Tampilkan postingan dengan label Manhaj. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Manhaj. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 14 September 2013

Kedustaan Syi'ah Atas Kota Suci Makkah Dan Madinah

Adalah Makkah dan Madinah, dua tempat suci yang selalu memesona pandangan kaum muslimin.
Kedudukan dua tanah suci ini menjadi tambatan hati mereka yang beriman kepada Allah Ta'ala dan meneladani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Magnet dua tanah haram ini mengalahkan kota-kota lain di dunia. Terbukti, umat Islam selalu berbondong-bondong mengunjunginya, baik melalui ibadah haji maupun umrah.

Selain itu, dua kota ini juga menjadi benteng keimanan terakhir. Yaitu saat tempat-tempat lain dilanda
kegoncangan iman. Disebutkan dalam hadits shahîh, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الْإِيمَانَ لَيَأْرِزُ إِلَى الْمَدِينَةِ كَمَا تَأْرِزُ الْحَيَّةُ إِلَى جُحْرِهَا

"Sesungguhnya iman akan kembali ke Madinah seperti seekor ular yang kembali ke lubang sarangnya" [HR al-Bukhâri dan Muslim]

Dua kota suci ini aman dari terjangan fitnah Dajjâl, saat semua kota di dunia terjamah oleh fitnahnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala menempatkan malaikat-malaikat untuk menjaga dua kota suci tersebut. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda mengisahkan perkataan Dajjal.

فَلَا أَدَعُ قَرْيَةً إِلاَّ هَبََطْتَهَا فِيْ أَرْبَعييْنَ لَيْلَةً غَيْرَ مَكَّةَ وَ طَيِّبَةٍ

"(Dajjal mengatakan) : Tidaklah aku membiarkan suatu daerah kecuali pasti aku singgahi dalam masa empat puluh malam, selain Mekkah dan Thaibah (Madinah)" [HR. Muslim]

Penjelasan Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ini menjadi panutan kaum muslimin. Akan tetapi kaum Syi'ah memiliki keyakinan yang berbeda.

Menurut mereka, tempat suci yang mulia ialah kota Qum. Katanya, kedudukan kota ini lebih tinggi dari pada Ka'bah, Makkah dan Madinah. Terhadap hadits-hadits shahîh yang menegaskan keutamaan Makkah dan Madinah, mereka bersikap sebagaimana kaum Yahudi dan Nashara melakukan tahrîf (pembelokan) dan mengotak-atiknya, supaya makna yang dikandung hadits tersebut seolah mendukung hawa nafsu mereka.

Ulama hadits dari kalangan Syi'ah membelokkan hadits-hadits ini ke "kota suci" mereka, yaitu kota Qum di negeri Iran. Anggapan mereka, kota Qum itulah wilayah yang akan selamat dari fitnah Dajjâl, dan dari hantaman malapetaka maupun musibah. Begitu pula dengan penduduknya. Jadi menurut mereka bukan Makkah atau Madinah.

Dalam Bihârul-Anwâr (57/213), seorang tokoh Syi'ah yang bernama al-Majlisi berkata: "Sungguh, malapetaka terjauhkan dari kota Qum dan para penduduknya. Akan datang suatu masa, saat kota Qum dan para penduduknya akan menjadi hujjah di hadapan seluruh makhluk. Peristiwa itu terjadi saat imam kita 'alaihis-salâm masih dalam masa pertapaan sampai pada saat kemunculannnya. Kalau tidak demikian, niscaya bumi akan menenggelamkan penghuninya. Sungguh malaikat-malaikat menghalangi musibah-musibah atas kota Qum dan penduduknya. Tidaklah seseorang yang bertangan besi berniat buruk kepadanya kecuali akan dilumpuhkan oleh Dzat yang mengalahkan para perusak itu dan akan menyibukkannya dengan musibah, malapetaka maupun musuh. Dan Allah akan membuat orang-orang tersebut melupakan kota Qum dan penduduknya, sebagaimana mereka telah melupakan Allah".

Selanjutnya al-Majlisi mengatakan, telah diriwayatkan melalui beberapa sanad dari ash-Shâdiq alaihis-salâm, bahwa beliau bercerita tentang kota Kufah dengan penuturannya: "Kota Kufah akan kosong dari kaum mukminin. Ilmu akan menjauh darinya, seperti seekor ular menjauhi sarangnya. Setelah itu, ilmu akan terlihat di suatu daerah yang bernama Qum. Akhirnya, ia menjadi sumber ilmu dan keutamaan. Sampai orang yang teraniaya tidak memiliki lagi hujjah dalam agama. Seandainya tidak demikian, niscaya bumi akan menenggelamkan penghuninya dan tidak ada hujjah apapun yang tersisa. Dari sana (Qum) ilmu menyebar luas menuju seluruh negeri di Timur dan Barat. Maka, hujjah Allah akan sempurna di hadapan para makhluk, sehingga tidak ada seorang pun yang tidak tersentuh ilmu dan agama di dunia ini. Kemudian, muncullah sang imam 'alaihis-salâm untuk mendatangkan kemarahan dan kemurkaan Allah kepada para hamba-Nya. Sesungguhnya Allah tidak membalas dendam kepada para hamba selain karena mereka telah mengingkari hujjah".

Di bagian lain, halaman 214, ia membual: "Dari Ahmad bin Muhammad bin 'Isâ dari al Hasan bin Mahbûb dari Abu Jamîlah al Mufadhdhal bin Shâlih dari seorang lelaki dari Abu 'Abdillah 'alaihis-salâm, ia berkata: "Jika malapetaka telah menimpa di seluruh negeri, maka bergegaslah ke kota Qum dan tempat di sekitarnya dan penjuru-penjurunya. Sesungguhnya malapetaka tertolak di dalamnya".

Tentang kota Qum, Muhammad Bâqir al-Majlisi mengatakan dalam Bihârul-Anwâr (2/207): Dari ash-Shâdiq Ja'far bin Muhammad 'alaihis-salâm, ia berkata: Ayahku telah menceritakan kepadaku dari kakekku dari ayahnya, ia berkata: Rasulullah bersabda:

Dalam perjalanan Isra` menuju langit, Jibrîl memanggulku di atas bahu kanannya. Aku menyaksikan daerah berwarna merah di dataran yang tinggi. Lebih indah warnanya dibandingkan za'farân, lebih harum ketimbang aroma misk. Tiba-tiba muncul seorang yang sudah tua-renta mengenakan burnus.
Maka aku bertanya kepada Jibrîl: "Tempat apakah yang berwarna merah ini yang lebih indah dari za'farân dan lebih wangi dari minyak misik".
Jibriil menjawab,"Itu adalah tempat para pembelamu dan pembela 'Ali?"
Kemudian aku bertanya: "Siapakah orang tua yang mengenakan burnus?"
Jibriil menjawab,"Ia adalah Iblis."
Aku bertanya,"Apa yang ia inginkan dari mereka (penduduknya)?"
Jibriil menjawab, "Ia ingin memalingkan mereka dari penetapan kepemimpinan Amirul- Mukminîn ('Ali bin Abi Thâlib) dan mengajaknya untuk berbuat fasik dan kejahatan,"
Aku berkata,"Wahai Jibrîl, tolong turunkan aku kepada mereka," maka Jibrîl membawaku kepada mereka melebihi kecepatan kilat yang menyambar dan pandangan yang berkedip.
Kemudian aku berkata: "Qum (berdirilah) wahai makhluk terlaknat (Iblis). Ganggulah musuh-musuh mereka (Ahli Sunnah) pada harta-harta, anak-anak dan istri-istri mereka. Sesungguhnya para pembelaku dan pembela 'Ali, tidak ada kekuatan atas dirimu untuk menguasai mereka".

Sejak itulah ia dinamakan kota Qum.

Di tempat lain (57/207), al-Majlisi berkata: Ali bin Muhammad al-'Askari dari ayahnya dari kakeknya Amirul-Mukminin 'alaihimus-salâm, ia berkata: Rasulullah berkata: Pada perjalanan Isra`ku ke langit tingkat empat, aku melihat sebuah kubah yang terbuat dari permata, memiliki empat tiang dan empat pintu. Nampak seolah-olah sutera hijau.

Aku bertanya,"Wahai Jibrîl, kubah apakah seindah itu yang tidak aku saksikan di langit empat?"

Jibrîl berkata,"Wahai kekasihku Muhammad. Itu adalah gambar kota yang bernama Qum. Disana akan berkumpul para hamba Allah yang beriman, menunggu engkau dan syafaatmu pada hari Kiamat dan hari Hisab …".
Riwayat dusta lain yang menceritakan keutamaan kota Qum dan penduduknya, konon riwayat itu disampaikan al-Hasan bin 'Ali bin al-Husain dari Abu 'Abdillah ash-Shâdiq 'alaihimus-salâm, bahwa ada seorang lelaki menemuinya sembari bertanya: "Wahai keturunan Rasulullah, aku ingin bertanya suatu masalah yang belum pernah ditanyakan orang lain sebelumku dan tidak akan ditanyakan orang setelahku?"

Ia bertanya,"Apakah tentang hari penghimpunan makhluk dan kebangkitan mereka?"

Lelaki itu menjawab,"Iya benar, demi Dzat yang mengutus Muhammad dengan kebenaran sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan. Aku tidak ingin menanyakan kecuali tentang itu".

Ia menjelaskan: "Seluruh umat manusia akan dihimpun di Baitul-Maqdis, kecuali (penduduk) daerah yang disebut Qum. Mereka menjalani hisab di kubur-kubur mereka, dan (setelah itu) dihimpun menuju surga," kemudian ia menambahkan: "Penduduk kota Qum, mereka telah diampuni".

Lelaki itu pun melompat sembari berkata: "Wahai putra Rasulullah, apakah itu khusus bagi penduduk kota tersebut?".

Ia menjawab,"Iya, benar, bagi mereka dan orang-orang yang berkeyakinan seperti mereka."

Kitab-kitab Syi'ah dan buku-buku rujukan utama mereka sarat dengan muatan-muatan ini. Mereka beranggapan bahwa negeri-negeri kaum muslimin dan bangsa Arab merupakan negeri yang buruk, dan tidak ada kebaikan sedikit pun di dalamnya. Kebaikan hanya menaungi wilayah-wilayah yang mereka tempati, terutama kota Qum.

Pernyataan mereka dapat ditelusur dalam buku-buku utama yang menjadi rujukan Syi'ah, bukan tuduhan yang tanpa alasan. Ini perlu diketahui oleh kaum muslimin agar tetap menyadari betapa besar kebencian dan kedengkian kaum Syi'ah kepada kaum Muslimin, pengikut Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Padahal jika dinalar secara sederhana saja, riwayat yang dibawakan oleh orang-orang Syi'ah itu sangat bertentangan dengan logika dan kenyataan yang ada. Sebagaimana terlihat semenjak zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, negeri Persia tempat kota Qum terpetakan merupakan basis kaum Majusi. Sebuah bangsa yang tidak beriman kepada Allah. Sesembahan mereka ialah api, yang sangat jelas tidak sebanding dengan keutamaan manusia. Sama sekali tidak ada unsur tauhid. Disebutkan dalam hadits, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan bahwa Persia akan takluk di bawah kaki kaum muslimin.

Oleh karena itu, bagaimana mungkin Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan keturunannya menyanjung kota Qum yang memiliki karakter seperti itu? Hal ini, tentu berbeda dengan jazirah Arab dan Syam yang memang menjadi tempat para nabi dan rasul Allah.
Wallahul-Hâdi.

_________________________________
(Diadaptasi dari tulisan Syaikh Jamâl Sa'ad Hâtim, berjudul Mâ Dzâ Qâla asy-Syâ'ah 'an Ahli Haramain wasy-Syâm, dalam Majallah at-Tauhîd, 424 hlm. 36, Rabi'ul-Awwal 1428 H)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XI/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
Ustadz Abu Minhâl
Artikel www.almanhaj.or.id

Jumat, 12 April 2013

Akidah Salafi, Akhlak Tablighi, Ukhuwah Ikhwani, Ibadah Sufi

ANTARA AJARAN SALAF DAN SALAFIYYUN


Statemen 'Akidah Salafi, Akhlak Tablighi, Ukhuwah Ikhwani, Ibadah Sufi' sering dilontarkan sebagian kalangan sebagai sebuah impian untuk mewujudkan karakteristik Muslim ideal, menurut mereka tentunya. Tampaknya, salah satu pemicu munculnya ide ini adalah fenomena praktek banyak pengikut beragam kelompok Islam yang cenderung mengkonsentrasikan diri dalam pengamalan sebagian sisi ajaran agama, dan kurang mengindahkan sisi lainnya. Sehingga timbullah ide penggabungan 'kelebihan' masing-masing kelompok, guna menciptakan potret sosok 'Muslim ideal'.

Yang jadi pertanyaan, perlukah melakukan kombinasi seperti di atas? Tidak cukupkah manhaj Salaf membentuk seorang Muslim sejati ? Bukankah manhaj Salaf (ajaran Ahlus Sunnah) adalah ajaran Islam itu sendiri, sebagaimana dijelaskan Imam al-Barbahâri rahimahullah (w. 329 H)?[1] Sehingga jika seorang telah bermanhaj Salaf secara totalitas; maka otomatis ia akan menjadi Muslim ideal!


Tentunya jawaban para pembaca akan amat beragam; tergantung ideologi yang dianut masing-masing. Mungkin akan ada yang menjawab, "Ya, kita memerlukan inovasi tersebut! Untuk menciptakan sosok Muslim ideal, tidak cukup hanya dengan bermanhaj Salaf! Sebab mereka yang menisbatkan dirinya kepada manhaj Salaf tidak mencerminkan gambaran Muslim ideal!".

Argumentasi yang disampaikan tersebut mungkin bisa dibenarkan, karena yang dijadikan obyek sorotan adalah individu yang menisbatkan diri pada manhaj Salaf, yang belum tentu mencerminkan hakikat manhaj tersebut. Namun jika yang dijadikan obyek sorotan adalah ajaran manhaj Salaf; tentu argumen tersebut keliru. Sebab di antara sekian banyak ideologi yang ada di lapangan, manhaj Salaflah yang haq; karena satu-satunya yang mereprentasikan ajaran Islam yang benar. Saat ini bukan momennya untuk membuktikan hal tersebut, para pembaca budiman yang merasa penasaran bisa merujuk buku-buku yang ditulis khusus membahas permasalahan itu.[2]

Bila ada yang mengkritik dengan berkata, "Kalau memang manhaj Salaf adalah Islam itu sendiri, mengapa banyak di antara mereka yang menisbatkan diri kepada manhaj tersebut tidak bisa dijadikan contoh potret muslim ideal?".
Maka dapat dijawab dengan pernyataan, "Ya, sebab tidak setiap orang yang menisbatkan diri kepada manhaj Salaf, alias yang menamakan diri dengan Salafi, berarti otomatis telah menerapkan manhaj tersebut secara total. Sebagaimana tidak setiap orang yang menisbatkan diri kepada agama Islam, alias mengaku sebagai seorang Muslim; otomatis sudah mempraktekkan seluruh ajaran Islam. Jadi, yang bermasalah di sini adalah personalnya (orangnya), bukan ajarannya.

Adapun kelompok-kelompok lain, dari sisi ajarannya sudah bermasalah, maka tidak heran jika penganutnya pun juga banyak bermasalah. Sehingga untuk memperbaikinya, minimal harus ada dua fase yang ditempuh; 1. Meluruskan ajaran kelompok tersebut. 2. Membenarkan kekeliruan perilaku pengikut kelompok itu. Sedangkan kekeliruan yang ada pada 'oknum' Salafi, maka jalan pelurusannya hanya membutuhkan satu fase saja, yaitu memperbaiki perilaku 'oknum' tersebut, tanpa perlu meluruskan ajarannya, sebab ajarannya telah benar".

Sebagian kalangan mungkin tetap menyanggah, "Namun, bukankah tidak seluruh ajaran kelompok-kelompok non Salafi dianggap salah? Masing-masing juga memiliki kebenaran, meskipun itu hanya bersifat parsial. Apa salahnya kelebihan-kelebihan tersebut diambil? Bukankah dalam hadits telah disebutkan:

الْكَلِمَةُ الْحِكْمَةُ ضَالَّةُ الْمُؤْمِنِ فَحَيْثُ وَجَدَهَا فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا

Kalimat hikmah adalah barang temuan seorang Mukmin. Di manapun ditemukan, dialah yang paling berhak untuk mengambilnya.[3]

Maka argumentasi itu dapat dijawab dengan, "Kita bukan sedang mengatakan bahwa seluruh ajaran kelompok-kelompok tersebut salah, dan mereka sama sekali tidak memiliki kebaikan. Namun, apakah kebaikan yang mereka miliki tidak ada dalam ajaran Ahlus Sunnah yang mereprentasikan ajaran Islam itu sendiri?

Menarik sekali untuk kita cermati apa yang dipaparkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) tatkala menjelaskan bahwa Ahlus sunnah memiliki kelebihan-kelebihan yang dimiliki kelompok lain, bahkan tingkatannya lebih sempurna. Dan bukan hanya itu, Ahlus sunnah juga memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki berbagai kelompok tersebut”.[4]

Dalam makalah singkat ini, insya Allâh akan dipaparkan penjelasan tentang kesempurnaan manhaj Salaf yang meliputi seluruh aspek kehidupan, termasuk di dalamnya hal yang berkaitan dengan akhlak, ukhuwah dan ibadah yang muatannya jauh lebih sempurna dibandingkan konsep yang dimiliki kelompok-kelompok lain.

MANHAJ SALAF DAN AKHLAK
Akhlak menempati kedudukan yang amat urgens di mata Ulama Salaf. Banyak hal yang menunjukkan hal tersebut. Di sini, hanya akan diulas melalui dua sudut tinjauan; teoritis dan praktek.

Dilihat dari tinjauan teoritis, sudah masyhur bahwa para Ulama Salaf telah membukukan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berisi akhlak dan adab. Sebagian menyelipkannya dalam kitab yang mereka tulis dalam pembahasan hukum-hukum Islam, ada yang menulis buku khusus yang memuat hadits-hadits dan pembahasan tentang akhlak, bahkan ada pula yang memasukkan pembahasan akhlak dalam kitab akidah.

Sekedar contoh jenis pertama, Imam al-Bukhâri (w. 256 H) dalam kitabnya Shahîh al-Bukhâri memuat lebih dari 250 hadits tentang akhlak. Imam Abu Dâwud (w. 275 H) menulis sekitar 500-an hadits akhlak dalam kitab Sunannya. Begitu pula Imam Ibnu Hibbân (w. 354 H) membawakan lebih dari 670 hadits dalam kitab Shahîhnya.

Contoh jenis kedua, kitab al-Adab al-Mufrad karya Imam al-Bukhâri (w. 256 H), Makârimul Akhlâq karya Imam Ibnu Abid Dun-ya (w. 281 H), Akhlâqul -'Ulamâ' karya Imam al-Âjurri (w. 360 H), al-Âdâb asy-Syar'iyyah karya Imam Ibn Muflih (w. 803 H) dan masih banyak contoh lainnya.

Contoh jenis ketiga, pembahasan akhlak yang dimasukkan oleh Imam ash-Shâbûni (w. 449 H) dalam kitabnya 'Aqîdatus Salaf Ash-hâb al-Hadîts, Imam Ibn Taimiyyah (w. 728 H) dalam kitabnya al-'Aqîdah al-Wâsithiyyah, juga yang lainnya. Ini menunjukkan betapa tinggi urgensi akhlak di mata ulama Salaf dan adanya keterkaitan erat antara akidah dengan akhlak. Untuk itu, mereka memasukkan pembahasan akhlak dalam kitab-kitab akidah.

Adapun ditinjau dari sisi praktek nyata dalam kehidupan ulama Salaf, maka ini merupakan lautan tak bertepi. Bagi yang ingin mengetahui sebagian dari potret indah tersebut, bisa menelaah kitab-kitab yang ditulis untuk memaparkan biografi para ulama, semisal Hilyatul Auliyâ' karya Imam Abu Nu'aim al-Ashbahâni (w. 430 H), Shifatus Shafwah karya al-'Allamah Ibnul Jauzi (w. 597 H), Siyar A'lâmin Nubalâ' karya Imam adz-Dzahabi (w. 748 H) dan lain-lain. Niscaya kita akan menjumpai keajaiban dan kemuliaan akhlak mereka di dalamnya!

Kelebihan manhaj Salaf dalam masalah akhlak amatlah banyak. Di antaranya, perhatian mereka terhadap akhlak mulia tidak mengakibatkan terkesampingkannya dakwah terhadap inti agama yakni akidah. Bahkan mereka tetap memprioritaskan dakwah tauhid, namun sambil dikemas dan disampaikan dengan akhlak mulia. Dalam hal ini dan yang lainnya, mereka meneladani Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Selama belasan tahun, beliau berkonsentrasi mendakwahkan akidah, sambil menghiasinya dengan akhlak mulia.

Dengan mencermati kelebihan manhaj Ahlus Sunnah dalam masalah akhlak ini, kita bisa membaca kelemahan manhaj akhlak yang diusung teman-teman Jama'ah Tabligh. Perhatian ekstra mereka terhadap pembentukan akhlak mulia, seringkali mengakibatkan terkesampingkannya pembenahan akidah dalam sorotan dakwah mereka. Bahkan terkadang mereka cenderung menghindarkan diri untuk membahas permasalahan akidah dengan alasan khawatir masyarakat menjauh. Tentunya ini merupakan kekeliruan yang tidak bisa dianggap remeh.

Padahal, jika penyampaian akidah dikemas dengan akhlak mulia; tentu akan lebih mudah diterima umat. Andaikan metode ini telah ditempuh lalu dakwah tidak diterima juga dan sang da'i dijauhi sebagian masyarakatnya; maka itu sudah merupakan salah satu resiko para penyeru kebenaran. Lihatlah bagaimana sosok yang paling sempurna akhlaknya; Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap menghadapi tantangan berat dalam berdakwah.

MANHAJ SALAF DAN UKHUWAH
Ukhuwah Islamiyah merupakan salah satu poin pembahasan yang mendapatkan perhatian ekstra dalam Manhaj Salaf. Banyak sisi yang menunjukkan hal tersebut. Di antaranya pemaparan urgensi ukhuwah saat para ulama Salaf menafsirkan ayat-ayat al-Qur'ân yang berisikin motivasi untuk merajut dan menjaga tali ukhuwah sesama kaum Muslimin. Juga saat mereka mengupas dan menjabarkan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berisikan permasalahan serupa. Para pembaca bisa temukan hal itu dalam beragam kitab tafsir semisal Tafsîr ath-Thabari, Tafsîr al-Baghawi, Tafsîr Ibn Katsîr dan yang lainnya. Juga berbagai kitab syurûh al-ahâdîts (kitab penjabar hadits) seperti Syarh as-Sunnah karya Imam al-Baghawi (w. 516 H), Syarh Shahîh Muslim karya Imam an-Nawawi (w. 676 H), Fathul Bâri Syarh Shahîhil Bukhâri karya al-Hâfizh Ibnu Hajar al-'Asqalani (w. 857 H) dan lain-lain.

Sisi lain yang mengungkapkan perhatian manhaj Salaf terhadap peretasan ukhuwah di antara kaum Muslimin, pemaparan para ulama Salaf dalam kitab akidah yang mereka tulis tentang faktor-faktor yang dapat mengeratkan ukhuwah, juga peringatan mereka dari berbagai sebab pemicu kerenggangan ukhuwah.

Contoh jenis pertama, motivasi untuk menyolati dan mendoakan kaum Muslimin yang meninggal dunia, walaupun mereka adalah pelaku dosa kecil maupun besar, selama itu bukan kekufuran. Sebagaimana disebutkan Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah (w. 219 H) dalam kitabnya, Ushûl as-Sunnah. Pengamalan adab di atas dan yang lainnya tentu akan berdampak besar bagi terajutnya ukhuwah di antara kaum Muslimin.

Contoh jenis kedua, peringatan dari praktek adu domba, dusta, menggunjing dan perbuatan zhalim lainnya yang bisa merenggangkan (bahkan memutus) ukhuwah antar kaum Muslimin, sebagaimana dipaparkan Imam al-Muzani rahimahullah (w. 264 H) dalam kitabnya Syarhus Sunnah.

Keunggulan manhaj Salaf dalam bab ukhuwah terlihat dari tidak dikesampingkannya sisi ajaran Islam lainnya, seperti praktek amar makruf nahi munkar, saat berupaya membentuk jalinan ukhuwah. Dan ini jelas merupakan keistimewaan dalam pola beragama, dimana penerapan sebagian ajaran syariat tidak mengakibatkan terbengkalainya sebagian ajaran syariat yang lain. Sehingga muncullah keseimbangan dan kesempurnaan dalam beragama.

Adapun konsep ukhuwah yang diusung Ikhwânul Muslimîn (IM), memiliki kelemahan dari sisi 'dikesampingkannya' aktifitas amar makruf nahi munkar guna mewujudkan ukhuwah tersebut. Kelemahan tersebut bersumber dari teori ukhuwah yang diciptakan pendiri IM, Hasan al-Banna rahimahullah , yang berbunyi: "Saling bekerjasama dalam hal yang disepakati, dan saling bertoleransi dalam perbedaan".

Teori ini terdiri dari dua bagian; bagian pertama benar, bagian kedua perlu dirinci lebih lanjut. Perbedaan dalam permasalahan ijtihâdiyyah bisa ditolerir. , Adapun perbedaan dalam permasalahan yang tidak ada ruang ijtihâd di dalamnya (semisal akidah, red), maka ini tidak bisa ditolerir. Demikian penjelasan yang disampaikan Syaikh al-'Utsaimin rahimahullah.[5]

Adapun mempraktekkan bagian kedua dari teori ukhuwah di atas secara mutlak; maka beresiko lumpuhnya praktek amar ma'ruf nahi munkar yang merupakan salah satu pondasi tegaknya agama Islam ini. Di antara indikasi diterapkannya teori ini secara mutlak oleh banyak kalangan IM; kalimat yang diteriakkan salah satu tokoh besar IM saat berorasi di depan massa ketika terjadi 'peperangan' antara Hizbullâh dengan Israel; "Musuh Sunni bukan Syi'ah, dan musuh Syi'ah bukan Sunni!". (Hanya kepada Allâh Azza wa Jalla sajalah kita mengadu…)

Padahal sejatinya, tidaklah ada kontradiksi antara penerapan ukhuwah dengan penegakan amar ma'ruf nahi munkar; sebab keduanya merupakan bagian syariat Islam dan syariat Islam tidak mungkin saling bertentangan. Alangkah baiknya kita cermati susunan ayat 104 dan 105 dari surat an-Nisa. Ayat pertama berisikan perintah untuk amar ma'ruf nahi munkar, sedangkan ayat kedua berisikan larangan untuk berpecah belah. Diiringinya ayat perintah amar makruf nahi mungkar dengan ayat larangan berpecah belah mengisyaratkan bahwa penerapan amar makruf nahi mungkar tidaklah beresiko menimbulkan perpecahan dan kerenggangan ukhuwah Islamiyyah.[6]

Barangkali ada yang menganggap tidak mungkin penegakan amar ma'ruf nahi mungkar berhasil tanpa menimbulkan kerenggangan ukhuwah. Karena amar ma'ruf nahi munkar itu merupakan bentuk usaha meluruskan kekeliruan yang seringkali tidak diterima oleh pelakunya.

Jawabannya, sangat mungkin tidak menimbulkan gesekan, jika amar ma'ruf nahi munkar dilakukan dengan lemah lembut dan memperhatikan skala prioritas dalam pengingkaran [7] , juga jika sambil diiringi pemenuhan hak-hak sesama Muslimin, seperti menebarkan salam, menengok yang sakit, bertakziyah ketika ada musibah dan yang lainnya [8] .

MANHAJ SALAF DAN IBADAH
Ibadah mendapatkan kedudukan yang sangat tinggi dalam manhaj Salaf. , Bagaimana tidak? Lantaran tujuan utama penciptaan manusia dan jin adalah untuk menegakkan ibadah kepada Allâh Azza wa Jalla.

Banyak hal yang menunjukkan hal di atas. Di antaranya: kitab-kitab hadits yang di dalamnya para ulama Salaf menyisipkan pembahasan khusus yang berisikan motivasi untuk rajin beribadah. Contohnya antara lain: kitâb ar-riqâq dalam Shahîh al-Bukhari, kitâb az-zuhd wa ar-raqâ'iq dalam Shahîh Muslim, abwâb az-zuhd dalam Sunan at-Tirmidzi dan masih banyak lainnya.

Bahkan tidak sedikit ulama Salaf yang menulis buku khusus yang berisikan motivasi untuk beribadah dan peringatan dari melalaiannya, semisal at-Targhîb wa at-Tarhîb karya Imam al-Mundziri (w. 656 H), al-Matjar ar-Râbih fî Tsawâb al-'Amal ash-Shâlih karya al-Hâfizh ad-Dimyâthi (w. 705 H), dan yang lainnya.

Ini sisi pemaparan teori, adapun sisi prakteknya; maka sejarah kehidupan para Ulama Salaf dipenuhi dengan potret keseriusan dan ketekunan mereka dalam beribadah. Silahkan ditelaah buku-buku biografi para ulama yang telah penulis sebutkan beberapa contohnya di depan.

Keistimewaan manhaj Salaf dalam bab ibadah terlihat, antara lain melalui penggabungan antara unsur ikhlas dan mutâba'ah (meneladani Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) dalam beribadah, dua perkara yang merupakan syarat diterimanya suatu amalan. Kelebihan lain juga dapat disaksikan dari keseimbangan dalam memperhatikan tiga pondasi ibadah; rasa takut, rasa harap dan kecintaan terhadap Allah.

Adapun metode ibadah yang diusung kaum Sufi, memiliki berbagai 'catatan merah'. Antara lain, kurang diperhatikannya faktor mutaâba'ah (meneladani petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beribadah), sehingga mereka kerap hanyut dalam ibadah-ibadah yang tidak ada tuntunannya dalam Islam (baca: bid'ah). Juga di antara kekurangan metode Sufi dalam beribadah, ketimpangan dalam mempraktekkan pondasi ibadah. Banyak di antara mereka cenderung hanya menekankan sisi kecintaan pada Allâh Azza wa Jalla , lalu mengesampingkan' rasa takut akan neraka dan harapan memperoleh surga.

PENUTUP 
Semoga makalah singkat ini bisa sedikit menggambarkan kesempurnaan manhaj Salaf beserta kelebihan-kelebihannya. Harapan lain, semoga tulisan ini bisa dijadikan sebagai wahana instrospeksi diri, baik oleh Salafiyyun maupun para pengikut kelompok lain. Bagi Salafiyyun yang belum menerapkan manhaj Salaf secara total hendaknya mereka bergegas memperbaiki diri guna meraih keselamatan dunia dan akhirat, juga agar mereka bisa menjadi contoh dan suri teladan dalam penerapan Islam yang benar, sehingga tidak menjadi pintu penghalang masuknya kaum Muslimin ke dalam manhaj Salaf.

Adapun bagi para pengikut kelompok lain, hendaklah mereka segera membenahi diri dan ajaran kelompoknya. Pemaparan berbagai sisi kelemahan ajaran kelompok-kelompok tersebut di atas, insya Allâh tidak bertujuan kecuali sebagai bentuk upaya nasehat. “Aku tidak bermaksud kecuali (mengadakan) perbaikan semampuku. Dan tidak ada taufiq bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah”. [Hûd: 88]. Wallâhu a'lam

Ustadz Abdullah Zaen
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIV/1431H/2010.]
Artikel www.Almanhaj.or.id
__________________________
Footnote
[1]. Lihat Syarhus Sunnah dalam Irsyâd as-Sâri fî Syarhis -Sunnah li al-Barbahâri oleh Syaikh Ahmad an-Najmi (hlm. 26)
[2]. Contohnya seperti: Fadhl 'Ilm as-Salaf 'alâ al-Khalaf karya Imam Ibn Rajab, Limâdzâ Ikhtartu al-Manhaj as-Salafî karya Syaikh Salîm al-Hilâli dan Irsyâdul Bariyyah ilâ Syar'iyyati -Intisâb ilâs Salafiyyah karya Syaikh Hasan ar-Rîmi
[3]. HR. at-Tirmidzi dari Abu Hurairah. Beliau menyatakan hadits ini "gharîb" dan Syaikh al-Albâni menilainya lemah sekali
[4]. Lihat Majmû' al-Fatâwâ (IV/24)
[5]. Lihat: Zajr al-Mutahâwin, Hamd al-'Utsmân hlm. 129
[6]. Silahkan lihat al-Hatstsu 'alâ al-I'tishâm bi Dînillâh wa Ijtimâ' al-Kalimah, Syaikh Ibrâhîm ar-Ruhaili hlm. 4
[7]. Ash-Shahwah al-Islâmiyyah , Syaikh al-'Utsaimin hlm. 119
[8]. Lihat al-Hatstsu 'alâ al-I'tishâm bi Dînillah hlm. 3-5

Minggu, 10 Februari 2013

Sikap Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Terhadap Pelaku Bid’ah


Setelah pada tulisan sebelumnya kita telah mengetahui pendapat Ulama tentang :

Kapan Suatu Perbuatan Bisa Dikatakan “Bid’ah” Dalam Islam? 

Maka berikut ini kita akan lihat bagaimana Ahlus Sunnah wal Jama’ah senantiasa membantah dan menentang para pelaku bid’ah dan selalu mencegah mereka untuk melakukannya. Perhatikanlah beberapa contoh dibawah ini.

[1]. Dari Umar bin Yahya, dia berkata : “Aku mendengar ayahku menceritakan dari bapaknya, dia berkata : ‘Adalah kami sedang duduk-duduk di pintu (rumah) Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu sebelum shalat Dzuhur –(biasanya) bila dia keluar (dari rumahnya) kami pun pergi bersamanya ke masjid-, tiba-tiba datang Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu dan berkata : “Adakah Abu Abdir Rahman (Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu) telah keluar dari kalian ?" Kami menjawab : “Belum”.

Lalu diapun duduk bersama kami sampai akhirnya Abdullah bin Mas’ud keluar. Setelah dia keluar, kami berdiri menemuinya dan Abu Musa Al-Asy’ari berkata : “Wahai Abu Abdir Rahman, tadi aku melihat di masjid suatu perkara yang aku mengingkari, dan alhamdulillah, aku tidak melihatnya kecuali kebaikan”. Dia bertanya : “Apa itu?” Abu Musa menjawab :”Bila kau masih hidup niscaya kau akan melihatnya sendiri” Abu Musa lalu berkata : “Aku melihat di masjid beberapa kelompok orang yang duduk dalam bentuk lingkaran sambil menunggu (waktu) shalat. Dalam setiap lingkaran itu ada seseorang laki-laki dan ditangan-tangan mereka ada batu-batu kecil, orang laki-laki itu berkata :’Bacalah takbir 100 kali’, mereka pun bertakbir 100 kali, kemudian berkata lagi :’Bacalah Tahlil 100 kali’, mereka pun bertahlil 100 kali, kemudian mereka berkata lagi :’Bacalah Tasbih 100 kali, mereka pun bertasbih 100 kali."

Abdullah bin Mas’ud bertanya : ‘Apa yang katakan kepada mereka !’ Abu Musa menjawab : ‘Aku tidak mengatakan apa pun pada mereka, karena aku menunggu pendapatmu atau menunggu perintahmu!’, Abdullah bin Mas’ud menjawab : ‘Tidaklah kamu perintahkan pada mereka untuk menghitung kesalahan-kesalahan mereka, dan kau beri jaminan bagi mereka bahwa tidak ada sedikit pun dari kebaikan mereka yang akan hilang begitu saja ?’.

Kemudian dia pergi dan kamipun ikut bersamanya, hingga tiba di salah satu kelompok dari kelompok-kelompok (yang ada di masjid) dan berdiri di hadapan mereka, lalu berkata : ‘Apa yang kalian sedang kerjakan?’ Mereka menjawab : ‘Ya Abu Abdir Rahman, (ini adalah) batu-batu kecil yang kami gunakan untuk menghitung takbir, tahlil, tasbih dan tahmid’. Abdullah bin Mas’ud berkata : ‘Hitunglah kesalahan-kesalahan kalian. Aku akan menjamin bahwa tidak ada sedikitpun dari kebaikan-kebaikan kalian yang akan hilang begitu saja.
Celaka kalian wahai umat Muhammad, alangkah cepatnya kebinasaan kalian, lihat sahabat-sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih banyak, baju-baju beliau belum rusak dan bejana-bejana beliau belum pecah. Demi Allah yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh, (apakah) kalian ini berada pada ajaran yang lebih baik dari ajaran Muhammad ataukah kalian sedang membuka pintu kesesatan’. Mereka menjawab : ‘Demi Allah, wahai Abu Abdir Rahman, kami tidak menginginkan kecuali kebaikan. Abdullah bin Mas’ud berkata : ‘Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tapi dia tidak dapat meraihnya, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kami bahwa ada sekelompok orang yang membaca Al-Qur’an tapi hanya sampai sebatas kerongkongan mereka saja. Demi Allah, aku tidak tahu, barangkali sebagian besar mereka dari kalian-kalian ini’.  

[2]. Ada seorang laki-laki yang datang kepada Imam Malik bin Anas Rahimahullah,
dia bertanya : “Dari mana saya akan memulai berihram ?”

Imam Malik menjawab : “Dari Miqat yang ditentukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau berihram dari sana”.

Dia bertanya lagi : “Bagaimana jika aku berihram dari tempat yang lebih jauh dari itu ?”

Dijawab : “Aku tidak setuju itu”.

Tanyanya lagi : “Apa yang tidak suka dari itu ?”

Imam Malik berkata. “Aku takut terjatuh pada sebuah fitnah!”.

Dia berkata lagi : “Fitnah apa yang terjadi dalam menambah kebaikan ?”

Imam Malik berkata : “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa fitnah (cobaan) atau ditimpa adzab yang pedih”
[An-Nur : 63]

Dan fitnah apakah yang lebih besar daripada engkau dikhususkan dengan sebuah karunia yang tidak diberikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?”

[3]Dari Sa’id bin Musayyab Radhiyallâhu ‘anhu, bahwa dia melihat seseorang mengerjakan lebih dari dua raka’at shalat setelah terbit fajar. Lalu beliau melarangnya.

Maka orang tersebut berkata, "Wahai Abu Muhammad (nama panggilan Sa’id bin Musayyab), apakah Allâh akan menyiksa saya karena shalat?"

 Ia menjawab: "Tidak, tetapi Allâh akan menyiksa kamu karena menyalahi Sunnah".
[HR Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra II/466, Khatib Al-Baghdadi dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih I/147, Abdurrazzaq III/52, Ad-Darimi I/116 dan Ibnu Nashr: 84 dengan sanad Shahih].

Ini hanya sekedar contoh, dan kita lihat para ulama masih tetap menentang pelaku bid’ah di setiap masa, Alhamdulillah

Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Dalam Menyanggah Para Pelaku Bid’ah.
Manhaj mereka dalam hal ini didasarkan pada Kitab dan Sunnah. Manhaj yang mantap dan tidak terbantah, di mana pertama kali mereka mengungkapkan syubhat-syubhat para pelaku bid’ah kemudian membantahnya (satu persatu). Dan dengan berdasarkan pada Kitab dan Sunnah, mereka mengungkapkan kewajiban berpegang teguh terhadap ajaran-ajaran syariat dan kewajiban meninggalkan berbagai macam bid’ah serta hal-hal yang diadakan.

Ulama Ahlus Sunnah telah mengeluarkan banyak karya dalam hal ini. Dan di dalam buku-buku aqidah, mereka juga membantah para pelaku bid’ah yang berkaitan dengan iman dan aqidah. Bahkan, ada yang menulis karya-karya khusus untuk hal tersebut. Misalnya, Imam Ahmad yang menulis buku khusus membantah kelompok Jahmiyah, begitu pula para Imam lainnya, seperti Utsman bin Sa’id Ad-Darimi.

Hal semacam ini dapat kita temui pula dalam karya-karya Syaikhul Islam Ibnu taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim, juga karya-karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan yang lainnya. Di mana dalam karya-karya tadi disebutkan sanggahan terhadap banyak aliran, juga sanggahan terhadap orang-orang Quburiyyun dan kelompok Sufiyah. Adapun buku-buku yang khusus membantah para pelaku bid’ah, maka banyak sekali jumlahnya.

Dan alhamdulillah para ulama masih terus menolak praktek-praktek bid’ah dan menulis bantahan-bantahan terhadap para pelaku bid’ah melalui media Koran, majalah, siaran-siaran, khutbah-khutbah jum’at, berbagai macam seminar dan ceramah-ceramah yang mempunyai pengaruh besar dalam menyadarkan kaum muslimin, mengikis bid’ah dan membantah ahli bid’ah.

[Disalin dari buku At-Tauhid Lish-Shaffits Tsani Al-‘Aliy, Penulis Syaikh Dr Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan edisi Indonesia Kitab Tauhid-3, Penerjemah Ainul Haris Arifin Lc, hal 148-152, Darul Haq]

Kamis, 13 September 2012

Berdialog Dengan Teroris

Berikut ini kami cuplikkan tulisan Anas Burhanudin, M.A. (Mahasiswa S3 Universitas Islam Madinah) mengenai pemberantasan terorisme di Arab Saudi. Ia menceritakan pengalamannya selama berdomisili di negeri petro dolar tersebut, bagaimana pemerintahan monarki itu memberantas terorisme. Sengaja Arab Saudi kami jadikan role model, karena negara ini telah berhasil melaksanakan deradikalisasi secara efektif, sebagaimana diakui oleh ketua BNPT, Ansyaad Mbai.

Aksi Terorisme di Arab Saudi
Pada 12 Mei 2003, dunia dikejutkan dengan peristiwa peledakan besar di ibukota Arab Saudi. Pemboman terjadi beriringan di tiga kompleks perumahan di kota Riyadh, dan mewaskan 29 orang, termasuk 16 pelaku bom bunuh diri dan melukai 194 orang. Pemboman di Wadi Laban (Propinsi Riyadh) pada 8 November 2003 menewaskan 18 orang dan melukai 225 orang. Pada 21 April 2004, sebuah bom bunuh diri meledak di Riyadh dan menewaskan 6 orang dan melukai 144 orang lainnya. Sementara pada 1 Mei 2004, 4 orang dari satu keluarga menyerang sebuah perusahan di Yanbu’ dan membunuh 5 pekerja bule, dan melukai beberapa pekerja lain. Saat dikejar, mereka membunuh seorang petugas keamanan dan melukai 22 lainnya.
Harian Asharq al-Awsath  telah merangkum peristiwa yang berhubungan dengan terorisme di Arab Saudi dalam setahun sejak pemboman 12 Mei 2003, dan melihat daftar panjang peristiwa itu, barangkali bisa dikatakan bahwa tidak ada negara yang mendapat ancaman teror sebesar dan sebanyak Arab Saudi (Harian Asharq al-Awsath edisi 9297, 12 Mei 2004).  Dari sini dapat kita ketahui bahwa negara “Wahabi” ini tidak mengimpor ideologi terorisme, karena mereka pun menjadi target utama para teroris.
Para teroris juga telah berulang kali menyerang petugas keamanan. Sudah banyak petugas keamanan yang menjadi korban aksi mereka. Sudah tidak terhitung lagi aksi baku tembak antara teroris dengan petugas keamanan. Kota suci Mekah dan Madinah pun tidak selamat dari aksi-aksi ini.
Tapi, tampaknya hal itu sudah menjadi masa lalu. Isu terorisme di Arab Saudi dalam beberapa tahun belakangan didominasi oleh keberhasilan pemerintah menggagalkan aksi-aksi mereka, penyergapan-penyergapan dini, sadarnya para da’i-da’i aksi terorisme, dan taubatnya orang-orang yang pernah terlibat aksi yang mengerikan tersebut.
Di samping itu, ada kampanye besar-besaran melawan terorisme yang dilakukan pemerintah melalui berbagai media massa, penyuluhan-penyuluhan, seminar-seminar, khutbah dan ceramah, sehingga saking gencarnya barangkali terasa membosankan. Selain petugas keamanan yang telah bekerja keras, ada satu lembaga yang menjadi primadona dalam kampanye penanggulangan terorisme di Arab Saudi, yaitu Lajnah al-Munashahah (Komite Penasihat).

Apa itu Lajnah al-Munashahah?
Lajnah al-Munashahah yang berarti Komite Penasihat mulai dibentuk  pada tahun 2003 dan bernaung dibawah Departemen Dalam Negeri (di bawah pimpinan Deputi II Kabinet dan  Menteri Dalam Negeri, Pangeran Nayif bin Abdul Aziz rahimahullah) dan Biro Investigasi Umum. Tugas utamanya adalah memberikan nasihat dan berdialog dengan para terpidana kasus terorisme di penjara-penjara Arab Saudi. Lajnah al-Munashahah memulai aktivitasnya dari Riyadh sebagai ibukota, kemudian memperluas cakupannya ke seluruh wilayah Arab Saudi [Wawancara Dr. Ali an-Nafisah, Dirjen Penyuluhan dan Pengarahan Kemendagri Arab Saudi di Harian al-Riyadh edisi 13.682].
Lajnah al-Munashahah terdiri dari 4 komisi, yaitu:
1. Lajnah ‘Ilmiyyah (Komisi Ilmiah)  yang terdiri dari para ulama dan dosen ilmu syariah dari berbagai perguruan tinggi. Komisi ini yang bertugas langsung dalam dialog dan diskusi dengan para tahanan kasus terorisme.
2. Lajnah Amniyyah (Komisi Keamanan) yang bertugas menilai kelayakan para tahanan untuk dilepas ke masyarakat dari sisi keamanan, mengawasi mereka setelah dilepas, dan menentukan langkah-langkah yang diperlukan jika ternyata masih dinilai berbahaya.
3. Lajnah Nafsiyyah Ijtima’iyyah (Komisi Psikologi dan Sosial) yang bertugas menilai kondisi psikologis para tahanan dan kebutuhan sosial mereka .
4. Lajnah I’lamiyyah (Komisi Penerangan) yang bertugas menerbitkan materi dialog dan melakukan penyuluhan masyarakat [Markaz Muhammad bin Nayif lil Munashahah, Su'ud ‘Abdul Aziz Kabuli, Harian al-Wathan edisi 3.257].

Teknik Dialog
Hampir tiap hari Lajnah al-Munashahah bertemu dengan para tahanan kasus terorisme. Kegiatan memberi nasihat ini didominasi oleh dialog terbuka yang bersifat transparan dan terus terang. Sesekali dialog tersebut diselingi dengan canda tawa yang mubah (bersifat diperbolehkan syariat) agar para tahanan merasa tenang dan menikmati dialog.
Ada juga kegiatan seminar ilmiah berupa penataran di kelas-kelas dengan kurikulum yang menitikberatkan pada penjelasan pemikiran menyimpang para tahanan, seperti masalah takfir (vonis kafir), wala’ wal bara’ (loyalitas keagamaan), jihad, bai’at, ketaatan kepada pemerintah, perjanjian damai dengan kaum kafir, dan hukum keberadaan orang kafir di Jazirah Arab [Taqrir: Markaz Muhammad bin Nayif lir Ri'ayah asy-Syamilah wal Munashahah, assakina.com, Markaz Muhammad bin Nayif lil Munashahah, Su'ud ‘Abdul ‘Aziz Kabuli, Harian al-Wathan edisi 3.257].
Kegiatan dialog biasanya dilakukan setelah maghrib dan kadang berlangsung sampai larut malam. Agar efektif, dialog tidak dilakukan secara kolektif, tapi satu per satu. Hanya satu tahanan yang diajak berdialog dalam setiap kesempatan agar ia bisa bebas dan leluasa berbicara, dan terhindar dari sisi negatif dialog kolektif.
Pada awalnya, banyak tahanan yang takut untuk berterus terang mengikuti program dialog ini, karena mereka menyangka bahwa dialog ini adalah bagian dari investigasi dan akan berdampak buruk pada perkembangan kasus mereka. Namun begitu merasakan buah manis dialog, mereka sangat bersemangat dan berlomba-lomba mengikutinya [Wawancara Dr. Ali an-Nafisah, Harian al-Riyadh, edisi 13.682].
Mereka segera menyadari, bahwa dialog ini justru menguntungkan mereka. Sebagian malah meminta agar mereka sering diajak dialog setelah melihat keterbukaan dalam dialog dan penyampaian yang murni ilmiah (dipisahkan dari investigai kasus) dan bermanfaat dalam meluruskan pemahaman salah (syubhat) yang melekat pada pikiran mereka. Rupanya, mereka telah menemukan bahwa ilmulah obat yang mereka cari, dan mereka pun dengan senang hati mereguknya [Wawancara Dr. Ali an-Nafisah, Harian al-Riyadh, edisi 13.682].
Pada umumnya, mereka memiliki tingkat pendidikan rendah, tapi memiliki kelebihan pada cabang ilmu yang mereka minati. Mereka –yang sekitar 35 % pernah tinggal di wilayah konflik-  mudah termakan oleh pemikiran dan fatwa yang menyesatkan. Ketika dihadapkan pada ulama yang mumpuni dan memiliki ilmu yang benar, mereka menyadari kesalahan pemahaman mereka. Melalui dialog ini, Lajnah al-Munashahah menjelaskan pemahaman yang benar terhadap dalil, membongkar dalil-dalil yang dipotong atau nukilan-nukilan yang tidak amanah [Wawancara Dr. Ali an-Nafisah, Harian al-Riyadh, edisi 13.682].
Setelah mengetahui kebenaran yang sesungguhnya, banyak tahanan yang menyatakan bahwa selama ini seolah-olah mereka mabuk. Banyak yang mengaku bahwa mereka mulai mengenal pemikiran terorisme dari kaset-kaset “Islami” (tentu saja Islam berlepas diri darinya), ceramah-ceramah yang menggelorakan semangat dan menyentuh emosi keagamaan mereka, juga fatwa-fatwa penganut terorisme.  Tambahan gambar-gambar, cuplikan-cuplikan audio-visual, dan tambahan efek pada kaset dan video ikut berpengaruh memainkan perasaan. Hal ini jika tidak dikelola dengan baik bisa menjadi badai yang berbahaya.
Rekaman-rekaman seperti inilah sumber ‘ilmu’ mereka, dan oleh karenanya disebarkan dengan intens di internet oleh pengusung pemikiran teror. Setelah mereka jatuh dalam perangkap pemikiran ini, biasanya mereka dilarang untuk mendengarkan siaran radio Alquran al-Karim, radio pemerintah yang didukung penuh oleh para ulama besar Arab Saudi. Hal ini dimaksudkan untuk memutus akses para pemuda ini dari para ulama [Taqrir: Markaz Muhammad bin Nayif lir Ri'ayah asy-Syamilah wal Munashahah, assakina.com, Wawancara Dr. Ali an-Nafisah di  Harian al-Riyadh edisi 13.68].

Penutup: Bagaimana dengan Indonesia?
Banyak kesamaan antara Indonesia dan Arab Saudi. Keduanya adalah negara dengan penduduk mayoritas muslim, dan pemerintahnya sama-sama divonis kafir oleh para pengusung paham terorime. Para tokoh teror Indonesia juga banyak terpengaruh oleh para tokoh takfiri dari dunia Arab, yang banyak ditemui di wilayah-wilayah konflik dunia. Bagaimanapun, bangsa Arab tetap paling berpengaruh dalam ilmu agama Islam, baik ilmu yang benar ataupun yang salah. Karena itu, apa yang telah berhasil dipraktikkan di Arab Saudi insya Allah juga akan berhasil di Indonesia.

Pemerintah RI perlu belajar dari keberhasilan ini dan mentransfernya ke bumi pertiwi, agar terorisme yang telah merusak citra Islam segera hilang atau paling tidak bisa ditekan secara berarti.  Pemikiran harus dilawan dengan pemikiran, bukan dengan peluru!

Wallahu a’lam.




_________________________________________________
Sumber: Majalah As-Sunnah, Edisi 3 Tahun XV Juli 2011
 

Selasa, 28 Agustus 2012

Jalan Menuju Persatuan Umat

Setiap umat Islam ingin umatnya bersatu, tidak ada yang ingin umat ini terpecah belah. Namun ada yang menganggap berbeda-beda dalam prinsip beragama yang penting hati kita menyatu. Logikanya saja, bagaimana mungkin bisa bersatu jika satu pihak berkeyakinan bolehnya sesajen dan ruwatan, yang lainnya ingin umat itu bertauhid. Bagaimana bisa pula bersatu jika yang satu ingin agar umat cinta pada tradisi, namun tradisi yang ada jika tidak mengandung syirik, yah mengandung bid’ah. Dan mustahil syirik dan bid’ah itu menyatu dengan tauhid dan sunnah.

1- Memperbaiki akidah umat.

Yang dimaksud memperbaiki akidah adalah membersihkan akidah umat dari kesyirikan. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاتَّقُونِ

“Sesungguhnya agama ini adalah agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku.” (QS. Al Mu’minun: 52). 

Karena akidah yang benar akan menyatukan umat dan akan menghilangkan rasa saling benci. Berbeda halnya jika umat itu berbeda-beda pemahaman dalam akidah atau beraneka ragam sesembahan.  Karena setiap kelompok akan mengklaim akidahnya-lah yang paling benar, sesembahannya-lah yang lebih pantas diagungkan, lalu menganggap keliru ajaran yang lain. Bersatu di atas akidah dan sesembahan yang benar tentu lebih baik. Allah Ta’ala berfirman,

أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ

“Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?” (QS. Yusuf: 39). 

Orang Arab di masa jahiliyah dahulu berpecah belah dan mereka menjadi kaum lemah di muka bumi. Ketika Islam datang, akidah mereka menjadi benar, lalu menyatulah mereka di atas satu daulah.

2- Taat pada ulil amri kaum muslimin.

Mendengar dan taat pada ulil amri kaum muslimin (yaitu pemerintah yang sah). Oleh karenanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا

“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa pada Allah, dengarlah dan taatlah (pada ulil amri kalian) walau ia seorang budak dari negeri Habasyah. Karena siapa saja di antara kalian yang hidup sesudahku akan melihat perselisihan yang banyak.” (HR. Abu Daud no. 4607, shahih kata Syaikh Al Albani). Membangkang pada ulil amri, itulah sebab perpecahan.

3- Mengembalikan segala perselisihan kepada Al Qur’an dan As Sunnah.

Mengembalikan dan menyelesaikan segala perselisihan kepada Al Qur’an dan As Sunnah ketika terjadi perpecahan. AllahTa’ala berfirman,

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa’: 59). Janganlah kembalikan perselisihan tersebut kepada perkataan si fulan atau perkataan seseorang, namun rujukannya adalah Al Kitab dan As Sunnah.

4- Melakukan ishlah.

Melakukan ishlah atau memperbaiki hubungan antar sesama ketika terjadi perpecahan, ini juga di antara jalan menyatunya umat. Allah Ta’ala berfirman,

وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu; dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman.” (QS. Al Anfal: 1)

5- Memusnahkan para pemberontak dan Khawarij.

Ini juga di antara jalan menyatunya umat yaitu memusnahkan kelompok yang  biasa menimbulkan perpecahan yaitu dari kalangan pemberontak dan Khawarij. Kelompok-kelompok ini sebenarnya ingin kaum muslimin terpecah belah. Allah Ta’alaberfirman,

فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي

“Tapi kalau yang satu memberontak (melanggar perjanjian) terhadap yang lain, hendaklah yang memberontak itu kamu perangi.” (QS. Al Hujurat: 9). Oleh karena itu, amirul mukminin ‘Ali bin Abi Tholib pernah memberantas para pemberontak dan Khawarij. Inilah yang menjadi keutamaan dan keunggulan ‘Ali -semoga Allah senantiasa meridhoi beliau-.

Semoga Allah menyatukan kaum muslimin di atas akidah yang benar dan di atas sunnah shahihah. Wallahu waliyyut taufiq.




__________________________________


Minggu, 12 Agustus 2012

7 Keistimewaan Lailatul Qadar

Setiap muslim pasti menginginkan malam penuh kemuliaan, Lailatul Qadar. Malam ini hanya dijumpai setahun sekali. Orang yang beribadah sepanjang tahun tentu lebih mudah mendapatkan kemuliaan malam tersebut karena ibadahnya rutin dibanding dengan orang yang beribadah jarang-jarang.

Kali ini kita akan melihat keistimewaan Lailatul Qadar yang begitu utama dari malam lainnya.

1- Lailatul Qadar adalah waktu diturunkannya Al Qur’an

Ibnu ‘Abbas dan selainnya mengatakan, “Allah menurunkan Al Qur’an secara utuh sekaligus dari Lauhul Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah yang ada di langit dunia. Kemudian Allah menurunkan Al Qur’an kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tersebut secara terpisah sesuai dengan kejadian-kejadian yang terjadi selama 23 tahun.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 403). Ini sudah menunjukkan keistimewaan Lailatul Qadar.

2- Lailatul Qadar lebih baik dari 1000 bulan

Allah Ta’ala berfirman,
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ
“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al Qadar: 3). An Nakho’i mengatakan, “Amalan di lailatul qadar lebih baik dari amalan di 1000 bulan.” (Lihat Latho-if Al Ma’arif, hal. 341). Mujahid, Qotadah dan ulama lainnya berpendapat bahwa yang dimaksud dengan lebih baik dari seribu bulan adalah shalat dan amalan pada lailatul qadar lebih baik dari shalat dan puasa di 1000 bulan yang tidak terdapat lailatul qadar. (Zaadul Masiir, 9: 191). Ini sungguh keutamaan Lailatul Qadar yang luar biasa.

3- Lailatul Qadar adalah malam yang penuh keberkahan.

Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” (QS. Ad Dukhon: 3). Malam penuh berkah ini adalah malam ‘lailatul qadar’ dan ini sudah menunjukkan keistimewaan malam tersebut, apalagi dirinci dengan point-point selanjutnya.

4- Malaikat dan juga Ar Ruuh -yaitu malaikat Jibril- turun pada Lailatul Qadar.

Keistimewaan Lailatul Qadar ditandai pula dengan turunnya malaikat. Allah Ta’ala berfirman,
تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا
“Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril” (QS. Al Qadar: 4)
Banyak malaikat yang akan turun pada Lailatul Qadar karena banyaknya barokah (berkah) pada malam tersebut. Karena sekali lagi, turunnya malaikat menandakan turunnya berkah dan rahmat. Sebagaimana malaikat turun ketika ada yang membacakan Al Qur’an, mereka akan mengitari orang-orang yang berada dalam majelis dzikir -yaitu majelis ilmu-. Dan malaikat akan meletakkan sayap-sayap mereka pada penuntut ilmu karena malaikat sangat mengagungkan mereka. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 407)
Malaikat Jibril disebut “Ar Ruuh” dan dispesialkan dalam ayat karena menunjukkan kemuliaan (keutamaan) malaikat tersebut.

5- Lailatul Qadar disifati dengan ‘salaam’

Yang dimaksud ‘salaam’ dalam ayat,
سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْر
“Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar” (QS. Al Qadr: 5) yaitu malam tersebut penuh keselamatan di mana setan tidak dapat berbuat apa-apa di malam tersebut baik berbuat jelek atau mengganggu yang lain. Demikianlah kata Mujahid (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 407). Juga dapat berarti bahwa malam tersebut, banyak yang selamat dari hukuman dan siksa karena mereka melakukan ketaatan pada Allah (pada malam tersebut). Sungguh hal ini menunjukkan keutamaan luar biasa dari Lailatul Qadar.

6- Lailatul Qadar adalah malam dicatatnya takdir tahunan

Allah Ta’ala berfirman,
فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ
“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah” (QS. Ad Dukhan: 4). Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya (12: 334-335) menerangkan bahwa pada Lailatul Qadar akan dirinci di Lauhul Mahfuzh mengenai penulisan takdir dalam setahun, juga akan dicatat ajal dan rizki. Dan juga akan dicatat segala sesuatu hingga akhir dalam setahun. Demikian diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, Abu Malik, Mujahid, Adh Dhohak dan ulama salaf lainnya.
Namun perlu dicatat -sebagaimana keterangan dari Imam Nawawi rahimahullah­ dalam Syarh Muslim (8: 57)- bahwa catatan takdir tahunan tersebut tentu saja didahului oleh ilmu dan penulisan Allah. Takdir ini nantinya akan ditampakkan pada malikat dan ia akan mengetahui yang akan terjadi, lalu ia akan melakukan tugas yang diperintahkan untuknya.

7- Dosa setiap orang yang menghidupkan malam ‘Lailatul Qadar’ akan diampuni oleh Allah

Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 1901)
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan bahwa yang dimaksud ‘iimaanan’ (karena iman) adalah membenarkan janji Allah yaitu pahala yang diberikan (bagi orang yang menghidupkan malam tersebut). Sedangkan ‘ihtisaaban’ bermakna mengharap pahala (dari sisi Allah), bukan karena mengharap lainnya yaitu contohnya berbuat riya’. (Lihat Fathul Bari, 4: 251)

Ya Allah, mudahkanlah kami meraih keistimewaan Lailatul Qadar dengan bisa mengisi hari-hari terakhir kami di bulan Ramadhan dengan amalan sholih.
Aamin Yaa Mujibas Saa-ilin.



__________________



Kamis, 12 April 2012

Beda Antara 'Menerima Kebenaran' Dengan 'Menukil Kebenaran'


Dalam islam, Allah Azza Wajalla dan Rasul-Nya Shallallahu Alaihi Wasallam mengajarkan kepada kita untuk menerima kebenaran yang datang dari mana saja dan dari siapa saja, bahkan meskipun kebenaran itu dibawa oleh sosok makhluk yang disebut “setan”.

Sebab bagaimanapun juga, kebenaran yang dibawa oleh setan pada hakekatnya bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu Alaihi Wasallam. Oleh karenanya, Abu Hurairah Radhiallahu anhu tidak ragu untuk menerima kebenaran yang disampaikan oleh setan tentang anjuran membaca ayat kursi sebelum tidur, setelah mendapatkan pembenaran dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam dengan sabdanya:

صدقك وهو كذوب

“Dia telah berkata benar kepadamu padahal dia seorang pendusta besar.”

Dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang hal ini cukup banyak, dan juga dikuatkan dengan banyak riwayat dari para ulama salaf radhallahu anhum. Kami tidak perlu membahas secara panjang lebar tentang hal ini, sebab ini bukan menjadi inti pembahasan kita.

Namun, permasalahan diatas harus dibedakan dengan pembahasan inti yang akan kita ulas insya Allah dalam tulisan ini, yaitu “Hukum menukil kebenaran yang datang dari ahlul bid’ah”. Ini merupakan dua permasalahan yang berbeda, dan menyamakan antara kedua pembahasan ini, atau membawa dalil-dalil tentang wajibnya menerima kebenaran meskipun datang dari mana saja, lalu diarahkan ke pembahasan “hukum menukil ucapan ahlul bid’ah” merupakan kesalahan yang fatal.

Berkata Syaikh Khalid Azh-Zhufairi Hafizhahullah dalam kitabnya yang sangat bermanfaat, yang berjudul “Ijma’ul ulama alal hajr wat tahdzir min ahlil ahwa’”, yang telah direkomendasi oleh tiga ulama besar: Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, Zaid bin Muhammad bin Hadi Al-Madkhali, dan Ubaid bin Abdillah Al-Jabiri, Hafizhahumullah Ta’ala, pada halaman 60 Beliau berkata:

“Memang benar, kebenaran diambil dari siapa saja yang mengucapkannya, salafus saleh tidaklah ragu dalam hal mengambil kebenaran. Namun mereka sama sekali tidak pernah mengatakan: ambillah kebenaran dari kitab-kitab ahlul bid’ah dan tinggalkan kebatilannya, bahkan mereka berteriak dengan suara yang sangat lantang untuk meninggalkannya secara menyeluruh, bahkan mereka mengharuskan untuk melenyapkannya, sebab kebenaran yang terdapat didalam kitab-kitab ahli bid’ah pada hakekatnya diambil dari al-kitab dan as-sunnah. Maka yang wajib bagi kita adalah mengambil kebenaran dari sumber aslinya, yang tidak dicampuri oleh kotoran dan bid’ah, sebab itu merupakan sumber yang jernih dan air yang tawar".

Sebagai permisalan: ada dua sumber air, salah satunya jernih dan bersih, dan yang lainnya sebaliknya, penuh dengan lumpur, kotoran, dan comberan. Apakah orang yang berakal mengatakan: pergilah menuju mata air yang kedua, dan ambillah air darinya. Tentu orang yang berakal tidak akan mengatakan hal tersebut. Lalu bagaimana lagi halnya jika ditemukan ada orang yang memalingkan manusia dari air mata yang jernih dan tawar lalu mengajak mereka untuk mengambil dari sumber air yang kotor dan penuh comberan?.

Berkata Syaikh Abdurrahman bin Hasan Rahimahullah:

“Siapa yang memiliki semangat mencari kebenaran dengan dalil-dalil, maka didalam kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya, telah mencukupi dan menyembuhkan, keduanya adalah senjata setiap ahli tauhid dan orang yang kokoh, namun kitab-kitab ahlus sunnah semakin menambah penjelasan bagi orang yang semangat mempelajarinya, dan membantunya untuk memahaminya. Kalian telah mengetahui karya-karya tulis Syaikh Kami (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah) yang sudah mencukupi bila ditelaah. Maka wajib atas kalian meninggalkan ahlul bid’ah dan mengingkari mereka.”
(Ad-Durar As-Saniyah:3/211. Al-Ijma’, Syaikh Khalid: 60-61)

Diantara dalil yang menunjukkan larangan menukil ucapan yang datang dari selain ahlus sunnah, adalah hadits Jabir Radhiallahu anhu, bahwa Umar bin Khattab Radhiallahu anhu mendatangi Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dengan membawa sebuah kitab yang didapatkan dari sebagian ahli kitab. Lalu dibaca oleh Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dan Beliau marah, lalu berkata:

“Apakah engkau termask orang yang bingung wahai Ibnu Khattab? Demi Allah yang jiwaku berada ditangan-Nya, sungguh aku telah membawa kepada kalian syariat yang putih dan bersih, tidaklah Engkau bertanya kepada mereka (Ahli kitab) tentang sesuatu lalu mereka mengabarkan kepada kalian berupa kebenaran lalu kalian mendustakannya, atau mereka menyampaikan kebatilan lalu kalian membenarkannya. Demi Allah yang jiwaku berada ditangan-Nya, kalau seandainya Musa Alaihis salam hidup sekarang ini, maka tidak diperkenan baginya melainkan dia harus mengikuti Aku.” (HR.Ahmad :3/387, dihasankan Al-Albani dalam Al-Irwa’:6: 338-340)

Dalam riwayat lain Umar Radhiallahu anhu berkata:

إنا نسمع أحاديث من يهود تعجبنا أفترى أن نكتب بعضها

“Sesungguhnya kami mendengar beberapa ucapan orang yahudi yang kami kagum padanya, apakah menurutmu boleh kami mencatat sebagiannya?”

Maka Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam menjawab:

أمتهوكون أنتم كما تهوكت اليهود والنصارى لقد جئتكم بها بيضاء نقية ولو كان موسى حيا ما وسعه إلا اتباعي

“Apakah Engkau bingung seperti bingungnya Yahudi dan Nashara? sungguh aku telah membawa kepada kalian syariat yang putih dan bersih, kalau seandainya Musa Alaihis salam hidup sekarang ini, maka tidak diperkenan baginya melainkan dia harus mengikuti Aku.”
(HR. Al-Baghawi dalam tafsirnya dan dalam syarhus sunnah, dihasankan Al-Albani dalam Misykatul mashabiih: 177)

Diantara faedah yang penting yang dapat kita petik dari hadits ini adalah:

Pertama: bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam tidak mengingkari bahwa ahli kitab terkadang menyampaikan kebenaran. Perhatikan ucapan Beliau:

فَيُخْبِرُوكُمْ بِحَقٍّ

“Mereka mengabarkan kepada kalian berupa kebenaran”

Menunjukkan dengan jelas bahwa Beliau meyakini bahwa mereka terkadang menyampaikan kebenaran.

Kedua: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam melarang Umar Radhiallahu anhu dan juga umatnya dari membaca, menukil, atau dengan istilah yang lebih keren “copas” sebagian dari isi kitab yang datang dari ahli kitab tersebut, bukan karena Beliau Shallallahu Alaihi Wasallam mengingkari kebenaran yang kadang mereka sampaikan, namun karena Beliau telah membawa syariat yang sempurna yang telah cukup bagi umatnya dari mengambil alternatif lainnya, dan juga kekhawatiran Beliau akan terjatuhnya umat ini dalam penyimpangan, dan menganggap kebenaran yang mereka bawa sebagai kebatilan, dan menganggap kebatilan yang mereka bawa sebagai kebenaran, atau yang biasa diistilahkan dengan “mencampur adukkan antara yang haq dengan yang batil”.

Dari hadits ini, jangan sekali- kali ada yang menyangka bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam menolak kebenaran yang dibawa oleh ahli kitab, hanya karena Beliau melarang Umar bin Khattab Radhiallahu anhu menukil sebagian yang datang dari mereka, sebab memang harus dibedakan antara permasalahan “menerima kebenaran dari siapa saja datangnya”, dengan permasalahan “menukil ucapan yang datang dari selain ahlus sunnah.”

Semoga Allah memberi taufiq kepada kita semua. Amin.



__________________________________________________________
http://www.salafybpp.com/5-artikel-terbaru/179-beda-antara-qmenerima-kebenaranq-dengan-qmenukil-kebenaranq-dari-selain-ahlussunnah.html

Sabtu, 17 Maret 2012

Jalan Keluar Bagi Yang Bertaqwa dan Bersedekah


Ini adalah sebuah kisah nyata yang terjadi pada seorang laki laki dari Madinah Nabawiyah pada tahun yang lalu. Lelaki tersebut telah mendekati umur 48 tahun. Takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menentukan dia terkena gagal ginjal. Saat dia mengetahui kabar tersebut dia menerima dengan jiwa yang sabar dan penuh keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Setelah dokter mengabarkan bahwa dia terkena gagal ginjal, anak-anaknya pun mengkhawatirkan dirinya, dan mereka berkata, “Kami akan mendonorkan sebuah ginjal untukmu,” namun sang ayah menolak siapapun yang akan mendonorkan ginjalnya untuknya.

Salah seorang teman anak-anaknya memberikan usul agar mereka pergi ke Mesir untuk membeli ginjal. Akan tetapi sang ayah benar-benar menolak usul tersebut. Setelah berulang kali dibujuk akhirnya sang ayah menyetujui usul tersebut.

Maka merekapun pergi ke Mesir, di sanalah kemudian dilakukan diagnosa ginjalnya, dan mereka membandingkan hasil diagnosa ginjalnya dengan diagnosa para pendonor, namun sama sekali tidak ada yang sesuai. Setelah pencarian yang panjang, mereka mendapatkan pendonor yang hasil diagnosanya sama dengan diagnosa sang bapak.

Kemudian selesailah tawar-menawar penggantian ginjal antara pendonor dengan anak-anak sang bapak tersebut. Mereka mencapai kesepakatan dana hingga mendekati 15 ribu dollar (sekitar Rp 140 juta). Anak-anak itupun membayarnya tunai kepada pendonor sebelum dilakukannya operasi sesuai dengan kesepakatan.

Di pagi hari dilakukannya operasi, sang bapak meminta untuk menemui sang pendonor. Maka anak-anak mengabarkan kepadanya bahwa tidak perlu mengadakan pertemuan ini. Akan tetapi sang bapak mendesak untuk bertemu dan berterima kasih kepadanya. Setelah debat keras, akhirnya anak-anak itupun menyetujuinya. Maka merekapun mengantarkan sang bapak kepada pendonor.

Di sinilah, yang mengagetkan, ternyata sang pendonor adalah seorang gadis berusiai 17 tahun.

Sang bapak terpukul keras karena kejadian ini. Dia tidak pernah membayangkan bahwa sang pendonor adalah seorang gadis seusia ini. Sementara itu, ia membayangkan kalau pendonornya adalah seorang laki-laki tua. Sang bapak tidak mampu berkata-kata apapun. Namun setelah beberapa saat dia bertanya kepada gadis tersebut: ‘Apa yang memaksamu untuk mendonor?’. Diapun menjawab“Kemiskinan.”

Jelaslah bagi sang ayah itu bahwa gadis ini menanggung dua saudara laki-laki dan satu saudari perempuannya yang kecil setelah kematian kedua orangtuanya.

Setelah sang bapak itu mengetahui keadaan gadis tersebut dia berkata,“Demi Allah, aku tidak melakukan operasi”.

Anak-anaknya dibuat kaget oleh sikap bapaknya. Anak anak itupun mencoba membujuk bapaknya, akan tetapi sang bapak menolak dengan keras.

Mereka mengabarkan bahwa dana telah dibayarkan, dan tidak mungkin memintanya kembali.

Maka sang bapak berkata,”Siapa yang berkata bahwa aku akan memintanya kembali? Demi Allah, aku tidak akan mengambilnya, harta itu halal untuknya”.

Sang bapak pun meminta kepada mereka untuk kembali dengan segera ke Saudi. Mereka pun benar-benar sampai ke Madinah. Selang beberapa waktu mereka kembali ke Rumah Sakit bersama bapaknya untuk melihat perkembangan keadaannya. Terjadilah sebuah keadaan yang sangat mengagetkan!!

Diagnosa menunjukkan bahwa sang bapak telah selamat dari kegagalan ginjal. Sang bapak dan anak-anaknya pun merasa aneh, lalu mereka pergi ke Rumah Sakit lain untuk melakukan diagnosa, dan hasilnya adalah keselamatan sang bapak dari kegagalan ginjal.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyembuhkannya. Karena dia telah melepaskan kesulitan gadis tersebut, maka Allah mengeluarkannya dari kesulitan dan menyembuhkannya karena sebab gadis tersebut. Ini adalah takdir Allah yang Maha Agung.




***
http://enkripsi.wordpress.com sumber : Majalah Qiblati edisi 8 tahun 3

Selasa, 20 Desember 2011

4 Sifat Penghuni Surga


Setiap muslim sangat menginginkan kebahagiaan abadi di surga kelak. Kenikmatannya tiada terkira. Dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Allah berfirman: Aku sediakan bagi hamba-hamba-Ku yang sholeh surga yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak pernah terbetik dalam hati manusia.” Bacalah firman Allah Ta’ala, “Tak seorang pun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan.” (QS. As Sajdah: 17) (HR. Bukhari no. 3244 dan Muslim no. 2824)

Ada pelajaran penting dari surat Qaaf (surat yang biasa dibaca Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat khutbah Jum’at[1]) mengenai sifat-sifat penduduk surga. Ada 4 sifat penduduk surga yang disebutkan dalam surat tersebut sebagai berikut :

وَأُزْلِفَتِ الْجَنَّةُ لِلْمُتَّقِينَ غَيْرَ بَعِيدٍ (31) هَذَا مَا تُوعَدُونَ لِكُلِّ أَوَّابٍ حَفِيظٍ (32) مَنْ خَشِيَ الرَّحْمَنَ بِالْغَيْبِ وَجَاءَ بِقَلْبٍ مُنِيبٍ (33) ادْخُلُوهَا بِسَلَامٍ ذَلِكَ يَوْمُ الْخُلُودِ (34) لَهُمْ مَا يَشَاءُونَ فِيهَا وَلَدَيْنَا مَزِيدٌ (35)

“Dan didekatkanlah surga itu kepada orang-orang yang bertakwa pada tempat yang tiada jauh (dari mereka). Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya). (Yaitu) orang yang takut kepada Rabb yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat, masukilah surga itu dengan aman, Itulah hari kekekalan. Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan pada sisi Kami ada tambahannya.” (QS. Qaaf: 31-35)

Ada empat sifat yang disebutkan dalam ayat yang mulia ini, yaitu: (1) awwab (hamba yang kembali pada Allah), (2) hafiizh (selalu memelihara aturan Allah), (3) takut pada Allah, dan (4) datang dengan hati yang muniib (bertaubat).

Sifat Pertama: Awwab

Yang dimaksud dengan awwab adalah kembali pada Allah dari maksiat kepada ketaatan pada-Nya, dari hati yang lalai mengingat-Nya kepada hati yang selalu mengingat-Nya.

‘Ubaid bin ‘Umair rahimahullah mengatakan, “Awwab adalah ia mengingat akan dosa yang ia lakukan kemudian ia memohon ampun pada Allah atas dosa tersebut.”

Sa’id bin Al Musayyib[2] rahimahullah berkata, “Yang dimaksud awwab adalah orang yang berbuat dosa lalu ia bertaubat, kemudian ia terjerumus lagi dalam dosa, lalu ia bertaubat.”

Sifat Kedua: Hafiizh

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Ia menjaga amanat yang Allah janjikan untuknya dan ia pun menjalankannya.”

Qotadah rahimahullah mengatakan, “Ia menjaga kewajiban dan nikmat yang Allah janjikan untuknya.”

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Perlu diketahui nafsu itu ada dua kekuatan yaitu kekuatan offensive (menyerang) dan kekuatan defensive (bertahan). Yang dimaksud dengan awwab adalah kuatnya offensive dengan kembali pada Allah, mengharapkan ridho-Nya dan taat pada-Nya. Sedangkan hafiizh adalah kuatnya defensive yaitu menahan diri dari maksiat dan hal yang terlarang. Jadi hafiizh adalah menahan diri dari larangan Allah, sedangkan awwab adalah menghadap pada Allah dengan melakukan ketaatan pada-Nya.”

Sifat Ketiga: Takut pada Allah

Dalam firman Allah (yang artinya), “Orang yang takut kepada Rabb yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya)”, terkandung makna pengakuan akan adanya Allah, akan rububiyah-Nya, akan ketentuan-Nya, akan ilmu dan pengetahuan Allah yang mendetail pada setiap keadaan hamba. Juga di dalamnya terkandung keimanan pada kitab, rasul, perintah dan larangan Allah. Begitu pula di dalamnya terkandung keimanan pada janji baik Allah, ancaman-Nya, dan perjumpaan dengan-Nya. Begitu pula di dalamnya terkandung keimanan pada janji baik Allah, ancaman-Nya, dan perjumpaan dengan-Nya. Seseorang dikatakan takut pada Allah (Ar Rahman) haruslah dengan memenuhi hal-hal yang telah disebutkan tadi.

Sifat Keempat: Datang dengan hati yang muniib

Yang dimaksudkan dengan datang dengan hati yang muniib dijelaskan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, “Kembali (dengan bertaubat) dari bermaksiat pada Allah, melakukan ketaatan, mencintai ketataan tersebut dan menerimanya.”

Intinya yang dimaksud dengan sifat penghuni surga yang keempat adalah kembali kepada Allah dengan hati yang selamat, bertaubat pada-Nya, dan tunduk pada-Nya.

Semoga dengan mengetahui empat sifat penghuni surga ini membuat kita semakin dekat pada Allah, bertaubat, menjauhi maksiat dan kembali taat pada-Nya. Sehingga kita dapat berjumpa dengan Allah dengan hati yang selamat. Aamiin Yaa Mujibas Saailin.

-Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat-


References:
Fawaidul Fawaid, Ibnul Qayyim, hal. 142-143, terbitan Dar Ibnul Jauzi.
Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 13/197, terbitan Muassasah Qurthubah.
www.rumaysho.com

Selasa, 20 September 2011

Menjawab Syubhat Jaringan Islam Liberal

Mereka adalah orang yang mendaku Islam,tapi bersikap skeptis kritis bahkan sinis terhadap Islam, kalo itu dilakukan oleh non muslim , kita sudah maklum. Itulah pilihan dan konsekwensi ketidakpercayaannya terhadap Islam.

Orang yang mengimani Islam sebagai ajaran yang bersumber dari Tuhan Pencipta alam, dengan iman yang mantap, pastilah akan menerima seluruh ajaran Islam tanpa ragu dan siap diatur dengannya. Betapa tidak! Ia tahu persis bagaimana Kesempurnaan Tuhan dan ia sadar betul betapa keterbatasan dirinya, kelemahan pikiran dan perasaannya yang sering keliru dan tertipu. Maka apalagi yang perlu diragukan dan dikritisi, yang perlu diragukan dan dikritisi justru adalah pikiran dan perasaan kita.

Untuk berislam, harus dimulai dan diawali dengan rukun Islam pertama yakni syahadat sebagai suatu pengakuan keimanan sekaligus pernyataan kesiapan untuk mengabdi hanya kepada Allah Rabbul’alamin dengan menjalankan ajaran yang dibawa oleh Rasul-Nya, Muhammad Shalallahu 'alaihi wasallam. Kenapa demikian? Karena persoalan beragama bukanlah persoalan main-main dan coba-coba, pertimbangan untung-rugi duniawi atau logis-tidak logis (menurut pikiran kita). Urusan beragama adalah urusan pengabdian, ketundukan dan penyerahan diri yang bulat kepada Allah. Mau diapakan kita oleh Allah, “sami’na wa atha’na”, itulah makna pengabdian.

Kasarnya, jangankan syariah Allah itu baik dan benar, salah dan buruk (maha suci Allah dari kesalahan dan kezaliman) sekalipun, mesti kita laksanakan. Karena kita ini hamba-Nya yang tidak berkuasa sedikit pun untuk menolak Keputusan-Nya. Persis seperti ketaatan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang rela menyembelih puteranya (sebelum kemudian diganti dengan domba) karena perintah Allah. Beliau tidak pernah berpikir sedikitpun untuk mempertanyakan perintah Allah yang terkesan keliru dan kejam itu. Tapi ini  orang-orang yang lisannya mendaku muslim dan beriman, lantas melontarkan penolakan terhadap ajaran Islam dengan 1001 alasan yang cukup halus dan lihai.

Diantara alasan  para lebayralis ini adalah bahwa Islam yang dipahami dan dipraktekkan selama ini adalah Islam menurut pemikiran dan penafsiran manusia. Jadi bisa dikritisi, diutak-utik, diperbaharui bahkan dikoreksi. Jawabannya mudah saja. Apakah anda lebih percaya dan tenteram dengan pikiran dan penafsiran anda dan orang-orang semacam anda sendiri? Mengapa anda lebih memilih penafsiran orang-orang yang miskin iman dan faqir taqwa, ketimbang para ulama yang berpegang dengan dalil-dalil yang shahih, memiliki metodologi ilmiah islamiah yang konsisten, sangat hati-hati dalam berfatwa, dan memiliki mekanisme kontrol dan koreksi terhadap sesama ahli ilmu? Yang waras-waras sajalah!

Diantara alasan mereka lagi adalah pemahaman dan pengamalan para sahabat dan ulama salaf(terdahulu) itu cocok untuk kondisi dan situasi ketika itu. Sedang sejarah dan peradaban manusia terus berubah dan berkembang, diperlukan penafsiran dan pembaharuan yang terus-menerus sesuai dengan zamannya. Jawabannya pun sebenarnya mudah saja :

Astrologi, feng shui, paranormal, dll sudah ada sejak zaman dahulu kala, mengapa manusia modern yang katanya serba rasional masih mempelajari dan menggunakannya? Lantas, apakah konsep tawakkal dan doa kepada Allah Rabbul’alamin sudah tidak relevan? Pakai otak dong!
Barter, mungkin adalah sistem perdagangan yang paling antik. Apakah sudah tidak berlaku sekarang? Bahkan institusi pemerintah pun masih menggunakannya. Pemerintah Indonesia dan Rusia pernah barter. Kenapa banyak orang sok tahu yang melecehkan gagasan penggunaan mata uang emas dan perak sebagai alat tukar yang lebih islami?

Model pemerintahan dengan sistem kerajaan (kepala negara dipilih dari garis keturunan) masih berlaku hingga sekarang. Bahkan model penguasa imperialis yang ingin menjajah dan menjarah dunia masih mewarnai sepak terjang negara sekelas Amerika. Dari sudut pandang mana pula para islamphobi menertawakan sistem khilafah sebagai sistem pemerintahan alternatif untuk peradaban akhir zaman?

Untuk membuat tafsir Quran dan syarah Hadits ala lebayralis, orang tidak perlu belajar sama sekali! Modalnya cukup mengerti bahasa Indonesia dan punya sedikit keberanian (baca: kekurang-ajaran) untuk berpikiran ngawur. Tidak perlu belajar bertahun-tahun bahasa Arab, ushul fiqhmusthalah hadits,asbabunnuzulasbabul wurudl, menelaah kitab-kitab salaf dan bermulazamah dengan para ulama. Yang penting adalah bagaimana agar Islam itu enak didengar dan enteng dikerjakan, masuk di akal orang-orang yang mendewakan akal dan menyenangkan hati orang-orang yang telanjur kepincut dengan dunia.

Yahudi; suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, anda setuju atau tidak, adalah sebuah agama ultra rasialissuper eksklusif. Salah satu kepercayaan dasar mereka (termaktub dalam protokolat zionis) adalah bahwa bangsa Yahudi adalah manusia pilihan Tuhan, selain mereka adalah binatang tunggangan Yahudi. Ideologi itulah yang melecut dan memotivasi mereka untuk mengobok-obok dan mengangkangi dunia dengan kejeniusan mereka. Itulah yang terjadi hingga sekarang!

Nah, apa salahnya Islam memproklamirkan diri kepada ummat manusia sebagai satu-satunya agama samawi terakhir yang disyariatkan oleh Tuhan? Siapa yang masuk Islam akan masuk surga sedang yang menolak Islam padahal sudah mendengar dakwah Islam, akan menjadi penghuni neraka. Kendati demikian, mereka tetap dipergauli dengan baik di dunia (toleransi) selama mereka tidak memusuhi ummat Islam. Mengapa ummat Islam dipaksa-paksa menerima paham pluralisme yang kufur itu?

Sejujurnya para lebayralis ini adalah orang yang ‘cerdas’ hanya saja mereka punya kebiasaan buruk, yakni suka ‘teler’, jadi jangan heran kalau mereka suka mengeracau bak seorang peminum khamr yang berusaha melukiskan “sensasi rasa” dari “barang najis” yang sedang diminumnya. Dia seolah-olah berusaha meyakinkan orang-orang yang belum pernah mereguknya sembari menertawakan mereka dan berkata: “enak, gila!”


Wallohua'lam bis showab


Padang Nan Tacinto, 20 September 2011

_____________
Sumber dari sini

Arsip Blog