Showing posts with label perkongsian. Show all posts
Showing posts with label perkongsian. Show all posts

Sunday, March 11, 2012

Tipu Daya Syaitan

ketahuilah tipudaya syaitan kepada kita ketika kita ingin melakukan ibadat :

1- Apabila kita nak buat ibadat syaitan akan melarang kita, katanya " jangan kamu lakukan" maka kata padanya " aku perlu mencari bekalan akhirat".Kalau kita berjaya.

2- Syaitan akan cuba menangguhkan ibadat kita,katanya " nanti dulu,kita masih muda lagi nanti tua kita beribadatlah", maka katakan padanya " Kematianku bukan ditanganmu, aku takut mati dalam keadaan menangguhkan amal".kalau kita berjaya.

3- Syaitan akan galakkan kita buat ibadat banyak2,katanya "cepatlah buat amal agar boleh buat banyak2 amal" maka katakan padanya "Amal yg sedikit lagi sempurna lebih baik dari banyak tapi tak sempurna".kalau kita berjaya.

4- Syaitan akan suruh pula buat amalan yg sempurna agar dilihat oleh orang ibadatnya elok.katakan padanya " Ibadatku hanya dinilai oleh Allah bukannya manusia".kalau kita berjaya.

5- Syaitan akan puji ibadat kita biar kita rasa ujub dalam ibadat kita katanya " Tinggi darjatmu kamu orang terpilih disisi Allah"katakan padanya "Semua keagungan hanya milik Allah, Allahlah yg menentukan darjat manusia, semua ibadatku adalah taufik dari Allah, sekiranya tanpa taufik-Nya apakah erti amalanku jika dibandingkan dgn ibadatku yg bercampur dgn dosaku yg banyak".kalau kita berjaya.

6- Jika dia gagal lagi,Syaitan akan berkata " Bersungguh2lah buat ibadat secara sembunyi, nanti Allah akan memberitahu orang lain bahawa kamu orang ikhlas".Ini boleh menyebabkan kita merasakan diri kita sudah baik dan ikhlas. Katakan padanya " Hei laknat, engkau tak henti2 mengodaku dgn berpura2 menyuruh aku mengelokkan ibadat sedangkan engkau mahu merosakkan ibadatku,jika dikehendaki Allah, dialah yg menzahirkan hambanya ikhlas atau tidak, aku tidak kira amalan aku dilihat orang atau tidak, itu bukan urusan manusia".

7- Gagal cara itu, syaitan akan berkata " Hai manusia jgn engkau menyusahkan dirimu, segalanya telah ditetapkan pada azali, kalau syurga tetap bahgia walau ibadat sikit, kalau neraka tetap neraka walau ibadat banyak sekalipun".katakan padanya " Aku hamba Allah, wajib mengikut perintah Allah, sekiranya aku masuk neraka dalam keadaan taat lebih aku sukai daripada masuk neraka dalam keadaan maksiat"
Semoga Allah merahmati kita, sesungguhnya tipudaya syaitan amat banyak utk kita lalui, nasihat ustaz carilah guru mursyid agar selamat dunia akhirat.

Rujukan Minhajul Abidin Imam Al Ghazali.

Perkongsian Ustaz Mustaffa Kamal

Tuesday, September 13, 2011

Ingin Menjadi Jutawan?


DOA MASUK PASAR

Dari Umar bin al-Khathab radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

مَنْ دَخَلَ السُّوقَ فَقَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَهُوَ حَيٌّ لَا يَمُوتُ بِيَدِهِ الْخَيْرُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ كَتَبَ اللَّهُ لَهُ أَلْفَ أَلْفِ حَسَنَةٍ وَمَحَا عَنْهُ أَلْفَ أَلْفِ سَيِّئ — with Hafiz Asnan and 38 othersَةٍ وَرَفَعَ لَهُ أَلْفَ أَلْفِ دَرَجَةٍ

“Barangsiapa masuk pasar lalu ia mengucapkan, “Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan, bagi-Nya segala pujian. Dia-lah Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan. Dia-lah Yang Hidup, tidak akan mati. Di tangan-Nya kebaikan. Dia-lah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu,” niscaya Allah menuliskan baginya sejuta kebaikan dan menghapuskan darinya sejuta kejelekan serta mengangkat derajatnya hingga sejuta derajat”." ( HR. At-Tirmidzi )

Dalam riwayat Ahmad terdapat tambahan, “Dan Allah membangunkan baginya rumah di surga.”

Apabila Gabenor Khurasan,Qutaibah Ibn Muslim mendengar hadis ini maka dia selalu pergi ke pasar tanpa tujuan lain kecuali untuk membaca doa ini dan mendapatkan ganjarannya...

Orang yang berzikir kepada Allah ditengah orang –orang yang lalai adalah seperti pohon hijau ditengah pohon-pohon yang kering. Orang yang berzikir kepada Allah ditengah orang-orang yang lalai adalah seperti orang yang berjuang di tengah orang-orang yang lari dari medan perang

Pasar juga adalah tempat yang dibenci Allah


Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

أَحَبُّ الْبِلَادِ إِلَى اللَّهِ مَسَاجِدُهَا وَأَبْغَضُ الْبِلَادِ إِلَى اللَّهِ أَسْوَاقُهَا

“Bagian negeri yang paling disenangi Allah adalah masjid-masjidnya dan bagian negeri yang paling dibenci Allah adalah pasar-pasarnya.” (HR. Muslim)

Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Bagian negeri yang paling disenangi Allah adalah masjid-masjidnya”, karena masjid adalah rumah ketaatan dan asas pondasinya adalah ketakwaan. Sedangkan maksud “dan bagian negeri yang paling dibenci Allah adalah pasar-pasarnya”, karena pasar adalah tempat kecurangan, penipuan, riba, sumpah dusta, mengingkari janji, tidak berzikir dan perbuatan lain yang semakna dengannya. . .”

Doa masuk pasar ini adalah salah satu cara mengingati Allah di pasar...

Saturday, September 10, 2011

Kehancuran Sunah (penyelewengan poligami)

Sungguh.. Poligami ini menjadi momok yang mengerikan bagi kaum istri, mengapa?, bukankah Allah Yang Maha menentukan segala-galanya, dan selama ini semua orang tahu bahwa poligami adalah boleh dalam islam, namun barangkali tidak 1 dari 1000 suami yang melakukan poligami walaupun itu diperbolehkan, lalu apa yang mereka risaukan?, seakan mereka sudah tidak punya tuhan untuk dijadikan sandaran perlindungan, Betul, banyak kaum istri yang belum mampu bersabar dalam hal ini, namun belum mampu bukanlah menginkari, sama halnya dengan orang yang tak punya uang untuk Umrah dan haji yang sunnah (sudah melakukan yang wajibnya), maka apakah kita mengatakan haji sunnah itu batil dan dilarang?, apa hak kita mengatakan batil pada sunnah Nabi saw?, jauh beda antara yang tidak mampu dengan yang mengingkari,


Betul.. poligami banyak diselewengkan oleh para suami, hingga dijadikan alat pengumbar syahwat, merebut kekayaan, menyombongkan diri, berkhianat pada istri, dan contoh lainnya, dan banyak pula diselewengkan oleh istri muda untuk merebut harta atau lainnya, namun itu semua adalah oknum, dan penyelewengan itu terjadi dalam segala hal dan bukan hanya dalam poligami, contohnya dalam pernikahan monogami pun demikian, banyak terdapat penyelewengan dalam pernikahan yang demi keduniawian atau demi kelicikan, atau demi syahwat dan lainnya, demikian pula pada shalat, bisa saja diselewengkan dengan untuk mencari perhatian misalnya, atau agar dianggap shalih, atau lainnya, demikian pula puasa, haji, zakat dan lainnya, penyelewengan mestilah ada, dan penyelewengan oknum tak dapat menafikan (menghapuskan) suatu ajaran syariah, kesalahan adalah pada oknum dan bukan pada hukum,

Dipetik dari laman sesawang Habib Munzir Musawa, http://www.majelisrasulullah.org


"Kemudian jika kamu bimbang tidak akan berlaku adil (di antara isteri-isteri kamu) maka (berkahwinlah dengan) seorang sahaja atau (pakailah) hamba-hamba perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat (untuk mencegah) supaya kamu tidak melakukan kezaliman." (Surah An-Nisaa’: Ayat 3)

Sunday, September 4, 2011

Polygamy

Islam did not invent polygamy nor abolish or encourage it.(Askimam.org)

Polygamy: According to Islam

Islam did not introduce polygyny but permitted it remedied the ills and abuses around it. The Hindus, Babylonians, Persians, Athenians, Jews and pre-Islamic Arabs recognized no limit to the number of wives a man could marry. Islam limited and restricted it in number; and hedged it with severe restrictions. Nowhere in the Shariah is polygyny condemned or discouraged but neither is it an essential commandment enjoining men to take multiple wives. Coupled with this permission is the emphatic command of justice and equality, financially and physically (i.e. spending equal amount of time with each spouse), if one intends taking another wife. The attitude of husband towards all his wives must be such as to give no occasion to heartburning, jealousy, dissatisfaction, discontent and frustration to any of them. There should be no cruelty, injustice, bias or partiality on the part of the husband. It is expected and seen that complete peace, harmony and tranquillity prevails in the household where the husband faithfully observes the injunctions of Islam regarding the equal status of all the wives in matters of maintenance, and general treatment. Each wife is entitled to have the opportunity of feeling the security of their man and sharing the bonds of love with him as well as enjoying his companionship.

If the husband cannot exercise this equality he is not allowed to marry more than one. Regarding this restriction of number and equal treatment, the Qur'an ordains:

"Marry such as you please, of other women, by twos, threes and fours; but if you apprehend that you shall not be able to deal justly with them, then marry one only." (Qur'an, 4:3)

However, since love and emotions are beyond ones control, a man will be excused if he loves one spouse more than another. It is most irrational to demand a person to have equal love for two people. A person has friends but he has his “best friend’, a mother with many kids has “the apple of her eye” and the father has his “blue eyed boy”.(askimam.org)


Advice to Males Intending Polygamy

It should be understood that it is very painful, difficult, and traumatic for women, especially in those societies where polygamy is hardly practiced to accept their husbands taking another wife. The influence of alien culture has so strongly overwhelmed them that there is not only a fear of ruining their marriages but also a chance of them losing their Imam. Therefore, it is of utmost importance that this matter be approached correctly and dealt with caution, care and diplomacy. Before thinking of a second marriage consider the following:

1. Consider the responsibility which comes along with a second marriage.
2. Reflect whether you are able to fulfil the Shar’i obligations of both wives in a fair and just manner.
3. Seek advice from your local Ulama and senior members of his family and community.
4. Seek advice from those already in a polygamous marriage.
5. Be able to adjust your routine and daily schedule.
6. Make all arrangements to ensure all wives receive their rights.
7. Possess a strong emotional state of mind to be able to handle the sensitiveness of all his wives.
8. Never contemplate polygyny as an experimental exercise.
9. Never consider polygyny to spite the first wife.
10. Take note that the permission of polygyny should not be abused.
11. Take into account the feelings and sentiments of the first wife and endeavour to provide every reassurance, support and comfort to her.
12. Be understanding, tolerant, caring and patient towards his first wife who is facing a most tumultuous period in her life that could cause her to have bouts of irrational behaviour from time to time.
13. Consider the impact it will have on his immediate family and what measures he has in place to support them through possible turmoil.


These are some points which need to be carefully considered before taking a second wife.(askimam.org)

Tuesday, July 26, 2011

Kata-kata indah dari seorang suami.

"Duhai isteriku, janganlah engkau terlalu mencintaiku. Aku hanyalah makhluk lemah dan tidak berdaya. Aku tidak dapat mempertahankanmu kecuali kekuatan yang Allah kurniakan kepadaku. Aku tidak mampu memberi nafkah kepadamu walau sesen pun, melainkan limpah rezekinya padaku. Cintailah Allah, pemilik alam ini. Sekiranya Allah mencintaimu, pasti dia memelihara dirimu walaupun aku berada jauh darimu. Sekiranya Allah menyayangimu, dia pasti membela dan mencukupi segala keperluanmu sekalipun aku tidak berdaya membela dan memenuhi kehendakmu. Cintailah aku sekadar apa yang diperintahkan Allah kepadaku."[1]

Adakah lagi suami yang seperti ini?, semuanya bersandarkan Allah...

walau tiada disisi tetapi Allah sentiasa ada...

Hari ini manusia begitu asyik tenggelam dalam cinta manusia sehingga melupai tuhannya dan terkadang-kadang sehingga kita melanggar batasan-batasan Allah...

[1] Keluargaku Syurgaku - Aa Gym

Saturday, July 23, 2011

Warna-warna Pakaian Wanita Salaf

Dari Ikrimah, Rifa’ah menceraikan istrinya yang kemudian dinikahi oleh Abdurrahman bin az Zubair. Aisyah mengatakan, “Bekas istri rifa’ah itu memiliki kerudung yang berwarna hijau. Perempuan tersebut mengadukan dan memperlihatkan kulitnya yang berwarna hijau. Ketika Rasulullah tiba, Aisyah mengatakan, Aku belum pernah melihat semisal yang dialami oleh perempuan mukminah ini. Sungguh kulitnya lebih hijau dari pada pakaiannya.” (HR. Bukhari no. 5377)


Dari Ummi Khalid binti Khalid, Nabi mendapatkan hadiah berupa pakaian berwarna hitam berukuran kecil. Nabi bersabda, “Menurut pendapat kalian siapakah yang paling tepat kuberikan pakaian ini kepadanya?” Para sahabat hanya terdiam seribu bahasa. Beliau lantas bersabda, “Bawa kemari Ummi Khalid (seorang anak kecil perempuan yang diberi kunyah Ummi Khalid)” Ummi Khalid dibawa ke hadapan Nabi sambil digendong. Nabi lantas mengambil pakaian tadi dengan tangannya lalu mengenakannya pada Ummi Khalid sambil mendoakannya, “Moga awet, moga awet.” Pakaian tersebut memiliki garis-garis hijau atau kuning. Nabi kemudian berkata, “Wahai Ummi khalid, ini pakaian yang cantik.” (HR. Bukhari no. 5823)


Dari al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr, “Sesungguhnya Aisyah memakai pakaian yang dicelup dengan ‘ushfur(celupan yang menghasilkan warna merah.) saat beliau berihram” (HR. Ibnu Abi Syaibah 8/372, dengan sanad yang shahih)


Berikut ini beberapa riwayat yang kuat dari salaf tentang hal ini:

Dari Ibrahim an Nakha’i, bersama Alqamah dan al Aswad beliau menjumpai beberapa istri Nabi. beliau melihat para istri Nabi tersebut mengenakan pakaian berwarna merah.

Dari Ibnu Abi Mulaikah, aku melihat Ummi Salamah mengenakan kain yang dicelup dengan ‘ushfur (baca: berwarna merah).

Dari Hisyam dari Fathimah bin al Mundzir, sesungguhnya asma’ memakai pakaian yang dicelup dengan ‘ushfur (baca: berwarna merah)

Dari Said bin Jubair, beliau melihat salah seorang istri Nabi yang thawaf mengelilingi Ka’bah sambil mengenakan pakaian yang dicelup dengan ‘ushfur (Baca: Berwarna merah).

Warna paling dianjurkan untuk wanita

Pakaian yang sering dikenakan oleh para istri Nabi. Ketika Shafwan menjumpai Aisyah yang tertinggal dari rombongan, Shafwan melihat sosok hitam seorang yang sedang tidur. (HR. Bukhari dan Muslim)


Hadits dari Aisyah yang menceritakan bahwa sesudah turunnya ayat hijab, para perempuan anshar keluar dari rumah-rumah mereka seakan-akan di kepala mereka terdapat burung gagak yang tentu berwarna hitam. (HR. Muslim)

Thursday, April 14, 2011

Siapa yang rugi?

SURAH AL 'ASHR (MASA)

  1. Demi masa.
  2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian
  3. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.

Ash-Shafi’I berkata, “sekiranya manusia merenungkan surah ini, ia sudah mencukupi untuk mereka.”(terjemahan bebas dari Abridged Tafsir Ibn Kathir)


Tuan Guru Haji Salleh muhajir makki menerangkan seperti berikut tentang tafsir surah ini,


"Allah sendiri bersumpah dengan 'masa'

bahawa semua manusia sama ada kaya atau miskin, raja atau hamba....

semuanya dalam kerugian. Rugi! Rugi! Rugi!


Kecuali, orang yang ada iman!

Tapi iman sahaja 'tak cukup, kena ada amal soleh.


Ada dua 'tu sahaja 'tak cukup, kena pula tawasau-bil-haq (berpesan-pesan dengan perkara yang haq). Tawasau-bil-haq inilah kerja dakwah.

Ada tiga 'tu juga masih rugi, kena pula tawasau-bis-sabr (berpesan-pesan dengan kesabaran). Sabar ialah kepala iman.

Ada keempat-empat 'ni, barulah tidak rugi!"



Hal ini juga diterangkan oleh Ustaz Lutfi al-banjari dengan perbezaan sedikit.

Friday, April 8, 2011

Kisah Seorang Wanita Mengorbankan Mata Kerana Takut Fitnah

*Kisah ini saya hanya jumpa di laman web http://berita-harian-online.com/nasihat-wanita-cantik-sedarkan-hasan-basri/ , ia cerita yang banyak pengajaran, oleh kerana saya hanya jumpa di internet dan tidak di mana2 buku dan rujukan pun tidak disertai oleh laman web tersebut...maka saya kongsikan untuk ambil iktibar apa yang bermanfaat...sesiapa yang boleh 'confirm'kan cerita ini bleh la beritahu saya...

HASAN BASRI pada zaman mudanya, kelihatan bagus dan tampan, lebih-lebih apabila memakai pakaian mahal. Beliau sering berjalan-jalan sekeliling kampung di kota Basrah kerana sangat senang berdasarkan keindahan dan ramainya penduduk tinggal di kota itu.

Pada suatu hari, ketika Hasan berjalan, secara tiba-tiba beliau melihat seorang wanita cantik.

Melihat wanita cantik itu. Hasan berjalan mengikutinya. Wanita itu menoleh, sambil berkata kepadanya: Apakah engkau tidak malu?

Jawab Hasan: Malu pada siapa? Wanita itu berkata. Malu kepada Zat Yang Maha Mengetahui, mata yang khianat dan apa-apa yang terlintas di dalam hati.

Tertanam rasa cinta di dalam hati Hasan terhadap wanita itu sehingga tidak sabar dan tidak boleh menguasai nafsunya, akhirnya ia terus mengikuti di belakang wanita itu.

Wanita itu berkata lagi kepadanya: Mengapa engkau mengikuti aku? Jawab Hasan: Sungguh, aku terpesona dengan pandangan matamu itu. Wanita itu berkata: Tunggulah di sini, nanti akan aku kirim apa yang engkau kehendaki.

Hasan beranggapan wanita itu menaruh cinta kepadanya, sebagaimana dia jatuh cinta kepada wanita itu. Beliau pun menunggu di tempat itu.

Tidak beberapa lama kemudian, datanglah seorang pelayan wanita cantik itu kepadanya membawa bekas bertutup sehelai sapu tangan.

Ketika Hasan membuka tutup bekas itu, ternyata dua mata wanita itu ada di dalamnya. Melihat hal sedemikian, maka pelayan terbabit berkata. Sungguh tuan puteri berkata: Aku tidak ingin mata yang memuatkan fitnah dan mempesonakan orang.

Sebaik Hasan mendengar kenyataan ucapan daripada pelayan wanita itu, dia gementar dan berdiri bulu romanya, lalu memegang janggutnya dan berkata kepada dirinya: Celaka engkau, sebab sudah berjanggut mengapa tidak malu terhadap wanita cantik itu.

Dia pun menyesal dan bertaubat pada saat itu sebelum pulang ke rumahnya dan menangis semalaman. Keesokan paginya, Hasan ke rumah wanita itu untuk meminta maaf segala kesalahannya.

Sebaik tiba di rumah wanita berkenaan, rumahnya tertutup dan mendengar suara tangisani wanita dari dalam rumah itu. Akhirnya, beliau pun bertanya apa yang berlaku.

Dikatakan bahawa pemilik rumah itu meninggal. Hasan kembali ke rumahnya dan menangis selama tiga hari.

Pada malam ketiga, dia bermimpi melihat wanita cantik itu sedang berada di dalam syurga.

Hasan berkata kepada wanita itu dalam mimpiya. Hai wanita yang cantik, maafkan olehmu semua kesalahanku.

Jawab wanita itu. Sungguh, semua sudah kumaafkan kerana aku memperoleh kebaikan daripada Allah sebab engkau. Hasan berkata, Berikanlah kepadaku akan nasihatmu.

Kalau engkau sendirian, berzikirlah atau ingatlah kepada Allah. Dan pada setiap pagi mahupun petang, beristighfar memohon ampun kepada Allah serta bertaubat kepada-Nya. kata wanita berkenaan.

Mendengar nasihat daripada wanita itu, Hasan menerima dan melaksanakan hingga dia menjadi orang yang masyhur di kalangan masyarakat dengan zuhud dan taatnya kepada Allah.

Akhirnya, dia pun memperoleh darjat tinggi dan mulia serta menjadi seorang wali dan kekasih Allah.

Allah tidak memandang kepada paras rupa, tetapi melihat kepada hati dan amalan
tidak ada beza seseorang di sisi Allah kecuali iman dan taqwa.

Saturday, April 2, 2011

SOLUSI BIL. 14: Terdorong oleh Fadilat, Tidak Ikhlas? oleh Ustaz Gunawan Aziz

Alhamdulillah, segala puji dan puja hanya milik Allah, untuk Allah dan kepada Allah. Semata-mata dengan izin-Nya, artikel saya masih dapat mengisi kolum Fadhail A'maal di dalam majalah SOLUSI. Di sini saya perturunkan artikel asal sebagaimana yang terdapat dalam laptop saya. Semoga ada manfaatnya untuk kita semua:



Allah SWT berfirman, mafhumnya, “Pada hal mereka tidak diperintahkan melainkan supaya menyembah Allah dengan mengikhlaskan ibadat kepadaNya, lagi tetap teguh di atas tauhid dan supaya mereka mendirikan sembahyang serta memberi zakat dan yang demikian itulah agama yang benar.” (Al-Baiyyinah 98:5)



Daripada Abdullah ibn Amr r.anhuma, dia berkata; telah bersabda Rasulullah s.a.w., “Ada empat puluh perkara (amalan kebaikan), dan amalan yang paling tinggi (darjatnya) antara amalan-amalan itu ialah ‘مَنِيحَةُ العَنْزِ ‘. Tidak ada seorang pun yang melakukan mana-mana amalan (daripada empat puluh) amalan itu, dengan mengharapkan pahalanya dan membenarkan janji-janji (pahala yang dikhabarkan oleh Rasulullah s.a.w), melainkan Allah akan memasukkan orang itu dengannya ke dalam syurga.” (HR Al-Bukhari, Bab Keutamaan Meminjamkan Kambing…)



مَنِيحَةُ العَنْزِ bermaksud, meminjamkan kambing kepada seseorang agar dia mendapat manfaat daripada susu kambing itu, kemudian kambing itu dipulangkan kepada pemiliknya.



Ada dalam kalangan umat ini, yang berpendapat bahawa jika kita beramal kerana terdorong dengan pahala, syurga dan fadhilat; maka itu telah menyalahi hakikat ikhlas yang sejati. Ini adalah suatu yang amat mengelirukan. Bagaimana kita sanggup membuat kesimpulan yang sedemikian, sedangkan Allah dan Rasul-Nya telah berulang-ulang kali menggunakan manhaj Tabsyir dan Inzar serta Fadhail A’maal di dalam Al-Quran dan As-Sunnah?



Malah dalam riwayat di atas, bukan sahaja kita dapat mengambil faham tentang pentingnya ikhlas dalam beramal, tetapi Rasulullah s.a.w. turut menyatakan fadhilat Ikhlas itu sendiri! Dorongan dan gesaan supaya kita beramal dengan ikhlas itu sendiri pun, Rasulullah s.a.w. menggunakan kaedah dan pendekatan Fadhail A’maal dalam menerapkan kepentingannya kepada umat baginda.

Ikhlas adalah rahsia daripada rahsia-rahsia Allah. Ikhlas merupakan benteng dan perisai seseorang hamba Allah dengan musuh-musuh hakikinya, yakni syaitan dan segala konconya. Ikhlas adalah syarat mutlak penerimaan sesuatu amalan. Ikhlas adalah ikatan hati seorang hamba dengan Tuhannya.



Rasulullah s.a.w. bersabda, “Beruntunglah orang yang ikhlas. Mereka adalah pelita-pelita di dalam kegelapan malam, dan segala fitnah dan kezaliman akan hilang daripada mereka.” (HR Al-Baihaqi, sebahagian hadis sebagaimana di dalam kitab Syu’bil-Iman)

Beramal kerana dorongan sesuatu fadhilat yang telah dijanjikan oleh Allah dan Rasul-Nya sudah pasti tidak terkeluar daripada hakikat ikhlas. Malah inilah yang boleh menyelamatkan kita daripada sifat riyak dan syirik. Seseorang yang terdorong beramal dengan fadhilat pada hakikatnya telah terdorong kerana keimanannya dengan janji-janji Allah. Janji-janji yang tersimpul kukuh dengan keimanan kepada Allah, Rasulullah s.a.w., hari Akhirat dan perkara yang ghaib.



Hampir semua orang Islam mengetahui, bahawa bersolat dengan berjemaah itu ganjarannya 27 atau 25 kali ganda berbanding bersolat secara berseorangan. Apabila seseorang itu terdorong dan sanggup tinggalkan keenakan berehat di rumah bersama keluarga yang tercinta kerana janji 27 kali ganda ganjaran ini, bukankah itu semua menggambarkan betapa keyakinannya kepada janji-janji Allah. Walaupun janji Allah itu ghaib sifatnya dan manfaatnya akan terzahir hanya di akhirat. Ditambah pula dengan kefahaman bahawa, apabila Allah menyatakan bahawa sesuatu amalan itu lebih besar pahalanya daripada satu amalan yang lain, maka itu menunjukkan keredhaan Allah juga lebih besar kepada amalan tersebut.



Thursday, March 31, 2011

HADITS DHO’IF

Hadits Dhoif adalah hadits yang lemah hukum sanad periwayatnya atau pada hukum
matannya, mengenai beramal dengan hadits dhaif merupakan hal yang diperbolehkan
oleh para Ulama Muhadditsin,


Hadits dhoif tak dapat dijadikan Hujjah atau dalil dalam suatu hukum, namun tak
sepantasnya kita menafikan (meniadakan) hadits dhoif, karena hadits dhoif banyak
pembagiannya,


Dan telah sepakat jumhur para ulama untuk menerapkan beberapa hukum dengan
berlandaskan dengan hadits dhoif, sebagaimana Imam Ahmad bin Hanbal
rahimahullah, menjadikan hukum bahwa bersentuhan kulit antara pria dan wanita
dewasa tidak membatalkan wudhu, dengan berdalil pada hadits Aisyah ra bersama
Rasul saw yang Rasul saw menyentuhnya dan lalu meneruskan shalat tanpa
berwudhu, hadits ini dhoif, namun Imam Ahmad memakainya sebagai ketentuan
hukum thaharah.


Hadits dhoif ini banyak pembagiannya, sebagian ulama mengklasifikasikannya menjadi
81 bagian, adapula yang menjadikannya 49 bagian dan adapula yang memecahnya
dalam 42 bagian, namun para Imam telah menjelaskan kebolehan beramal dengan
hadits dhoif bila untuk amal shalih, penyemangat, atau manaqib, inilah pendapat yang
mu’tamad, namun tentunya bukanlah hadits dhoif yang telah digolongkan kepada
hadits palsu.


Sebagian besar hadits dhoif adalah hadits yang lemah sanad perawinya atau pada
matannya, tetapi bukan berarti secara keseluruhan adalah palsu, karena hadits palsu
dinamai hadits munkar, atau mardud, Batil, maka tidak sepantasnya kita
menggolongkan semua hadits dhaif adalah hadits palsu, dan menafikan
(menghilangkan) hadits dhaif karena sebagian hadits dhaif masih diakui sebagai
ucapan Rasul saw, dan tak satu muhaddits pun yang berani menafikan
keseluruhannya, karena menuduh seluruh hadist dhoif sebagai hadits yang palsu
berarti mendustakan ucapan Rasul saw dan hukumnya kufur.


Rasulullah SAW bersabda : "Barangsiapa yang sengaja berdusta dengan ucapanku
maka hendaknya ia bersiap siap mengambil tempatnya di neraka" (Shahih Bukhari
hadits no.110),


Sabda beliau SAW pula : "sungguh dusta atasku tidak sama dengan dusta atas nama
seseorang, barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku maka ia bersiap siap
mengambil tempatnya di neraka" (Shahih Bukhari hadits no.1229),


Cobalah anda bayangkan, mereka yang melarang beramal dengan seluruh hadits dhoif
berarti mereka melarang sebagian ucapan / sunnah Rasul saw, dan mendustakan
ucapan Rasul saw.


Wahai saudaraku ketahuilah, bahwa hukum hadits dan Ilmu hadits itu tak ada di zaman
Rasulullah saw, ilmu hadits itu adalah Bid'ah hasanah, baru ada sejak Tabi'in, mereka
membuat syarat perawi hadits, mereka membuat kategori periwayat yang hilang dan
tak dikenal, namun mereka sangat berhati hati karena mereka mengerti hukum, bila
mereka salah walau satu huruf saja, mereka bisa menjebak ummat hingga akhir zaman
dalam kekufuran, maka tak sembarang orang menjadi muhaddits, lain dengan mereka
ini yang dengan ringan saja melecehkan hadits Rasulullah saw.


Sebagaimana para pakar hadits bukanlah sebagaimana yang terjadi dimasa kini yang
mengaku ngaku sebagai pakar hadits, seorang ahli hadits mestilah telah mencapai
derajat Alhafidh, alhafidh dalam para ahli hadits adalah yang telah hafal 100 ribu hadits
berikut hukum sanad dan matannya, sedangkan 1 hadits yang bila panjangnya hanya
sebaris saja itu bisa menjadi dua halaman bila ditulis berikut hukum sanad dan hukum
matannya, lalu bagaimana dengan yang hafal 100 ribu hadits?.


Diatas tingkatan Al Hafidh ini masih adalagi yang disebut Alhujjah, yaitu yang hafal 300
ribu hadits dengan hukum matan dan hukum sanadnya, diatasnya adalagi yang disebut
: Hakim, yaitu yang pakar hadits yang sudah melewati derajat Ahafidh dan Alhujjah,
dan mereka memahami banyak lagi hadits hadits yang teriwayatkan.
(Hasyiah Luqathuddurar Bisyarh Nukhbatulfikar oleh Imam Al Hafidh Ibn Hajar Al
Atsqalaniy).


sumber : Kenalilah Aqidahmu - Habib Munzir Musawa

Wednesday, March 30, 2011

Kalam/perkataan Imam Syafie Yang Disalah gunakan

Imam Syafie ada menyatakan :

Apabila hadith itu sahih maka itulah mazhabku


Penjelasan :

Apa yang telah diucapkan oleh Imam Asy Syafie bahawa bila hadith itu sahih maka itulah mazhabnya. Ini bukan bererti bahawa kalau melihat suatu hadith sahih seseorang itu boleh menyatakan bahawa itu adalah mazhab syafie dan boleh diamalkan menurut zahirnya.

Apa yang tersebut di atas hanya ditujukan bagi orang yang sudah mencapai darjat ijtihad dalam mazhab Syafie sebagaimana telah kami terangkan sifat-sifatnya atau yang mendekati sifat tersebut.

Adapun syaratnya ialah ia harus mempunyai sangkaan yang kuat bahawa Imam Syafie rahimahuLLah belum pernah menemukan hadith tersebut atau tidak mengetahui kalau hadith itu sahih.

Untuk mengetahui hal ini, ia harus menelaah semua kitab Imam Asy Syafie dan kitab-kitab para ulama pengikutnya. Sudah tentu syarat ini sangat sulit dan jarang dapat dipenuhi. Adapun diisyaratkan demikian kerena Imam Syafie RahimahuLLah sendiri sering meninggalkan (tidak mengamalkan) hadith-hadith yang telah dilihat dan diketahuinya dan menurut pendapatnya bahawa hadith tersebut cacat dalam riwayatnya. atau maknanya sudah dinasakh, ditakhsis, ditakwil atau sebab lainnya.

Al Majmu' Syarah Al Muhazzab, Jilid I, hlm 64.

Friday, March 18, 2011

Wanita Keluar untuk Berjihad disamping lelaki

Wanita-wanita yang keluar bersama itu adalah untuk merawat pejuang-pejuang yang luka dan memberi minum kepada mereka yang kehausan. Ini telahpun thabit adanya dalam hadith sahih, terdapat wanita-wanita dalam beberapa ghazwah. Namun kehadiran mereka bukan untuk bertarung, tidak thabit dalam sunnah, walaupun imam bukhari menyebutkannya dalam “kitabul-jihad” dalam bab “Ghazwah-Nisa’ wa Qitaluha ma’ar rijal”, di mana hadith-hadith dalam bab itu tidak pun menyebutkan wanita-wanita mengambil bahagian bertempur bersama orang-orang lelaki. Ibn Hajar mengulas perkara ini katanya : “Saya tidak dapati satu hadith pun (yakni dari hadith-hadith yang terdapat dalam bab tersebut) kenyataan yang menunjukkan wanita-wanita bertempur”.(Fathul Bari)



Adapun yang disebutkan oleh para fuqaha’ dalam hokum wanita keluar berperang itu ialah sekiranya musuh telah menceroboh dan menyerang negeri muslimin – maka wajiblah semua penduduk negeri itu termasuk wanita-wanitanya, berperang untuk mempertahankannya. Itupun setelah diteliti dan mempastikan berbuat demikian, maka barulah harus, jika tidak maka tidak disyariatkan.(Mughnil Muhtaj)



Adapun ‘Ummu Salim yang membawa khanjar seperti kisah Ghazwah Hunain itu hanya untuk mempertahankan dirinya semata-mata seperti katanya sendiri(*Khanjar yang saya bawa ini kiranya ada sesiapa Musyrikin yang hampir kepada saya, akan saya buraikan perutnya dengan khanjar ini).


Mengenai masalah ini juga terdapat hadith yang diriwayatkan oleh Bukhari dan lainnya daripada ‘Aishah bahawa beliau telah meminta izin daripada Rasulullah untuk mengambil bahagian dalam jihad (perang). Lalu jawab Rasulullah : “Jihad kamu (orang-orang perempuan) ialah mengerjakan haji”. Maksud jihad yang diminta oleh ‘Aishah itu ialah mengambil bahagian dalam pertempuran atau berbunuhan tetapi tidak dibenarkan oleh Rasulullah. Sebaliknya mereka dibenarkan (disyariatkan) hadhir dalam peperangan ialah untuk merawat orang-orang luka atau memberi perkhidmatan yang seumpamanya, itupun bila sudah cukup syarat-syaratnya, mengikut kata sepakat para ulama. Wanita yang keluar bersama lelaki untuk berjihad perang disyaratkan dalam keadaan bertudung, terkawal dengan lengkap. Juga hendaklah keluarnya itu kerana hajatnya yang hakiki untuk itu, jika tidak keluarnya itu boleh membawa kepada terjatuhnya ke dalam perkara-perkara yang diharamkan.


Yang penting untuk anda tahu, bahawa ‘Ahkamul-Islamiyyah’(hukum-hukum Islam) mempunyai hubungan kait mengait antara satu dengan yang lain. Oleh itu tidaklah sepatutnya dipilih hokum yang disetujui oleh kehendak-kehendak nafsu sahaja untuk sebab-sebab yang tertentu dengan mengenepikan hokum dan kewajiban yang lain yang ada kaitan dan hubungan dengannya. Langkah seperti itu adalah salah. Malah tepat menjadi sasaran teguran Allah dalam firmannya,


‘Apakah kamu beriman dengan sebahagian (ayat) kitab sahaja, dan kamu kufurkan (engkar) terhadap sebahagian (ayat yang lainnya)? Maka balasannya terhadap orang-orang yang berbuat begitu dalam kalangan kamu tidak lain daripada kecelaan dalam kehidupan dunia, dan pada Hari Qiamat mereka ditolakkan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak (sekali-kali) lalai dari apa yang kamu lakukan’(Surah Al-Baqarah: ayat 85)



Di antara penyelewengan dan putar belit penipuan yang buruk sekali terhadap ugama Allah yang sengaja dilakukan oleh setengah-setengah manusia untuk beberapa tujuan dan kehendak-kehendak keduniaan yang tidak bernilai, ialah memetik Fatwa Syar’iyyah yang diminta dari mereka. Lalu mereka pun memotong dan membuang segala kaedah dan syarat dan apa saja yang berkaitan untuk menyempurnakan hukum yang difatwakan, hingga terbitlah hukum yang difatwakan itu sesuai dan sejajar dengan yang diminta darinya. Hal yang demikian sering berlaku kerana mereka tunduk kepada kehendak-kehendak nafsu orang-orang tertentu.



Kemudian mereka pun mengemukakan fatwa-fatwa itu dengan cara paling licin tetapi bersifat munafiq!...



Rujukan : Fiqh Al-Sirah ~ Syeikh Dr. Muhammad Said Ramadhan Al-Bouti



Nota: orang awam jangan pula pandai2 nak tuduh ulama tu munafiq, ulama tu su’, ulama dunia la…itu kerja ulama…hanya ulama yang lain sahaja boleh mengemukakan perkara itu kerana mereka ada neraca untuk mengukur…dibawah ini disertakan hadis2 mengenai jihad wanita…



Thabarani memberitakan dari Ummu Sulaim ra. dia berkata: Pernah Rasulullah SAW keluar berjihad dan ikut bersamanya sebilangan kaum wanita dari kaum Anshar, maka merekalah yang memberikan minum kepada orang-orang yang sakit, memberi obat kepada orang-orang yang luka-luka. (Majmauz-Zawa'id 5:324)



Muslim dan Termidzi telah memberitakan dari Anas ra. dia berkata: Pernah Rasulullah SAW keluar berjihad dengan membawa Ummu Sulaim ra. dan beberapa orang wanita dari kaum Anshar yang ditugaskan untuk menyediakan air minum dan menguruskan orang-orang yang luka-luka dalam peperangan.



Bukhari telah mengeluarkan berita dari Ar-Rabik binti Mu'awwidz ra. dia berkata: Kami pernah ikut Nabi SAW keluar berjihad, lalu kamilah yang menguruskan luka-luka para pejuang, dan mengangkat orang-orang yang gugur syahid ke kemah kami. Suatu berita lain darinya juga, katanya: Kami pernah keluar dengan Nabi SAW ke medan perang, dan kamilah yang memberikan minum kepada para pejuang, menguruskan semua keperluan mereka, dan mengangkat mereka yang mati terbunuh atau yang luka kembali ke Madinah.



Imam Ahmad, Muslim, dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Ummu Athiyah Al-Anshariyah ra. dia berkata: Aku pernah keluar belihad bersama-sama Rasulullah SAW sebanyak tujuh peperangan, aku menjaga kemah-kemah mereka, memasak makanan buat mereka, mengobati orang-orang yang luka, dan membantu orang- orang tua yang sudah tidak terdaya lagi. (Al-Muntaqa)



Thabarani meriwayatkan dari Laila Al-Ghifariyah ra. dia berkata: Aku pernah keluar berjihad bersama Rasulullah SAW dan aku mengobati orang-orang yang luka. (Maima'uz-Zawa'id 5:32,4)



Bukhari telah memberitakan dari Anas ra. dia berkata: Pada hari peperangan Uhud ramai orang Islam yang terkocar-kacir dan terpisah dari Nabi SAW Dan aku lihat Aisyah binti Abu Bakar rha dan Ummu Sulaim rha. tergesa-gesa membawa kantung Qirbah (terbuat dari kulit kambing) yang berisi air, memberi minum orang-orang yang dahaga dalam pertempuran itu. Sesudah habis mereka pergi lagi mengisi air dan memberi minum kepada tentara Islam yang berperang itu. (Baihaqi 9:30)



Bukhari telah memberitakan dari Tsaklabah bin Abu Malik ra. bahwa Umar bin Al-Khatthab ra. telah membagi-bagikan kain antara kaum wanita, dan ada sisa sepotong kain yang agak baik sedikit, maka berkata orang-orang yang di sisi Khalifah Umar ra.: Wahai Amirul Mukminin! Kain potong yang lebih ini berikanlah kepada cucunda Rasulullah SAW yang menjadi isterimu - maksudnya Ummu Kultsum binti Ali ra. Tetapi mereka dijawab oleh Khalifah Umar ra.: Ummu Sulaith lebih berhak darinya (Ummu Kultsum), dan Ummu Sulaim seorang wanita Anshar, di antara yang membaiat Rasulullah SAW. Tambah Umar ra. lagi: Karena dia pernah memberi kita minum pada hari peperangan Uhud. (Kanzul Ummal 7:97)



Thabarani telah memberitakan dari Ummi Kabsyah ra. yaitu seorang wanita dari suku kaum Adzirah, yakni Adzirah Bani Qudha'ah, bahwa dia telah berkata: "Wahai Rasulullah! Bolehkah tidak aku keluar berjihad dengan tentera ini dan itu?" tanya Ummi Kabsyah. "Tidak boleh!" jawab Beliau pendek saja. "Aku bukan hendak berperang, tetapi aku dapat menolong mengobati orang yang luka, yang sakit, atau barangkali dapat memberi minum orang yang sakit dan mengurusnya!", pinta Ummi Kabsyah lagi. "Kalaulah tidak nanti orang ramai heboh mengatakan si fulanah itu keluar berperang, niscaya aku akan mengizinkanmu", jawab Nabi SAW. "Tetapi sebaiknya, engkau tinggal di rumah saja!" pesan Nabi SAW lagi. (Majma'uz-Zawa'id 5:323)



Bazzar telah memberitakan dari Abdullah bin Abbas ra. dia berkata: Dalam suatu peristiwa telah datang seorang wanita kepada Nabi SAW sebagai wakil dari kaum wanita lain, lalu berbicara kepada Beliau, katanya: "Wahai Rasulullah! Aku ini sebagai utusan dari kaum wanita untuk bertanya tentang jihad. Dia telah diwajibkan ke atas kaum lelaki saja, jika mereka mendapat kemenangan akan diberikan pahala yang besar, dan jika mereka terbunuh dianggap hidup di sisi Tuhan mereka dengan diberikan berbagai-bagai rezeki dan kurnia. Kami kaum wanita yang bersusah payah mengurus segala keperluan mereka apa yang kami dapat?!"

Jawab Nabi SAW: "Sampaikanlah berita ini kepada siapa saja yang engkau temui dari kaum wanita, bahwa taat kepada suami dan mengakui hak suami itu adalah setimpal dengan pahala jihad, malangnya sangat sedikit di antara kamu yang dapat melaksanakannya". (Riwayat Bazzar)



Manakala Thabarani meriwayatkan cerita yang sama, tetapi sedikit panjang dari yang di atas tadi, katanya: Kemudian telah datang kepada Nabi SAW seorang wanita, lalu berkata: "Aku ini adalah utusan kaum wanita yang diutus kepadamu, dan siapa saja di antara mereka, yang tahu ataupun yang tidak tahu, semua mereka inginkan aku datang kepadamu dan berbicara denganmu. Bukankah Allah itu Tuhan kaum lelaki dan kaum wanita, dan engkau pula adalah Utusan Allah kepada kaum lelaki dan kaum wanita?! Allah telah mewajibkan jibad ke atas kaum lelaki, maka jika mereka menang mereka diberikan pahala yang besar, dan jika mereka mati syahid mereka akan tinggal di sisi Tuhan, mereka menikmati rezeki dan kurnia-Nya. Apa yang dapat menyamai pahala amalan mereka itu dari ketaaatan kami kepada mereka?"

Jawab Nabi SAW: "Bila kaum wanita itu mentaati suami mereka, dan mengenal hak-haknya. Tetapi malangnya, sangat sedikit sekali mereka yang dapat berbuat seperti itu". (At-Targhib Wat-Tarhib 3:336)



Rujukan : Hayatus Sahabah ~ Syeikh Maulana Muhammad Yusuf Al-Khandahlawi

Wednesday, March 16, 2011

Manner of standing in the saff (rows of the jamaah)


It is established from several ahadith that the saff (row) should be absolutely straight and no gaps should be left between the musallis (worshippers). However, some people insist on spreading their feet and standing in such a manner that their ankles touch the ankles of their neighbour. What is the reality of standing in this fashion?


Those who stand in this way base their practice upon a hadith narrated by Nu’maan bin Basheer (radhiallahu anhu). He says: "Once Rasulullah (sallallahu alaihi wa sallam) faced us and said: "Straighten your rows". He repeated this thrice. He then said: "By Allah, you must most certainly straighten your rows or else Allah Ta’ala will disunite your hearts". Hazrat Nu’maan bin Basheer (radhiallahu anhu) says: "I then saw the people joining together their shoulders and ankles". [Abu Dawood, Sahih ibn Khuzaima]


The concluding statement of Hazrat Nu’maan (radhiallahu anhu) is also reported in Sahih Bukhari.


However, upon analysing this hadith, several points come to light: Firstly, Rasulullah (sallallahu alaihi wa sallam) never commanded the joining of the ankles. No hadith has yet been found wherein Rasulullah (sallallahu alaihi wa sallam) himself instructed the Sahaaba (radhiallahu anhu) to join their ankles. The Sahaaba (radhiallahu anhu) had themselves adopted this manner in order to fulfil the command of straightening the saff. Secondly, this hadithradhiallahu anhu) saw the Sahaaba (radhiallahu anhu) doing this PRIOR to the commencement of the salaah. There is no mention of this position being maintained even after the salaah had commenced. Therefore we find that great muhadditheen such as Hafiz ibn Hajar (R.A.) and Allama Shawkani (R.A.) have regarded this as an extreme measure which was occasionally adopted by the Sahaaba (radhiallahu anhu) to ensure that the saff is straight. clearly mentions that Nu’maan bin Basheer (


In fact, a hadith of Hazrat Anas (radhiallahu anhu) makes it absolutely clear that this practice was merely a measure adopted BEFORE the salaah to ensure the straightening of the saff. He says: "If I had to do that (join the ankles) with anyone of them (the taabi’een) today, they would run like wild mules". [Fath al-Bari, Vol.2, pg.176]


This simply means that the taabi’een severely disliked that anybody should join their ankles with them. Several points are understood from this: Firstly, Hazrat Anas (radhiallahu anhu) had stopped doing this completely. Had this been a sunnah and not just a manner of ensuring that the saff was straight, it is impossible that Hazrat Anas (radhiallahu anhu) would have left it out merely upon somebody disliking it.


Secondly, the taabi’een would never have disliked it if they had observed many of the Sahaaba (radhiallahu anhum) continuously practicing upon this. It was only due to the fact that they had not generally observed the Sahaaba (radhiallahu anhum) adopting this procedure that they disliked it. Hence this makes it crystal clear that the Sahaaba (radhiallahu anhum) had only occasionally adopted this practice to ensure the straightening of the saff. It was not a sunnah in itself, otherwise they would never have left it out.


It has already been made clear that Rasulullah (sallallahu alaihi wa sallam) never himself instructed the joining of the ankles, nor is there any mention of the Sahaaba (radhiallahu anhum) having maintained this position even IN salaah. However, if for a moment we do accept that this position must be adopted during the course of the salaah as well, the question is: In which posture of salaah must this position be maintained? Must it be maintained during qiyaam, ruku, sajdah and qa’dah or in only some of these postures? If one says that the ankles should be joined only in the qiyaam posture, on what basis were the other postures excluded? If it is argued that it is difficult to do so in ruku and sajdah, the same could be said for qiyaam, since to stand with one’s feet spread apart is naturally awkward and hence it presents a certain amount of difficulty and uneasiness for many people. In short, this practice is not established as a sunnah of salaah. It was merely adopted initially by the Sahaaba (radiallahu anhum) BEFORE the commencement of salaah to ensure that the rows are straight.


And Allah Ta’ala Knows Best.


Reference : The Method of Salaah in the Light of Authentic Ahadith by Shaikh Muhammad Ilyas Faisal Madina of al-Munawwara. Translated By Maulana Abdul Qadir Vawda (Madrasah Taleemuddeen), http://alhaadi.org.za


Shaafi Math-hab

According to the Shaafi Math-hab, the gap between the feet should be one hand. It is Makrooh to spread the feet wider than this.( THE FEET IN SALAAT A SALAFI ERROR BY MAJLIS UL ULAMA SOUTH AFRICA)



Saturday, March 12, 2011

Kenikmatan Syurga

Saidina Anas radhiallahu anhu berkata, Saidina Rasulullah salallahu alaihi wassallam bersabda, “Jika seorang perempuan dari kalangan wanita syurga menjeling kearah dunia, ia akan menerangi segala sesuatu di antara langit dan bumi. Ia akan juga memenuhinya dengan haruman. Penutup yang terdapat di atas kepalanya lebih baik dari dunia dan seisinya.”(Bukhari, Mishkat)


Saidina Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata, saidina Rasulullah salallahu alaihi wassalam bersabda : “terdapat sebatang pokok di dalam syurga yang di mana seorang penunggang (kuda) yang terpantas tidak dapat sampai ke penghujung bayangnya selama seratus tahun.”(Mutaffaqun alaihi, Mishkaat)


Saidina Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata, daku berkata: “wahai Rasulullah, bagaimanakah bentuk syurga nanti? Baginda bersabda : “satu bata daripada emas dan satu yang lain(berselang seli) dari perak. Ikatannya terdiri daripada kasturi yang suci, batu kerikilnya daripada mutiara dan yakut, dan tanahnya daripada za’faran.”(Ahmad, Tirmizi, Darimi, Mishkaat)


Saidina Abu Hurairah radhiallahu anhu juga meriwayatkan bahawa Saidina Rasulullah salallahu alaihi wassallam bersabda : “tiada satu pokok pun di dalam syurga, melainkan dahan-dahannya terdiri daripada emas.”(tirmizi, mishkaat)


Saidina Rasulullah salallahu alaihi wassallam bersabda : “terdapat mahkota pada penghuni syurga, jenis mutiara yang paling biasa akan bergemerlapan di antara timur dan barat.”(tirmizi, mishkaat)


Saidina Hakim bin Muawiyah radhiallahu anhu berkata, Saidina Rasulullah salallahu alaihi wassallam bersabda : “di dalam syurga terdapat lautan air, lautan madu, lautan susu dan lautan arak. Dari ini (lautan-lautan) mengalirnya sungai-sungai.”(Tirmizi, Mishkaat)


Saidina Jabir rahiallahu anhu melaporkan dari Nabi salallahu alaihi wassallam bahawa : “penghuni syurga akan menikmati rahmat dan kenikmatan. Tiba-tiba, satu nur(cahaya) akan naik di hadapan mereka. Mereka akan mengangkat kepala dan melihat Allahu subhanahu wataala tajalli di hadapan mereka. Akan dikatakan : “Assalamualaikum wahai penghuni syurga”. Ini juga merupakan tafsir ayat: “Ucapan dari Tuhan yang Maha Pengasih (kepada mereka) ialah: Salam!(surah yaasin:57) Allah taala akan melihat mereka dan mereka akan melihat Allah taala. Semasa mereka melihat wajah Allah taala mereka tidak akan memandang kearah nikmat yang lain dan keredhaan hingga Dia menutup hijab Dirinya. Nur (cahaya)nya akan tetap berkekalan.”(Ibnu Majah, Mishkaat)


Rujukan : Rindu Kepada Akhirat - Maulana Ashraf Ali Thanwi (rah.)

Monday, February 28, 2011

Hijâb and Female Leadership

Hijâb is generally understood to mean the donning of a veil. This is however incorrect. The scholars of Islam have included the following verses in the discussion of hijâb:

  1. "And stay in your houses. And adorn not yourselves with the adornment of the time of Ignorance." (Al Ahzâb: 33)

  2. "And when you ask of them (wives of Nabi Sallallahu alaihi Wasallam) anything, then ask them from behind a curtain." (Al Ahzâb: 53)

  3. ".... therefore be not soft of speech, lest he in whose heart is a disease, aspire (to you) but utter customary speech." (Al Ahzâb: 32)

  4. "O Nabi! Tell your wives and daughters and the women of the believers to draw their jilbâbs (a special cloak that covers the entire body) close around them ...." (Al Ahzâb:59)

  5. "And they (the women), should not stamp their feet so as to reveal their hidden adornment." (An Nur:31)

From these verses, the following rules of hijâb may be deduced:

  1. The lady should at all times remain in her home.

  2. If due to any shar'ie necessity (eg. Haj, visiting her parents, visiting the ill etc.) (Ruhul Ma'âni vl.22 pg.6) then she should cover her entire body including the face.

  3. She has to communicate with men from behind a curtain.

  4. She must not lower her tune when speaking with strange men.

  5. She should not walk in such a manner that would attract the attention of men.

  6. Intermingling of the sexes is prohibited in Islam.

Besides these, it has also been established from the Hadith that a lady cannot travel further than 77 kilometers without a mahram (any such male relative with whom marriage is prohibited). (Tirmidhi Vl.3 pg.472)

It is clear from the above that the implications of Hijâb are in direct conflict with the duties of leadership. In order to ensure the welfare of his subjects, the leader has to leave his home daily, meet and consult with people (men in particular) and travel to various parts of his country and sometimes to other countries as well. These cannot however be achieved if a lady has to be the ruler and at the same time observe the rules of hijâb. It is on this accord that Shariah has prohibited female leadership.


Published by: Madrasah Arabia Islamiah, Azaadville

For Detail Discussion click here

Saturday, February 26, 2011

THE HOWDAH

It was a general practice among the Sahaaba when going out

on journey to use the Howdah. This is the English equivalant for the

Arabic term Howdaj, which means an enclosed box or pavilion that is

placed on the camel's back. Ladies would travel in the privacy of this

box, thus screening themselves off from the gaze of menfolk. The use

of this is mentioned in several Ahadeeth, involving the noble wives of

the Rasoolullah (sallallahu alayhi wasallam) in particular. While

seated in the howdah there is no need for the niqaab since the woman

is completely concealed. This indicates to us how strict were the

Sahaaba in purdah matters. Now if this was the standard of purdah

then, during the best of eras, how much more important will this

purdah be in today’s times of sin and corruption?


Reference : A study in Islamic Culture for women ~ Prepared and researched by Madresa MASEEHUL-ULOOM

Friday, February 18, 2011

WOMENS TA'LEEM

"Abu Saeed Khudri (radhiallahu anhu) said that a woman approached Rasulullah (sallallahu alayhi wasallam) and said: The men have monopolised your talks. Therefore, appoint for us (women) a special day from your side so thai we may come to you on that day and you can teach us of that knowledge which Allah has taught you.' Rasulullah (sallallahu alayhi wasallam) said; 'Gather on a certain day.' Thus the women gathered and Rasulullah (sallallahu alayhi wasallam) came to them and taught them from that (knowledge) which Allah had taught him " (Sahih Muslim) [1]


This Hadith appears also in Bukhaari Shareef and other Books of Hadith. In Fathul Baari, this incident is also recorded in a Hadith narrated by Abu Hurairah (radhiallahu anhu). In this narration. Hadhrat Abu Hurairah (radhiallahu anhu) reported that Rasulullah (sallallahu alayhi wasallam)said:

"Your (i .e. the women) appointed place (where you shall gather) is the home of certain lady .................." [1]


The following facts emerge from this Hadith:

(1) It was not the usual practice for women to attend the Musjid for Ta'leem hence they requested a day to be set aside for them


(2) Women seldom had the opportunity of hearing the talks of Rasulullah (sallallahu alayhi wasallam).


(3) When Rasulullah (sallallahu alayhi wasallam) accepted their request to lecture to them, he said that he himself would come. While the woman said that they would come to him, he instructed them to gather at a certain place.


(4) Rasulullah {sallallahu alayhi wasallam) did not instruct the women to gather in the Musjid for ta'leem. On the contrary, he ordered them to gather at the home of a certain lady.[1]


It is noteworthy that inspite of the initial permission for women to attend the Musjid for Salaat, Rasulullah (sallallahu alayhi wasallam) did not invite them to the Musjid for Ta'leem when they made their special request. If it was their undeniable right to attend the Musjid, Rasulullah (sallallahu alayhi wasallam) would have instructed them to gather in the Musjid.[1]


The Ahadith also make it abundantly clear that in the initial period when women would attend the Musjid, they would leave immediately after the Fardh Salaat while the men remained seated, Since the females departed from the Musjid immediately upon having made the Salaam of the Salaat, the question of them silting in the Musjid for Ta'leem does notarise. Hadhrat Umme Salmah (radhiallahu anha), the wife of Rasulullah (sallallahu alayhi wasallam) said:


"During the lifetime of Rasulullah (sallallahu alayhi wasallam) the women would get up after making the Salaam of the Fardh Salaat while Rasulullah (sallallahu alayhi wasallam) and the men who performed Salaat with him remained seated for some time. After Rasulullah (sallallahu alayhi wasallam) stood up, the men would stand." (Bukhaari Shareef)[1]


The Sunnah of Rasulullah (sallallahu alayhi wasallam) thoroughly rejects the call for women's participation in Ta'leem in the Musjid.[1]


[1] THE MUJLISUL ULAMA OF SOUTH AFRICA, P.O. BOX 3393, PORT ELIZABETH 6056, SOUTH AFRICA, 14 SAFAR 1409 26 SEPT. 1988


"SUNNAH IS THE BEST"