Showing posts with label Financial. Show all posts
Showing posts with label Financial. Show all posts

Sunday, 18 April 2010

Mudik Harus Cerdik

Kemarin, gw ber-sms-an ria dengan seorang sahabat. Kami berdua sama2 tergabung di GT batch 4 PT. RAPP dan ditempatkan di Bisnis Unit yang sama waktu selesai menjalani 9 bulan masa training. Mira namanya. gw dan Mira memiliki beberapa kesamaan: sama2 beruntung karena ditempatkan di Tidung Pala nun jauh di ujung dunia; merid dengan waktu yang berdekatan, Mira November, gw Januari; punya anak yang umurnya ga beda jauh, cuma selisihan 3 bulan ajah [secara gw ngambil paket cepat waktu hamil Zahia]. Meskipun terpisahkan jarak ratusan kilometer atau bahkan lebih seribu kilometer, Mira di Riau dan gw di Miri, tapi Alhamdulillah acara ngerumpi tetap berjalan seperti biasa. Apa lagi topik utamanya kalo bukan tentang anak dan keluarga.

From : +6012850xxxx
Sent to : +62812754xxxx
Ummu Zahran, apa kabar? Lagi sibuk yah di kantor? Gimana Zahran dah bisa apa ajah sekarang? Giginya udah berapa? Zahia mah giginya belum nambah lagi. Btw Lebaran mudix kemana Jeng? Padang ato Bandung? Insya Allah gw mudix 2 minggu-an ke Bandung, yang 1 minggu lagi di Singkawang.

From : +62812754xxxx
Sent to : +6012850xxxx
Wass, Bunda Aya. Lagi di kantor nih ngecek amprahan dari sector. Mumet!! Zahran sehat, dah pinter lari, teriak2, mulai belajar kata2. Kalo gigi masih 6, belum nambah lagi.

From : +6012850xxxx
Sent to : +62812754xxxx
Zahia kalo perbendaharaan kata2 yah masih itu2 ajah [sebelumnya udah pernah gw certain ke Mira kalo Zahia udah bisa ngomong: Ayah, Papa, Papi, Mama, gapapa, tak ada, udah, ga, nenen, mamam, nyamnyam, minta, jatuh, pipi, baby, duck, truck, pup, turtle]. Sekarang hobi baca buku. Kalo gw tanya mana pohon ato rumah, langsung nunjuk2 ke buku, gambar yang gw maksud. Btw belom dijawab pertanyaan gw lo tar mudik kemana?

From : +62812754xxxx
Sent to : +6012850xxxx
Kalo rencananya seh ke Padang ajah San, tapi ga tau deh kalo tar ada perubahan. Lagi bokek soalnya. Hehehe......

Mudik. Menjelang Hari Raya, khususnya Lebaran, kata2 ini menjadi sangat populer di Indonesia. Semua orang berusaha untuk pulang ke kampung halaman, entah ada uang ato tidak, naik kendaraan pribadi ato angkutan umum, bawa oleh2 ato hanya berlenggang kangkung, yang penting pulkam. Bagi yang udah berkeluarga (baca: merid), perihal mudik ini menjadi lebih rumit lagi. Kalo rumah orang tua dan mertua masih dalam satu area ga begitu bermasalah, nah kalo udah beda kota, beda pulau, apalagi beda negara, mudik menjadi satu hal yang tidak pasti, dan lebih ribet daripada ujian Mikrobiologi Dasar yang soalnya bisa memacu mahasiswa/i melakukan tindakan brutal, seperti memberikan obat tidur dosis menengah kepada pengawas supaya bisa buka buku catatan.

Gw dan hubby, nasibnya hampir mirip Bang Toyib. Dua kali Lebaran kaga pulang2. Dua taun lalu (2008), gw dan Abang Lebaran-an di Bintulu. Kenapa? Karena Idul Fitri jatuh pada bulan Oktober, sedangkan Abang baru bekerja selama ± 2 bulan [kami datang ke Sarawak bulan Agustus pertengahan]. Ga mungkin dunks orang baru masuk kerja udah minta cuti. Mo dijitak apa sama engkong pemilik perusahaan?! Sedih rasanya Lebaran jauh dari orang tua. Ini 1st time gw kaga sungkeman sama Nyokap dan keluarga besar. Dulu, jaman masih single, kerja dimanapun gw pasti pulkam, at least 3 hari sebelum Lebaran. Setelah selesai sholat Ied di Masjid Jepak dan bersalam2an dengan para jamaah lainnya, kami pulang ke camp, lalu bersilaturahmi ke tempat pekerja nursery di barak perusahaan, karena disanalah tempat pekerja2 Indonesia. Kami mendatangi setiap rumah, dimana Tuan Rumah mengharuskan kami makan ketupat + opor ayam + hidangan lainnya seperti puding, sirup, kue2. Bayangin bo, harus makan di setiap rumah! Baru sampe rumah ke-3 gw menyerah karena tembolok udah penuh ga ada lagi space untuk menampung makanan2 enak itu. Sedangkan Abang, demi menghargai anak buahnya, maka bela2in tetap makan walopun secuil. Singkat kata, 2 jam kemudian, kami pulang ke rumah dalam keadaan kenyang bukan main, langsung menuju kamar. Eits, jangan berpikiran yang mboten2 yah Temans, kami ke kamar bukannya mo bercinta tengah hari bolong pada hari nan fitri ini, tapi buat tidur. Ya iyalah hai, kalo kekenyangan apalagi yang paling enak buat dilakukan selain tidur [perilaku buruk ini jangan ditiru sodara2 karena tidur setelah makan tidak baik untuk kesehatan].

Sungguh rasanya bukan seperti Lebaran. Apalagi di camp, tetangga sebelah rumah yang cuma 2 biji itu adalah orang2 non-muslim. Sore hari, kami mengundang Mr. Indihe, serta Mr. Phillipino dan yayang, untuk makan di rumah. Menunya sederhana ajah: ketupat + opor ayam + tulang sapi masak santan + puding coklat + es kelagar (kelapa muda yang ditambahkan agar2). Untuk cemilan kami membeli kue lapis produk Indonesia + permen coklat. Berlima kami menghabiskan waktu dengan makan, minum, ngerumpi, sampe adzan magrib berkumandang di televisi. Oya, sebenernya kami mengundang pekerja2 Indonesia itu untuk datang ke rumah, tapi ga ada satupun dari mereka yang datang. Pas besoknya gw tanya banyak banget alasannya: jauh, cape kalo jalan sedangkan mereka ga ada kendaraan; males; ga ada temen yang mo nganter; sampe alasan malu ah main kesana. Walah, hari gini ko pake malu2 segala. Pasti dulu pas SD ga mengenal pepatah “malu bertanya sesat di mall”.

Lebaran taun 2009, kami mudik ke Singkawang. Koq ga ke Jawa sekalian, Jeng? Pertama, setelah mengocok arisan, kertas yang keluar berisi tulisan ‘Singkawang’, bukan ‘Pulau Jawa’. Kedua, Zahia belum ada setaun, masih riskan dibawa travelling jauh2 [betul ajah, pas malem takbiran Zahia justru demam ampe 39 derajat Celcius. Alhamdulillah sembuh 3 hari kemudian setelah dihajar terus2an pake ASI]. Ketiga, pertimbangan biaya. Kalo pulang ke Jawa, tentu persiapan dana harus lebih mantap lagi, secara pulang ke Jawa berarti harus menyambangi Cilegon (rumah Nyokap), Pandeglang (tempat Kakek Nenek_ortunya Nyokap), Jakarta & Bekasi (rumah Ua_kakaknya Nyokap), Bogor (tempat temen2 gw dan kampus tercinta) [ini mah kepengen reunian namanya], Bandung (tempat keluarga besar dan makam keluarga). Dengan schedule roadshow di beberapa tempat, kalo duitnya nanggung ato bahkan kurang, ya lebih baik ga usah dulu, ini prinsip gw dan Abang. Jadilah kami menghabiskan 3 minggu cuti di Singkawang dan Pontianak. Itupun sodara2, tabungan kami amblas, karena banyak sekali sanak family dan handai taulan yang harus diberi upeti, serta pengeluaran2 tak terduga lainnya yang bikin pening kepala. Hiks! FYI, 3 bulan setelah Lebaran, kami hidup ngos2an seperti pedagang kaki lima kena kejar satpol PP.

Lalu apa rencana Lebaran taun ini? Mo mudik kemana neh? Yup, kami kudu harus wajib musti pulang ke Jawa. Bukannya apa2, buyut, kakek, nenek, Ua, om, tante, sepupu2, keponakan, ipar, dan sebangsanya, yang berdomisili di Pulau Jawa, sama sekali belum pernah ngeliat Zahia. Kemaren, waktu gw dan Nyokap nelepon Kakek saat Beliau ultah yang ke-84, Kakek gw bilang “Kapan Zahia dibawa ke Pandeglang, San? Kakek kepengen banget liat cicit. Jangan lama2, tar Kakek keburu meninggal”. Hadohhh, berat ni urusannya kalo udah ngomong kaya gituh. Maka gw dan Abang, mulai sekarang, sudah mempersiapkan diri baik secara fisik maupun mental, dan tentu yang terpenting adalah finansial, demi menghadapi 5 bulan ke depan.

Gw jadi teringat obrolan dengan Mr. A, seorang teman di Indonesia yang sudah hijrah bekerja ke Malaysia. Kami berjumpa di suatu restaurant pinggir pantai malam minggu yang lalu. Beliau menceritakan tentang pengalaman mudiknya saat Natal 6 tahun yang lalu.
“Waktu itu saya dapet bonus dari perusahaan hampir 100 juta [hehehe ga usah ngiler denger seratus juta, Beliau kan GM], makanya saya ‘berani’ pulang ke Jawa membawa istri, anak (2 orang), ibu mertua, dan 1 orang adik ipar yang masih single. Pulang selama 3 minggu, saya menanggung semua biaya2 selama di perjalanan mulai dari tiket, makan di jalan, oleh2 untuk keluarga di Jawa, memberikan THR kepada orang tua dan adik2 [Bapak itu anak sulung dari 5 bersaudara], belanja keperluan sehari2 selama di rumah, isi bensin, bayar tol, dan segala pengeluaran lainnya. Kamu tau Zul…San, uang 100 juta bonus plus uang gaji plus tabungan, habis ga bersisa. Makanya, taun 2004 adalah terakhir kalinya saya mudik ke Jawa, setelah itu saya merayakannya di rumah saja (pulau Sumatera).”

Fuihhh, gw menarik napas dalam2, sambil berpandangan dengan Abang. Kebayang ga bo, Beliau ajah yang punya banyak nol di slip gajinya mikir selusin kali buat mudik, apalagi kami yang pas2an gini [pas2an buat beli emas batangan, pas2an buat beli mobil….hihihi booooong deng! Wong kami mah rumah ajah belom punya].

Ada lagi cerita teman Abang, sesama Forester di Riau. Mas B ini sudah merid dengan gadis Minang Bukit Tinggi. Mas B dibesarkan oleh Kakek Neneknya di Palembang, sedangkan ortunya menjadi transmigran di Kalimantan Tengah. Adik2nya yang lain diurus oleh Bude dan Pakde di Yogyakarta. Setelah istrinya hamil lalu melahirkan, Mas B ingin berniat pulang kampung saat Lebaran datang dengan tujuan mulia hendak memperkenalkan putra tercintanya kepada keluarga besar. Berhubung Mas B hanya mendapatkan jatah cuti dengan transport bus [bagi karyawan yang hometown nya di Pulau Sumatera maka jatah transportnya bus, berbeda jika di pulau lain mendapat jatah tiket pesawat], sedangkan dia berfikir bahwa kenyamanan anaknya yang baru berumur 6 bulan merupakan hal utama, maka dia memesan tiket pesawat ke Palembang, Garuda kelas bisnis, dengan uang sendiri. Begitu juga dengan tiket untuk pulang ke Yogyakarta dari Jakarta, dia membeli tiket kereta api kelas eksekutif, sedangkan dari Palembang ke Jakarta naik bis dan ferry. Perjalanan cuti yang melelahkan sekaligus mengasyikan itu, tenyata efeknya terasa sampai setaun kemudian. “Hihihihi, mudik yang dulu itu emang berefek panjang, Zul. Keuangan gw seperti kena tsunami. Gw ngutang banyak kekanan-kiri buat buat beli tiket dll, dan baru lunas Lebaran berikutnya. Makanya setelah itu gw Lebaranan di camp ajah, soalnya duit udah wassalam.”

Temans, siapa seh yang tidak merindukan kampung halaman dan bertemu dengan keluarga dan sanak sodora tercinta? Siapa yang ga kangen dengan batagor Riri ato brownies kukus Amanda di Bandung, juga mie ayam kangkung di sebelah SD Mardi Yuana Cilegon, jika Temans sudah pernah sekali saja mencicipi kelezatannya pasti ketagihan? Siapa yang ga gatel pengen cepet2 nyari baju2 murah meriah di Tanah Abang lalu menawar sekuat tenaga sampai harganya tiarap? Siapa yang menolak untuk bertemu teman2 lama, untuk saling berbagi cerita mengenai waktu2 yang terlewati saat sudah tidak bersama, ato bernostalgila mengenang kejadian2 dodol yang pernah dilakukan jaman dahulu kala? Tapi, bagi orang2 perantau seperti gw dan Abang, apalagi bawa2 buntut di belakang (Zahia dan Nyokap gw), kami harus realistis ketika memutuskan untuk itu. Menimbang2 kembali semuanya dengan cermat, memperhitungkan dengan akurat. Supaya setelah mudik kondisi perekonomian masih bisa stabil, bukannya malah menyisakan hutang dimana2.

So, kembali lagi neh Jeng ke pertanyaan awal. Taun ini rencananya mudik kaga? Well, dengan mengucap Bismillah, berpegangan tangan merapatkan barisan, dan menguatkan iman dan takwa [lhoooo?!?], maka tunggulah kedatangan kami ke Tanah Java, sodara2. Kami akan menggoyang kalian2 yang ada disana. Yuks mari semuanya, para muda-mudi, yang diujung kiri, yang di ujung kanan, angkat jempolnya ke atas [Bang Oma kaleeee….]. Ya Allah, semoga Engkau mendengar doa hamba-Mu ini, yang kebelet kepengen mudik pas Lebaran ke Jakarta dan sekitarnya. Amien [tiba2 dari arah belakang terdengar alunan lagu “Mudik tlah tiba.....Mudik tlah tiba…..” karangan AT Mahmud].
Lanjuuut Maaaang - Mudik Harus Cerdik

Wednesday, 7 April 2010

Kebutuhan, Gengsi, Ato Nekad???

Sebelumnya, di postingan “Seumur Hidup Bayar Hutang”, gw bercerita betapa mudahnya orang mengambil kreditan di Malaysia (Sarawak) ini. Mau mengkredit barang2 elektronik, mobil [disini disebut kereta], motor, rumah, furniture, apapun itu kecuali kredit istri, gampang ajah prosedurnya. Tinggal ngasih fotokopi IC (Identity Card), slip gaji 3 bulan (bagi karyawan swasta, kalo kaki tangan kerajaan alias PNS ga perlu kasih slip gaji), dengan DP ala kadarnya, bahkan tanpa memberikan DP 1 sen pun, dapat langsung membawa barang yang diinginkan dengan damai sentosa.

Sebenernya berhutang sah2 ajah, dengan catatan sang kreditor tersebut memang memiliki kapasitas untuk melakukan pembelian secara kredit, dalam artian pendapatan yang diterima cukup untuk membayar hutangnya. Nah kalo untuk hidup sebulan ajah ngos2an, tapi dengan gagah berani dan tekad baja mengambil kredit ini itu, bener2 bikin gw herman. Seperti seorang Office Girl di kantor, dengan gaji RM 650, mengambil kredit 2 buah mobil, 1 untuk Beliau, 1 lagi untuk anaknya. Yang gw binun, Mrs itu bilang kalo cicilan kedua mobilnya setiap bulan RM 700. Terus kumaha atuh, kalo buat bayar cicilan ajah gajinya kurang, gimana buat makan dan kebutuhan sehari2??? [Mrs ini udah pisah sama lakinya].

Di bawah ini ada beberapa foto yang mana kalo Temans liat rumahnya biasa2 ajah, dari kayu ato papan, kadang ditambal dengan seng, tapi punya mobil. Hadohhhh, gw penasaran banget dengan pola pikirnya, karena kalo gw lebih memilih ga punya mobil tapi bisa tinggal di rumah yang layak huni. Yukksss mari dicermati poto2nya.






Kalo yang ini lain lagi ceritanya. Di dekat kompleks rumah kami, ada kompleks RuSun (rumah susun). Para penghuni RuSun, yang terkadang punya mobil lebih dari 1 biji, tapi ga ada garasi buat parkir mobilnya, membuat tempat parkiran sendiri di jalan. Gw ulangin sekali lagi: DI JALAN. Iya bo, jalan umum! Parahnya lagi, mereka bikin parkiran dari kayu ato besi, di cor pula ke badan jalan. Aje gile!!






Tentang Awards

Tadi pagi baru tau kalo ada kiriman 2 awards dari Mba Fanny, Sang Cerpenis penggemar stroberi [award yang atas] dan Mba Dian, maniak duren dan cabe seperti gw dan Nyokap [award yang bawah]. Thanks yah Jeng buat hadiahnya. Seneng deh ekye. Oya, kedua awards ini gw berikan kepada semua Temans keluargazulfadhli. So, bagi yang namanya ada di dalam list Friends, monggo diambil sadayana.



Lanjuuut Maaaang - Kebutuhan, Gengsi, Ato Nekad???

Friday, 19 March 2010

Seumur Hidup Bayar Hutang

Ngeri banget yah baca judul di atas. Kebayang ga seh kalo seumur hidup kita bekerja terus duitnya dipake buat bayar hutang? Naudzubillah, semoga kita semua dijauhkan dengan hal2 seperti itu. Tapi yang gw mo ceritakan dalam postingan kali ini adalah fakta yang gw temukan pada orang2 di Sarawak, khususnya Bintulu dan Miri (gw belum pernah stay di Sabah dan KL, jadi ga tau gimana pola hidup masyarakatnya disana).

Di Malaysia ini, jika orang mau membeli apapun dengan cara kredit, prosedurnya sangat mudah sekali. Misalnya saja membeli mobil. Tinggal memberikan fotokopi IC (Identity Card_KTP), lesen memandu (SIM), slip gaji 3 bulan, serta surat keterangan bank (khusus buat pegawai swasta, kalo kakitangan kerajaan ato PNS mah ga usah), tanpa memberikan DP 1 sen pun, dengan riang gembira bisa membawa pulang mobil tersebut. Sangat mudah dan cepat. Bandingkan dengan di Indonesia, dimana prosedurnya sangatlah ketat. Pihak dealer biasanya meminta KTP, NPWP, SIM, surat keterangan bekerja dari perusahaan, fotokopi rekening bank 3 bulan terakhir, slip gaji,dan sebagainya [tolong tambahin yah kalo ada persyaratan yang kurang]. Itupun masih melalui proses verifikasi yang lumayan panjang dan memakan waktu. Maka tidak heran kalo hampir setiap orang di Sarawak punya mobil. Gw sering melalui perkampungan yang maap2 kata bisa dibilang kumuh, rumahnya terbuat dari kayu yang ditambal2 papan dan seng, tapi ada mobil terparkir didepannya. Di camp kami dulu, mulai dari driver, office girl, store man, pekerja nursery, satpam, tukang potong rumput, operator alat berat, hampir semuanya punya mobil. Di lingkungan rumah baru kami di Miri, tetangga2 kompleks rata2 memiliki mobil lebih dari satu [FYI, tetangga samping kiri gw mobilnya 2 biji, samping kanan 2 biji, depan 3 biji. Sampe kadang harus parkir di jalan karena garasinya kaga muat].

Konsumtif dan tidak realistis. Itulah kata2 yang terlintas di otak gw untuk mendeskripsikan masyarakat Sarawak. Misalnya saja, seorang driver di kantor dengan gaji kurang lebih RM 900 mengambil loan mobil selama 9 tahun. Setiap bulannya dia harus membayar RM 400. Bisa dibayangkan bahwa uang yang tersisa untuk memenuhi kebutuhan keluarganya selama satu bulan tinggal RM 500. Lalu gw bingung sendiri gimana cara Beliau membagi sisa uang tersebut untuk beli bahan pangan dan kebutuhan sehari2, susu anaknya yang masih 2 taun, beli bensin dan servis2 mobil semisalnya butuh ganti oli, dll. Yang bikin gw tambah pening, keadaan seperti itu akan terus dilakoninya selama 9 tahun, sampai akhirnya mobil tersebut lunas. Oh tidakkkk!

Pemilik rumah yang kami rental, berumur 40-an, pekerjaannya membuat kue dan menjualnya di pasar. Mak Cik ini tinggal berdua saja dengan seorang cucunya yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Dengan pendapatan sebagai penjual kue yang bisa dibilang ga tentu jumlahnya per bulan (beda dengan karyawan yang setiap bulan makan gaji tetap dari perusahaan), beliau dengan gagah berani mengambil loan rumah dan mobil. Rumahnya bukan BTN tipe 21, tapi tipe 70. Mobilnya pun bukan mobil yang “murah” seperti Kancil, melainkan Kembara yang harganya sekitar RM 41 rb. Sampai saat ini, setelah 12 tahun mengangsur rumah tersebut, Mak Cik bilang bahwa masih sekitar 18 tahun lagi cicilannya lunas. Begitu juga dengan mobilnya yang masih 4 tahun lagi selesai kreditannya. Top markotop!!

Selain rumah dan mobil, barang2 furniture dan elektronik pun menjadi incaran kredit yang sangat diminati para hutangers (baca: tukang ngutang). Teman Abang lainnya di kantor, jabatannya adalah driver senior [hihihi keren yah?], gaji sekitar RM 1300, bercerita bahwa dia habis membeli 1 set sofa seharga RM 1100. What?? Sofa harga 3 jeti, tapi rumah pun ga punya, masih tinggal di rumah perusahaan? Sangat2 ga masuk akal buat gw. Yang anehnya lagi Beliau bangga sekali dengan sofa baru hasil kreditannya itu! Ada juga pekerja nursery yang upahnya RM 19 per hari (bisa dihitung kan 1 bulan dapetnya berapa?), membeli henpon seharga RM 1500. "Pake hape ini bisa nonton TV juga loh", si pekerja nursery berkata dengan lantang. Sederet cerita lainnya yang memiliki benang merah serupa sepertinya ga usah gw ceritakan karena endingnya ga beda2 jauh.

Gw dan hubby memilki prinsip jika memang ga mampu yah lebih baik jangan membeli sesuatu, apalagi bela2in sampe utang segala. Mobil, TV plasma, 1 set kursi tamu mewah dengan design terbaru, bukanlah hal2 primer yang harus dimiliki. Ga punya mobil kita tetep bisa hidup. Ga punya tipi plasma bukan berarti dunia bakalan kiamat. Ga ada kursi tamu ya sutra lah hai, gelar tiker, dan tamu pun bisa selonjoran dengan nyaman serta terbebas dari varises. Aneh bin ajaib sekali jika harus mengorbankan hal2 pokok seperti memenuhi kebutuhan makan dengan menu 4 sehat 5 sempurna bagi keluarga, pakaian yang layak sehingga anak ga pake baju yang bolong2 atau kesempitan, demi benda2 keduniawian yang sebenernya dibeli hanya demi gengsi atau apapun namanya.

Ketika pasak lebih besar daripada tiang, maka akan timbul kebocoran dimana2. Hidup pun dijalani dengan megap2. Gali lubang tutup lubang. Duit yang diperoleh pada saat gajian bulan ini, digunakan untuk membayar hutang bulan sebelumnya. Bagaimana tidak, seperti contoh kasus Mak Cik pemilik rumah yang kami rental, yang gw ceritakan di atas, saat Beliau menyerahkan rumah ini kepada kami ternyata tagihan listrik, air, dan gas belum dibayar selama 2 bulan. Maka kamilah yang ketiban buahnya, harus membayar tagihan tersebut [tentu saja kami akan potong dari uang sewa rumah]. Itulah akibatnya jika terlalu berani dan kurang perhitungan dalam mengambil kreditan. Padahal, kalo gw jadi Mak Cik itu, gw akan mengambil loan motor ajah daripada mobil karena tentu harga motor lebih murah. Tapi yah setiap orang kan punya pendapat masing2, dan kita ga ada hak untk mengintervensinya [tar dibilang siapa lo, sodara bukan anak bukan ko pake acara ngelarang2 segala?!].

So Temans, pilihan apakah yang akan diambil? Apakah hidup dengan banyak harta benda tapi hutang berceceran dimana2 dan menggerogoti selama bertahun2? Ato menjalani kehidupan apa adanya sesuai kemampuan meskipun tampak “miskin” dimata orang lain? [kirim jawaban ke 3988, tariff normal. Kuis kaleee!!!].
Lanjuuut Maaaang - Seumur Hidup Bayar Hutang

Tuesday, 9 February 2010

“Doakeun Neng nya Mak”

Beberapa hari lalu, gw menonton Opini di TV One, sedang membahas mengenai anak2 di bawah umur, sekitar 15-16 tahun, sebagian besar merupakan pelajar SMU, yang dijadikan Pekerja Seks Komersil. Si GM alias germo memasarkannya melalui jejaring sosial facebook, mulai dari harga 400 rb s/d 800 rb rupiah. Ada 3 bintang tamu pada saat itu: Dokter Boyke, Ka Seto (dihubungi via phone, tidak hadir langsung), serta seorang lagi yang gw lupa namanya dan ga “ngeh” apa pekerjaannya karena gw nonton terlambat sudah di tengah2 talkshow tersebut, kita panggil saja Mr. L. Ada kalimat yang diucapkan oleh Mr.L yang sangat menarik perhatian gw. “Di Singapore, prostitusi itu legal. Pemerintah bahkan menyiapkan tempat khusus untuk bisnis seperti itu. Pada saat saya berkunjung kesana, ternyata banyak PSK yang berasal dari Indonesia, seperti Sukabumi, Indramayu, dan Kuningan”.

Miris sekali gw mendengarnya. Kita terkenal bukan hanya sebagai Negara yang kaya akan hasil alam dan keelokan negerinya, atau kain batik yang sudah dijadikan world heritage, tapi kita juga tersohor sebagai negeri para PSK tersebut berasal. Di Bintulu sendiri, banyak pub yang dengan bangga menuliskan pada poster yang terpampang di pintu depannya “Hot from Indonesia”. Di poster yang ukurannya terbilang besar itu dipajanglah foto2 perempuan2 Indonesia dengan senyum merekah, menggunakan pakaian ala kadarnya saja sehingga aurat terobral kemana2 [gw sampe bingung apa ga masuk angin yah pake baju model begituh?!].

Berbicara mengenai Indramayu dan Kuningan, seperti yang Mr. L bilang, gw memiliki pengalaman sendiri. Dulu, jaman Kuliah Kerja Praktek, anak2 HPT (Hama Penyakit Tumbuhan, jurusan gw tercinta), dikirim ke 3 tempat, yaitu Kuningan, Indramayu, dan Bandung. Gw ditempatkan di Kuningan dengan 10 teman HPT lainnya. Di perjalanan menuju Kuningan, saat melewati pesisir pantai Indramayu, gw melihat di pinggir jalan banyak berjajar warung2 yang kalo sekilas melihatnya menjual makanan dan minuman. Saat bis berjalan merayap karena macet, gw memperhatikan dengan seksama pada beberapa warung berkumpul cewe2 yang rata2 menggunakan tanktop. Gw jadi bertanya2 dalam hati apakah cewe2 itu merupakan pengunjung warung. Tapi sepertinya ga karena gw ga melihat ada makanan ataupun minuman di meja. Atau mereka adalah pelayan di warung tersebut? Ini juga ga mungkin karena warung kecil seperti itu bisa gulung tikar kalo ngegaji banyak helper. Akhirnya gw gatel nanya sama temen yang cowo, terus temen gw bilang “Ya ampyun San lo kaya kaga tau ajah, itu tuh cewe2 yang lagi pada menanti pelanggan”. Oh, ok deh. Berarti pikiran yang terlintas di otak gw bukan cuma suudzon gw doank.

Masih di bis Bogor-Kuningan saat melewati pesisir pantai Indramayu, tiba2 masuklah tiga orang cewe dengan pakaian sexy. Dua orang dari mereka membawa alat musik berupa gitar dan kecrekan. Tanpa membuang waktu mereka pun langsung unjuk kebolehan. Suara sang vokalis yang kacau balau membawakan lagu "Kopi Dangdut", plus gitar sumbang yang nadanya ga beraturan, ditambah iringan kecrekan yang kocar-kacir, ketiga cewe pengamen itu dengan sukses membuat para penumpang di bis tanpa AC ini mabok kepayang. Hebatnya, walopun penampilan mereka luar biasa parah dan dapat menimbulkan infeksi telinga bagi yang mendengar, mereka ga peduli, bahkan semakin asyik meliuk2kan badan seperti cacing kepanasan. Si vokalis yang berpakaian paling sexy, dengan dahsyatnya melakukan goyangan ngebor ala Mbakyu Inul sampe hampir mo tiarap, sambil sesekali menyenggol2kan tubuhnya ke laki2 yang ada di dekatnya. Top markotop!! Ini mo ngamen ato menjajakan diri tengah hari bolong di tempat umum ?!?!

Dari cerita temen gw, ada satu kampung yang letaknya besebelahan dengan desa tempat dia KKP [gw ga akan menyebutkan nama kampungnya], isinya adalah Bapak2, ibu2, nenek kakek, dan anak2 kecil. Ga ada satupun anak gadis yang dia temukan berkeliaran. Setelah bertanya kepada pendduduk disitu, ternyata eh ternyata gadis2 yang udah ‘cukup umur’ dibawa ke Jakarta, untuk bekerja sebagai PSK, di pub / bar, dan tempat2 sejenis itu. Para orang tua bagaikan mendapat doorprize jika anak yang dilahirkan adalah anak perempuan, berparas elok pula. “Anak seperti itu akan dibayar mahal oleh para agent dari Jakarta”, kata mereka. Biasanya agent akan memberikan DP sebagai ‘tanda jadi’ saat anak itu berumur 7 tahun, sehingga pihak orang tua tidak akan memberikan kepada agent lain. Persis halnya petani ijon.

Gila!! Orang tua bukannya melarang anaknya untuk menjual diri, malah berlaku seperti makelar kepada orang2 yang disebut agent. Mereka dengan keadaan waras pikiran dan sehat wal'afiat tega menjerumuskan anak2 mereka ke dalam pekerjaan nista!! Apa yang terlintas di kepala mereka sehingga bisa dengan santainya bertransaksi seperti itu? Apakah ekonomi dapat dijadikan alasan untuk itu? Apakah kemiskinan sudah membuat mata hati menjadi bebal, dan lupa bahwa dunia ini hanyalah tempat transit sementara? Lalu jika uang dan harta sudah diperoleh, dapatkah menjamin kebahagiaan sang anak, menjamin bahwa putrinya terbebas dari ancaman infeksi penyakit2 kelamin, bahkan AIDS? Entahlah!

Back to Bintulu, ada seorang kenalan kami, sebut saja Ray, bercerita bahwa dia bertemu istrinya di pub. Saat itu si perempuan bekerja sebagai penyanyi dan dia adalah pengunjung tetap. Mereka jatuh cinta dan memutuskan untuk menikah. Tapi, untuk menikahi perempuan itu, biaya yang dikeluarkan tidaklah murah. Ray harus membayar RM 15.000 untuk ‘menebus’ calon istrinya dari tangan pemilik pub [Mrs. Ray berasal dari Indonesia]. Wowwww!!!

Ada juga cerita laki gw ketika minggu lalu dinas luar ke Miri. Abang dan 1 orang temannya makan siang di salah satu restoran Indonesia. Meja sebelahnya diisi oleh 6 orang cewe dengan dandanan menor, baju sexy, ngerokok ga berhenti2. Karena melihat cewe2 tersebut keluar dari pub di samping restoran, maka Abang berkesimpulan mereka adalah pub-girl yang sedang tidak dinas [iyalah wong dinasnya malam]. Satu diantaranya sedang menelepon dengan suara yang cukup keras sehingga memungkinkan Abang untuk mendengar apa yang cewe itu katakan. Dia menggunakan Bahasa Sunda untuk berbicara dengan orang yang diteleponnya. “Doakeun Neng nya Mak, Neng nuju damel di dieu ngumpulkeu artos kanggo Emak”. Jika ditranslate artinya adalah: Doain Neng yah Mak, Neng lagi kerja disini ngumpulin duit untuk Emak. Ya ampyun, lo kerja ga bener trus minta Emak lo berdoa buat kesuksesan lo?? Gw & Abang 100 % yakin kalo Emaknya si Neng nun jauh di Indonesia ga tau bahwa anak tersayangnya bekerja di pub.

Seringkali di televisi kita melihat polisi menangkap gadis2 belia yang bekerja sebagai PSK, lalu saat diinterogasi mengatakan bahwa mereka adalah korban “human trafficking”. Mereka dibohongi oleh orang yang membawanya dari kampung, dijanjikan akan bekerja di restoran, pabrik, toko, atau sebagai PRT, dengan gaji yang cukup besar. Ok,memang bayak case seperti itu. Tapi jika dilihat kisah si Neng tadi, berarti dia telah menikmati dunianya sampe minta doa restu Emaknya agar cepat sukses. Let’s say misalnya dia memang ‘ditipu’ oleh agentnya, terus kenapa dia tetep bertahan dengan pekerjaan itu? Kenapa dia ga berusaha untuk keluar atau melarikan diri?

Kemiskinan masih saja dijadikan alasan ataupun pembenaran untuk melakukan pekerjaan2 yang tidak halal. Padahal, selama kita mau berusaha, masih banyak pekerjaan yang bisa dilakukan, tanpa mengabaikan nilai2 agama. Kalau memang tidak sekolah, tidak memiliki skill apapun, lakukanlah apa yang bisa dilakukan semaksimal mungkin dengan kemampuan apa adanya itu. Berjualan pisang goreng di pasar, mencuci piring di warung makan, ambil cucian baju2 tetangga, jadi kuli angkut di pasar [malu dunks sama embah2 di Pasar yang udah tua tapi teteup kuat jadi kuli angkut], dan sebagainya. Intinya jika ada niat Insya Allah disitu ada jalan. Meskipun jalannya kadang mulus, kadang berbatu, kadang ada polisi tidurnya, kadang banyak tikungan tajam, tapi lebih mulia daripada jalan pintas yang menjual harga diri.
Perlu diingat bahwa kemiskinan sama halnya dengan kekayaan, merupakan ujian dari Sang Pencipta, dimana orang2 yang dapat melewati ujian tersebut dengan sebaik2nya akan ‘naik kelas’. Akankah kita masuk ke dalam golongan orang2 yang naik kelas dengan ranking 10 besar, atau malah tinggal kelas karena malas untuk berusaha?
Lanjuuut Maaaang - “Doakeun Neng nya Mak”

Thursday, 4 February 2010

Amplop Putih Dalam Lemari

Dulu, jaman masih single, yang namanya nabung kayanya susaaaaahhhhhh banget buat dilakukan. Entah kenapa ada ajah setan yang dengan sukses membujuk rayu. Misalnya pas awal gajian udah nyisihin beberapa ratus ribu di tabungan, eh tengah bulan pasti ajah tangan gatel buat ngegesekin kartu ATM. Lama kelamaan beberapa ratus ribu ituh menjelma menjadi beberapa puluh ribu, sampai akhirnya hanya tersisa beberapa ribu. Menyedihkan sekali, bukan?

Gw bukan tergolong cewe yang suka belanja baju, make-up, tas, sepatu, dll. Baju biasanya dapet lungsuran dari Nyokap, karena kebetulan badan kita ukurannya ga jauh beda. Kalopun beli, paling pas lagi mudik ke Jakarta, huntingnya di Tanah Abang ato ITC. Prinsip gw dalam membeli pakaian adalah murah, modelnya ok, sehingga bisa beli banyak. Tas juga dapet warisan dari Nyokap. Kalo sepatu, karena kaki gw lebih besar 3 nomor, maka terpaksa beli sendiri. Itupun gw beli yang murah meriah ajah, paling mahal 100rb-an. Make-up jangan dikata, gw termasuk cewe yang agak2 tomboy. Jadi paling banter cuma pake sun block [kerja di hutan kalo ga pake sun block muka bisa jadi kaya pantat wajan], bedak, rexona, parfum, lotion, dan lipstik kadang2. So, kemana dunks perginya uang gaji gw? Iya, ke makanan. Gw adalah tukang ngemil kelas kakap. Kamar gw penuh dengan coklat, biscuit, roti, sereal, dan cemilan2 lainnya. Belum lagi kalo bosen dengan makanan di mess langsung gw ngacir ke warung bakso, gado2, nasi rawon, pecel ayam, roti bakar, dan sebangsanya.

Kalo Ayahnya Zahia lain lagi kelakuannya. Waktu bujangan, Beliau demen banget beli barang dengan harga yang menurut gw ga masuk akal. Seperti beli kemeja 1 biji harganya 300 rb. Celana dalem 2 biji 100 rb. Kaos 1 lembar 200 rb. Sepatu kets 700 rb. Jam tangan harga 2 jeti. Alamakjang!

Perpaduan dua pribadi yang berbeda, dimana yang satu suka menyumbangkan uangnya ke restoran, toko roti, warung makan, dan supermarket, dengan orang yang hobi memakai barang2 branded, sangatlah ideal. Sehingga di awal2 pernikahan kami duit menjadi sesuatu yang keluar masuknya sangat lancar. Masuk 1x pas gajian, keluar berkali2 tanpa meninggalkan sisa di akhir bulan. Maka bisa dibilang walopun kami memiliki pemasukan dari 2 kantong, tapi kantongnya bolong dimana2 dan kami ga berusaha untuk menjahitnya. Jadi kalo dilihat dalam neraca keuangan saldo akhirnya adalah nol rupiah.

Tapi sekarang kelakuan kami berdua di masa2 jahiliyah itu telah berhasil diminimalisir. Kesadaraan itu datang setelah Zahia ada. Dengan tambahan anggota keluarga, yang mana untuk membesarkannya, kemudian menyekolahkan, tentu saja memerlukan uang yang tidak sedikit. Kami pun mulai menata keuangan keluarga dengan sebaik2nya. Ditambah status Abang sebagai karyawan kontrak (rata2 ekspat ga ada yang statusnya permanen, biasanya kontrak per 1 tahun, 2 tahun, 5 tahun, tergantung perusahaannya. Kecuali kalo udah dapet PR), maka kami harus pandai2 menyimpan uang. Awal bulan ketika gajian, gw selaku manager keuangan langsung memotong 50% dari gaji. Uang tersebut gw masukkan ke dalam amplop putih yang sebelumnya telah diberi label “Saving Bulan Sekian”. Uangnya di klip, amplopnya di lem, lalu disembunyikan di dalam lemari. Sisa 50% lainnya gw masukkan ke dalam amplop2 lainnya, seperti: allowance Nyokap, bayar ART, belanja kebutuhan sehari2, jatah Abang untuk dinas luar (karena SPPD nya keluar belakangan), etc.

Pasti sodara2 ada yang ngerasa aneh kenapa koq nabungnya ga di rekening bank ajah, malah ngikutin aliran Jaman Batu disimpen di lemari [ga sama2 banget seh karena kalo Jaman Batu disimpen di bawah bantal]. Laki gw tercinta terkena sindrom tidak-percaya-sama-yang-namanya-bank. What? Hari ginih bo?? Sifat Beliau yang satu ini memang udah mendarah daging, susah banget diubahnya, walopun berjuta kali gw diskusikan dengan memberikan seribu satu macam alasan mengapa menyimpan di bank lebih aman daripada menyimpan di rumah. Mungkin karena udah turunan dari Nenek Moyang. Percaya ato ga, Bapak Mertua gw (= Bapaknya Abang, Ni Akinya Zahia) juga melakukan hal yang sama, begitu juga dengan Bapaknya Bapak Mertua (= Kakeknya Abang, Buyutnya Zahia). So apa boleh buatlah maka gw pun akhirnya menyetujui menabung dengan cara ini.

Apakah cara tersebut manjur sodara2? Alhamdulillah cukup manjur, meskipun pernah juga kami kebobolan beberapa kali. Karena dulu amplop ga di lem makanya tangan suka gatel ngoprek2 & ngambilin sedikit2. Hiks! Tapi cara menabung seperti ini ternyata ada nilai positifnya juga. Jika kurs lagi berbaik hati dengan para TKI [kami memang orang Indonesia dengan jiwa nasionalisme tidak begitu tinggi karena selalu berdoa agar nilai rupiah melemah_maapkan kami Pa SBY & Bu Sri Mulyani], maka detik itu juga kami bisa mentransfer uang ke Indonesia. Dapat dibayangkan dunks kalo uangnya masih di bank yang memilki limit transaksi pengambilan dalam sehari, mungkin baru bisa kirim uang beberapa hari kemudian, dengan kemungkinan nilai tukar sudah tidak setinggi kemarin (kalo lebih tinggi seh malah bersyukur). FYI, di Bintulu, mengirim uang via bank justru lebih murah nilai tukarnya dibandingkan dengan melalui kedai / toko yang membuka jasa pengiriman uang, padahal biaya kirimnya lebih mahal di bank. Lumayan kan kalo perbedannya 50 rupiah. Misalnya mo ngirim 1000 RM udah rugi 50 rb. Maka kami selalu memakai jasa pengiriman uang di toko walaupun terkadang 3 hari baru masuk ke rekening bank yang di Indonesia [yang penting uangnya sampai dengan selamat].

Kesuksesan perekonomian dalam sebuah keluarga kuncinya adalah disiplin, ini menurut gw. Istri dan suami harus disiplin dalam menggunakan setiap sen uang yang diperoleh, berapapun besarnya pendapatan, apakah 2 juta per bulan, atau 20 juta per bulan. Yang harus digaris –bawahi, bahwa sebanyak apapun uang yang masuk, jika kita tidak bijaksana dalam penggunaannya, maka akan habis juga. Tentu saja penyesalan selalu datang di akhir, saat semuanya telah terjadi. Point berikutnya yang juga penting adalah berapapun jumlahnya, setiap bulan harus diusahakan untuk menabung. Dan cara menabungnya bukan di akhir bulan, mengandalkan sisa uang bulan tersebut, tapi harus dipotong di awal bulan saat baru menerima uang. Ada yang punya pendapat lain, Temans?

NB: Saat ini kami juga sudah mengajarkan menabung kepada Zahia. Ayahnya membuatkan celengan dari kaleng bekas susu kental manis yang ada tutupnya [pengiritan neh ceritanya, karena daripada beli bagus gunain yang ada]. Setiap habis shopping dan ada duit kembalian berupa koin kami akan memberikannya kepada Zahia. Mulai dari koin 50 sen yang besar dan tebal, sampai koin 5 sen yang kecil dan tipis, Zahia udah bisa masukin ke celengan. Good Girl, Princess. Yang rajin nabungnya yah Sayang.

Lanjuuut Maaaang - Amplop Putih Dalam Lemari