GUEST

Memaparkan catatan dengan label akidah. Papar semua catatan
Memaparkan catatan dengan label akidah. Papar semua catatan

Khamis, 5 Mei 2011

Tafsir surah al-Ghafir ayat 36-37

ALLAH berfirman dalam al-Quran surah Ghafir ayat 36-37:

وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبَابَ (36) أَسْبَابَ السَّمَاوَاتِ فَأَطَّلِعَ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ كَاذِبًا وَكَذَلِكَ زُيِّنَ لِفِرْعَوْنَ سُوءُ عَمَلِهِ وَصُدَّ عَنِ السَّبِيلِ وَمَا كَيْدُ فِرْعَوْنَ إِلَّا فِي تَبَابٍ (37)

Maksudnya: Dan Firaun pula berkata: Hai Haman! Binalah untukku sebuah bangunan yang tinggi, semoga aku sampai ke jalan-jalan (yang aku hendak menujunya) (Iaitu) ke pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku percaya Musa itu seorang pendusta! Demikianlah diperhiaskan (oleh Syaitan) kepada Firaun akan perbuatannya yang buruk itu untuk dipandang baik, serta dia dihalangi dari jalan yang benar dan tipu daya Firaun itu tidak membawanya melainkan ke dalam kerugian dan kebinasaan.

Persoalan:

Kenapakah Fir'aun –Laknat ALLAH atasnya- hendak membina bangunan tinggi supaya dia boleh mencapai pintu-pintu langit sambil mendakwa Musa a.s berdusta? Apakah perkara yang Fir'aun tuduh Musa a.s berdusta akannya sehingga Fir'aun perlu naik ke langit untuk membuktikan kepada kaumnya yang Musa a.s berdusta? Apakah yang Musa a.s beritahu kepada Fir'aun sehingga dia begitu berang dan mendakwa Musa a.s dusta dan dia perlu naik ke langit untuk mempercayai kata-kata Musa a.s itu?

Jawab Imam Ahli Tafsir, Imam Al-Tabari (rh) [w.310 H]:

وقوله: (وَإِنِّي لأظُنُّهُ كَاذِبًا) يقول: وإني لأظنّ موسى كاذبا فيما يقول ويدّعي من أن له في السماء ربا أرسله إلينا.

Maksudnya: "dan firman-Nya (berkenaan kata-kata Fir'aun): " dan sesungguhnya aku percaya Musa itu seorang pendusta!", maksud katanya (Fir'aun) adalah: "dan sesungguhnya aku percaya Musa ini pendusta dalam apa yang dia katakana dan dakwakan BAHAWA DIA MEMPUNYAI TUHAN DI LANGIT YANG MENGUTUSNYA"

[Rujuk: Tafsir al-Tabari, juz 21 m.s 387, Tahqiq: Ahmad Syakir, cet Muassasah al-Risalah, cet Pertama, lihat juga: Tafsir ayat 38 Surah al-Qasas].



Kata Imam Abul Hasan al-Asy'ari (rh) [w.324 H] dalam kitab beliau, al-Ibanah:

كذب موسى عليه السلام في قوله: إن الله سبحانه فوق السماوات

Maksudnya: "Dia (Fir'aun) mendustakan Musa a.s berkenaan perkataan baginda: Bahawa ALLAH s.wt berada di atas langit".

Maka sejarah mencatatkan bahawa, makhluk pertama yang ingkar keberadaan ALLAH di atas Arasy di atas langit ketujuh adalah: Fir'aun –Laknat ALLAH atasnya-



Kata al-Imam Ibn al-Qayyim (rh) dalam Nuniah beliau:

فإمام كل معطل في نفسه ... فرعون مع نمرود مع هامان

Maksudnya: "Maka Imam setiap Mu'attil itu pada dirinya adalah Fir'aun bersama Namrud dan juga Haman"

Oleh itu, ketahuilah wahai setiap muslim dan muslimah, Tuhan kamu; ALLAH itu Maha Tinggi, Tinggi pada Kemuliaan-Nya, Kekuasaan-Nya, dan ZAT-NYA kerana Dia meninggi di atas Arasy di atas langit ketujuh dengan ketinggian yang layak bagi zat-Nya tidak menyamai Makhluk sedikit pun .

sumber :

http://www.facebook.com/home.php?ref=hp#!/notes/muhammad-asrie-sobri/siapakah-yang-pertama-ingkar-allah-di-langit/10150249805281745

Selasa, 19 April 2011

Taghut Yang Berbaju Cantik

Bismillahirrahmanirrahim..



Sungguh di zaman penuh fitnah ini, Taghut itu tampil dalam pelbagai bentuk dan warna. Dengan kepelbagaian ragam, taghut-taghut yang manis mulutnya, busuk hatinya, senantiasa akan berbicara dengan penuh senyuman, kadangkala bersulam makian, ada waktunya ditaburi janji-janji duniawi dan ukhrowi, sehingga manusia yang tamak haloba, akan rela diikat tengkuknya seperti anjing, atau dicucuk hidungnya seperti lembu, dan ia rela mengikut si taghut yang hebat itu ke mana sahaja hatta ke lubang jamban sekalipun.



Seharusnya menjadi perhatian bagi kaum Muslimin, mereka, yakni taghut-taghut itu, tidak senantiasa tampil serba hitam. Kerna, hitam itu telah diketahui adalah simbol KEJAHATAN. Mereka juga tidak sekadar tampil menyesatkan manusia dengan simbol ARAK, JUDI, DISCO, dan FREE SEX, kerana mereka tahu, manusia bisa mengenal itu adalah KEJAHATAN. Lantas, apakah cara yang mereka tempuhi?



Mereka bisa mengubah cara mereka dengan sedikit anjakan paradigma. Orang Islam kagum dengan jubah panjang, maka mereka meleretkannya melebihi buku lali. Para pengikut mereka kagum dengan serban yang BESAR serta EKOR YANG PANJANG, maka mereka tampil dengan imej itu. Anak-anak muda sangat bersemangat dengan kalimah 'Tiada Hukum Selain Hukum Allah', maka general Taghut itu lantas mengapi-apikan lagi jiwa gelora anak-anak muda, walhal mereka terlupa dengan kalimah yang didakwahkan para Rasul yakni 'TIADA ILAH YANG BERHAK DIIBADAHI MELAINKAN ALLAH'.



Dalam pada mereka tampil dengan NYALAKAN yang sangat nyaring itu, mereka hampir terlupa, atau buat-buat BUTA, bahawa perkara pertama yang Rasulullah Sollallahu 'alaihi wa salam lakukan ketika peristiwa Fathu Makkah adalah dengan MENGHANCURKAN BERHALA-BERHALA yang berada di sekitar Ka'bah. Ataupun, mungkin mereka terlupa kenapakah Muhammad bin Abdullah Sollallahu 'alaihi wa salam memerangi manusia? Jawapannya di sini...

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada Dzat yang berhak diibadahi selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mereka menegakkan shalat dan memberikan zakat, jika mereka melakukan hal itu maka darah dan harta mereka terjaga dariku kecuali dengan hak Islam. Dan perhitungan amal mereka terserah Allah.” (Hadits Muttafaqun ‘Alaih dari Ibnu Umar radliyallahu 'anhu)



Taghut-taghut ini akan mempersiapkan diri mereka dengan BEKALAN JIWA sebagai simbol kekuatan mereka, dengan sebanyak mungkin ibadah, namun Rasulullah Sollallahu 'alaihi wa salam terlebih dahulu telah MENCELA mereka.



“Akan muncul segolongan orang ditengah-tengah kalian dimana solat mereka lebih unggul jika dibandingkan dengan solat kalian. Puasa mereka lebih unggul jika dibangdingkan dengan puasa kalian, amal mereka jika dibandingkan dengan amal kalian. Mereka membaca Al Qur’an yang bacaannya tidak melepasi tengkorok. Mereka lepas dari agama sebagaimana anak panah yang lepas dari busurnya” (H. R. Bukhari & Muslim)



Mungkin juga, alasan mereka untuk memerangi manusia adalah kerana telah ramai kaum Muslimin yang telah MURTAD mengikut kefahaman mereka. Berapa ramai umat Islam telah berzina, maka mereka murtad! Sesiapa yang telah meneguk arak, maka mereka murtad! Dan, sesiapa yang tidak melaksanakan HUKUM Allah, maka telah murtad dan kafirlah seisi jiwa raganya.



Maka, dengan kesolehan mereka, merekalah yang layak dianggap sebagai Penghuni Alam Syurga, walaupun rupa mereka hanyalah seperti ANJING YANG TERJELIR LIDAHNYA..Tidak ada gunting yang bisa MENGERAT LIDAH ANJING-ANJING KEHAUSAN ini melainkan kebenaran yang turun bersama Isa 'alaihissalam di akhir zaman yang mana akan menghalau semua ANJING-ANJING ini bersama dengan rakan-rakan mereka...Wallahu a'lam

Isnin, 13 September 2010

Syariat Membimbing dalam Persoalan Ziarah Kubur

Sudah menjadi suatu adat dari kalangan umat Islam di Malaysia, tatkala tibanya Syawal, maka ramailah yang akan berpusu-pusu untuk menziarahi kubur. Islam sebagai sebuah agama yang bersifat wasath, membimbing manusia menuju ke arah kehidupan beragama dalam semua aspek kehidupan, termasuklah dalam persoalan ziarah kubur. Maka, dalam persoalan ziarah kubur, Islam telah menggariskan panduannya sesuai dengan Sunnah Rasulullah Sollallahu 'Alaihi Wa Salam, kerana Islam itu Sunnah dan Sunnah itu Islam.

Hikmah Dilarangnya Ziarah Kubur Sebelum Diizinkannya
Dahulu Rasulullah melarang para sahabatnya untuk berziarah kubur sebelum disyari’atkannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:
إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِياَرَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهاَ فَإِنَّهاَ تُذَكِّرُكُمُ اْلآخِرَةَ وَلْتَزِدْكُمْ زِياَرَتُهاَ خَيْرًا فَمَنْ أَراَدَ أَنْ يَزُوْرَ فَلْيَزُرْ وَلاَ تَقُوْلُوا هُجْرًا ( وِفِي رِوَايَةِ أحْمَدَ: وَلاَتَقُولُوا مَا يُسْخِطُ الرَّبُّ )
“Sesungguhnya aku dahulu telah melarang kalian untuk berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah! Karena dengannya, akan bisa mengingatkan kepada hari akhirat dan akan menambah kebaikan bagi kalian. Maka barangsiapa yang ingin berziarah maka lakukanlah, dan jangan kalian mengatakan ‘hujr’ (ucapan-ucapan batil).” (H.R. Muslim), dalam riwayat (HR. Ahmad): “dan janganlah kalian mengucapkan sesuatu yang menyebabkan kemurkaan Allah.”

Al Imam An Nawawi berkata: “Hikmah dilarangnya ziarah kubur sebelum disyari’atkannya, adalah karena para sahabat di masa itu masih dekat dengan masa jahiliyah, yakni mereka ketika berziarah masih diiringi dengan ucapan-ucapan batil. Setelah kukuh asas-asas Islam dan hukum-hukumnya serta telah tegak simbol-simbol Islam pada diri-diri mereka, barulah disyari’atkan ziarah kubur. (Al Majmu’: 5/310)

Tujuan Disyari’atkannya Ziarah Kubur

Berikut merupakan hadith-hadith yang menjelaskan tujuan disyariatkan ziarah kubur

1. Hadits Buraidah bin Hushaib , Rasulullah bersabda:
إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِياَرَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهاَ فَإِنَّهاَ تُذَكِّرُكُمُ اْلآخِرَةَ وَلْتَزِدْكُمْ زِياَرَتُهاَ خَيْرًا
“Sesungguhnya aku dahulu telah melarang kalian untuk berziarah kubur, maka (sekarang) berziarahlah karena akan bisa mengingatkan kalian kepada akhirat dan akan menambah kebaikan bagi kalian.” (HR. Muslim)
dari sahabat Buraidah juga, beliau berkata: “Rasulullah telah mengajarkan kepada para sahabatnya, bilamana berziarah kubur agar mengatakan:
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ أَنْتُمْ لَنَا فرَطٌ وَنَحْنُ لَكُمْ تَبَعٌ وَأَسْأَلُ اللهَ لَنَا لَكُمُ الْعَافِيَةِ
“Assalamu’alaikum wahai penduduk kubur dari kalangan kaum mukminin dan muslimin. Kami Insya Allah akan menyusul kalian. Kalian telah mendahului kami, dan kami akan mengikuti kalian. Semoga Allah memberikan ampunan untuk kami dan kalian.”(HR. Muslim 3/65)
2. Hadits Abu Sa’id Al Khudri dan Anas bin Malik :
فَزُوْرُوْهاَ فَإِنّ فِيهَا عِبْرَةً (وِفِي رِوَايَةِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ: تُرِقُّ الْقَلْبَ وَتُدْمِعُ الْعَيْنَ وَتُذَكِّرُ الْآخِرَةَ)
“sekarang berziarahlah ke kuburan karena sesungguhnya di dalam ziarah itu terdapat pelajaran yang besar… . Dalam riwayat sahabat Anas bin Malik : … karena dapat melembutkan hati, melinangkan air mata dan dapat mengingatkan kepada hari akhir.” (H.R Ahmad 3/37-38, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal: 228).
3. Hadits ‘Aisyah :
“Dahulu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam pernah keluar menuju kuburan Baqi’ lalu beliau mendo’akan kebaikan untuk mereka. Kemudian ‘Aisyah bertanya kepada Rasulullah tentang perkara itu. Beliau berkata: “Sesungguhnya aku (diperintahkan oleh Allah) untuk mendo’akan mereka. (HR. Ahmad 6/252 dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani , lihat Ahkamul Janaiz hal. 239)
Dalam riwayat lain, ‘Aisyah bertanya: “Apa yang aku ucapkan untuk penduduk kubur? Rasulullah berkata: “Ucapkanlah:
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا وَالمُسَتَأْخِرِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ
“Assalamu’alaikum wahai penduduk kubur dari kalangan kaum mukminin dan muslimin. Semoga Allah memberikan rahmat kepada orang-orang yang mendahului kami ataupun yang akan datang kemudian. Dan kami Insya Allah akan menyusul kalian.” (HR. Muslim hadits no. 974)
Dari hadits-hadits di atas, kita dapat mengetahui kesimpulan-kesimpulan penting tentang tujuan sebenarnya ziarah kubur:
a. Memberikan manfaat bagi penziarah kubur iaitu untuk mengambil ibrah (pelajaran), melembutkan hati, mengingatkan kematian dan mengingatkan tentang akan adanya hari akhirat.
b. Memberikan manfaat bagi penghuni kubur, yaitu ucapan salam (do’a) dari penziarah kubur dengan lafadz-lafadz yang terdapat pada hadits-hadits di atas, karena inilah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Sollallahu 'Alaihi Wa Salam, seperti hadits Aisyah dan yang lainnya.
Bilamana ziarah kubur kosong dari maksud dan tujuan tersebut, maka itu bukanlah ziarah kubur yang diridhoi oleh Allah . Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullah mengatakan: “Semuanya menunjukkan tentang disyariatkannya ziarah kubur dan penjelasan tentang hikmah yang terkandung padanya yaitu agar dapat mengambil ibrah (pelajaran). Apabila kosong dari ini (maksud dan tujuannya) maka bukan ziarah yang disyariatkan.” (Lihat Subulus Salam, 2/162)

Adab-adab yang perlu diambil perhatian sewaktu menziarahi kubur

Pertama: Menjauhi ucapan-ucapan batil.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:
إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِياَرَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهاَ فَإِنَّهاَ تُذَكِّرُكُمُ اْلآخِرَةَ وَلْتَزِدْكُمْ زِياَرَتُهاَ خَيْرًا فَمَنْ أَراَدَ أَنْ يَزُوْرَ فَلْيَزُرْ وَلاَ تَقُوْلُوا هُجْرًا ( وِفِي رِوَايَةِ أحْمَدَ: وَلاَتَقُولُوا مَا يُسْخِطُ الرَّبُّ )
“Sesungguhnya aku dahulu telah melarang kalian untuk berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah! Karena dengannya, akan bisa mengingatkan kepada hari akhirat dan akan menambah kebaikan bagi kalian. Maka barangsiapa yang ingin berziarah maka lakukanlah, dan jangan kalian mengatakan ‘hujr’ (ucapan-ucapan batil).” (H.R. Muslim), dalam riwayat (HR. Ahmad): “dan janganlah kalian mengucapkan sesuatu yang menyebabkan kemurkaan Allah.”

Kedua: Tidak menjadikan kuburan sebagai masjid.
Rasulullah bersabda:
اللهمَّ لاَتَجْعَل قَبْرِيْ وَثَنًا يُعْبَدُ اشْتَدَّ غَضَبُ اللهِ عَلى قَوْمٍ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Ya Allah, janganlah Engkau jadikan kuburanku sebagai watsan (sesembahan selain Allah), sungguh amat besar sekali kemurkaan Allah terhadap suatu kaum yang menjadikan kuburan-kuburan para nabi sebagai masjid-masjid.” (HR. Ahmad)

Makna menjadikan kuburan sebagai masjid mencakupi persoalan mendirikan bangunan masjid di atasnya ataupun beribadah kepada Allah di sisi kuburan. Maka dari itu, tidak pernah dijumpai para sahabat Nabi meRAMAIkan kuburan dengan berbagai jenis ibadah seperti shalat, membaca Al Qur’an, atau jenis ibadah yang lainnya. Karena pada dasarnya perbuatan itu adalah terlarang, lebih tegas lagi larangan tersebut ketika Rasulullah bersabda:
لاَتَجْعَلُوا بُيُوْتَكُمْ قُبُوْرًا وَلاَ تَجْعَلُوا قَبْرِيْ عِيْدًا وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ تَبْلُغُنِيْ حَيْثُ كُنْتُمْ
“Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan dan jangan pula kalian menjadikan kuburanku sebagai tempat yang selalu dikunjungi. Karena di manapun kalian bershalawat untukku, niscaya akan sampai kepadaku.” (HR. Abu Dawud)

Ketiga: Tidak melakukan safar (perjalanan jauh) dalam rangka ziarah kubur.
Rasulullah bersabda:
لاَ تَشُدُّوا الرِّحاَلَ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَساَجِدَ. مَسْجِدِي هَذاَ وَالْمَسْجِدِ الْحَراَمِ وَالْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى
“Jangan kalian bepergian mengadakan safar (dengan tujuan ibadah) kecuali kepada tiga masjid: masjidku ini, Masjid Al-Haram, dan Masjid Al-Aqsha.” (HR. Al-Bukhari no. 1139 dan Muslim no. 415)

Ziarah ke kubur Nabi dan dua sahabatnya Abu Bakar dan Umar sememangnya merupakan amalan mustahabbah (dicintai) dalam agama ini, namun dengan syarat tidak melakukan safar semata-mata dengan niat ziarah kubur.

Mungkin ramai yang terkeliru dengan beberapa hadis yang ada menyebut (fadhilat) keutamaan merangka sebuah safar untuk menziarahi kubur Nabi. Namun, sebilangan hadis-hadis tersebut berstatus dhoif, contohnya seperti hadis-hadis di bawah ini:

مَنْ زَارَ قَبْرِي فَقَدْ وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِي
“Barang siapa yang berziarah ke kuburanku, niscaya baginya akan mendapatkan syafaatku.”
مَنْ زَرَانِي وَ زَارَ أَبِي فِي عَامٍ وَاحِدٍ ضَمِنْتُ لَهُ عَلَى اللهِ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa berziarah ke kuburanku dan kuburan bapakku pada satu tahun (yang sama), aku menjamin baginya Al Jannah.”
مَنْ حَجَّ وَلَمْ يَزُرْنِي فَقَدْ جَفَانِي
“Barangsiapa berhaji dalam keadaan tidak berziarah ke kuburanku, berarti ia meremehkanku”
Semua hadits-hadits di atas ini dho’if (lemah) bahkan maudhlu’ (palsu), sehingga tidak diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhari, Muslim, tidak pula Ashabus-Sunan; Abu Daud, An-Nasai’ dan selain keduanya, tidak pula Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ats-Tsauri, Al-Auzai’, Al-Laitsi dan lainnya dari para imam-imam ahlu hadits. (lihat Majmu’ Fatawa 27/29-30).

Keempat: Tanah kubur Nabi tidaklah lebih utama dibanding Masjid Nabawi
Tidak ada satu dalil pun dari Al Qur’an, As Sunnah ataupun perkataan dari salah satu ulama salaf yang menerangkan bahwa tanah kubur Nabi lebih utama dibanding Masjidil Haram, Masjid Nabawi atau Masjidil Aqsha. Pernyataan ini hanya berasal daripada Al Qadhi Iyadh. Segala pernyataan yang tidak dilandasi dengan Al Qur’an ataupun As Sunnah sangat perlu dipertanyakan, apalagi tidak ada seorang pun dari ulama yang menyatakan demikian. (Lihat Majmu’ Fatawa 27/37)

Kelima: Tidak mengkhususkan waktu tertentu baik hari ataupun bulan. Karena tidak ada satu nash pun dari Al-Qur’an, As-Sunnah ataupun amalan para sahabat nabi yang menjelaskan keutamaan waktu tertentu untuk ziarah.

Keenam: Tidak diperbolehkan jalan ataupun duduk diatas kubur. Sebagaimana Rasulullah bersabda:
لأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ِثيَابَهُ فَتُخْلِصَ إِلَى جِلْدِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجِلِسَ عَلَى قَبْرٍ
“Sungguh jika salah seorang diantara kalian duduk di atas bara api, sehingga membakar bajunya dan menembus kulitnya, lebih baik baginya daripada duduk di atas kubur”. (HR. Muslim 3/62)
لأَنْ أَمْشِي عَلَى جَمْرَةٍ أَوْ سَيْفٍ أو أَخْصِفَ نَعْلِي بِرِجْلِي أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ أَن أَمْشِيَ عَلَى قَبْرِ مُسْلِمٍ
“Sungguh aku berjalan di atas bara api, atau (tajamnya) sebilah pedang, ataupun aku menambal sandalku dengan kakiku, lebih aku sukai daripada aku berjalan di atas kubur seorang muslim.” (HR. Ibnu Majah dan selainnya)

sumber:
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1646

Selasa, 27 Julai 2010

Kaedah Berhadapan dengan Asma' wa Sifat

KAEDAH DALIL-DALIL AL-ASMA’ WA AL-SIFAT [I]


Dalam menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah s.w.t , Ahli Sunnah wal Jamaah (ASWJ) mempunyai beberapa kaedah yang telah ditetapkan oleh para ulama salaf semenjak zaman Rasulullah s.a.w lagi. Kaedah ini perlu difahami dengan baik supaya dalam menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah s.w.t kita menggunakan dalil yang betul serta memahami dalil tersebut dengan betul juga. Berikut adalah kaedah-kaedahnya:

1- Nama-nama dan Sifat-sifat Allah s.w.t Hanya Sabit Melalui al-Qur’an dan al-Sunnah yang Sahih Sahaja.

Berdasarkan kaedah ini, akal manusia tidak berperanan untuk menetap atau menafikan apa-apa sifat kepada Allah s.w.t kerana memikirkan bagaimana Allah s.w.t itu bukanlah peranan akal.

Apa-apa lafaz sifat dan nama yang Allah tetapkan bagi diri-Nya maka wajib kita terima dan beriman sesuai dengan lafaz dan maknanya seperti mendengar, melihat, ar-Rahman, ar-Rahim, mata, tangan, dan sebagainya demikian juga apa-apa yang Allah nafikan wajib kita nafikan seperti beranak, diperanakkan, cacat dan lain-lainnya.

Adapun, jika sifat atau nama itu tidak sabit dalam al-Qur’an atau Hadis yang sahih maka kita bertawaqquf (mendiamkan diri) pada lafaznya dengan tidak menafikan dan tidak pula menetapkannya kepada Allah s.w.t.

Adapun dari segi makna maka dilihat apakah yang hendak dimaksudkan dengan kalimah (lafaz) tersebut. Misalnya kalimah Jisim, Allah dan Rasul-Nya tidak pernah menggunakan kalimah Jisim sama ada menetap atau menafikan maka kita tidak menceburkan diri dalam membincangkan perkara ini. Dilihat pula apakah maksud Jisim itu. Jika yang dikehendaki dengan jisim adalah zat maka kita katakan Allah mempunyai zat jadi dalam konsep ini tidaklah kufur orang yang mengatakan allah berjisim dengan makna zat tetapi penggunaan kalimah jisim itu perlu dijauhi kerana tidak digunakan Allah dan Rasul-Nya. Adapun jika maksud jisim itu Allah menyamai makhluk maka dalam konteks ini perkataan Allah berjisim dengan makna sama dengan makhluk adalah kufur.

Demikian juga penggunaan kalimah المكان iaitu ‘tempat’ bagi Allah s.w.t. Kita tidak boleh berkata Allah bertempat dan tidak juga Allah tidak bertempat kerana tidak sabit perbincangan ini dalam al-Qur’an dan Hadis Sahih. Dilihat pula maksud kepada mereka yang mengatakan Allah bertempat, jika yang dikehendaki dengan tempat adalah Arasy maka ianya benar tetapi penggunaan kalimah ‘tempat’ tidak sesuai namun jika dikehendaki Allah terhad dan tertentu (terkurung) dalam suatu tempat maka ianya jelas kufur.

Dalil kaedah ini firman Allah s.w.t :

فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

Maksudnya: “oleh itu, berimanlah kamu kepada Allah dan RasulNya, Nabi Yang Ummi Yang beriman kepada Allah dan Kalimah-kalimahNya (Kitab-kitabNya); dan ikutilah Dia, supaya kamu beroleh hidayah petunjuk”.[al-A'raf : 158].

Dan sabda Nabi s.a.w:

إنَّ الله فَرَضَ فرائِضَ ، فَلا تُضَيِّعُوها ، وحَدَّ حُدُوداً فلا تَعْتَدوها ، وحَرَّمَ أَشْياءَ ، فلا تَنتهكوها ، وسَكَتَ عنْ أشياءَ رَحْمةً لكُم غَيْرَ نِسيانٍ ، فلا تَبحَثوا عَنْها

Maksudnya: Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu beberapa kewajipan maka janganlah disia-siakan danDia menetapkan batasan maka jangan kamu lampauinyadan Dia mengharamkan beberapa perkara maka jangan kamu langgarnya dan Dia ‘mendiamkan’ tentang beberapa perkara sebagai Rahmat bagi kamu bukan kerana lupa maka jangan kamu mencari-cari ia“[al-Daruqutni dll].



2- Wajib Menetapkan Nas-nas Sifat Sesuai dengan Makna yang Zahir daripada Lafaznya Tanpa Tahrif (pengubahan).

Berkata Imam al-Zuhri r.h:

“من الله تعالى الرسالة وعلى الرسول صلى الله عليه وسلم البلاغ وعلينا التسليم، أمروا أحاديث رسول الله كما جاءت”

Maksudnya: “Daripada Allah Taala datangnya Risalah (agama), dan atas Rasulullah s.a.w (kewajipan) menyampaikan dan atas kita (kewajipan) menerima; Jalankanlah (berimanlah) kepada hadis-hadis Rasulullah sebagaimana ia datang”[Aqwal al-Tabiin fi al-Tauhid wal Iman, 809].

Berkata Imam al-Khattabi r.h:

مذهب السلف في الصفات إثباتها وإجراؤها على ظاهرها ونفي الكيفية والتشبيه عنها

Maksudnya: “Mazhab al-Salaf (ASWJ) dalam sifat-sifat (allah) adalah menetapkannya dan beriman sesuai dengan zahirnya dan menafikan kaifiat dan penyerupaan (dengan makhluk)”-[Mukhtasar al-Uluww,31]

Berkata pula Imam Ibn abdil Barr r.h:

أهل السنة مجمعون على الإقرار بالصفات الواردة في الكتاب والسنة وحملها على الحقيقة لا على المجاز إلا أنهم لم يكيفوا شيئا من ذلك

Maksudnya: “Ahli Sunnah telah ijmak berikrar (beriman) dengan sifat-sifat (Allah) yang warid (sabit) dalam al-Qur’an dan al-Sunnah dan membawa (maknanya) dengan makna hakiki bukan majazi (kiasan) tetapi mereka tidak memberikan kaifiat (bagaimana) terhadap sifat-sifat tersebut”-[Mukhtasar al-Uluww,32]

Berdasarkan kaedah ini, semua lafaz sifat dalam al-Qur’an dan Hadis Sahih mesti difahami dengan makna yang zahir daripada bahasa Arab yang asli yang wujud pada zaman Rasulullah s.a.w dan para Sahabat.

Maka, apabila Allah berfirman:

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

Maksudnya: “Dialah al-Rahman yang bersemayam di atas Arasy (Takhta Kebesaran Allah s.w.t)”-[Taha:5]

Kalimah استوى dalam ayat itu perlu difahami dengan bahasa arab yang zahir iaitu العلو (Meninggi) dan الارتفاع (Teratas) kerana di ta’addi dengan huruf jarr على. [Rujuk al-Mukjam al-Wasit, 466].

Demikian juga sifat السمع (Mendengar) maka dalam bahasa arab maksud mendengar adalah “إدراك المسموعات والأصوات”(Mendapat dengar perkara yang boleh didengari dan suara) bukan diterjemah sebagai “Mengetahui perkara-perkara yang boleh didengari” sebagaiman takwilan Asyairah kerana ini bertentangan dengan bahasa asli.

Dalil Kaedah ini sabit melalui Naqli dan Akli. Dalil Naqli adalah firman Allah s.w.t:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

Maksudnya: “Sesungguhnya Kami menurunkan Kitab itu sebagai Quran Yang dibaca Dengan bahasa Arab, supaya kamu (menggunakan akal untuk) memahaminya”.[Yusuf:2]

Dan firman Allah s.w.t:

مِنَ الَّذِينَ هَادُوا يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَيَقُولُونَ سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا

Maksudnya: ” di antara orang-orang Yahudi ada Yang mengubah (atau menukar ganti) Kalamullah (isi Kitab Taurat), dari tempat dan maksudnya Yang sebenar, dan berkata (kepada Nabi Muhammad): “Kami dengar”, (sedang mereka berkata Dalam hati): “Kami tidak akan menurut…”[al-Nisaa:46].

Dalam dalil yang pertama menunjukkan wajibnya memahami dalil sesuai dengan bahasa Arab dan dalam dalil kedua menjadi bukti laranagn mengubah makna nas daripada zahirnya kecuali dengan dalil yang kukuh pula.

Adapun dalil akli adalah Penutur nas ini sama ada al-Qur’an yang ditutrkan oleh Allah atau Hadis Nabawi yang penuturnya adalah Rasulullah s.a.w lebih mengetahui maksudnya dan mereka bertutur dengan bahasa Arab yang jelas maka perlulah difahami sesuai dengan kehendak penuturnya.

Adalah mustahil kita hendak memahami bahasa Arab melalui bahasa Yunani Greek sebagaimana yang dibuat oleh Ahli Kalam sama ada Muktazilah mahupun Asyairah.



3- Zahir Nas-nas Sifat adalah Maklum kepada Kita dari segi Makna dan Majhul dari segi Kaifiat.

Asal kaedah ini adalah ucapan para salaf dan yang masyhur adalah ucapan Imam Malik bin Anas r.h:

الاستواء غير مجهول، والكيف غير معقول، والإيمان به واجب، والسؤال عنه بدعة

Maksudnya: “Istiwa’ itu bukanlah majhul (yakni diketahui maknanya bukanlah tidak diketahui) dan caranya itu tidak diketahui oleh akal dan beriman dengannya wajib dan bertanya berkenaan (caranya) adalah bidaah”[Tafsir al-Baghawi,3/236].

Kaedah ini menjadi pembeza di antara ahli Sunnah wal Jamaah dengan al-Asyairah al-Mufawwidah (الأشاعرة المفوضة) kerana mereka ini berkata sifat Allah (sifat Khabariah) itu Majhul Makna dan Kaif.

Maka, atas kaedah ini, apabila ditanya kepada mereka apakah makna Istiwa’? maka jawabnya: “Hanya Allah sahaja yang tahu”. Adapun jika Ahli Sunnah ditanya apakah makna Istiwa maka jawabnya : “Istiwa’ itu adalah meninggi dan tertatas tetapi bagaimana caranya Allah meninggi dan teratas di atas Arasy hanya Dia jua yang Maha Mengetahui”.

Dalil Kaedah ini sabit dengan Naqli dan Akli. Dalil Naqli adalah firman Allah s.w.t:

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

Maksudnya: “(Al-Quran ini) sebuah Kitab Yang Kami turunkan kepadamu (dan umatmu Wahai Muhammad), -Kitab Yang banyak faedah-faedah dan manfaatnya, untuk mereka memahami Dengan teliti kandungan ayat-ayatNya, dan untuk orang-orang Yang berakal sempurna beringat mengambil iktibar.”[Sod:29]

Maka, hikmah allah menurunkan al-Quran adalah untuk diteliti maknanya, jika maknanya majhul ternafilah hikmah ini. Ayat ini merupakan tamparan Allah s.w.t kepada al-Asyairah al-Mufawwidah.

Firman Allah s.w.t dalam surah al-Nahl ayat 44:

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

Maksudnya: “dan Kami pula turunkan kepadamu (Wahai Muhammad) Al-Quran Yang memberi peringatan, supaya Engkau menerangkan kepada umat manusia akan apa Yang telah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka memikirkannya.”

Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahawa Rasulullah s.a.w diperintah supaya menjelaskan al-Qur’an maka amat mustahil baginda menjelaskan al-Qur’an tanpa menjelaskan makna. Demikian juga hikmah al-Qur’an itu diturunkan supaya manusia berfirkir maka bagaimana mereka hendak berfikir jika maknanya majhul?!subhananllah.

Adapun dalil akli, adalah mustahil Allah s.w.t menurunkan kitab-Nya yang merupakan kalam-Nya dan Rasul-Nya bertutur menjelaskan kitab-Nya dan kedua-dua kalam ini merupakan hidayah (petunjuk bagi manusia) serta menjelaskan kepada mereka perkara-perkara paling mustahak untuk diketahui tetapi maknanya majhul seperti huruf-huruf hijai (abjad arab) kerana ini menisbahkan kebodohan dan kejahilan kepada Allah dan Rasul-Nya.Maha Suci Allah daripada kekejian lidah Asyairah!!



4- Maksud Zahir Nas-nas itu adalah Apa yang Segera ditangkap Oleh Akal (Zihin) dan Ia Berbeza-beza dengan Berbezanya Siaq Ayat (Gaya Bahasa Sesuatu Ayat).

Kaedah keempat ini sangat penting untuk menjelaskan syubhat ahli bidaah terhadap beberapa tafsiran salaf terhadap ayat-ayat yang disangka ayat sifat.

Perlu difahami bahawa kalimah dalam bahasa arab itu membawa maksud yang berbeza apabila dihubungkan dengan kalimah yang berbeza atau disusun dalam gaya bahasa yang berbeza.

Ambil contoh yang mudah kalimah رغب apabila dihubung dengan huruf jar في yakni (رغب في…) ia membawa makna ‘suka kepada…’ tetapi apabila dihubung kepada huruf عن (رغب عن…) ia membawa maksud ‘benci akan..’.

Terdapat 3 perkara yang mempengaruhi makna sesuatu kalimah:

1-al-Siaq (السياق) yakni Gaya Bahasa

2-al-Idhafah (الإضافـــة) yakni penisbatan

3-at-Tarakib(التراكيب) yakni susunan ayat.

Contoh pengaruh al-Siaq seperti kalimah القريــــــــــة kadangkala membawa maksud kaum dan kadangkala bermaksud tempat tinggal sesuatu kaum.

Dalam firman Allah s.w.t:

وَإِنْ مِنْ قَرْيَةٍ إِلَّا نَحْنُ مُهْلِكُوهَا قَبْلَ يَوْمِ الْقِيَامَةِ أَوْ مُعَذِّبُوهَا عَذَابًا شَدِيدًا

Maksudnya: ” dan tiada sesebuah negeri pun melainkan Kami akan membinasakannya sebelum hari kiamat, atau Kami menyeksa penduduknya Dengan azab seksa Yang berat; “.[al-Israa: 58].

Maksud qaryah adalah suatu kaum dan dalam firman yang lain:

إِنَّا مُهْلِكُو أَهْلِ هَذِهِ الْقَرْيَةِ

Maksudnya: “Sebenarnya Kami hendak membinasakan penduduk bandar ini…”[al-Ankabut:31]

Qaryah dalam ayat ini bermaksud tempat tinggal suatu kaum.

Misal Idhafah pula seperti kita berkata:

قبضت الكتاب بيدي

Maksudnya: “Saya memegang buku dengan tangan saya”

Kalimah اليد (tangan) di sini bermaksud tangan makhluk yang merupakan anggota tubuhnya kerana diidafahkan pada makhluk. Kemudian dalam al-Qur’an digunakan kalimah al-Yad dan diidafah kepada Allah s.w.t:

لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ

Maksudnya: “..kepada apa yang Aku (Allah) cipta dengan dua tangan-Ku”

Maka apabila kita mendengar kalam yang pertama sebaik mendengar kalimah ‘tangan’ kita akan terbayang tangan mempunyai lima jari, ruas-ruas jari, kuku dan tapak tangan kerana zahir daripada idafah tangan kepada makhluk. Tetapi bila kita mendengar firman Allah s.w.t maka tersegera dalam akal kita sebaik mendengar kalimah ‘tangan’ suatu sifat Tuhan yang tidak tergambar bagaimana rupanya.

Misal Tarkib pula seperti kita berkata:

ما عندك إلا زيد

Maksudnya: “Tidak ada di sisi kamu kecuali Zaid”

Dan kata kita:

ما زيد إلا عندك

Maksudnya: “Tidaklah Zaid itu kecuali bersama kamu”

Dalam contoh pertama tarkib yang digunaan adalah قصر الصفة على الموصوف yang membawa maksud di sisi kamu hanya ada Zaid seorang sahaja. Adapun dalam tarkib kedua kita terbalikkan قصر الموصوف على الصفة bermakna Zaid hanya berada dengan kamu tetapi tidak bermakna tiada orang lain bersama kamu.

Ini merupakan keajaiban bahasa Arab oleh sebab itulah Allah s.w.t memilih untuk bertutur menggunakan bahasa Arab dalam al-Qur’an.

Oleh itu, perlu difahami bahawa yang dimaksudkan ‘Makna Zahir yang segera tergambar di fikiran’ adalah apa yang tergambar sesuai dengan siaq ayat atau idafahnya atau tarkibnya.

Kesimpulannya, setiap makna kalimah itu perlu dirujuk kepada qarinah-qarinah yang menunjuk kepada sesuatu makna.

sumber : http://mashoori.wordpress.com/2008/11/22/kaedah-dalil-dalil-al-asma-wa-al-sifat-i/

Jumaat, 29 Januari 2010

Aina Allah?

Tuduhan yang sering dilemparkan oleh Ahlul Bid'ah terhadap Ahlus Sunnah adalah tuduhan tajsim (menjisimkan) dan tasybih (menyamakan) zat Allah dengan makhluk. Apa yang lebih malang, syubhat-syubhat ini dibuat dengan mendatangkan fakta-fakta yang mengelirukan, malah lebih mendahulukan akal daripada nas-nas sohih. Contohnya dalam masalah istiwa' Allah atas 'Arasy. Sebahagiannya menuduh Ahlus Sunnah menisbatkan Allah itu berhajat kepada makhluk, mentajsimkan zat Allah dan sebagainya. Sebelum itu, mari kita perhatikan hadith-hadith yang menyokong hujah bahawa Allah S.W.T. istiwa atas 'Arasy.

Hadith pertama :

Mu'awiyah bin Al-Hakam As-Sulaimi r.a. meriwayatkan bahawa Rasulullah SAW telah bertanya kepada seorang hamba wanita

"Di manakah Allah?" Hamba itu menjawab : "Di atas langit". Baginda bertanya lagi, "Siapakah saya?" Hamba itu menjawab "Anda Rasulullah SAW", Maka baginda bersabda, "Bebaskan dia, kerana sesungguhnya dia adalah seorang mukminah"

Apa pula kata Imam Adz-Zahabi?

"Hadith ini sohih, dikeluarkan oleh Imam Muslim, Abu Daud, dan An-Nasa'ei, serta tidak hanya satu orang dari kalangan Imam yang memuatkannya di dalam karya-karya mereka. Semua memperlakukannya sebagaimana datangnya, tidak ada yang cuba melakukan tahrif dan takwil"(manhaj al-Imam Asy-Syafi'e Rahimahullah Ta'ala fii Itsbat al-Aqidah;Dr. Muhammad bin A.W. al-'Aqil, ms.431, Aina Allah;Hairi Nonchi ms. 14)

Dalam surah Thoha ayat ke 5 ada menyatakan mengenai perihal istiwa Allah atas 'Arasy.




"Yang Maha Pemurah, beristiwa atas 'Arasy"

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah r.a.

"Sifat ini disebutkan oleh Allah di tujuh tempat dalam kitabNya dan kita meyakini apa yang telah ditegaskan oleh Allah terhadap diriNya, bahawa Dia benar-benar bersemayam dengan sifat bersemayam yang layak bagiNya" (Syarah al-Aqidah al-Wasatiyyah, Ibnu Taimiyyah, oleh Syaikh Sa'id bin Ali bin Wahfi al-Qahthaniy, ms 53-54)

Begitu juga dengan ayat berikut( Surah al-A'raf ayat 7) :


Sehubungan dengan ayat itu, beginilah pendapat yang dikeluarkan oleh Imam Ibnu Kathir :

"Sehubungan dengan ayat ini, para ulama mempunyai banyak pendapat. Namun sehubungan dengan ini, kami hanya meniti cara yang dipakai oleh mazhab ulama Salaf As-Soleh seperti Malik, Auza'i, As-Sauri, Al-Lais ibnu Sa'd, As-Syafie, Ahmad, dan Ishaq Ibnu Rahawaih serta lain-lainnya dari kalangan para imam kaum muslimin, baik yang terdahul mahupun yang terkemudian. Iaitu dengan tanpa memberikan gambaran, penyerupaan, juga tanpa mengaburkan pengertiannya"(Tafsir Ibnu Kathir, juz 8, ms 353)

Adakah dengan penetapan Allah istiwa' atas 'Arasy menyebabkan kita menyerupakan Allah dengan makhluk??

Lihatlah jawaban Imam Ibnu Kathir :

"Semua apa yang digambarkan oleh Allah SWT mengenai diriNya, juga apa yang digambarkan oleh RasulNya bukanlah termasuk dalam pengertian penyerupaan (tasybih). Jelasnya, barangsiapa yang meyakini Allah sesuai dengan apa yang diwahyukan melalui ayat-ayat yang jelas dan hadith-hadith yang sahih, kemudian diertikan sesuai dengan keagungan Allah dan meniadakan dari zat Allah sifat-sifat kekurangan, maka dia telah memperoleh hidayah
(Tafsir Ibnu Kathir, juz 8, ms 354)

Sesungguhnya penetapan Allah Istiwa di atas 'Arasy bukanlah bermakna kita menjisimkan Allah dan sebagainya seperti yang didakwa oleh sesetengah pihak. Malah, ingatlah bahawa tiada suatupun yang menyerupaiNya. Janganlah kita menggunakan akal dalam mencari kesempurnaan Allah sehingga mengingkari nas-nas dan wahyu Allah SWT.

Firman Allah SWT dalam surah Asy-Syura : 11 ;

Mudah-mudahan kita akan sentiasa beroleh taufik dan hidayahNya. Insya Allah







Khamis, 26 November 2009

Dua genggaman dan takdir

Persoalan takdir adalah persoalan yang sering di salah ertikan. Ada puak yang menganggap manusia menentukan segala perbuatan mereka, ada jua yang menganggap manusia tidak perlu berusaha kerana Allah S.W.T. telah menetapkan takdir manusia. Persoalan ini sangat berbahaya kerana ia melibatkan hubungan akidah dan iman kepada takdir ialah salah satu dari rukun iman.

Berikut penulis bawakan hadith-hadith berkenaan dengan sifat-sifat tangan, bahu Allah S.W.T, syurga, neraka dan takdir.

Hadith pertama :

"Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla mengenggam segenggam (tanah) lalu berfirman "di Syurga, kerana rahmat-Ku" dan mengenggam segenggam (lain) lalu berfirman "di Neraka, dan aku tidak akan mempedulikannya""

Hadith di atas diriwayatkan oleh Abu Ya'la di dalam musnad (171/2), al-'Uqailli di dalam Ad-Dhuafa' ( m/s 93 ), Ibnu 'Addi di dalam al-Kamil (66/2) dan Ad-Daulabi di dalam Al-Asma' wal Kuna (2/48) dari hadith al-Hakam bin Sinan, dari Tsabit dari Anas secara marfu'.

al-Albani berkomentar:

"hadith ini bisa dikuatkan hingga menjadi sahih"

Hadith kedua :

"Allah S.W.T. menciptakan Adam. Ketika itu Dia menepuk bahu kanannya. Kemudian, Dia mengeluarkan keturunan yang putih bagai debu yang berterbangan. Setelah itu menepuk bahu kirinya, lalu mengeluarkan keturunan yang hitam pekat seperti arang. Dia berfirman kepada yang ada di sebelah kananNya lalu berfirman "ke syurga, dan Aku tidak peduli". Dan berfirman kepada ada yang ada di sebelah kirinya "ke neraka, dan Aku tidak peduli"

Hadith di atas diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan anaknya dalam Zawaidul-Musnad (6/441)

Hadith ketiga :

"Allah swt mengenggam satu genggaman dengan tangan kanan-Nya lalu berfirman 'ini untuk ini dan aku tidak peduli' dan mengenggam satu genggaman yang lain, yakni tangannya yang lain lalu berfirman ' ini untuk ini dan aku tidak peduli"

Hadith ini jua diriwayatkan oleh Imam Ahmad

Memandang daripada hadith ini, tetap harus diingat bahawa Allah S.W.T itu sempurna, tiada setara dengan makhluk dan segala sifatnya seperti tangan, bahu, wajah dan sebagainya adalah sesuai dengan kemuliaanNya tanpa menyamakan dengan makhluk.