Pages

Showing posts with label Petikan. Show all posts
Showing posts with label Petikan. Show all posts

Friday, 21 May 2021

Tentang Khidir itu...

Ditanya kepada Ibrahim bin Harbi tentang nabi Khidir, apakah benar dia masih hidup dan benarkah dia kekal hidup hingga akhir zaman? Lalu katanya: Cerita sebegini adalah rekaan Syaitan yang dilontar ke dalam masyarakat manusia!

Imam Bukhari tatkala ditanya tentang isu Khidir masih hidup ini, beliau menolak pendapat yang mendakwa dia masih hidup dengan katanya: Bagaimana dia boleh dikatakan hidup sedangkan nabi SAW telah bersabda:

لا يبقى على رأس مائة سنة ممن هو اليوم على ظهر الأرض أحد


100 tahun mendatang, tidak akan ada di atas muka bumi orang yang masih hidup sekarang!

Al-Quran sendiri menegaskan:

وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِّن قَبْلِكَ الْخُلْدَ أَفَإِن مِّتَّ فَهُمُ الْخَالِدُونَ} (الأنبياء:34).


"Kami (Allah) tidak pernah jadikan manusia sebelummu (Muhamamd) kekal. Apakah kalau kau mati maka mereka itu akan kekal??"



Imam ibn Taimiyyah berdalilkan doa yang dipanjatkan nabi semasa Perang Badar:

اللهم إن تهلك هذه العصابة لا تعبد في الأرض


"Ya Allah, jika Engkau binasakan kumpulan ini (tentera badar) maka sesungguhnya Engkau tidak akan lagi disembah di bumi"


Jika ada Khidir, maka Allah akan masih terus disembah di bumi sekalipun mati semua pasukan Badar. Jika ada Khidir, dia wajib datang bergabung dengan nabi SAW dalam perang Badar, berperang membela Islam.




Tuesday, 27 April 2021

JAMUAN YANG SUNAT DIAAKAN ADALAH SELEPAS PULANG MUSAFIR, BUKAN SEBELUMNYA.

 Orang selalu buat kenduri panggil orang datang rumah sebelum melakukan musafir. Umpamanya musafir melaksanakan haji. Demikian juga musafir-musafir lain seperti mahu keluar negeri, melancong, berniaga dan sebagainya. Sebenarnya, kenduri itu disunatkan sebelum atau selepas? Dalil amalan nabi dan sahabat ialah selepas pulang musafir. Itulah jamuan makan yang disebut dalam sejarah dengan nama " An-Naqi'ah".


Hasil bacaan:

https://al-muwahhidun.blogspot.com/2017/09/kenduri-sebelum-berangkat-musafir-atau.html

Monday, 24 August 2020

Ibn Qayyim bukanlah orang yang berpandangan neraka itu musnah.

 Ibn Qayyim bukanlah orang yang berpandnagan bahawa neraka itu musnah. Para pembenci Ibn Qayyim  

menuduhnya berpandangan neraka itu fana  (musnah ) berdasarkan apa yang dicatatkannya dalam "hadil Arwah" dan " Syifaul 'Alil". Mereka tidak baca pula apa yang dituliskan oleh Ibn Qayyim dalam " As-Sowa'iqul Mursalah". Lebih jelas lagi, jika dirujuk dalam kitabnya yang lain, Al-Wabilus Sayyib,beliau mencatakan sebagai berikut:

 

  وأما النار فإنها دار الخبث في الأقوال والأعمال والمآكل والمشارب ودار الخبيثين، فالله تعالى يجمع الخبيث بعضه إلى بعض فيركمه كما يركم الشيء المتراكب بعضه على بعض ثم يجعله في جهنم مع أهله فليس فيها إلا خبيث، ولما كان الناس على ثلاث طبقات: طيب لا يشينه خبث، وخبيث لا طيب فيه، وآخرون فيهم خبث وطيب كانت دورهم ثلاثة: دار الطيب المحض ودار الخبيث المحض، وهاتان الداران لا تفنيان، ودار لمن معه خبث وطيب وهي الدار التي تفنى وهي دار العصاة، فإنه لا يبقى في جهنم من عصاة الموحدين أحد، فإنه إذا عذبوا بقدر جزائهم أخرجوا من النار فأدخلوا الجنة ولا يبقى إلا دار الطيب المحض ودار الخبيث المحض

 

Jelas dalam kitab ini Ib Qayyim menyatakan tentang keadian syurga dan neraka. Apa yang disifatkannya fana itu adalah neraka buat orang-orang mukmin yang derhaka.  Tentulah maksud musnahnya itu adalah tamatnya azab buat mereka setelah mereka bebas daripada neraka itu. Sementara neraka buat orang kafir itu kekal abadi. 

Catatan-catatan Ibn Qayyim dalam kitabnya, khasnya dalam "Hadil Arwah" menyebabkan ada yang menuduh bahawa pendangan kemusnahan neraka ini diambil daripada Ibn Tamiyyah. Padahal, Ibn Qayyim  menceritakan pandangan tentang kemusnahan neraka itu daripada gurunya Ibn Taimiyyah. Itu bukanlah bermakna apa yang dipegang Ibn Tamiyyah. Dalam sekian banyak pandangan yang disenaraikan oleh Ibn Taimiyyah, salah satunya pandangan tentang kemusnahan neraka. 

Biarlah jelas bila menelaah kitab para ulama. Jangan cepat melatah kelak beban yang kita tanggung amatlah besar. Menfitnah ulama tidak sama dosanya dengan menfitnah orang awam!

Amatlah keji cara orang yang menkafirkan Ibn Qayyim ini memetik kalam dan memanipulasikannya. Lihat: Sahnoun

 


Monday, 21 October 2019

Memahami kepincangan Liberalisme

Kita perlu memahami betapa rapuhnya idea liberalisme.  Liberalisme adalah upaya menawarkan keasinan air lautan Islam. Hal ini perlu didalami oleh orang-orang berilmu untuk menjawat para leberalis yang menghujat. 

Contoh lieberalis adalah seperti Muhammad Syahrur, asal Syiria. Moga Allah memberinya balasan sesuai dengan kepincangannya yang dia taburkan di aliran sungai Islam.

Rujuk link:

https://ahmadbinhanbal.wordpress.com/category/liberalisme/

Tuesday, 5 October 2010

Nabi Yunus AS

Dipetik daripada Republika Online
Kepergiaan Nabi Yunus AS yang meninggalkan umatnya di negeri Ninawa (Irak) menunjukkan sikapnya yang tidak sabar dan gampang berputus asa.

Dalam Alquran, diceritakan kisah tentang Nabi Yunus Alahissalam (AS), yaitu seorang Nabi yang diutus oleh Allah kepada negeri Ninawa di dekat Mosul, Irak.

Kisah selengkapnya disebutkan dalam beberapa surat Alquran, antara lain surah Annisaa' (4) ayat 163, Al-An'aam (6) ayat 86, Yunus (10) ayat 98, Al-Anbiyaa (21) ayat 87-88, dan Alshaafaat (37) ayat 139-148,

Dalam tafsir Fi Zhilal al-Qur'an karya Sayyid Quthb, disebutkan bahwa negeri tempat diutusnya Nabi Yunus adalah Ninawa, Irak. Sesungguhnya, tidak dijelaskan secara pasti oleh Alquran letak negeri tersebut. Namun, berdasarkan keterangan Alquran surah Alshaafaat ayat 139-148, dapat ditarik kesimpulan bahwa negeri itu berdekatan dengan pantai.

Sementara itu, Sami bin Abdullah Al-Maghluts, dalam kitabnya Athlas Tarikh al-Anbiya; wa al-Rasul, disebutkan bahwa Ninawa adalah ibu kota dari negara Asyiria yang terletak di sebelah selatan Irak. Kota tersebut adalah kota yang paling kaya dan besar di masa itu.

Namun, kelapangan rezeki dan kekayaannya yang luar biasa itu justru menyebabkan penduduknya sesat dan tidak beriman kepada Allah SWT. Mereka melakukan berbagai perbuatan yang dilarang Allah serta senantiasa berbuat kemaksiatan. Di antaranya adalah menyembah berhala yang mereka buat sendiri dan tidak mau beriman kepada Allah. Karena itulah, Allah mengutus Nabi Yunus AS untuk menyadarkan mereka agar beriman kepada Allah SWT serta meninggalkan sesembahan mereka.

Nabi Yunus AS adalah putra dari Matta. Sementara itu, dalam Perjanjian Lama, disebutkan, namanya adalah Yunan adalah putra dari Amatae atau Amitai. Dalam versi lain, disebutkan, Matta bukanlah orang tua Nabi Yunus. Namun, ada yang menisbatkan dengan nama ibunya.

Selama bertahun-tahun, Nabi Yunus AS mengajak umatnya untuk beriman kepada Allah SWT, namun tak ada kaumnya yang mengikuti seruannya. Sebaliknya, kaumnya malah mendustakan Nabi Yunus AS, bahkan berusaha menantang ancaman-ancaman yang disampaikannya.

Karena tak ada kaumnya yang mau beriman kepada Allah, Nabi Yunus merasa putus asa dan akhirnya meninggalkan kaumnya di saat ancaman dan azab sudah mulai tampak di langit.

Tak mau dirinya mendapatkan siksa dan azab Allah akibat perbuatan kaumnya yang tak beriman itu, Yunus pun segera meninggalkan kaumnya dalam keadaan marah. Nabi Yunus tak sabar melihat sikap kaumnya yang tak beriman itu. Karena itu, dia pun segera meninggalkan kaumnya [QS Al-Anbiyaa' (21) ayat 87-88].

Sepeninggal Yunus, penduduk Ninawa sedang menyaksikan tanda-tanda siksa segera turun sebagaimana disampaikan Nabi Yunus AS, yakni langit tampak menghitam, awan mendung, dan hujan lebat tampaknya akan segera turun. Mereka pun kemudian menyatakan beriman kepada Allah dan membenarkan apa yang disampaikan Nabi Yunus.

Namun, keimanan dan kesaksian mereka akan kebenaran yang disampaikan Yunus tak disaksikan Nabi Yunus AS. Sebaliknya, Nabi Yunus yang meninggalkan umatnya justru mendapatkan kesulitan.

Sesaat setelah tiba di tepi pantai (menurut sebagian pendapat, ketika itu Yunus berada di tepi pantai Laut Merah. Namun, sebelum tiba di sini, Nabi Yunus mampir ke Yafa, sebuah kota di daerah Tepi Laut Merah), Nabi Yunus menumpang sebuah kapal.

Dimakan ikan paus
Dalam pelayarannya, tiba-tiba laut bergelombang hebat. Bahkan, angin juga bertiup kencang. Karena khawatir akan keselamatan seluruh penumpangnya, nakhoda kapal menginstruksikan awaknya untuk mengurangi muatan kapal. Namun demikian, upaya itu tak juga membuahkan hasil. Akhirnya, setelah tak mampu menyelamatkan kapal, nakhoda pun melakukan pengundian agar salah seorang penumpang keluar dari kapal.

Saat pengundian dilangsungkan, nama yang muncul adalah Nabi Yunus AS. Ketika sampai tiga kali dilakukan dan nama yang muncul adalah nama Nabi Yunus, akhirnya Nabi Yunus pun harus keluar dari kapal yang ketika itu berada di tengah-tengah lautan. Menyadari semua itu sudah takdir Allah, Nabi Yunus pun merelakan dirinya terapung-apung di laut lepas. Atas kehendak Allah, Nabi Yunus pun dimakan seekor ikan paus. Dalam salah satu riwayat, peristiwa ini terjadi pada abad kesatu sebelum masehi atau sekitar tahun 700 SM.

Dalam perut ikan nun (paus) tersebut, Nabi Yunus menyadari akan kesalahannya karena meninggalkan umatnya. Ia pun senantiasa berdoa dan memohon ampun kepada Allah atas segala kesalahannya. ''Laa ilaha illa Anta, Subhanaka inni kuntu min al-zhalimin (Tidak ada tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau sesungguhnya saya termasuk orang-orang yang zalim),'' demikian doa Yunus dalam perut ikan paus sebagaimana termaktub dalam surah Al-Anbiyaa' ayat 87.

Menurut Dr Afis Abdullah dalam buku Nabi-nabi dalam Alquran, saat berada dalam perut ikan paus tersebut, Nabi Yunus AS terus-menerus berdoa dan memohon ampunan kepada Allah SWT. Menurut riwayat, selain bertasbih dan memohon ampun kepada Allah atas segala kesalahannya, Nabi Yunus AS juga berdoa. Sebagaimana disebutkan Dr Afis Abdullah, selain doa di atas, doa lain yang diucapkannya adalah ''Ya Tuhanku, aku telah mendirikan sebuah masjid untuk-Mu yang belum pernah ada seorang pun yang menyembah di dalamnya.''

Allah SWT mendengar doa Yunus dan mengampuninya. ''Kalau ia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit (kiamat).'' (QS Alshaafaat ayat 143-144).

Nabi Yunus pun akhirnya dapat keluar dari perut ikan paus setelah ia dilemparkan ke daratan. Ketika itu, Yunus dalam keadaan lelah. Maka, untuk memulihkan kondisinya, Allah menumbuhkan sebatang pohon dari jenis labu untuk dimakan (QS Alshaafat ayat 146).

Setelah beberapa saat, akhirnya ia kembali ke Ninawa dan mendapati kaum yang beriman. Ia pun disambut umatnya yang berjumlah mencapai 100 ribu orang. Dan, umatnya mendapatkan kenikmatan yang luar biasa di waktu yang telah ditentukan (QS Alshaafat ayat 148).

Menurut Syauqi Abu Khalil dalam Atlas Alquran, tujuan Nabi Yunus AS saat menumpang kapal itu adalah Tirsyisy (sekarang dikenal dengan nama Tunisia).

Demikianlah cerita Nabi Yunus AS. Karena tak sabar, ia pun diuji oleh Allah atas perbuatannya yang meninggalkan umatnya.

Kapal yang ditumpangi Nabi Yunus AS ketika itu, menurut Sami Abdullah Al-Maghluts, adalah perahu kayu yang dibuat pada abad kesatu sebelum masehi.

Bila dilihat bentuk dan ukurannya, bentuknya sangat mirip dengan kapal-kapal nelayan yang ada saat ini di beberapa daerah, seperti perahu nelayan di Banjarmasin, Makassar, Madura, Semarang, dan lainnya. syahruddin el-fikri


Labu: Penyelamat Yunus dari Kelaparan
Setelah keluar dari perut ikan paus, ia mendapati dirinya dalam keadaan lemah, capek, dan lemas. Seolah-olah ia tak memiliki tenaga lagi untuk bangkit.

Allah pun menumbuhkan sebuah pohon di dekat Yunus dari sejenis labu untuk dimakan demi memulihkan tenaganya (QS Alshaafat ayat 146).

Menurut Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fi Zhilal al-Qur'an (Di Bawah Naungan Alquran) terbitan Gema Insani Press (GIP), pohon labu yang ditemukan di zaman Nabi Yunus itu mempunyai daun lebar dan dapat mengusir lalat. Menurut kisahnya, pohon labu ini tidak disukai lalat dan tak satu ekor pun ingin mendekati pohon tersebut. Inilah rahmat Allah untuk utusan-Nya.

Ketika Yunus sudah kembali sehat, Allah mengembalikannya kepada kaumnya yang telah ditinggalkannya sewaktu marah dahulu. Tidak diketahui secara pasti, berapa lama Yunus meninggalkan umatnya. Ada yang menyatakan hingga 40 hari, ada pula yang menyebutkan hanya seminggu, dan sebagainya. Menurut Perjanjian Lama, Yunus berada dalam perut ikan nun (paus) selama tiga hari tiga malam.

Ketika sehat dan tenaganya sudah pulih, ia lalu kembali kepada kaumnya. Di sana, telah menunggu kaumnya yang jumlahnya mencapai 100 ribu orang. Ia pun kemudian menyeru umatnya untuk beriman kepada Allah dan menyampaikan risalah kenabiannya. Maka, jadilah mereka orang-orang yang mendapat petunjuk.


Pelajaran Bagi Seluruh Umat Manusia


Bagi orang-orang yang berakal dan beriman kepada Allah SWT, dalam kisah Nabi Yunus AS tersebut terdapat pelajaran dan hikmah yang besar. Mereka senantiasa diselamatkan oleh Allah SWT dari bencana dan musibah apabila mereka bersabar dan senantiasa memohon ampun dan petunjuk kepada Allah.

Perbanyak mengingat Allah
Allah memberitahukan umat manusia bahwa Yunus itu termasuk orang-orang yang senantiasa bertasbih dan memohon ampun kepada Allah. ''Maka, kalau sekiranya dia (Yunus) tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit.'' (QS Alshaafat ayat 143-144).

Menurut Dr Afis Abdullah, yang dimaksud dengan orang-orang yang banyak mengingat Allah dalam ayat tersebut adalah orang-orang yang banyak shalat. Sedangkan, Yunus adalah orang yang memperbanyak shalat di waktu senang maka Allah menyelamatkannya di waktu kesempitan (kesusahan).

Ibnu Abbas RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya, aku mengajarkan beberapa kalimat kepadamu. Peliharalah Allah niscaya engkau mendapatkan-Nya di hadapanmu. Kenalilah Allah di waktu senang, niscaya Dia mengenalmu di waktu kesempitan.''

Kembali kepada Allah
Selain itu, pelajaran lainnya yang bisa dipetik dalam kisah Yunus ini hendaknya kembali kepada Allah dan memohon ampun atas segala kesalahannya sehingga Allah melapangkan kesempitan menjadi keluasan.

Nabi Yunus telah melakukannya dengan meratapi segala kesalahannya dan memohon ampun dari perbuatannya itu. Gambaran ungkapan Nabi Yunus yang mendahulukan kalimat tauhid dilanjutkan dengan tasbih untuk menunjukkan kesempurnaan Allah dan kesuciannya dari segala kekurangan dan kelemahan. Penggambaran ini juga menunjukkan pengakuan seorang hamba atas dosa yang diperbuatnya.

Saad bin Abi Waqqas telah meriwayatkan sabda Nabi SAW. ''Seruan Yunus dalam perut ikan paus dengan ucapan Laa ilaha Illa Anta, Subhanaka Inni kuntu min al-zhalimin, tidak ada tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau dan sesungguhnya saya termasuk orang-orang yang zalim. Doa yang tidak ada seorang hamba Muslim pun mengucapkan, sedangkan ia berada dalam bencana, kecuali Allah pasti akan memperkenannya.''

Sabar dalam berdakwah
Dalam kisah Yunus ini, terdapat pelajaran bagi para juru dakwah (dai). Mereka hendaknya sabar dengan segala ujian dan cobaan. Sebab, di balik kesulitan, pasti ada kemudahan (QS Al-Insyirah ayat 1-9).

Ketika Nabi Yunus AS meninggalkan kaumnya dalam keadaan marah, ia menunjukkan bahwa dirinya tak mampu bersabar atas sikap umatnya yang suka membangkang. Namun, bila Allah berkehendak, niscaya segalanya mudah bagi Allah.

Karena itu, ketika Yunus keluar dari satu kesempitan (meninggalkan kaumnya), ia justru mendapatkan kesempitan lainnya, di antaranya harus rela menyeburkan diri ke laut dan dimakan oleh ikan paus.

Ketidaksabaran Nabi Yunus dalam berdakwah ini disampaikan pula oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW sebagaimana termaktub dalam surah Alqalaam ayat 48-50.

''Maka, bersabarlah kamu (hai Muhammad) terhadap ketetapan Tuhanmu dan janganlah kamu seperti orang yang berada dalam (perut) ikan ketika ia berdosa dan sedang dalam keadaan marah (kepada kaumnya). Kalau sekiranya ia tidak segera mendapat nikmat dari Tuhannya, benar-benar ia dicampakkan ke tanah tandus dalam keadaan tercela. Lalu, Tuhannya memilihnya dan menjadikannya termasuk orang-orang yang saleh.''

Sunday, 8 August 2010

Tiga Jalan Menuju Kesesatan

Ulama terkemuka dari India (Pakistan), Abul ‘Ala Maududi menjelaskan, dari mana sebenarnya kekufuran dan kesesatan (bid’ah) itu timbul? Al-Qur’anul Karim menegaskan, bahwa kejahatan-kejahatan itu muncul melalui tiga sumber :

Pertama, mengikuti kemauan sendiri.

Al-Qur’an menyatakan, “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapatkan petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”. (Qur’an : 28 : 50).

Ayat diatas mengartikan bahwa faktor terbesar penyebab kesesatan manusia adalah dorongan-dorongan hawa-nafsunya sendiri. Dan sama sekali tidak mungkin seseorang untuk menjadi hamba Allah, sementara ia masih menuruti dorongan-dorongan hawa nafsunya. Ia akan terus menerus memikirkan pekerjaan apa yang mendatangkan uang baginya, usaha apa yang akan membawa kemasyhuran dan penghormatan orang kepadanya, kemanapun ia harus mengejar kesenangan dan kepuasan, dan apa saja yang bisa memberikan kemudahan dan kenikmatan hidup baginya. Pendeknya, manusia akan dengan segala macam cara untuk mencapai tujuan itu. 

Ia tidak akan pernah mengerjakan suatu apapun yang dianggapnya tidak akan membawa tercapainya tujuan-tujuan itu berupa kenikmatan dunia. Meskpun, Allah memerintahkannya lebih memilih jalan menuju kemuliaan di akhirat. Tetapi itu tidak pernah didengarnya lagi. Jadi Tuhan bagi orang seperti itu adalah dirinya (nafs), bukannya Allah Yang Agung. Jadi, bagimana ia akan mendapat manfaat dari petunjuk Allah?

Al-Qur’an menegaskan, “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat jalan (dari binatang ternak itu)”. (Qur’an : al-Furqan : 43-44)

Menurut Al-Maududi, bahwa menjadi budak hawa nafsu lebih jelek dibanding menjadi binatang. Ini adalah tidak diragukan lagi. “Anda tidak akan pernah melihat seekor binatang pun yang mau melanggar batas-batas yang telah ditentukan Allah baginya”, ucap al-Maududi. Binatang hanya melaksanakan fungsi yang telah ditentukan Allah baginya. Tetapi, manusia adalah binatang yang apabila sudah menjadi budak hawa nafsunya sendiri, dan bahkan akan melakukan perbuatan yang membuat syetan sendiri gemetar.

Kedua, mengikuti nenek-moyang tanpa berpikir.

Jalan kedua adalah mengikuti adat kebiasaan, kepercayaan-kepercayaan dan pikiran-pikiran, ritus-ritus dan upacara-upacara yagn biasa dilakukan nenek-moyang, atau seorang ulama mereka. Mereka menganggap lebih penting daripada perintah Allah. Apabila perintah Allah dibacakan, maka orang-orang yang suka mengekor kepada nenek moyang (termasuk ulama mereka), maka mereka akan bersikeras bahwa mereka hanya akan mengikuti apa yang dilakukan nenek moyang mereka yang telah menjadi kebiasaan (habid). Bagaimana mungkin orang yang seperti ini akan menjadi hamba Allah? 

Tuhan-Tuhan mereka adalah nenek-moyang mereka. Hak apa yang dimilikinya untuk mendakwakan bahwa dirinya adalah seorang muslim?

Al-Qur’an berfirman, “Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang diturunkan oleh Allah’, mereka menjawab: (Tidak), tetap kami hanya mengikuti apa yagn telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami’. (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui sesuatupun, dan tidak mendapat petunjuk?”. (Qur’an : 2: 170)

“Apabila dikatakan kepada mereka : “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul’. Mereka menjawab: “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya’. Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek-moyang mereka walaupun nenek-moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk? Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu , tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu, apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepda Allah kamu kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (Qur’an : 5: 104-105)

Jahatnya kesesatan itu adalah sedemikian rupa, sehingga semua orang bodoh di setiap zaman terkena cengkeramannya. Kesesatan selamanya mencegah mereka mendapatkan bimbingannya dari utusan-utusan Allah. Seperti halnya, Ibrahim alaihi salam, membujuk kaumnya untuk meninggalkan kepercayaan syirik, “Mereka menjawab : “Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya (patung-patung)”. (Qur’an : 21 : 25).

Manusia harus memilih salah satu satu. Tidak mungkin berdampingan antara berhala-hala itu dengan Allah. Antara kesesatan yang menyembah berhala, dan mereka yang berorientasi kepada al-haq Allah Rabbul alamin.

Ketiga, kepatuhan kepada selain Allah.

Jalan yang ketiga, seperti dinyatakan oleh al-Qur’an, adalah apabila manusia mengesampingkan perintah-perintah Allah, lalu mentaati perintah-perintah manusia dengan bermacam-macam alasan, seperti misalnya, “Karena bapak fulan adalah seorang besar, maka kata-katanya mestilah selalu baik dan harus kita ikuti’, atau ‘Karena rezeki saya bergantung pada  orang itu, maka saya harus patuh kepadanya’, atau ‘karena orang mampu menghancurkan hidup saya dengan kutukannya, dan mampu menjamin saya masuk surga, maka apa yang dikatakannya pasti benar’ atau ‘bangsa anu bangsa besar adalah bangsa yang maju, kita harus meminta pertolongan dan perlindungan kepadanya, dan meniru cara hidupnya”. Dengan alasan-alasan seperti itu, maka tertutup lah pintu petunjuk Allah.

Al-Qur’an berfirman : “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah .. “ (Qur’an : 6 : 116)

Ayat ini mempunyai arti bahwa manusia hanya bisa tetap berada di jalan yang benar, bila ia mempercayakan diri seratus persen, secara totalitas hanya kepada Allah Ta’ala. Bagaimana bisa menemukan jalan kemuliaan kalau   manusia mempercayakan diri kepada salain Allah. Hidupnya tidak akan pernah mendapatkan kebahagiaan. 

Demikian pendapat dan pandangan Abul ‘Ala Maududi, seorang ulama besar yang lahir di anak benua India, yang sekarang sebagian menjadi Pakistan.


Sumber: Eramuslim

Thursday, 10 September 2009

TARBIAH GENERASI

1) Memilih isteri atau suami yang baik
2) Sentiasa berdoa agar dikurniakan anak yang soleh sebelum dikurniakan anak.
3) Mengamalkan doa sewaktu jimak.
4) Melakukan perkara-perkara sunnah ke atas anak yang baru lahir iaitu: Azan di telinganya, tahnik,cukur kepala,pilih nama yang baik, aqiqah dan khitan.
5) Sentiasa berdoa untuk anak yang sudah lahir agar menjadi soleh.
6) Jangan takut-takutkan anak dengan hantu, kegelapan dan pantang larang terutama sewaktu dia menangis.
7) Biarkan dia bergaul jika merasa aman dengan pergaulan itu.
8) Jangan menghina dan merendah-rendahkannya terutama di depan kawan-kawan dan kaum kerabat.
9) Jangan memanggilnya dengan gelaran yang buruk seperti "Hai bahlul".
10)Memperingatkannya atas kesalahannya dengan lemah lembut dan tidak menghukumnya bagi kesalahan kali pertama.
11) Bersederhana dalam menunjukkan kasih sayang kerana kasih sayang berlebihan akan merosakkannya.
12) Melakukan langkah-langhkah kawalan ketika dapat anak baru agar anak lama tidak terasa diabaikan.

Lanjutkan bacaan atas langkah-langkah seterusnya sehingga langkah ke 60 di Saidul Fawaid