Ada bekas Istana
Raja, beberapa tiang dari kayu belian yang tersisa, dikeilingi parit, katanya
untuk menjaga keamanan sehingga disebut “Kota Parit”. Kini sudah menjadi
perkebunaan karet rakyat. Dekat Kompleks Kuburan Raja-rajanya ada beberapa
tiang bekas Istana Ratu, umur sudah ratusan tahun, panjangnya puluhan meter,
ketika aku masih kecil, tahun 50-an, dicabut, dibawa ke Ketapang, dibuat Pintu
Gerbang Kantor Bupati (dulu di pinggir sungai) dan Pintu Gerbang Makam Pahlawan.
Untuk kenang-kenangan kata mereka. Tapi kok diambil?
Yang masih
dipelihara hanyalah kompleks Makam para Raja, Pimpinan Agama, Pangeran, Perdana
Menteri, Ratu dan keturunannya. Salah satu nisanya tertulis
tahun 1244 Hijriyah, yang berarti kerajaan ini sudah ditinggalkan sekitar 200
tahun yang silam. Konon katanya Kerajaan ini pernah mengalami kejayaan sehingga
menguasai seluruh pulau Kalimantan. Bahkan masih ada dan terpelihara dengan
baik Makam salah seorang Keluarga Sultan dari Kerajaan Brunai Darussalam.
Yang belum lama ditemukan adalah lapangan berpasir dan kerikil berwarna kuning tidak ditumbuhi pohon dan rerumputan padahal dikelilingi hutan belantara. Ternyata tempat ber-“KHALWAT”, bertafaqur memuji Allah, Pimpinan Agama, Syekh Maghribi dan Pengeran Jaya Anom.
Ada lagi yang masih tersisa dan mengundang pertanyaan.
Yaitu banyaknya nama Kampung yang ada sampai sekarang. Mulai dari kampung kami,
dekat Istana Raja yang hanya kompleks kuburan, namanya Kampung Padang, meski
pun hanya tinggal beberapa rumah. Selanjutnya, Kampung Cina, dulu masih ada 1
rumah Cina, langsung datang dari sana. Bekalnya, hanya sepotong kayu segi empat
yang sudah mengkilap. “Bantal kayu”, masih tetap dipakai
sebagai “kenang-kenangan”, katanya.
Namanya Meng Wat. Sekarang anak keturunannya sudah pindah ke Ketapang,
Pontianak, Jakarta dsb. Akibatnya hanya tinggal nama.
Ke hilir lagi, namanya Kampung
Pengerahan. Ini pun hanya tinggal beberapa rumah. Selanjutnya Kampung Kauman.
Di sini yang masih banyak penghuninya. Dilanjutkan Kampung Baru, juga masih ada
beberapa rumah. Terakhir, paling ujung di hilir adalah Kampung Maya dengan
Bapak Lurah sendiri, merasa tidak seketurunaan dengan kami di Tanjung Pura.
Logat bicaranya pun, dahulu agak berbeda. Kepala Adat mereka adalah Kiyai, Ahli
Agama, yang kami sebut “Kiyai Maya”. Mungkin dari Suku Maya.
Dari begitu banyak nama Kampung ini,
kemungkinan besar, memang dahulunya Tanjung Pura ini cukup ramai, sesuai
legenda Sejarah, dari mulut ke mulut, sebagai Ibu Kota Kerajaan yang besar.
Sembunyi di dalam sungai jauh di hulu, katanya agar tidak diganggu Lanun atau
Bajak Laut dan para Penjajah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar