ditulis oleh:
Mohammad Hilman TaofaniDi edit dari
Milis Wisata Surabaya Soerabaia LamaPrinsip saya untuk mengakrabi sebuah kota adalah: kenali sejarahnya! Dengan tahu sejarah kota, maka ikatan memorial antara kita dengan kota akan mampu menembus ruang waktu. Maka dari itu, ketika ada ajakan untuk menjelajahi kota tua Surabaya dari komunitas "
Wisata Surabaya" Minggu, 9 September lalu, saya sangat antusias. Sejak lama, saya dan istri saya mengagumi sisa-sisa tata kota kolonial di bilangan Surabaya Utara yang masih megah berdiri.
Meninggalkan sosok kota bawah (
beneden stad) yang dibangun pemerintah VOC sebagai port penting yang menghubungkan Nusantara. Acara dari "
Wisata Surabaya" adalah ide mendadak yang digulirkan beberapa orang di awal September. Konsepnya sederhana, yaitu mengenali bentuk kota tua Surabaya dengan kekayaan budaya aslinya, termasuk wacana kuliner, pasar tradisional dan tentu saja sejarah di dalamnya dengan berjalan kaki menyusuri rekam jejak masa lalu kota yang berusia 700 tahun lebih ini.
Kota EropaRute dimulai dari kantor pos besar yang terletak di jalan Kebonrojo (
Regentstraat) yang berada di daerah alun-alun (sekarang Tugu Pahlawan). Jika mengamati daerah alun-alun ini, beberapa bangunan sisa peninggalan era kolonial masih tegak berdiri karena dialihfungsikan dan digunakan sampai sekarang. Jika kita melihat kantor Bappeda, Bank Mandiri dan kantor Gubernur Surabaya maka bayangkanlah bangunan serupa pernah menjadi bioskop
Rialto,
Lindeteves Stokvis dan
Governours Kantoor di masa lampau. Beberapa sudah hancur meski menyisakan puing yang bisa kita lihat di Tugu Pahlawan, yang dulunya merupakan gedung
Raad van Justitie.
Wilayah alun-alun atau taman kota (
stadstuin) adalah pengembangan kedua dari lingkar kota Surabaya yang dibangun VOC. Inisialnya, Surabaya dibangun di daerah yang kini dikenal dengan daerah Jembatan Merah dan Kembang Jepun. VOC membagi blok benteng kota berdasar tepi alami berupa sungai (Kalimas) yang membelah kota menjadi dua. Pemisahan ini dikenal dengan keluarnya undang-undang
Wijkenstelsel pada 1843. Sebelah barat sungai adalah daerah permukiman orang Eropa. Sementara sisanya adalah untuk orang Timur Asing (orang Arab dan etnis Cina).
Segregasi ini dimaksudkan pada awal perkembangan kota, namun lama kelamaan menjadi sebuah teritori spasial yang diwujudkan dengan pola pemukiman berciri. Daerah untuk orang Eropa dipenuhi dengan banyak karya arsitektur yang bergaya Eropa. Beberapa yang menjadi
landmark, di antaranya deret bangunan di jalan Jembatan Merah, yang menghadap ke Kalimas (identik dengan pola di Belanda, di mana bangunan menghadap sungai). Bangunan-bangunan di sepanjang jalan ini membawa khasanah arsitektur kolonial awal dengan
trademark pengunaan atap dan menara yang menyatu dengan bangunan dilengkap dengan
dormer (jendela di atap).
Ciri ini bisa diamati di antaranya melalui bangunan yang kini menjadi
kantor BII, bekas PT. Aperdi di jalan
Jembatan Merah, atau
Gedung Cerutu dan
De Javasche Bank (sekarang BNI) di jalan Rajawali (
heerenstraat). Bangunan-bangunan tersebut kebanyakan dibangun di akhir abad 19 atau awal abad 20 di mana pakem arsitektur yang berkembang masih melanggengkan pengaruh neo-klasik di Eropa.
Bangunan-bangunan neo-klasik yang lebih puritan bahkan masih bisa diamati pada bangunan yang sekarang menjadi kantor Polwiltabes Surabaya dan
gedung PTPN XI. Penggunaan tiang-tiang klasik yang bergaya Yunani dan fasad simetris yang kaku masih nampak pada bangunan-bangunan tersebut.
Sementara bangunan yang lebih baru lebih dinafasi oleh semangat "kekinian" (modernitas) yang mewabahi Belanda di medio dekade 1920-an. Beberapa bangunan, di antaranya hasil karya FJL Ghijsels dan Nedam yang sangat dipengaruhi konsep De Stijl, dengan pola garis-garis dan asimetrisitas yang memang "in" pada masa tersebut. Ghijsels merancang hotel Internatio yang terletak di pertigaan
Hereenstrat dan
Willemsplein (sekarang Jl. Jayengrono), tempat di mana pada 1945 Mallaby terbunuh. Sementara Nedam adalah perancang kantor Gubernur Jawa Timur di daerah Tugu Pahlawan. Karya modern lain adalah PTPN XII karya CPW Shoemaker di Jl. Jembatan Merah dan Hotel Ibis di Jl. Rajawali yang mengusung
spirit art deco (dominasi pengulangan unsur dekoratif) (yang jamak di Bandung).
Vreemde Oosterlingen KampSementara itu, tur yang diikuti oleh 9 peserta ini berlanjut menuju ke seberang sungai, di mana dulunya adalah wilayah untuk
Vreemde Oosterlingen, atau orang Timur Asing - sebutan orang asing Asia non pribumi. Di batas terdekat dengan kawasan Eropa adalah kawasan Pecinan yang kini menjadi daerah Kembang Jepun dan jalan Panggung. Sementara di sisi utara terdapat kawasan Arab yang mengitari wilayah Ampel di mana terdapat makam Sunan Ampel. Rute yang ditempuh tur adalah menyusuri Jalan Panggung menuju
Arabische Kamp. Fenomena menarik yang bisa diamati adalah perbedaan pola permukiman, di mana jika kawasan Eropa mengadopsi view ke arah sungai dari kota-kota di benua biru, maka sepanjang Jalan Panggung, yang dulunya pecinan, permukiman justu membelakangi sungai. Fenomena ini mirip dengan kawasan pecinan di daerah Pasar Gede Solo. Etnis Arab dan Cina berbaur di daerah transisi ini, sehingga tidak heran jika sekarang beberapa etnis Arab menghuni wilayah ini yang notabene arsitekturnya justru didominasi bentukan rumah etnis Cina di era kolonial.
Jalan Panggung bermuara dengan gerbang kawasan Ampel yang merupakan "kampung Arab" pada masa lalu. Pola permukiman di kawasan ini adalah organis, seperti halnya kawasan Pecinan. Bedanya, jika permukiman etnis Cina berkembang mengikuti jejalur kota (
paths), maka kampung Arab lebih bersifat sirkular dengan pusatnya berupa masjid dan makam Sunan Ampel, yang masih mengangkat langgam tradisional asimiliatif antara Majapahit dan Cina (seperti pada menara Kudus). Beberapa peninggalan masa lalu bisa dijumpai di kawasan ini, seperti Hotel Kemadjoean yang dibangun pada 1928. Sayangnya, kepadatan penduduk di wilayah ini menumpulkan sense kawasan yang memisahkan nostalgia masa lampau dengan kenyataan pada masa sekarang. Padahal keturunan Arab masih mendominasi demografi kawasan ini di mana mereka mempertahankan karakter ekonomi lama dengan berjualan kitab, makanan tradisional dan parfum.
Merekam Masa LaluSetelah mencicipi makanan khas Timur Tengah di kedai Yaman, rute perjalanan dilanjutkan ke
House of Sampoerna yang berada di utara kawasan.
House of Sampoerna tadinya merupakan rumah tinggal pendiri pabrik rokok Sampoerna, Liem Siong Te yang kemudian menyatukannya dengan pabrik rokok. Lokasi rumah yang kini menjadi museum ini berdekatan dengan penjara warisan kolonial, Kalisosok sebelum kemudian pindah ke Jl. Bubutan. Rute sempat melewati Jembatan Petekan yang merupakan jembatan angkat, pada masa lalu untuk memudahkan rute kapal yang melewati Kalimas menuju pedalaman. Sisa dari jembatan angkat termasuk rerodanya masih ada di lokasi. Hal ini membuktikan bahwa Surabaya lampau dibangun dengan jejalur utama Kalimas, dengan moda kapal-kapal yang menyusuri. Oleh karena itu, tidak heran jika
Bovenstad (Kota Atas) yang notabene pengembangan wilayah baru kota bergerak mengikuti rute Kalimas di situs yang sekarang menjadi Balaikota dan wilayah Darmokali.
Selepas
House of Sampoerna, rute diakhiri di PTPN XI, dimana seperti dijelaskan di awal bahwa bangunan ini merupakan bangunan dengan langgam neo-klasik. Fasadnya simetris, dan banyak dihiasi elemen dekoratif mulai dari kolom sampai detail fasad. Volume bangunan ini
sangat besar dan mengingatkan saya pada sosok Lawang Sewu di Semarang yang pernah saya kunjungi dalam rangka ekskursi tahun 2004 lalu. Konsepnya juga sama, berupa lobby pada ruang transisi utama, kemudian ruang terbuka di tengahnya, plus dengan suasana wingit-nya. Bedanya, PTPN XI sangat terawat dan masih digunakan.
PTPN XI menjadi penutup yang sempurna untuk mengakhiri catatan di balik tur
Wisata Surabaya ini. Bahwa untuk melestarikan peninggalan masa lampau, tidak cukup dengan hanya membuat suatu perintah suaka cagar budaya belaka, namun menghormatinya dalam bentuk yang paling pantas, yaitu revitalisasi. Sebuah bangunan akan berfungsi optimal ketika ada interaksi antara objek fisiknya dengan struktur non fisik berupa kegiatan di dalamnya. Demikian juga dengan skala yang lebih besarnya, yaitu kota. Diperlukan suatu interaksi yang positif dalam wujud apresiasi terhadap elemen-elemen kota, termasuk penghargaan terhadap sejarah dan peninggalan masa lampau kota. Acara semacam "Mlaku-Mlaku Surabaya Lawas" yang digagas teman-teman "
Wisata Surabaya" ini sangat efektif untuk membentuk suatu kesadaran "meruang" pada diri warga kota disertai dengan semangat untuk menghargai jejak panjang sebuah kota yang berumur lebih dari separuh milenium macam Surabaya. Jika tidak, kawasan eksotis ini akan dengan mudah tergilas laju buldoser modernisme yang makin meluas.
Visi saya sangat terbuka, meliarkan sebuah
vivid dream untuk merekonstruksi sejarah masa lalu kota sebagai
blueprint pengembangan kota Surabaya. Membayangkan
Amsterdam of the East, dengan jejalur utama dari aliran Kalimas, dan kawasan "
pedestrian-friendly" di wilayah
benedenstad untuk membuka cakrawala ruang waktu ke masa lampau. Tetapi hal seperti itu membutuhkan kesadaran publik yang solid untuk mewujudkannya. Dan melalui rangkaian kegiatan seperti yang digagas "
Wisata Surabaya" inilah kesadaran-kesadaran itu potensial muncul.
Oleh karena itu, saya ingin mengucapkan terima kasih ke siapapun panitia yang telah mewujudkan acara tersebut. Terlebih ke Bu Erni yang telah membuat summary berharga tentang objek-objek ekskursi. Plus ke segenap peserta, istri saya, Gina, pak Rudi (yang menjelaskan detil lukisan Jan Toroop di gedung PT. Aperdi), bu Muriani Tan dan pak William, Fahmi, Santi dan Tita yang telah menjelajah bersama melintasi ruang dan waktu sejarah Surabaya.