhan di sepanjang pantai utara Pulau Jawa, termasuk pelabuhan
Jepara.
Berkat perdagangan itulah
Demak Bintoro muncul sebagai kerajaan maritim yang kaya raya dan mampu
membangun armada kapal-kapal perang yang disegani di nusantara. Disamping pasukan
dan senjata, faktor ketersediaan uang memegang peranan penting dalam perang di
masa itu. Bila tidak memiliki uang yang cukup maka pasukan yang sedang
bertempur akan kesulitan perbekalan dan persediaan senjata, apalagi bila mereka
terlibat perang dalam jangka waktu lama.
Demang Nara berdecak kagum
melihat kuda-kuda arab yang ditunggangi Ksatria Jepara. Kuda-kuda itu berukuran
dua kali lebih besar dari kuda-kuda lokal yang dibawa para Demang. Kekaguman
Demang Nara semakin bertambah tatkala melihat di setiap bahu para ksatria itu
tersandang senapan, sama seperti senapan yang dipamerkan oleh orang-orang
Portugis di Pasuruan. Sementara para Demang seperti dirinya masih mengandalkan
pedang dan tombak sebagai senjata.