Showing posts with label Telaah. Show all posts
Showing posts with label Telaah. Show all posts

Teror Bom, Adu Cepat, dan Jurnalisme Ludah

>> Wednesday, July 22, 2009


Pemberitaan televisi kita soal bom di JW Marriott dan Ritz-Carlton dipenuhi dengan adu cepat berita serta “jurnalisme ludah” yang berisi omongan spekulatif, perbincangan konspiratif, dan pertanyaan klise yang kadang-kadang konyol.

Di antara semua stasiun televisi Indonesia, Metro TV yang paling cepat mengabarkan peristiwa peledakan bom di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton pada Jumat, 17 Juli 2009 lalu. Hari itu, sebelum pukul 08.15, Metro sudah menyiarkan bahwa ada ledakan di Hotel Ritz-Carlton. Pertama kali berita dikabarkan lewat mata acara Headline News, lalu disusul acara berita khusus bertajuk Breaking News. Sebagai televisi berita, Metro terbiasa menghadapi peristiwa-peristiwa tak biasa semacam ini dengan membuat “acara dadakan” yang durasinya panjang dan isinya khusus membahas satu peristiwa.

Ledakan di JW Marriott terjadi pada pukul 07.47, sementara di Ritz Carlton pukul 07.57. Hanya beberapa menit kemudian, saya yang berada ratusan kilometer dari Jakarta sudah menyimak kabar soal ledakan itu, meski tentu saja, belum berupa informasi yang lengkap. Kemungkinan besar Metro TV menerima kabar kilat ini dari pemirsanya. Berita-berita soal ledakan tersebut pada detik-detik awal memang hanya berupa informasi lisan yang selama beberapa menit diulang-ulang.

Presenter Breaking News, selama beberapa menit, selalu mengulang kalimat, “Pemirsa, beberapa waktu yang lalu telah terjadi ledakan di Hotel Ritz-Carlton, Kuningan, Jakarta.” Hal semacam ini, meski agak membosankan bagi kita yang menonton, tapi merupakan laku tak terhindarkan dari sebuah organisasi berita yang ingin secepat mungkin mengabarkan sesuatu pada khalayaknya. Pada momen-momen itu, saya kira, pengetahuan para awak redaksi Metro soal ledakan tersebut tak banyak berbeda dengan para penontonnya. Jadi, memang tak ada yang bisa disiarkan selain mengulang kalimat yang sama. Jangankan gambar, informasi lebih banyak soal ledakan itu saja belum didapat.

Beberapa menit kemudian, setelah informasi lisan dari presenternya, Metro mulai menghubungi sejumlah orang yang disebut sebagai saksi mata ledakan. Beberapa orang diwawancarai secara langsung via sambungan telepon. Ini berlangsung dalam hitungan setengah jam lebih. Dan, tetap masih belum ada gambar. Informasi yang dikumpulkan—sekaligus disiarkan langsung pada kita—melalui wawancara langsung ini hanya sepotong-potong, sama sekali tidak sistematis, dan banyak terjadi pengulangan yang mubazir. Hal semacam ini terjadi karena presenter yang melakukan wawancara tidak melontarkan pertanyaan secara sistematis. Seharusnya, pertanyaan-pertanyaan dasar yang mencakup 5W+1H diajukan lebih dulu, baru dilanjutkan dengan persoalan yang lebih mendalam.

Yang sangat saya sayangkan, pada awal-awal pemberitaannya, Metro TV gagal menangkap fakta bahwa pagi itu terjadi dua ledakan di dua tempat yang berbeda. Selama setengah jam lebih, Metro hanya mengabarkan bahwa ledakan terjadi di Hotel Ritz-Carlton, sama sekali tak menyinggung nama JW Marriott. Saya yang menyimak beberapa pemberitaan di stasiun televisi lain sempat bingung: sebenarnya, ada berapa ledakan, di berapa tempat. TV One, televisi berita saingan Metro, lebih tepat menangkap fakta karena sejak awal sudah menyiarkan adanya dua ledakan: satu di JW Marriott, satu di Ritz-Carlton.

Metro TV juga memiliki “cacat akurasi” karena seorang narasumber yang diwawancarainya sempat mengatakan bahwa ledakan di Ritz-Carlton terjadi akibat genset yang meledak. Narasumber yang menyebut informasi ini seorang pekerja kantoran yang kebetulan ada di dekat tempat ledakan. Ia mengatakan, informasi soal genset yang meledak itu didengarnya dari “seorang polisi”. Presenter Breaking News Metro TV sempat menyebut informasi ini “seharusnya cukup dapat dipercaya”.

TV One memang lebih akurat, tapi sebagai televisi berita, seharusnya TV One malu karena terlambat menyiarkan berita ledakan itu selama lebih setengah jam dari Metro. Ketika Metro sudah mulai menyiarkan berita ledakan, TV One masih tenang-tenang saja dengan acara “Apa Kabar Indonesia”-nya yang membosankan itu. Saya sempat berpikir: apakah para awak TV One tak menyimak Metro, saingan terberatnya itu?

RCTI adalah stasiun televisi ketiga yang menyiarkan berita ledakan. Tapi Trans TV yang pertama kali menayangkan rekaman gambar soal peristiwa itu. Dibandingkan Metro, TV One, dan RCTI yang belum memiliki gambar dan hanya mengandalkan berita melalui wawancara langsung dengan orang-orang yang disebut sebagai “saksi mata”—sesungguhnya, kita tak tak pernah diyakinkan soal kredebilitas sumber-sumber ini—Trans TV menyajikan liputan yang lebih lengkap. Peristiwa ledakan dihadirkan secara lebih baik, dengan rekaman audio visual soal proses evakuasi korban yang mulai menarik empati kita soal dampak ledakan. Ketika Trans TV mulai menayangkan rekaman-rekamannya, stasiun televisi lain masih terus berkutat dengan wawancara telepon.
***

Lepas dari detik-detik awal kejadian, persaingan yang terjadi bukan lagi soal kecepatan. Perlombaan mendapatkan gambar, dan buru-buru memberi cap “eksklusif”, merupakan bentuk kompetisi selanjutnya yang dilakukan stasiun-stasiun televisi. Metro TV dan TV One tetap bersaing paling ngotot. Bentuk kompetisi lain adalah menghadirkan “analisis” atas peristiwa ledakan bom tersebut, terutama soal siapa yang berada di balik aksi teror itu. Dalam lomba analisis ini, secara ironis, TV One harus diberi “tropi juara satu”.

Melalui mata acara “Apa Kabar Indonesia” dan pelbagai tayangan berita dan talkshownya, TV One memang amat rajin membuat analisis. Bahkan, tema perbincangan di “Apa Kabar Indonesia Pagi” selama beberapa hari pasca-ledakan terus-terusan diberi tajuk “Analisis Peristiwa Bom”. Sayangnya, apa yang disebut sebagai “analisis” ini tak lebih dari perbincangan-perbincangan spekulatif dan kadang-kadang bahkan konspiratif. Para narasumber yang diundang kebanyakan adalah orang-orang yang secara tiba-tiba diberi atribusi-atribusi lucu, semisal “pengamat terorisme”, “pengamat intelijen”, dan “pengamat keamanan”. Parahnya, para presenter yang memandu pun kadang-ladang melontarkan pertanyaan-pertanyaan klise, diulang-ulang, dan bahkan konyol.

Saya masih ingat bagaimana seorang pembawa acara “Apa Kabar Indonesia Pagi” bertanya pada Hendropriyono, Mantan Kepala BIN, berapa persen jumlah gedung di Jakarta yang sudah memiliki metal detector? Keesokan paginya, sang pembawa acara yang sama ternyata bertanya pada seorang peneliti LIPI, apa sih sebenarnya kegunaan metal detector? Pertanyaan-pertanyaan tidak cerdas semacam itu bukan sekali-dua diajukan. Orang-orang seperti Andri Jarot dan Indy Rahmawati—dua nama yang belakangan amat sering memandu “Apa Kabar Indonesia Pagi”— sering kali terjebak pada klise-klise tak berguna semacam itu.

Ketimbang melakukan penelusuran investigatif yang menghasilkan fakta-fakta, TV One memang lebih suka mengundang “para pengamat” untuk ditanyai. Bagi saya, ini sebuah kemalasan, dan kalau kecenderungan ini terus-terusan berlanjut, predikat “televisi berita” sebaiknya diganti menjadi “televisi talkshow” saja—mengingat, jumlah talkshow di TV One amat banyak juga kan? Tapi kemalasan semacam itu memang tabiat jurnalisme Indonesia yang sulit dibendung. Lebih suka menanyai narasumber, lalu menjadikan pernyataan narasumber tadi sebagai berita, itulah kemalasan yang saya maksud.

Dalam ihwal tertentu, hal tersebut sama sekali bukan masalah. Tapi dalam peristiwa semacam ledakan bom kemarin, “jurnalisme ludah” semacam itu sungguh membosankan, dan terutama sekali membingungkan. Bagaimanapun, yang dibutuhkan bukan omongan spekulatif yang kabur, konspiratif, atau bombastis. Yang dibutuhkan publik pada masa pasca-teror adalah kejernihan dan kejelasan. Pendeknya, yang dibutuhkan adalah jurnalisme dengan akurasi, bukan jurnalisme yang (hanya) dipenuhi ludah “para pengamat”.

Ketika melakukan kajian atas berita-berita Bom Bali I, Eriyanto dan Agus Sudibyo menyimpulkan bahwa kebanyakan media massa di Jakarta lebih suka mengutip komentar “para pengamat” ketimbang melakukan pencarian fakta-fakta di lapangan. Salah satu yang paling sering mengutip para komentator waku itu adalah Harian Republika. Satu penyebabnya karena kala itu fakta-fakta yang ditemukan polisi cenderung “memojokkan” citra umat Islam sehingga, sebagai harian yang memihak Islam, Republika berusaha menyajikan berita-berita dengan perspektif beda.

Mereka yang rutin membaca Republika pada masa-masa itu mungkin akan ingat bahwa harian itu berusaha mengarahkan opini tentang keterlibatan Amerika Serikat dalam Bom Bali I. Karena fakta penyidikan polisi tak mendukung opininya, Republika mengutip komentar-komentar dari para tokoh, yang dianggap sebagai “pengamat”, yang mendukung teori konspirasi keterlibatan Amerika Serikat. Teori konspirasi semacam itu akhirnya tenggelam dengan sendirinya, dan kini orang tahu harus menyalahkan siapa atas bom di Bali. Barangkali, kebenaran yang ditemukan jurnalisme soal Bom Bali I dan kita pegang hari ini memang bukan kesahihan yang paripurna, tapi kualitas semacam itu memang bukan tujuan jurnalisme.

Yang terjadi pada Republika tentu berbeda dengan TV One. Republika mengutip para komentator karena alasan ideologis, sementara TV One melakukannya dengan alasan yang kita tak sepenuhnya tahu. Mungkin demi bombasme, atau memang “analisis” semacam itulah yang mereka bisa tampilkan. Yang jelas, keduanya dipenuhi “jurnalisme ludah” yang tidak menyehatkan bagi publik.

Sukoharjo, 22 Juli 2009
Haris Firdaus

gambar diambil dari sini

Read more...

Komunikasi dan Hasrat Ekonomi Solo

>> Thursday, July 2, 2009


Dalam sebuah diskusi tentang jati diri Kota Solo beberapa waktu lampau, Laura Romano, seorang peneliti kebudayaan Jawa asal Italia, mempertanyakan pemakaian slogan “Solo The Spirit of Java”. Secara esensial, slogan itu memang tepat sasaran karena wilayah Solo Raya yang memanggul slogan tersebut bisa disebut sebagai tempat di mana “jiwa kebudayaan Jawa” bersemayam. Akan tetapi, kenapa bahasa slogan tersebut justru seperti mengkhianati esensinya sendiri? Penggunaan bahasa Inggris dalam slogan tersebut, kata Romano, terkesan kontradiktif dengan semangat yang dibawanya.

Bukan hanya wilayah Solo Raya yang menggunakan slogan berbahasa Inggris. Kota Solo, sejak beberapa tahun belakangan, kerap mempropagandakan slogan “Solo Past is Solo Future”. Semangat yang dibawa kurang lebih sama dengan “Solo The Spirit of Java”. Menariknya, kegemaran memakai bahasa Inggris ini juga menular dalam hal pemberian nama tempat di Solo. Sebut misalnya ruang interaksi warga di sepanjang Jalan Slamet Riyadi yang disebut sebagai “city walk”, pasar malam Ngarsopuro yang dinamai “night market”, dan juga Solo Techno Park.

Dalam konteks sebuah kota, pemakaian suatu jargon dan pemberian nama tempat merupakan bagian dari proses “mengkomunikasikan kota”. Idealnya, perancangan sebuah slogan dan nama tempat di suatu kota juga memperhitungkan elemen-elemen dasar proses komunikasi. Dalam konteks ini, pemahaman proses komunikasi menurut Harold D Laswell bisa sangat membantu. Menurut Laswell, proses komunikasi bisa diringkas dalam pertanyaan-pertanyaan berikut: Who Says What in Which Channel to Whom with What Effect. Dari konsepsi itu, kentara bahwa komunikasi terdiri dari beberapa elemen, yakni (a) komunikator atau penyampai pesan; (b) pesan yang disampaikan, (c) sarana penyampaian pesan; (d) komunikan atau penerima pesan; dan (e) efek komunikasi.

Dalam tiap perancangan proses komunikasi, termasuk dalam proses mengkomunikasikan kota, bukan saja masalah esensi pesan dan sarana penyampaian pesan yang harus diperhitungkan. Penentuan secara tepat siapa komunikan dari proses komunikasi tersebut juga merupakan hal yang teramat signifikan. Dalam hal slogan-slogan kota dan nama-nama tempat berbahasa Inggris, kita bisa bertanya: sebenarnya, siapakah yang menjadi komunikan dari slogan tersebut? Siapakah yang ingin disapa oleh pemerintah kota sebagai komunikator melalui slogan tersebut?

Melihat penggunaan bahasa Inggris dalam slogan-slogan kota, kita bisa bercuriga bahwa slogan tersebut memang pada awalnya dan terutama tidak ditujukan kepada warga kota yang tidak memiliki kedekatan emosional dengan bahasa tersebut. Pemakaian bahasa Inggris justru menunjukkan bahwa yang dituju oleh pemerintah kota sebenarnya adalah para turis dari luar negara. Dalam hal ini, slogan kota tidak lagi merupakan semacam alat yang mengikat warga kota menjadi—mengambil istilah Ben Anderson—sebuah “komunitas terbayang”. Nama-nama tempat di kota yang menggunakan bahasa Inggris juga bukan sumber rujukan bagi masyarakat setempat untuk menggali identitasnya. Slogan dan nama tempat yang menggunakan bahasa Inggris hanyalah sarana marketing kota, alat penarik turis guna mendatangkan pendapatan.

Efek Globalisasi
Dari analisis di atas, bisa disimpulkan bahwa kegemaran memakai bahasa Inggris tidak hanya merupakan efek globalisasi yang mengukuhkan keberadaan bahasa tersebut sebagai bahasa internasional. Lebih dari itu, pemakaian bahasa Inggris di Kota Solo atau kota lainnya di Indonesia merupakan efek dari cara memandang informasi sebagai sebuah kapital dan komunikasi sebagai semacam proses ekonomi. Hidup dalam suatu kurun yang sering dilabeli sebagai “zaman ledakan informasi” ini, suka atau tidak memaksa kita mengakui bahwa informasi merupakan kapital yang sangat berharga sekarang. Walau mungkin agak berlebihan, kita bisa mengatakan pada masa ini berlaku diktum “informasi adalah segalanya” dan “segalanya adalah informasi”. Tak seperti di masa yang amat lampau di mana informasi hanya merupakan sebentuk barang sosial, saat ini informasi merupakan komoditas ekonomi yang memiliki nilai jual tak murah.

Peralihan makna informasi dari sekadar barang sosial menjadi kapital juga berarti peralihan fungsi komunikasi. Pada masa ini, komunikasi tidak lagi dilakukan semata-mata demi pencapaian pemahaman bersama. Hasrat ekonomi berupa keinginan meraup laba sebanyak-banyaknya telah menjadi faktor yang menentukan dalam proses komunikasi. Karenanya, komunikasi menjadi sama dengan proses transaksi jual beli yang memperhitungkan laba serta rugi.

Wujud utama dari komunikasi yang dipengaruhi hasrat ekonomi adalah pemasaran. Dalam ihwal kota, ia mewujud dalam proses marketing kota kepada turis dan investor. Tentu saja, tendensi menarik turis dan menggandeng investor bukan sebuah kesalahan. Memasarkan kota, bagaimanapun, menjadi proses yang mutlak terjadi di pelbagai kota di belahan dunia manapun. Masalahnya, keinginan memasarkan kota seharusnya tidak menjadi orientasi satu-satunya dalam mengkomunikasikan kota.

Sebagai komunikator, pemerintah kota tidak hanya berhadapan dengan turis luar negeri sebagai komunikan. Warga masyarakat yang sehari-hari bergulat dalam hidup yang penuh peluh di kota, juga merupakan komunikan, bahkan komunikan utama. Mengkomunikasikan kota kepada para turis—yang dalam bahasa marketing disebut sebagai “branding kota”—tidak boleh menghalangi proses pengkomunikasian kota pada warga masyarakat.

Bagaimanapun, marketing hanyalah satu bagian kecil dari keseluruhan proses komunikasi sehingga marketing kota tidak pernah boleh mendominasi proses komunikasi di dalam sebuah kota. Dengan kata lain: hasrat ekonomi tidak boleh menjadi satu-satunya pertimbangan dalam komunikasi kota. Mengambil pemikiran Jürgen Habermas, komunikasi seharusnya dilakukan dengan tujuan untuk membangun sikap saling mengerti dan mewujudkan sebuah konsesus tanpa dominasi. Karena itu pula, komunikasi kota seharusnya tidak semata bertendensi ekonomi tapi juga merupakan proses sosial di mana semua elemen masyarakat kota berusaha membangun sikap saling pengertian dan pemahaman bersama ihwal kota mereka.

Haris Firdaus
(Dimuat di Suara Merdeka, 9 Juni 2009)
gambar diambil dari sini

Read more...

Politisasi Mitos Pangeran Samudro

>> Saturday, June 6, 2009

Makam Pangeran Samudro di Gunung Kemukus, Desa Pandem, Kecamatan Sumberlawang, Sragen, identik dengan ritual ngalap berkah (mencari berkah) yang penuh kontroversi. Konon, salah satu syarat melakukan ritual di sana adalah bersetubuh dengan orang yang bukan suami atau istrinya selama tujuh kali pada tiap malam Jumat Pon atau Jumat Kliwon.

Ritual macam ini sudah berlangsung puluhan tahun sehingga nama Pangeran Samudro selalu identik dengan “ritual seks bebas” di Gunung Kemukus. Padahal, dalam kepercayaan masyarakat setempat, Pangeran Samudro adalah sosok pelindung rakyat dari kesewenang-wenangan penguasa. Bagi penduduk kawasan Gunung Kemukus, mitos Pangeran Samudro adalah sesuatu yang penting karena melalui mitos tersebut masyarakat menemukan harapan dari keterdesakan hidup yang mendera mereka.

Bagi pemerintah, mitos Pangeran Samudro juga memiliki arti penting sehingga pada era Orde Baru pemerintah mulai “membuat” kisah tentang Pangeran Samudro yang berbeda dengan keyakinan masyarakat setempat. Pemerintah Kabupaten Sragen, melalui informasi yang tertera di dalam website resminya menyebut Pangeran Samudro adalah putra Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit yang memerintah di masa keruntuhan kerajaan itu pada sekitar tahun 1478. Tatkala Majapahit runtuh karena serangan Kerajaan Demak, Pangeran Samudro tidak ikut melarikan diri tapi justru ikut serta ke Demak.

Oleh Sultan Demak, Pangeran Samudro kemudian diperintahkan belajar Islam kepada Sunan Kalijaga dan Kyai Ageng Gugur. Setelah pembelajarannya tentang Islam selesai, Pangeran Samudro sempat berdakwah di beberapa tempat sebelum akhirnya meninggal di Dukuh Doyong, Kecamatan Miri, Sragen. Ia kemudian dimakamkan di sebuah bukit di sebelah barat Dukuh Doyong. Bukit itulah yang kini dikenal sebagai Gunung Kemukus.

Mitos versi Pemerintah Kabupaten Sragen ini berbeda dengan mitos yang diyakini penduduk sekitar Gunung Kemukus. Para penduduk asli daerah itu yakin Pangeran Samudro bukanlah orang yang “tunduk” dan mau bekerja sama dengan Demak ketika Majapahit runtuh. Sebaliknya, mereka yakin bahwa Pangeran Samudro justru terus melakukan perlawanan terhadap Kerajaan Demak. Ia dianggap pahlawan bagi rakyat sekitar karena membela wilayah Gunung Kemukus dari serbuan Demak. Masyarakat di kawasan Gunung Kemukus juga yakin bahwa Pangeran Samudro adalah pengabdi budaya Jawa abangan dan bukan pendakwah Islam seperti diyakini Pemerintah Sragen.

Adanya perbedaan pemahaman tentang Pangeran Samudro antara masyarakat lokal Gunung Kemukus dengan pemerintah bukan disebabkan perbedaan sumber sejarah. Sebab, sumber sejarah yang sahih tentang Pangeran Samudro memang belum pernah ditemukan. Nama Pangeran Samudro bahkan tidak tercantum dalam silsilah Kerajaan Majapahit atau Demak. Perbedaan penafsiran itu, sangat mungkin lebih bersifat “politis”. Orlando de Guzman (2006: 43) menyebut bahwa pemerintah orde baru berusaha “menyesuaikan” mitos Pangeran Samudro dengan gagasan-gagasan Pancasila untuk “membersihkan” daerah itu dari pengaruh Partai Komunis Indonesia. Pada tahun 1960-an, kawasan Gunung Kemukus memang merupakan daerah basis PKI.

Selain itu, penafsiran baru ala pemerintah juga sangat mungkin berkaitan dengan pembangunan Waduk Kedung Ombo. Pengambilalihan Gunung Kemukus oleh Pemkab Sragen dan pengumuman rencana pembangunan Waduk Kedung Ombo berlangsung pada tahun yang sama: 1983. Pembangunan Kedung Ombo mendapat banyak tentangan karena pembangunannya akan menenggelamkan rumah milik 5.268 kepala keluarga di empat kecamatan di Kabupaten Boyolali, Sragen, dan Grobogan. Para penduduk yang rumahnya tenggelam diminta transmigrasi ke pulau lainnya dengan ganti rugi sebesar Rp. 250 (Stanley; 1994).

Beberapa desa di sekitar Gunung Kemukus juga ikut dalam wilayah yang akan tenggelam jika Kedung Ombo dibangun. Berkaitan dengan persoalan itu, sejumlah warga Gunung Kemukus menyatakan menolak melakukan transmigrasi. Penolakan itu dihadapi pemerintah dengan berbagai cara. Pemberian “tafsir baru” atas mitos Pangeran Samudro yang dilakukan Pemkab Sragen kala itu sangat mungkin berkaitan dengan rencana pembangunan Kedung Ombo. Dalam tafsir versi pemerintah, Pangeran Samudro diceritakan sebagai sosok yang bekerja sama dengan penguasa—dalam konteks saat itu adalah Kerajaan Demak—dan juga menganut sejumlah nilai yakni: (1) ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; (2) menghargai orang tua sebagai perantara lahir manusia ke dunia; (3) selalu taat dan setia kepada negara; (4) tidak takut menghadapi kesukaran dan penderitaan dalam melaksanakan tugas; (5) seorang tokoh pendamai serta pemersatu bangsa dan selalu bertanggung jawab.

Dalam penafsiran versi pemerintah ini, terlihat kalau pemerintah Orde Baru ingin menunjukkan bahwa Pangeran Samudro adalah penganut sejumlah nilai yang bersesuaian dengan Pancasila dan juga memiliki ketaatan pada negara. Melalui tafsir semacam ini, pemerintah Orde Baru tampaknya ingin menggiring masyarakat setempat—yang menganggap Pangeran Samudro sebagai “panutan”—untuk taat pada pemerintah, terutama dalam persoalan pembangunan Waduk Kedung Ombo. Hal ini makin kentara ketika pemerintah Orde Baru mulai memberi stigma pada warga yang menolak pindah dengan cap “anti-Pancasila”, “anti-pemerintah”, atau “anti-pembangunan”. Melalui pemberian cap macam itu, secara tidak langsung pemerintahan Soeharto ingin mengatakan bahwa masyarakat yang menolak pindah adalah mereka yang tidak lagi menghormati dan mencontoh sikap Pangeran Samudro.

Tapi upaya memonopoli tafsir tentang mitos Pangeran Samudro tampaknya tidak membuahkan hasil yang signifikan. Justru ketika sengketa Waduk Kedung Ombo berlangsung, mitos Pangeran Samudro versi penduduk asli menjadi tambah populer (Guzman; 2006: 46). Para penduduk kala itu menganggap bahwa Pangeran Samudro adalah sosok gaib yang akan melindungi mereka dari tekanan fisik dan psikologis yang diberikan oleh pemerintah orde baru.

Bagi mereka yang menolak pindah, Pangeran Samudro adalah sosok yang melambangkan kesengsaraan rakyat kecil karena kesewenang-wenangan penguasa. “Politisasi” yang dilakukan pemerintah Orde Baru terhadap mitos Pangeran Samudro pada akhirnya tak menuai hasil yang maksimal. Masyarakat asli Gunung Kemukus, secara baik justru menjadikan mitos tersebut sebagai “pertahanan diri” guna menghadapi tekanan fisik dan represi psikologis dari pemerintah Orde Baru.

Haris Firdaus

[Versi lain tulisan ini dimuat di Harian Media Indonesia, 6 Juni 2009. Saya juga menulis kisah lengkap soal Pangeran Samudro dan Gunung Kemukus di buku Misteri-misteri Terbesar Indonesia. Gambar Gunung Kemukus saya ambil dari sini ]

Read more...

Cecabang Jalan Akademisi Sastra

>> Sunday, March 15, 2009

(Tanggapan untuk Esai Aries A Denata SS di Solopos)


Dunia kesusastraan selalu berisi banyak jalan dengan cecabang yang plural dan tak bisa dipersamakan. Sekian jalan yang barangkali kita temui saat menyusuri dunia sastra harusnya dianggap sebagai sebuah kekayaan, semacam kemajemukan yang indah dan merangsang. Ambisi “menyamakan” jalan yang harus dilalui oleh tiap komponen dalam sastra adalah keinginan gegabah yang kebanyakan timbul karena narsisme.

Ambisi tidak bijak semacam itulah yang kita temui saat membaca esai Aries A Denata SS berjudul “Duel di Jalan Raya Sastra Solo” (Solopos, 1/3). Diawali dengan klaim klise bahwa “para akademisi sastra hanya berkutat di wilayah kampus semata”, esai tersebut hendak menyampaikan semacam “tantangan duel” kepada para akademisi sastra Solo. Sebagai orang yang mengklaim dirinya sebagai “orang jalanan sastra Solo”, Aries dengan bersemangat melabrak para akademisi sastra Solo yang menurutnya “mengurung diri dalam dunianya sendiri” dan “seolah sudah tak ada lagi dunia di luar dirinya”.

Lucunya, klaim labrakan Aries yang belum tentu sahih ini akan segera bisa kita kenakan balik padanya. Dengan menantang dan bahkan bisa dikatakan “menyuruh-nyuruh” para akademisi sastra untuk berduel dengan “orang jalanan sastra” di jalan raya sastra Solo, Aries sebenarnya juga sedang “mengurung diri dalam dunianya sendiri”. Ia juga bersikap “seolah sudah tak ada lagi dunia di luar dirinya”.

Tampak sekali ia ingin memakai standar aktivitas diri dan rekan-rekannya di komunitas sastra non akademis untuk melihat kiprah para akademisi sastra. Menggunakan pola pikir komunitas sastra, maka aktivitas yang paling penting memang melakukan pengembangan diri supaya bisa menghasilkan karya dengan derajat estetika tinggi dan juga melakukan pertemuan dengan publik seluas mungkin guna mensosialisasikan diri, karya, dan komunitas.

Masalahnya, apakah ukuran macam itu bisa dipakai untuk menilai kualitas aktivitas para akademisi sastra? Apakah para akademisi ini harus dituntut untuk selalu terus-menerus hadir di hadapan publik luas seperti yang dilakukan oleh para pegiat komunitas sastra? Jika yang dimaksud Aries dengan “duel di jalan raya sastra Solo” adalah sekadar hadir sebagai pembicara dalam sebuah acara sastra, misalnya, bukankah itu sudah terjadi secara cukup lazim di dunia sastra Solo? Bukankah cukup jamak kita jumpai seorang dosen duduk bersama sastrawan membahas masalah sastra di Solo?

Bukanlah tugas utama para akademisi sastra untuk mengadakan perjumpaan secara terus-menerus dengan publik, apalagi mengambil inisiatif untuk mengadakan pertemuan-pertemuan itu. Cukup banyak infrastruktur sastra di Solo yang bisa melakukan hal tersebut. Segepok komunitas sastra yang telah disebut Aries dan juga lembaga-lembaga kebudayaan semacam Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) dan Dewan Kesenian Surakarta (DKS) lebih cocok untuk “dibebani” tugas itu.

Para akademisi sastra bertugas di kampus, karena memang itulah ranah pokok perjuangan mereka, bukan karena mereka “mengurung diri dalam dunianya sendiri”. Tugas utama mereka bukanlah mengadakan acara bedah buku atau workshop penulisan kreatif seperti yang dilakukan oleh komunitas sastra. Yang menjadi pokok perjuangan mereka adalah menumbuhkan bibit-bibit baru kritikus dan peneliti sastra dengan melakukan pengajaran sastra sebaik mungkin. Selain itu, tugas mereka jugalah menghasilkan telaah akademis berkualitas cemerlang atas karya sastra.

Dalam hal menilai karya para akademisi sastra ini pula Aries menggunakan ukuran yang lagi-lagi menunjukkan bahwa dia “mengurung diri dalam dunianya sendiri”. Pendapatnya yang menyayangkan bahwa jurus para akademisi sastra ini “hanya bisa ditangkap oleh kalangan terbatas”, yakni “para intelektual saja”, sungguh merupakan pendapat yang kelihatannya sahih tapi sebenarnya melencong. Benar bahwa para akademisi sastra memang menggunakan jurus kritik sastra yang barangkali hanya bisa dipahami sejumlah kecil orang, yakni mereka yang membekali diri dengan wacana sastra dan intelektual secara baik. Namun, kenyataan ini sama sekali tidak perlu disayangkan karena memang itulah yang seharusnya mereka lakukan!

Seandainya tiap akademisi sastra dibebani tugas untuk menulis telaah sastra yang awam, lalu siapa yang akan menulis telaah akademis yang serius dan penuh dengan wacana intelektual? Karya sastra tak bisa hanya dipahami melalui jalan “kritik umum” yang akrab dengan semua golongan. Teks sastra juga berhak ditelaah secara serius dengan metode yang ketat, bahasa ilmiah, dan teori pendukung yang memadai. Sekali lagi, siapa yang akan mengambil tugas itu jika bukan para akdemisi sastra?

Kritik terhadap para akademisi sastra memang perlu dilakukan tapi harus dengan substansi yang benar dan jalan pikir yang tak sesat. Kritikan terhadap mereka seharusnya diarahkan pada aktivitas yang memang menjadi tugas mereka, yakni pada wilayah pengajaran dan penelitian sastra. Dua wilayah inilah yang menjadi cecabang jalan sastra yang mereka geluti sehingga lebih bijak jika kita bertanya tentang efektivitas kerja mereka di sana.

Jikalau memang hendak mengkritik para akademisi sastra Solo, maka pertanyaan yang bisa diajukan adalah: sejauh mana mereka mampu membekali mahasiswanya dengan kemampuan menulis karya atau kritik sastra yang memadai dan apakah telaah yang mereka lakukan atas berbagai ragam karya sastra sudah memenuhi kriteria intelektual yang baik? Dua pertanyaan inilah, bukan tantangan duel di jalan raya, yang seharusnya lebih dulu diajukan pada akademisi sastra Solo.

Menantang para akademisi sastra untuk berduel di “jalan raya sastra”, seperti yang dilakukan Aries, sungguh bukan tindakan yang bijak dan bajik. Tantangan itu justru berbalik menjadi “senjata makan tuan” karena menunjukkan bahwa penulisnya “mengurung diri dalam dunianya sendiri.

Haris Firdaus
(Dimuat di Solopos, 15 Maret 2009)
gambar diambil dari sini

Read more...

Manusia Hamberger dan Pengetahuan yang Diperdagangkan

>> Tuesday, December 16, 2008


Tiap kali telepon di kantor pusat perusahaan waralaba McDonald’s berdering, akan selalu siaga seorang pekerja yang dengan yakin menjawab panggilan di ujung sana dengan sapaan yang ganjil: “Ya, ini McDonald’s Corporation, ... Ya, kami manusia hamburger.” Ucapan pembuka yang unik ini bukan sekadar basa-basi formalitas perusahaan dengan pelanggannya, namun sebuah salam yang dengan telak menunjukkan bagaimana McDonald’s menjalankan bisnisnya.

Dimulai dengan sebuah bisnis makanan kecil-kecilan yang dirintis Ray A Kroc pada 1955, McDonald’s kini merupakan waralaba raksasa dengan omzet milyaran dolar. Pada 1994, jumlah restoran McDonald’s di seluruh dunia hampir mencapai 15.000 unit dan tersebar di 70 negara. Jumlah pelanggannya pada era tersebut sekitar 20 juta manusia—lebih banyak dari penjumlahan seluruh penduduk Yunani, Irlandia, dan Swiss pada periode yang sama. Dua tahun kemudian, jumlah restoran McDonald’s bertambah menjadi 18.000 yang tersebar di 89 negara.

Pada 23 April 1991, tatkala McDonald’s dibuka pertama kali di Beijing, mereka yang antre untuk membeli berjumlah sekira 40.000 manusia—padahal kita tahu bahwa China adalah negara komunis. Uniknya, ketika McDonal’s dibuka di Moskow—kota yang juga masih berbau komunis—antrean panjang juga terjadi. Jumlah pengantre di Moskow hanya terkalahkan oleh kuantitas pengantre di Beijing.

Dengan riwayat yang demikian, McDonald’s adalah korporasi transnasional yang sukses mengembangkan diri secara mengaggumkan. Tapi, bagi para pengamat budaya massa dan globalisasi pada umumnya, McDonald’s bukan sekadar korporasi yang berhasil melipatgandakan keuntungannya. Perusahaan itu juga sebuah simbol paling bagus yang menandai persemaian globalisasi dan konsumerisme di seluruh dunia.

Bagi mereka yang berminat pada kajian soal konsumerisme, salah satu yang paling menarik dari pertumbuhan perusahaan itu adalah soal “kaderisasi”-nya. Dengan mengandalkan sebuah universitas yang dibangunnya sendiri—namanya Hamburger University—McDonald’s bukanlah perusahaan yang hanya menghasilkan hamburger lalu menjualnya keliling dunia. Lebih dari itu, McDonald’s adalah korporasi “penghasil manusia”.

Tatkala melihat secara langsung bagaimana proses pembelajaran di Hamburger University, Bre Redana menyimpulkan bahwa bukan makanan yang diproses oleh perusahaan itu, tetapi konsumen. Bersamaan dengan standarisasi hamburger buatan mereka, McDonald’s juga sedang mengusahakan standarisasi bagi para konsumen mereka. Para calon pekerja mereka dididik di universitas tersebut supaya mampu menyebarkan “ideologi” perusahaan ke sebanyak mungkin manusia di seluruh pelosok dunia. Kuatnya “indoktrinasi” korporasi terhadap para pekerjanya itu terutama terlihat tatkala para karyawan McDonald’s mengidentifikasi diri mereka sebagai “manusia hamburger”.

Frasa “manusia hamburger” menunjukkan bahwa mereka—para pekerja McDonald’s—adalah orang-orang yang telah direkonstruksi ulang, diindoktrinasi dengan ajaran tertentu, demi kepentingan korporasi. Sampai di sini, kita bisa menyimpulkan: sukses besar McDonald’s ditangguk terutama karena perusahaan itu adalah sekaligus “pabrik rekonstruksi manusia”, sebuah institusi yang bukan hanya menjual barang material seperti makanan, tapi juga seperangkat nilai, gaya hidup, keyakinan, dan citraan tertentu.

Berdiri pada 24 Februari 1961—dengan jumlah lulusan pertama sebanyak 14 biji—Hamburger University adalah salah satu Corporate University (CU) tertua di dunia. Tiap tahun, jumlah lulusan universitas itu sekitar 5.000 manusia yang langsung ditempatkan di berbagai restoran di seluruh dunia. Hingga saat ini, telah lebih dari 80.000 orang yang lulus dari lembaga pendidikan itu.

Selain McDonald’s, ada ribuan korporasi besar yang memiliki Corporate University. General Eletric memiliki General Eletric University; Intel mempunyai Intel University; Apple mendirikan Apple University; serta masih banyak perusahaan transnasional yang memiliki CU. Di Indonesia, ada Bakrie Group dan sejumlah perusahaan besar lain yang telah memiliki institusi pendidikan sendiri. Jumlah Corporate University di seluruh dunia pada tahun 2004 sekitar 1.000.

Umumnya, CU merupakan lembaga yang secara khusus menyediakan pendidikan dan pelatihan bagi karyawan dan mitra bisnis sebuah korporasi secara holistik: tidak hanya mencakup keahlian teknis tetapi mencakup pula nilai-nilai, kultur, filosofi, sejarah perusahaan, dan keahlian kepemimpinan. Di lembaga seperti inilah, para karyawan diindoktrinasi, dibentuk, dan dikembangkan, sampai mereka benar-benar dianggap mampu dan berkualitas untuk bekerja di perusahaan yang bersangkutan

Pendirian CU oleh berbagai korporasi raksasa sejatinya menunjukkan bahwa kapitalisme selalu ditopang oleh ilmu pengetahuan. Sejak masa kemunculannya yang mula, kapitalisme dengan baik telah menyadari bahwa teknologi adalah faktor penopang yang penting bagi pertumbuhan dirinya. Oleh karenanya, dengan mudah kita bisa melihat bagaimana keduanya saling bersekutu dan jalin-menjalin hingga saat ini. Kemunculan Revolusi Industri ditandai dengan para aparatus teknik yang terus melakukan penyempurnaan mesin dengan tujuan peningkatan efisiensi kerja.

Mulai pada saat itulah, ilmu telah menjadi kekuatan produksi sekaligus bagian dari perputaran modal. Pada masa tersebut, penelitian ilmiah mulai banyak digunakan demi efisiensi kerja produksi sehingga teknologi kemudian menjadi “permainan” yang lebih berhubungan dengan efisiensi ketimbang kebenaran, keadilan, atau keindahan. Karena penelitian teknologi selalu mensyaratkan tambahan dana, seperti disebut Jean-Francois Lyotard, maka mereka yang kaya adalah mereka yang paling memiliki kemungkinan untuk menjadi benar.

Jika tujuan ilmu pengetahuan bukan lagi kebenaran melainkan pelipatgandaan keuntungan modal, maka ilmuwan, teknisi, dan segala instrumen mereka dibeli bukan demi pencapaian kebenaran, melainkan untuk kekuasaan yang lebih besar. Inilah yang disebut sebagai “merkantilisasi pengetahuan”, pengetahuan yang diperdagangkan—pengetahuan digunakan bukan untuk pencapaian kebenaran atau emansipasi masyarakat tapi untuk kepentingan korporasi. Pada era konsumerisme yang berkembang pesat, ilmu pengetahuan dan teknologi tidak lagi hanya difungsikan untuk mencapai efisiensi produksi komoditi—seperti pada masa awal kapitalisme—tapi juga untuk terus memperbesar hasrat mengonsumsi manusia. Dengan kondisi yang demikian, maka ilmu yang berperan penting dalam menopang kapitalisme dan konsumerisme bukan lagi hanya deretan ilmu sains-teknis, tapi juga—dan terutama—ilmu seperti marketing dan ilmu lain yang berkaitan dengannya seperti desain dan periklanan.

Pada kenyataannya, perkembangan ilmu desain produk dan periklanan ternyata terus-menerus dimanfaatkan demi menggoda hasrat konsumerisme masyarakat. Pengetahuan-pengetahuan yang dihasilkan oleh dua disiplin ilmu itu, pada akhirnya hanya “dijual” pada pemilik modal dengan tujuan menggelembungkan pendapatan. Kondisi macam ini diperparah dengan kajian-kajian desain dan periklanan di perguruan tinggi-perguruan tinggi Indonesia yang amat jarang disertai dengan pembelajaran kritik kebudayaan yang kritis. Mahasiswa-mahasiswa yang belajar desain dan periklanan di universitas jarang sekali mendapat suplemen kajian kebudayaan yang mencukupi sehingga wawasan mereka tidak terbuka. Pada umumnya, kuliah soal desain dan periklanan hanya berkutat pada “bagaimana membuat desain dan iklan yang efektif” dan tidak mencoba membahas misalnya, bagaimana kaitan kedua kajian itu dengan konsumerisme dan masyarakat.

Alih-alih menyajikan kajian yang kritis terhadap konsumerisme, justru banyak universitas atau lembaga pendidikan menengah yang tak kuasa menahan serbuan produk korporasi. Masuknya iklan-iklan produk ke ruang-ruang universitas menjadi bukti bahwa lembaga pendidikan justru ikut menyuburkan konsumerisme. Di sejumlah universitas di Indonesia, misalnya, bisa kita temui sejumlah ruangan atau tempat yang dinamai sesuai dengan korporasi yang “memberi sponsor” pembangunan tempat itu. Lebih dari itu, korporasi juga mulai masuk ke dalam kurikulum lembaga pendidikan dengan cara “memesan” mata kuliah tertentu pada pengelola pendidikan dengan harapan mata kuliah itu akan berguna buat korporasi yang bersangkutan.

Di negara kapitalis-maju seperti Amerika Serikat, sekolah atau kampus adalah sinonim yang pas dari konsumerisme sehingga remaja-remaja AS yang “anti-sekolah” bahkan menganggap diri mereka juga “anti-konsumerisme”. Alissa Quart menyebut dengan sedih bagaimana kondisi lembaga pendidikan di AS: “Semakin banyak SMU yang disponsori korporasi. Remaja tidak hanya bermain basket di gedung olahraga beratap sponsor tetapi juga mengikuti pelajaran Bahasa Inggris dengan mengucapkan slogan sponsor mereka, semua itu atas dukungan institusi yang disebut SMU Negeri. Seratus lima puluh sekolah distrik di 29 negara bagian menandatangani kontrak dengan Pepsi dan Coke. Buku pelajaran berulangkali menyebutkan kue coklat Oreo dan soal matematika berisi logo Nike.”

Sukoharjo, 13 Desember 2008
Haris Firdaus
gambar diambil dari sini

Read more...

Simpul Erat Teknologi dan Pornografi

>> Saturday, November 29, 2008




Perkembangan teknologi komunikasi, terutama komunikasi visual, selalu diiringi dengan pertumbuhan pornografi. Sejarah membuktikan, pornografi merupakan salah satu risiko paling purba dari teknologi. Namun, catatan historis juga menunjukkan bahwa industri porno memiliki andil sebagai pendorong pertumbuhan teknologi visual baru. Teknologi dan pornografi, oleh karenanya, bertalian secara amat erat.

Penemuan kamera film pertama pada 1890, misalnya, segera disusul dengan pembuatan rekaman video porno. Tidak lama setelah penemuan itu, kamera film langsung dipakai merekam perempuan-perempuan telanjang dalam berbagai pose.

Pada permulaan abad 20, film pertama yang eksplisit mempertontonkan persetubuhan mulai diproduksi. Peredarannya kala itu amat terbatas, hanya pada lingkaran kecil kolektor kaya yang mampu membeli proyektor 35 milimeter. Ketika penemuan kamera dan proyektor 16 milimeter yang jauh lebih murah terjadi, terbukalah jalan bagi lahirnya industri porno bersakala besar, terutama di Amerika Serikat (Agustinus, 2008).

Pesatnya pertumbuhan teknologi yang diiringi dengan pornografi juga bisa dilihat pada maraknya video porno yang direkam menggunakan kamera ponsel. Ketika ponsel yang dilengkapi kamera makin banyak diproduksi, jumlah rekaman video dan gambar mesum juga makin banyak.

Berbagai kasus yang diberitakan media massa bisa menjadi bukti betapa peredaran video dan gambar porno kini terjadi secara lebih massif dan tidak hanya melibatkan perusahaan-perusahaan yang memang membisniskan pornografi. Pornografi bisa melibatkan siapapun: pelajar, mahasiswa, artis, sampai pejabat politik.

Di dunia cyber, pornografi adalah fenomena yang amat mudah dijumpai. Sebuah survei menunjukkan, tatkala pertama kali jaringan internet dioperasikan secara luas, kata paling banyak yang diketikkan di mesin pencari adalah ”seks”, ”porno”, dan alat kelamin dalam berbagai bahasa. Sampai hari ini, meski Undang-Undang Pornografi telah disahkan di Indonesia, situs-situs porno tetap merajai internet.

Survei kecil-kecilan yang belum lama ini dilakukan Enda Nasution membuktikan, frekuensi pencarian kata-kata yang berkaitan dengan pornografi pada Bulan Ramadan tahun ini ternyata tetap tinggi. Penurunan kuantitas hanya terjadi pada masa awal Ramadhan. Setelah beberapa hari awal Ramadan, jumlah orang di Indonesia yang mengetikkan kata-kata yang memiliki relasi dengan pornografi di mesin pencari tetap saja banyak.

Seks Virtual

Alan Bullock (1988) mendefiniskan pornografi sebagai representasi (dalam literatur, film, video, drama, seni rupa, dan sebagainya) yang tujuannya untuk menghasilkan kepuasan seksual. Berbeda dengan sebuah hubungan seksual secara ragawi, pornografi bisa memberi kepuasan seksual pada para penikmatnya tanpa harus disertai dengan kontak fisik.

Semakin sempurnanya teknologi audiovisual yang digunakan untuk menyebarkan pornografi membuat kepuasan seksual yang didapat oleh para penikmat pornografi juga makin meningkat. Di dunia cyber, penemuan-penemuan baru dalam teknologi citra digital memungkinkan hadirnya efek-efek seksual yang makin sempurna dan terus mendekati kenyataan.

Yasraf Amir Piliang (2004: 370) menyebut, manipulasi dan simulasi citra digital bisa menghasilkan representasi tubuh, wajah, organ, suara, dan gerakan yang dapat disempurnakan penampakannya, ditingkatkan kemampuannya, dan dimaksimalkan ketahanannya.

Di internet saat ini, kita tak hanya bisa menemukan jutaan gambar dan video porno yang bisa diakses kapan saja dengan syarat amat mudah, tapi juga berbagai ”layanan seksual” tingkat lanjut seperti chatting secara audiovisual dengan orang-orang yang bersedia melakukan tindakan-tindakan seks tertentu di hadapan kita. Di masa depan, berdasar prediksi yang dibuat Howard Rheinghold (1991), hubungan seksual bahkan bisa dilakukan secara virtual. Rheinghold menyebut hubungan seks virtual itu dengan sebutan ”teledildonic”.

Hubungan seks virtual macam itu, menurut Steven Aukstakalnis (1992), diangankan bisa dilakukan dengan cara melapisi seluruh tubuh manusia ”termasuk organ genital dan zona-zona erotis lainnya” dengan semacam ”pakaian realitas virtual” yang terdiri dari berbagai sensor (perangkat pengirim sinyal ke dunia cyber) dan effectors (saluran pengiriman kembali informasi ke pengguna). Dengan teknologi semacam ini, dua orang bisa melakukan hubungan seksual jarak jauh: mereka bisa saling melihat, mendengar, dan bahkan meraba tanpa harus bertemu secara fisik (Piliang; 2004: 374).

Pendorong

Selain sebagai risiko, pornografi juga berperan sebagai pendorong laju pertumbuhan teknologi komunikasi visual. Seperti disebut Ronny Agustinus (2008), sejarah telah membuktikan bahwa tumbuh kembang teknologi visual selalu mendapat dorongan dari pornografi. Industri pornografi terus mendorong penemuan-penemuan teknologi baru dengan satu tujuan: menyempurnakan servis mereka pada para pelanggan.

Ronny mengatakan, pengembangan teknologi VCD dan DVD, penemuan televisi kabel dan televisi satelit, serta pemercepatan riset teknologi 3G, semuanya didorong oleh industri pornografi. Punahnya teknologi video Betamax, misalnya, bukan hanya karena teknologi ini kurang bisa sesuai dengan komputer, namun juga karena adanya kesepakatan para industriawan porno se-Amerika Serikat untuk menggunakan teknologi VHS. Teknologi baru ini digunakan karena kualitas gambar yang dihasilkannya lebih tajam.

Penemuan teknologi VCD dan DVD disokong sepenuhnya oleh para produsen film biru karena teknologi ini membuat pelanggan mereka bisa mempercepat film untuk sampai pada adegan yang mereka inginkan saja. Sementara itu, televisi kabel dan televisi satelit tak akan muncul di dunia jika para pengusaha pornografi tak merintis teknologi itu dalam bentuk layanan premium di hotel-hotel dan jaringan digital.

Semua fakta ini menunjukkan, pornografi bukan hanya merupakan akibat dari perkembangan teknologi tapi juga merupakan pendorong bagi tumbuh kembangnya teknologi visual. Teknologi dan pornografi, oleh karenanya, ada dalam posisi yang dialektis: keduanya saling memengaruhi, saling memberi kontribusi, dan saling mengisi. Keduanya seolah disatukan oleh sebuah simpul erat, sebuah simpul yang hingga kini tetap sulit untuk direnggangkan.

Dimuat di Suara Merdeka, 24 November 2008

gambar diambil dari sini

Read more...

Dari Revolusi Pemuda Sampai Generasi MTV

>> Sunday, November 2, 2008



Kajian tentang kaum muda di Indonesia telah memiliki rentang usia yang cukup panjang. Kaum muda Indonesia sudah mulai menjadi bahan studi para peneliti—asing maupun domestik—sejak perjuangan kemerdekaan dimulai sampai hari ini. Kajian-kajian yang terutama ditandai dengan penerbitan berbagai buku hasil penelitian itu, memiliki kecenderungan yang berbeda-beda tiap periode.

Sebelum Orde Baru tegak, studi tentang kaum muda hampir selalu dikaitkan dengan persoalan politik. Seperti disebut Bennedict Anderson dalam bukunya yang masyhur, Revolusi Pemuda (1988), di masa sebelum Soeharto berkuasa, kegiatan yang tersedia bagi anak-anak muda adalah kegiatan yang sifatnya politis. Pada masa Orde Lama dan sebelumnya, sebagian besar pemuda Indonesia menghabiskan waktunya dengan mengikuti organisasi-organisasi pemuda, mahasiswa, dan juga partai politik.

Realitas kepemudaan Indonesia yang penuh aktivitas politik bisa kita lihat, misalnya saja, dalam novel Layar Terkembang (1936) yang dikarang Sutan Takdir Alisjahbana. Dalam novel itu, tergambar kehidupan kaum muda Indonesia tahun 1930-an yang mulai melek organisasi dan politik. Sebagian pemuda waktu itu, terutama setelah momen Sumpah Pemuda tahun 1928, telah ikut berkiprah dalam berbagai organisasi yang berperan dalam penyemaian kesadaran politik dan nasionalisme.

Boom Minyak dan Budaya Populer
Salah satu kejadian penting yang menandai pergeseran kondisi kaum muda Indonesia adalah terjadinya lonjakan harga minyak dunia pada tahun 1970-an. Fenomena yang kerap disebut sebagai “boom minyak” ini menguntungkan Indonesia yang waktu itu merupakan negara pengekspor minyak. Keuntungan atas lonjakan harga minyak dunia ini mengakibatkan tambahan pemasukan bagi sebagaian besar masyarakat Indonesia, terutama golongan ekonomi atas.

Secara tidak langsung, terjadinya “boom minyak” tahun 1970-an yang diikuti dengan stabilitas perekonomian Indonesia, telah berpengaruh terhadap kondisi sosiologis kaum muda di Indonesia. Berangsur-angsur kemudian, berkembanglah sebuah “kelas menengah perkotaan” yang ditandai oleh konsumsi barang mewah dalam siklus hidup mereka. Bersamaan dengan itu, lahirlah berbagai tempat hiburan baru yang sebelumnya tak dikenal. Kemunculan ini kemudian diikuti dengan terbentuknya kelompok kaum muda yang mulai menghabiskan waktunya dengan kegiatan-kegiatan non-politis dan mulai mengkonsumsi berbagai barang modern seperti motor, radio, dan alat-alat musik .

Pada periode ini, diawalilah perubahan dalam kondisi sosial pemuda Indonesia yang juga akibat dari depolitisasi yang dilakukan pemerintahan Soeharto. Sejumlah buku tentang kondisi Indonesia kala itu mulai memotret terjadinya perubahan tersebut. Buku karya James Siegel, Solo in The New Order, Language and History in an Indonesian Town (1986), salah satunya. Dalam buku itu James Siegel menyatakan, mulai terjadi pergantian istilah untuk menyebut kaum muda Indonesia pada waktu itu. Istilah “remaja” mulai populer kala itu, menggantikan term “pemuda”. Pergantian ini bukan hanya soal bahasa tapi juga soal politik. Istilah “remaja”, menurut Siegel, merujuk pada kaum muda hasil depolitisasi Orde Baru. Dengan kata lain, sejak kala itu kaum muda Indonesia mulai menengok hal-hal selain politik sebagai aktivitas mereka.

Setelah periode itu, kaum muda Indonesia tak lagi hanya dikaitkan dengan soal politik tapi juga dengan budaya populer dan gaya hidup. Selama kurun 1970 sampai 1980-an, Jurnal Prisma dua kali mengangkat tema kebudayaan populer, yakni tahun 1977 dan 1987. Pada tahun 1997, terbitlah buku kumpulan tulisan mengenai gaya hidup, budaya populer, dan keterkaitan keduanya dengan kaum muda. Buku yang disunting Idi Subandy Ibrahim berjudul Ecstasy Gaya Hidup: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia itu kembali diterbitkan tahun 2005 oleh penerbit berbeda.

Meski pada periode 1990-an kebudayaan kaum muda tidak lagi hanya dikaitkan dengan politik, tapi buku yang membahas pemuda dalam perspektif politik juga tak sedikit. Apalagi, ketika gerakan mahasiswa 1998 berhasil memaksa Soeharto untuk lengser keprabon. Salah satu buku yang secara menarik membahas gerakan mahasiswa 1998 adalah buku kumpulan tulisan bertajuk Mahasiswa Menggugat: Potret Gerakan Mahasiswa 1998 yang dieditori Fahrus Zaman Fadhly. Buku yang terbit tahun 1999 ini menjadi menarik karena di dalamnya terdapat tulisan tentang relasi aktivitas politik mahasiswa 1998 dengan budaya populer dan gaya hidup.

Tahun 2002, Hikmat Budiman menerbitkan buku hasil penelitian tentang budaya populer di Indonesia. Buku berjudul Lubang Hitam Kebudayaan itu bisa jadi merupakan buku mengenai kebudayaan populer di Indonesia yang paling lengkap sampai saat ini. Berbeda dengan banyak pemikir Indonesia dekade sebelumnya yang hampir selalu melihat kebudayaan populer sebagai sesuatu yang negatif, Hikmat melihat persoalan budaya populer secara lebih bijaksana.

Pada Agustus 2008, terbit sebuah buku berjudul Generasi MTV karya Dadang Rusbiantoro. Buku ini merupakan bentuk keprihatinan Dadang terhadap kaum muda Indonesia yang larut dalam histeria budaya populer. Secara kritis, Dadang menyoroti masuknya kebudayaan Barat ke Indonesia, terutama melalui program tayangan Music Television (MTV). MTV dianggap berhasil melakukan hegemoni terhadap remaja-remaja Indonesia sehingga mereka rela melakukan penjiplakan habis-habisan dalam soal gaya hidup. Kecenderungan macam ini, menurut Dadang, seharusnya segera dilawan supaya para pemuda Indonesia tak menjadi “pengekor Barat” yang setia.

Haris Firdaus
Dimuat di Suara Merdeka, 26 Oktober 2008
gambar diambil dari sini

Read more...

Marjinalisasi Perempuan dalam Film Horor

>> Wednesday, October 22, 2008




Di Indonesia, film horor tak pernah bisa dilepaskan dari sosok perempuan. Film horor yang pertama kali diproduksi di Indonesia, yakni Doea Siloeman Oeler Poeti en Item, memiliki tokoh utama perempuan dan seluruh bangunan ceritanya berpusat pada perempuan.

Film yang diproduksi pada tahun 1934 oleh The Teng Cun ini berkisah tentang siluman ular putih yang keluar dari gua pertapaannya dan kemudian menyamar menjadi seorang perempuan cantik. Dalam perjalanan hidupnya, sang siluman ular kemudian jatuh cinta pada seorang pria, lalu keduanya melangsungkan pernikahan.

Pada tahun 1970-an, ketika genre horor mulai laku di pasaran film Indonesia, sosok perempuan mulai menampakkan dominasi yang jelas. Satu nama perempuan yang tak bisa dilepaskan dari kisah film horor tahun 1970-an adalah Suzanna. Artis bernama lengkap Suzanna Martha Frederika van Osch ini adalah figur yang dijuluki sebagai “Ratu Film Horor Indonesia” karena keterlibatannya dalam sejumlah produksi film bertema hantu yang bisa dibilang menuai sukses di pasaran.

Sejak membintangi Beranak dalam Kubur tahun 1971, nama Suzanna memang melambung dalam jagat film horor Indonesia. Ada sekira 14 film horor yang dibintanginya yang menangguk sukses besar. Bahkan, beberapa bulan sebelum meninggal pada 15 Oktober 2008 lalu, Suzanna masih membintangi sebuah film horor dengan judul Hantu Ambulance (dirilis pada Feberuari 2008).

Nama Suzanna yang legendaris dalam jagat film hantu Indonesia menunjukkan, betapa sosok perempuan memang lebih familiar dengan film horor. Bahkan, kita di Indonesia hanya mengenal Suzanna sebagai “Ratu Film Horor Indonesia”, tanpa pernah ribut siapa yang seharusnya menyandang gelar “Raja Film Horor Indonesia”. Kenyataan ini merupakan bukti tak terbantahkan betapa sosok perempuan memang lebih akrab dengan dunia film horor dibandingkan dengan laki-laki.

Setelah dekade tahun 1970-an, artis perempuan masih terus menjadi tokoh utama dalam film-film horor. Kisah-kisah film horor Indonesia pada tahun-tahun berikutnya terus-menerus menjadikan perempuan sebagai pokok utama cerita. Tengok saja sejumlah judul film horor tahun 1980-an yang jelas-jelas menampilkan perempuan sebagai tokoh utama, seperti Nyi Blorong (1982), Perkawinan Nyi Blorong (1983), Petualangan Cinta Nyi Blorong (1986), Ratu Buaya Putih (1988), Pembalasan Ratu Laut Selatan (1989), dan banyak lagi.

Pada tahun 1990-an, sejumlah film seperti Misteri Permainan Terlarang (1992), Kembalinya Si Janda Kembang (1992), Misteri di Malam Pengantin (1993), Gairah Malam (1993), Si Manis Jembatan Ancol (1994), dan sejumlah judul lain juga menampilkan kisah horor dengan perempuan sebagai unsur utama. Memasuki dekade 2000, memang film horor tak lagi selalu menggunakan perempuan sebagai pusat kisah, seperti Jelangkung (2002) dan Kafir (2002), tapi tetap ada film yang memanfaatkan perempuan sebagai unsur dominan kisah.

Representasi dan Marjinalisasi
Problem pokok dalam tiap teks yang menampilkan sosok perempuan adalah masalah representasi. Representasi merujuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam isi sebuah teks. Sara Mills (1997) mengingatkan kita, bahwa representasi perempuan dalam teks yang diproduksi oleh budaya dengan dominasi patriarki biasanya cenderung bias. Perempuan condong ditampilkan sebagai pihak yang marjinal dibandingkan laki-laki.

Dalam film-film horor Indonesia, representasi perempuan cenderung berbeda-beda dalam tiap dekade. Namun, meski memliki variasi, ada kecenderungan perempuan ditampilkan sebagai sosok yang marjinal jika dibandingkan laki-laki. Pada tahun 1970-an sampai dengan 1990-an, kebanyakan kisah film horor berpusat pada tokoh perempuan yang teraniaya sampai mati, lalu menjadi hantu gentayangan. Tatkala masih hidup dan eksis sebagai manusia, perempuan adalah makhluk yang tak berdaya di hadapan laki-laki. Perlawanan para perempuan terhadap laki-laki hanya bisa dilakukan ketika mereka telah meninggal dan menjadi hantu.

Setelah menjadi hantu, para perempuan itu baru bisa membalas perlakuan para laki-laki atas mereka. Dalam film-film itu sering digambarkan sejumlah lelaki bejat mati secara mengenaskan di tangan arwah perempuan gentayangan. Sekilas, racikan kisah macam ini seolah menampilkan sosok perempuan yang mampu membalas penindasan yang diterimanya dari kaum laki-laki. Tapi kalau diamati lebih dalam, nyatalah bahwa film itu memosisikan perempuan sebagai sosok marjinal.

Kenapa? Sebab perlawanan perempuan terhadap laki-laki itu hanya terjadi ketika sang perempuan telah meninggalkan dunia yang nyata dan menjadi arwah. Selama masih menjadi manusia, perempuan adalah sosok tak berdaya. Melalui kisah macam itu, film-film horor Indonesia pada 1970-an sampai 1990-an sebenarnya merepresentasikan sosok perempuan sebagai manusia tak berdaya. Ya, sebagai manusia yang eksis, perempuan tak berdaya. Baru kemudian, jika mereka mati dan menjadi hantu, mereka akan berubah jadi sosok yang berdaya. Pada posisi inilah, marjinalisasi terhadap perempuan terjadi di dalam film-film horor.

Marjinalisasi perempuan dalam film horor juga terjadi tatkala sosok perempuan—sebagai manusia yang utuh—direduksi sebagai sekadar tubuh yang digunakan untuk alat pemuas kebutuhan seksual. Mulai dekade 1980-an, film-film horor mulai memasukkan adegan-adegan panas dalam bangunan alur mereka. Mula-mula sebagai bumbu, tapi lama-kelamaan seks justru menjadi inti cerita. Pada tahun 1990-an, amat banyak film horor yang menyajikan adegan seks secara vulgar dan berlebihan. Pada dekade itu pula lahir sejumlah artis wanita yang sering dijuluki sebagai “bom seks” karena peranan mereka dalam film horor.

Relasi fisikal tubuh antara laki-laki dan perempuan dalam film horor tidak hanya bisa dilihat sebagai sebuah relasi biologis semata. Adegan-adegan seksual yang umumnya menempatkan perempuan sebagai pihak yang tak berdaya itu juga menjadi sebuah petanda adanya relasi ideologis. Dalam relasi ideologis tersebut, perempuan hampir selalu berada sebagai pihak yang marjinal. Seperti dikatakan Yasraf Amir Piliang (2004), di dalam dunia kapitalisme yang dipengaruhi wacana patriarki, perempuan akan selalu ditempatkan sebagai sekadar “objek kesenangan” dari dunia laki-laki.

Haris Firdaus

(Dimuat di Suara Merdeka, 22 Oktober 2008)
gambar diambil dari sini

Read more...

Masa Lalu dan Penolakan Posmodernisme

>> Monday, October 20, 2008



Di Indonesia, perbincangan tentang posmodernisme telah berlangsung selama lebih dari dua dasawarsa. Pihak-pihak yang terlibat dalam debat mengenai topik itu datang dari kalangan yang beragam: akademisi, aktivis LSM, mahasiswa, sampai seniman. Diskursus mengenai posmodernisme itu sendiri melibatkan banyak kajian yang sifatnya interdisipliner karena keluasan medan perbincangan tentang posmodernisme memang tak memungkinkan meringkas wacana posmodernisme dalam bingkai satu ilmu tertentu.

Bambang Sugiharto, dalam sebuah tulisannya di Majalah Basis (Edisi Januari-Februari 2002), menyebut bahwa posmodernisme merupakan sebuah “istilah-payung” yang ibaratnya seperti “keranjang besar yang kosong”: ia bisa diisi dengan banyak ragam benda yang mungkin memiliki perbedaan yang signifikan. Namun, betapapun beragam isi istilah posmodernisme itu sendiri, tetap ada kecenderungan umum yang menyatukan mereka.

Kecenderungan itu antara lain: (1) menganggap “realitas” sebagai suatu konstruksi semiotis, artifisial, dan ideologis; (2) skeptis terhadap segala bentuk keyakinan tentang “substansi” objektif; (3) realitas bisa ditangkap dan dikelola dengan banyak cara; (4) paham tentang sistem sebagai sesuatu yang otonom dianggap tidak lagi memadai; (5) tidak lagi melihat oposisi biner sebagai sesuatu yang memadai; (6) melihat dan memberi tempat kepada kemampuan lain selain rasionalitas, seperti imajinasi, intuisi, spiritualitas, dsb; dan (7) menghargai segala hal “lain” (otherness) secara luas yang selama ini termarjinalkan oleh wacana modern.

Pembicaraan tentang posmodernisme di Indonesia tentu dipengaruhi oleh publikasi tulisan baik di media massa, jurnal, internet, maupun yang berbentuk buku. Posmodernisme sendiri merupakan wacana yang datang dari luar sehingga perbincangan mengenainya pun tak mungkin melepaskan diri dari konstruksi pemikiran para intelektual non-Indonesia. Kaum cerdik pandai di Indonesia pada awalnya mengenal wacana posmodernisme dari literatur-literatur asing yang mereka dapatkan dalam studi formal maupun dalam relasi intelektual yang informal. Seiring pertambahan waktu, buku-buku tentang posmodern pun mulai dialihbahasakan ke Bahasa Indonesia.

Selain itu, para pemikir Indonesia pun telah banyak yang menulis tentang posmodernisme. Tahun 1996, Bambang Sugiharto menerbitkan buku bertajuk Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat. Melalui buku itu, Bambang menggambarkan bahwa “gerakan posmodern” ternyata melakukan “penyerangan” terhadap konsep filsafat modernis sehingga filsafat ada dalam “krisis”. Namun, Bambang tak sekadar mendeskripsikan penyerangan itu tapi juga berusaha mencari jalan keluar atas kondisi “krisis” yang diakibatkan penyerangan tadi.

Selain Bambang, penulis Indonesia yang kerap “bermain-main” dengan wacana posmodernisme adalah Yasraf Amir Piliang. Yasraf merupakan penulis buku dan artikel yang produktif dan secara konsisten memilih tema-tema tentang kondisi kebudayaan manusia yang sedang memasuki fase baru seiring penemuan teknologi baru yang mampu melakukan “rekayasa realitas”.

Beberapa buku Yasraf Amir Piliang yang berkait—baik langsung maupun tak langsung—dengan wacana posmodernisme antara lain: Sebuah Dunia yang Dilipat (terbit pertama tahun 1998, direvisi dan diterbitkan kembali menjadi Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan pada tahun 2004 oleh penerbit yang berbeda), Sebuah Dunia yang Menakutkan: Mesin-mesin Kekerasan dalam Jagat Raya Chaos (2001), Hipermoralitas: Mengadili Bayang-bayang (2003), Transpolitik: Hantu-hantu Politik dan Matinya Sosial (2003), Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna (2003), dan Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika (2004).

Beberapa buku terjemahan mengenai posmodernisme juga banyak beredar dalam Bahasa Indonesia seperti karya Madan Sarup yang berjudul Posstrukturalisme dan Posmodernisme: Sebuah Pengantar Kritis (2004), karya Steven Best dan Douglas Kellner yang berjudul Teori Posmodern: Interogasi Kritis (2003), dan Buku Visi-visi Postmodern (2005) yang dieditori David Ray Griffin. Beberapa buku pemikir yang kerap membahas masalah posmodernisme juga telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia seperti karya-karya Jean Baudrillard, antara lain Berahi (2000), dan Masyarakat Konsumsi (2004).

Salah satu buku terjemahan tentang posmodernisme yang cukup penting dan sedikit berbeda adalah Menolak Posmodernisme karya Alex Callinicos yang awal tahun ini baru saja diterbitkan oleh Resist Book. Buku Callinicos ini merupakan buku yang secara terang-terangan berusaha menolak dalili-dalil posmodernisme. Diawali dengan pembahasan mengenai asal-usul posmodernisme, Callinicos berusaha menguliti kenapa banyak intelektual di barat mengalami ketakjuban pada wacana posmodernisme. Pada akhirnya, buku ini sampai pada kesimpulan bahwa posmodernisme hanya semacam eksperimen intelektual yang “kenes” dan banyak bersandar pada “permainan bahasa” serta akan membuat kaum terpelajar lupa terhadap realitas penindasan masih terjadi karena adanya gurita kapitalisme global.

Terbitnya edisi Bahasa Indonesia karya Alex Callinicos ini bisa jadi akan menyulut kembali perdebatan tentang posmodernisme di kalangan intelektual kita. Perdebatan itu, tentu saja merupakan sesuatu yang positif karena akan membuat wacana posmodernisme di Indonesia makin meluas, mendalam, dan berpotensi digunakan sebagai pisau analisis dalam membedah masalah kebudayaan di negara kita.

Haris Firdaus
(Dimuat di Suara Merdeka, 19 Oktober 2008)
gambar diambil dari sini

Read more...

Utopia Solo Menjadi Kota Cyber

>> Saturday, October 4, 2008




Setelah cukup lama mencanangkan diri sebagai kota budaya, belum lama ini Solo menegaskan sebuah utopia baru: menjadi kota cyber (cyber city). Pencanangan mimpi besar itu dilaksanakan pada 30 Juli 2008 lalu yang ditandai dengan aksi browsing internet bersama di kawasan city walk sepanjang Jalan Slamet Riyadi. Acara yang diikuti oleh 400-an peserta itu sekaligus merupakan aksi pemecahan Rekor Museum Indonesia kategori browsing internet bersama-sama. Tanggal 30 Juli kemudian dicanangkan sebagai “Solo Cyberholic Day”.

Dilihat dari segi waktu, konsepsi cyber city bukanlah sesuatu yang baru di dunia. Konsep cyber city telah banyak diterapkan kota-kota besar di dunia. Banyak pemerintahan kota di dunia yang telah menggunakan secara maksimal teknologi informasi untuk mengelola wilayahnya. Di kota-kota yang telah mengklaim diri sebagai “cyber city”, akses internet tersebar luas dan mudah dijangkau oleh para warganya.

Di Indonesia, ada sejumlah kota besar yang lebih dulu bermimpi menjadi kota cyber sebelum Solo. Makasar adalah salah satunya. Pada tahun 2007 kemarin, Pemerintah Kota Makasar telah menguji coba penggunaan perangkat pendukung internet nirkabel atau hot spot di Pantai Losari sepanjang 1,2 kilometer. Selain untuk mencerdaskan masyarakat, pemasangan fasilitas internet nirkabel ini juga bertujuan meningkatkan daya tarik pariwisata di Makasar.

Meski agak lambat jika dibandingkan Makasar atau kota besar lainnya, mimpi Solo menjadi kota cyber tetap merupakan mimpi yang bagus. Pesatnya pertumbuhan teknologi informasi berbasis internet memang memungkinkan sebuah kota dikelola secara lebih mudah. Dengan adanya teknologi yang mencukupi, sebuah pemerintahan yang berbasis teknologi informasi bisa diwujudkan. Tata kelola yang memanfaatkan bantuan teknologi internet tentu saja akan lebih efektif jika dibandingkan dengan pemerintahan yang dijalankan hanya dengan tenaga manual manusia.

Mewujudnya Solo sebagai kota cyber juga berarti tersebarnya secara luas akses internet bagi warga kota tersebut. Konsekuensi utama dan pertama bagi sebuah kota yang hendak menyebut dirinya kota cyber adalah adanya sambungan internet melalui fasilitas hot spot di tempat-tempat umum yang strategis. Adanya fasilitas macam itu akan memungkinkan warga kota beraktivitas sambil mengais informasi sebanyak-banyaknya lewat internet. Dengan adanya koneksi internet, wawasan warga kota bisa diharapkan akan terbuka lebih luas sehingga masyarakat Solo akan mewujud menjadi masyarakat yang cerdas, melek informasi, dan tidak ketinggalan zaman.

Selain itu, keuntungan dalam pariwisata juga bisa didapat jika konsep cyber city nantinya benar-benar terwujud. Bagaimanapun, kebanyakan mereka yang datang berwisata ke Solo—terutama turis mancanegara—pasti membutuhkan sambungan internet. Bagi para turis, internet bisa dimanfaatkan guna mengirim kabar, mencari info seputar obyek wisata, atau sekadar melepas lelah setelah seharian berwisata.


Kurang Jelas
Sayangnya, mimpi menjadikan Solo sebagai kota cyber agaknya kurang diimbangi dengan rencana konseptual yang memadai. Dalam acara pada 30 Juli lalu, misalnya, tak ada pembahasan atau sosialisasi mengenai konsep yang pasti tentang kota cyber. Sampai sebulan lebih setelah pencanangan Solo sebagai kota cyber, tahapan-tahapan apa yang hendak dilaksanakan menuju utopia besar itu juga tidak pasti. Apakah konsep kota cyber yang hendak dicapai itu hanya sekadar pemasangan hot spot di tempat-tempat strategis seperti yang telah dilaksanakan sekarang, ataukah juga akan berimbas pada pengelolaan administrasi birokrasi, itu juga tak jelas.

Ini tentu saja patut disayangkan. Pencanangan sebuah mimpi tanpa penjelasan tentang upaya-upaya yang hendak dilakukan sama saja bermimpi di siang bolong. Sebuah mimpi harus diimbangi dengan rencana dan semangat yang benar-benar, bukan hanya keinginan besar tanpa tenaga dan pikiran yang cukup. Apalagi, sambutan warga Solo terhadap gagasan cyber city ini sebenarnya cukup bagus. Ini terlihat dari jumlah peserta aksi browsing internet bersama-sama yang mencapai ratusan orang.

Dukungan terhadap konsepsi itu juga tampak di dunia maya. Sejumlah netters di Solo dan sekitarnya ramai-ramai menyebarkan informasi soal utopia Solo menjadi cyber city di situs, weblog, atau milis. Banyak dari mereka yang dengan bersemangat menyambut “era baru” Kota Solo ini. Ada netter yang bahkan secara suka rela membuat sebuah weblog yang khusus mengulas rencana Solo menjadi cyber city. Weblog ini memuat cukup banyak informasi mengenai cyber city dan juga beberapa informasi terkait lainnya.

Sambutan warga yang besar ini seharusnya segera ditanggapi dengan membuat konsep tentang kota cyber secara lebih detail. Berbagai upaya dialog, diskusi, atau seminar untuk mematangkan konsep tersebut juga perlu digelar sesegera mungkin. Yang tak kalah penting adalah mengucapkan terima kasih sekaligus apresiasi terhadap para netters Solo yang dengan gigih dan tanpa pamrih telah ikut menyebarluaskan rencana Solo menjadi cyber city. Mereka adalah pihak yang segera harus dirangkul pemerintah kota agar utopia ini tidak hanya menjadi mimpi kosong di siang bolong.

Sebab, seperti pernah disampaikan Onno W. Purbo (2000), tantangan utama membangun cyber city bukanlah pemasangan instalasi fisik teknologi internet. Perangkat fisik teknologi, kata Onno, hanya menjadi satu bagian kecil dari konsepsi kota cyber secara keseluruhan. Tantangan terbesar justru membangun sebuah komunitas cyber yang berisi sumber daya manusia berkualitas yang mampu memproduksi informasi secara baik. Dalam istilah Onno, sebuah kota cyber hanya akan terwujud dan mampu bertahan hidup tatkala ada knowledge based society.

Konsepsi knowledge based society menuntut adanya kesiapan sumber daya manusia di sebuah kota untuk tidak hanya mengonsumsi informasi saja tapi juga secara aktif memproduksi informasi. Sekali lagi, konsepsi ini hanya akan terwujud jika pemerintah mau merangkul komuitas maupun individu-individu yang selama ini telah lama terjun serta secara aktif menjadi produsen informasi di dunia maya.

Haris Firdaus

(Dimuat di Kompas Jawa Tengah, 29 September 2008)
Foto diambil dari sini

Read more...

Proklamasi Luna dan Ilusi Kemerdekaan

>> Monday, August 11, 2008




Di hadapan iklan, tak ada sesuatu yang sakral. Semuanya bisa dipermainkan, segalanya bisa menjadi sesuatu yang lucu atau menjual. Kadang, juga menipu.

Lihat saja iklan kartu seluler XL yang terbaru. Dalam iklan tersebut, Luna Maya, ikon penting XL, tampil sebagai seorang “proklamator”. Ia berdiri di hadapan mikrophon—yang agaknya dibuat mirip dengan yang dulu dipakai Soekarno—sambil memegang secarik kertas, lalu membacakan “proklamasi baru”. Judulnya: “XL-kamasi”.

Berturut-turut setelah itu, ia membacakan “teks proklamasi” yang berisi deklarasi tentang “otonomi” para pengguna XL dalam menentukan tarif telepon mereka. Luna Maya menyebut itu sebagai “Era Baru Berkomunikasi”. Beda dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia yang hanya disaksikan segelintir orang, proklamasi Luna disaksikan ribuan manusia karena ia disiarkan lewat teknologi komunikasi yang telah maju pesat. Mereka yang ada di warung, jalan, atau rumah, menyaksikan proklamasi itu dari tabung kaca televisi dan sontak menjadi “pendukung” dari proklamasi baru tersebut.
***

XL bukan yang pertama membuat iklan dengan tema proklamasi pada tahun ini. Sebelum iklan XL keluar, Rokok Bentoel sudah membikin iklan dengan tema proklamasi pula. Bedanya, kalau XL memplesetkan proklamasi, Bentoel hanya mengambil gambar momen saat Soekarno membacakan teks itu. Bentoel tak mengubah “momen sakral” tersebut dan hanya meminjam “auranya” saja untuk memperkuat citra produknya.

XL melakukan yang sebaliknya. Iklan produk tersebut memplesetkan habis-habisan momen maupun teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Momen proklamasi yang dulu hikmat, penuh ketegangan, dirubah 180 derajat. Proklamasi XL dibacakan Luna Maya dengan santai, penuh guyon, bahkan sempat menghadirkan sosok pocong segala. Suasana proklamasi yang sakral—minimal itu yang kita lihat dari sejarah—dirubah menjadi sebuah suasana yang akrab tapi dangkal: satu suasana khas yang sering dipakai iklan-iklan kita yang payah.

Kalau proklamasi yang dibaca Soekarno adalah sebuah penegasan tentang kebebasan sebuah bangsa, teks yang dibacakan Luna Maya adalah sebuah iklan yang sok mendeklarasikan kebebasan pula. Melalui proklamasinya, Luna dengan yakin menproklamirkan kemerdekaan bagi para pengguna XL untuk mengatur tarif komunikasi mereka. Dalam teks yang ia bacakan, seolah ada kebebasan yang ditegaskan, semacam otonomi konsumen di hadapan produsen.

Tapi benarkah ada otonomi? Benarkah ada kebebasan konsumen? Benarkah proklamasi Luna adalah sebuah pernyataan tentang kemerdekaan? Bukankah Luna adalah bagian yang integral dari produsen? Bukankah jelas-jelas masyarakat awam pun tahu ia adalah bintang iklan yang dibayar untuk menjual “kecap”? Lalu, siapakah yang tak sadar sedang dibohongi? Siapakah yang tak sadar bahwa “kecap” itu palsu?

Dengan tegas kita bisa mengatakan: otonomi yang dideklarasikan Luna adalah sebuah otonomi palsu. Kemerdekaan yang ia proklamasikan adalah dagelan paling lucu dari tren pemasaran hari ini. Bagaimana mungkin, misalnya, sebuah kemerdekaan konsumen dideklarasikan oleh sang produsen sendiri? Bukankah produsen adalah pihak yang selama ini paling berkepentingan mengontrol konsumen? Bukankah mereka akan melakukan segala cara untuk tetap menancapkan pengaruh di benak konsumen produk mereka?

Apa yang tampak dari iklan XL versi proklamasi itu adalah paradoks yang amat dalam: sang produsen hendak memberi tahu para konsumen bahwa sekarang mereka—para konsumen—telah memiliki kemerdekaan, tapi produsen XL lupa: “kemerdekaan konsumen” tak pernah mungkin dicapai jika status produsen-konsumen tak diubah. Ya, selama produsen tetap sebagai produsen, dan konsumen tetap menjadi konsumen, tak akan ada kemerdekaan.

Seorang konsumen sebuah produk tetap akan terikat pada aturan yang dikeluarkan produsen produk yang dipakainya. Titik. Ia tak akan mampu keluar dari aturan macam itu. Di mana pun, logika ini sama dan akan terus berlaku. Satu-satunya cara mencapai kemerdekaan hanya satu: berhenti jadi konsumen. Selama Anda masih menjadi konsumen XL, misalnya, Anda tak akan pernah menjadi merdeka karena selama menggunakan XL, Anda akan tetap terikat pada aturan yang dikeluarkan produk itu.

Oleh karena itulah, bisa dikatakan: menjadi konsumen memang sama dengan mempertaruhkan kemerdekaan diri sendiri. Ketika kita telah memasuki relasi konsumen-produsen, tak akan ada kebebasan dalam artinya yang paling hakiki. Tak akan ada otonomi yang murni. Yang ada hanya “sedikit kebebasan” sebagai pancingan. “Sedikit kebebasan” itu diberikan supaya kontrol yang lebih banyak bisa dilakukan. Ini seperti sebuah ungkapan: memberi ikan kecil untuk memancing ikan yang lebih besar.

Di sinilah kelihatan bahwa iklan adalah teks yang makin lihai memperdaya konsumen. Ia telah menjelma menjadi teks yang terus-terusan memproduksi cara baru dalam memikat minat kita untuk mengonsumsi. Dan, iklan XL versi proklamasi menandakan bahwa “ilusi kemerdekaan” telah menjadi salah satu strategi yang digunakan untuk memancing konsumsi yang jauh lebih besar.
***

Menjadi merdeka adalah salah satu hasrat paling alami dari manusia. Semenjak ia lahir, manusia telah memiliki naluri untuk itu. Secara insting ia akan menolak penundukan atau perbudakan, meski konstruksi sosial yang amat kuat bisa saja merepresi insting merdekanya. Tapi, pada kondisi yang normal, merdeka adalah sesuatu yang secara eksistensial dibutuhkan: ia diingini karena memberi semacam “kesejatian” pada hidup manusia.

Apalagi, hidup bukan sekadar ritual kegiatan sehari-hari. Hidup juga sesuatu yang dijalankan dengan tafsir makna. Sebuah tindakan dilakukan bukan hanya karena ia dibutuhkan secara praktis tapi karena ia memiliki makna. Kemerdekaan dibutuhkan karena memang ia memberi manusia sebuah “makna” yang tak akan sampai jika hidup ada dalam represi. Sebuah hidup yang merdeka adalah hidup yang akan memberi “kesehatan jiwa”. Karena itulah kemerdekaan menjadi sesuatu yang terus menarik manusia. Ia terus-terusan hendak digapai.

Saya kira, hal ini pula yang menyebabkan XL membuat dan menyebarluaskan “ilusi kemerdekaan” melalui iklan terbarunya. Iklan itu memang punya titik masuk yang jelas, juga penempatan waktu yang pas. Hari-hari ini, orang sedang dan akan mengenang proklamasi dan kemerdekaan Indonesia. Meski kenangan itu hanya ritual, tapi pada bulan-bulan ini memori masyarakat tetap akan jauh lebih mudah menyimpan apa saja yang berbau proklamasi atau kemerdekaan.

Apalagi, yang ditonjolkan adalah “kemerdekaan konsumen”: sesuatu yang jelas-jelas akan memancing minat dan atensi. Tapi, mereka yang eling lan waspada tetap akan tahu: “kemerdekaan konsumen” itu hanya ilusi dan tetap akan jadi ilusi.

Jadi, selamat menikmati ilusi!

Sukoharjo, 11 Agustus 2008
Haris Firdaus

Read more...

Kaos yang Kehilangan Petanda

>> Wednesday, August 6, 2008



Kerinduan membuatku seperti tanaman yang menenggelamkan dirinya kembali ke dasar bumi. Aku mengenakan kaos yang tidak terlalu panas waktu itu, untuk memelukmu. Seperti waktu yang menyatakan dirinya lewat mata kanak-kanak. Dan kau pilih baju sutra berwarna merah, di sebuah kota, yang belum juga kau jahit hingga kini. (Sajak “Membuat Baju Untukmu”, Afrizal Malna).

Dari Afrizal Malna, kita juga bisa belajar tentang kaos. Penggal sajak Afrizal yang saya kutip di atas dengan baik menggambarkan kaos sebagai sebentuk “pembebasan tubuh”. Kaos yang tidak terlalu panas, adalah kaos yang memberi kelonggaran: ia meledakkan potensi tubuh manusia untuk bebas bergerak, untuk bebas memeluk. Metafora ini bisa dipanjangkan sampai jauh, tapi saya kira cukup disebut bahwa riwayat kaos dalam sajak “Membuat Baju Untukmu” di atas adalah kisah tentang tubuh manusia yang kerapkali mengalami ketegangan.

Pada kenyataannya, sejarah kaos—yang dimulai antara akhir abad 19 sampai awal abad 20—memang mengandung semacam kisah ketegangan tubuh manusia. Kalau kita percaya—seperti yang pernah dikemukakan Michel Foucault—bahwa tubuh manusia selalu ada dalam “tegangan” dan “tarik-menarik” antara kekuatan eksternal di sekeliling manusia dengan kekuatan internal yang bersumber dari tubuh manusia itu sendiri, maka kita juga bisa percaya bahwa kaos, melalui sejarah kemunculannya, adalah sesuatu yang mengandung “rekam jajak” tentang ketegangan itu.

Seperti pernah ditulis Antariksa, kaos—atau yang kadang dipanggil dengan sebutan kaos oblong—yang hari-hari ini hampir-hampir dipakai tiap orang di manapun—di pasar atau mall, di kampus atau kos-kosan, di masjid atau gereja—sebagai “pakaian luar”, pada awal mulanya adalah sesuatu yang dinisbatkan sebagai “pakaian dalam”. Fungsi kaos sebagai pakaian luar baru bisa tersebar ke seluruh dunia tatkala John Wayne, Marlon Brando, dan James Dean—melalui film-film yang mereka bintangi—mengenakan kaos sebagai pakaian luar.

Itu terjadi pada tahun 1950-an. Tapi bukan berarti setelah ketiganya mengenakan kaos sebagai pakaian luar, dunia segera merubah pikirannya. Pada tahun-tahun itu, konvensi mode dunia masih beranggapan bahwa kaos tetap merupakan “pakaian dalam”. Titik. Oleh karenanya, mengenakan kaos, ditilik dari konvensi mode dunia kala itu, adalah sesuatu yang “unfashion”.

Namun, justru konvensi macam inilah yang melambungkan kaos. “Kelompok-kelompok anak muda pemberontak” segera saja mengadopsi kaos sebagai bagian dari identitas diri mereka. Sebagai anak-anak nakal yang mengangankan diri mereka menjadi orang yang keluar dari norma sosial yang ada, sejumlah kelompok seperti punk kemudian ramai-ramai mengenakan kaos—yang disobek lengannya—sebagai sebentuk penolakan sekaligus resistensi terhadap konvensi mode dunia.

Di sinilah “rekam jajak” soal ketegangan itu terlihat. Ketika sejumlah anak muda yang menolak konvensi mode dunia ramai-ramai memakai kaos, mereka pada dasarnya sedang melakukan “pembebasan”, merayakan “otonomi” mereka atas tubuh dan gaya pakaian mereka sendiri. Kaos, oleh karena itu, adalah sebentuk lambang yang merepresentasikan “kebebasan”.

Tapi itu dulu. Sekarang ini, kaos bukan medium yang hanya menyampaikan pesan tunggal—semacam semangat perlawanan di zama dulu. Hari ini, kaos adalah medan dengan pesan komunikasi yang agak membingungkan karena ia mengandung amat banyak pesan beragam, juga kadang-kadang memiliki paradoks. Apalagi, kaos bukan hanya meruapkan pesan karena bentuknya saja—sesuatu yang lazim terjadi pada jenis pakaian apapun—tapi juga karena jenis baju ini memang seringkali memuat pesan dalam artinya yang denotatif.

Ya, kaos-kaos yang bergambar atau bertuliskan pesan tertentu memang amat mudah kita jumpai di mana-mana. Teks-teks yang mengkomunikasikan pesan tertentu—mulai ajakan jihad melawan Amerika sampai tantangan bercinta—adalah sebentuk kelaziman. Justru kaos oblong yang polos, tanpa tulisan atau gambar apapun, kini makin jarang kita jumpai kecuali di penjual-penjual kaos. Agakanya, kita telah sepakat bahwa kaos bukan hanya sebentuk pakaian, tapi juga alat menyampaikan pesan terbuka.

Tapi, perkembangan tren kaos terbaru justru kian membingungkan. Sebab, pesan-pesan yang dikandungnya makin tak mudah dipahami. Kini—seperti disampaikan Antariksa—misalnya, kita bisa menemukan seorang ibu muda memakai kaos bertuliskan “Bitch” sambil menggandeng anaknya. Atau, kita juga sering melihat anak-anak muda yang di kaos yang mereka pakai tertulis pesan-pesan seram seperti “Panitia Hari Kiamat”, “Penghuni Neraka Nomor 1”, atau “Buronan Mertua”.

Dalam logika identitas, segala hal yang kita pakai adalah sesuatu yang ingin kita komunikasikan. Dan, sesuatu yang ingin kita komunikasikan berarti merupakan sesuatu yang hendak kita ambil sebagai “penanda” kita. Kita ingin orang lain melihat, memahami, dan menilai diri kita melalui penanda tersebut. Kalau segala hal di dunia ini mesti melewati representasi, maka tiap orang memang hanya bisa dilihat melalui penanda yang ia komunikasikan. Artinya, orang lain akan selalu melihat diri kita dari penanda yang kita kenakan. Mereka tak akan pernah mampu secara simultan menilai “kesejatian diri” kita tanpa melewati tahap pemaknaan terhadap penanda kita.

Kaos ada dalam fungsi sebagai penanda itu. Ia merupakan pakaian yang mengandung teks terbuka dan gamblang. Orang akan mudah membaca pesan pada kaos yang kita kenakan. Mereka akan menilai kita dari pesan itu dan kita pun lazimnya menginginkan hal yang demikian.

Namun, dalam contoh kasus ibu muda yang menggunakan kaos bertuliskan “Bitch”, benarkah logika penanda-petanda yang konvensional masih berlaku? Benarkah sang ibu yang sedang menggandeng anaknya itu ingin diidentikkan atau dipandang dan dinilai sesuai dengan petanda yang ada di balik kata “bitch”? Atau jangan-jangan, sang ibu tak memahami arti kata “Bitch” dalam Bahasa Inggris?

Saya kira persoalannya bukan ada dalam pemahaman bahasa. Kata “Bitch” sudah terlampau akrab di telinga kita dan lagi, dalam contoh yang selanjutnya, di mana seorang pemuda memakai kaos bertuliskan “Penghuni Neraka Nomor 1”, kendala bahasa tak lagi berlaku. Dalam misal yang kedua itu, sang pemuda tentu memahami apa itu “neraka” dan apa artinya menjadi “penghuni neraka nomor 1”. Lalu, benarkah ia—melalui kaos yang dikenakannya—hendak menyampaikan bahwa dirinya adalah orang yang akan menjadi penghuni neraka pertama kali?

Menurut saya tidak. Si ibu yang memakai kaos bertuliskan “Bitch” ataupun sang pemuda yang mengenakan kaos dengan tulisan “Penguni Neraka Nomor 1” tak benar-benar ingin dilihat sesuai dengan pesan tertulis yang ada dalam kaos mereka. Dalam kasus macam ini, saya kira, kita mesti melihat adanya fenomena “terlepasnya petanda dari penanda”. Ya, pada misal tersebut, kita mungkin tak lagi bisa melihat kaos sebagai penanda yang memiliki petanda. Kaos yang bertuliskan “Bitch” atau “Penghuni Neraka Nomor 1” bukan lagi sebuah simbol dengan makna yang pasti di sebaliknya.

Alih-alih menganggapnya sebagai penanda yang masih terus memegang petandanya, kita harus melihat kaos-kaos macam itu sebagai penanda yang tanpa petanda. Itu mungkin saja berarti ia merupakan sebuah simbol tanpa makna. Sebab, mereka yang memakai kaos macam itu memang tak lagi mengkomunikasikan petanda yang sesuai dengan pesan dalam kaos mereka.

Saya menduga, tujuan utama pemakaian kaos model begitu bukan lagi untuk menyampaikan pesan denotatif sesuai dengan tulisan yang ada, tapi sekadar supaya mereka “terlihat berbeda”. Jadi, ketika seorang ibu muda memakai kaos bertuliskan “Bitch” misalnya, ia tak sedang ingin benar-benar dianggap sebagai “bitch”. Juga, ketika ada remaja tanggung yang mengenakan kaos oblong dengan tulisan “Penghuni Neraka Nomor 1”, sebenarnya ia pun tak ingin dinilai dan dipandang sebagai seorang yang benar-benar menghuni neraka. Motif keduanya, saya kira, hanyalah agar diri mereka terlihat berbeda di hadapan orang lain.

Sampai di sini, saya harus mengambil logika diferensiasi yang pernah diperkenalkan Jean Baudrillard tatkala menganalisa proses mengonsumsi dalam masyarakat konsumer. Baudrillard menyebut, di dalam masyarakat konsumer, konsumsi digerakkan semata-mata menuruti logika diferensiasi: artinya, konsumsi dilakukan guna menegaskan perbedaan-perbedaan tertentu. Proses mengonsumsi bukan lagi menjadi proses pemenuhan kebutuhan, tapi proses penegasan perbedaan.

Sebuah barang dikonsumsi bukan karena ia bisa memenuhi kebutuhan real sang konsumer. Tapi, sebuah benda dibeli karena ia bisa memberikan semacam “perbedaan” pada si empunya sehingga sang konsumer menjadi terlihat “berbeda” dengan orang lainnya. Di sinilah prestise, gaya hidup, atau kelas sosial, kemudian ditegaskan.

Bagi saya, logika diferensiasi dalam konsumsi itulah yang juga sedang menjangkiti sebagian kita tatkala memakai atau mengonsumsi kaos. Apalagi, laku memakai kaos sebenarnya juga merupakan bagian dari proses konsumsi. Tujuan yang menggerakkan sebagian manusia tatkala mengonsumsi kaos bukanlah motif menegaskan identitas tertentu yang secara denotatif tergambarkan melalui teks yang ada dalam kaos yang ia kenakan—seperti penegasan identitas sebagai muslim yang militan ketika memakai kaos bergambar Osama bin Laden. Yang menggerakkan proses mengonsumsi itu, bisa jadi, hanyalah sebuah hasrat untuk berbeda.

Di sinilah “rekam jajak” tentang ketegangan tubuh manusia kembali terlihat. Ketika kaos telah beralih dari medium “penyampai pesan” menjadi alat “pembuat perbedaan”, sebenarnya pemaknaan atas tubuh pun menjadi berlainan. Tubuh manusia, bukan lagi sekadar sarana dengan mana sebuah identitas yang “relatif stabil” ditegaskan, tapi sebuah medium tempat perbedaan disemai. Dan, kalau dulu perbedaan itu berkait dengan soal identitas tertentu, kini perbedaan itu mungkin saja tak ada kaitannya sama sekali dengan soal “identitas”, terutama dalam pengertiannya yang lumrah.

Dengan kata lain, perbedaan itu adalah sesuatu yang sama sekali tak stabil: ia akan segera beralih rupa tatkala ada kehadiran liyan yang mengancam perbedaan yang ia “kenakan”. Konkretnya, perbedaan yang ingin diperlihatkan itu tidak lagi dilakukan demi sesuatu yang lebih besar. Perbedaan disemai semata-mata hanya karena seorang manusia ingin terlihat “berbeda”. Di sini, satu-satunya identitas yang akhirnya muncul adalah perbedaan itu sendiri.

Sukoharjo, 6 Agustus 2008
Haris Firdaus

Read more...

Pemuda dalam Tanda Petik

>> Monday, March 10, 2008

Hari ini, ketika “pemuda” dalam pengertiannya yang asasi terus disepak ke pojok ruang paling pinggir dari rumah kebangsaan kita, masihkah kita layak berbicara tentang sumpah pemuda dengan menggebu?

Dalam sebuah buletin pers mahasiswa di kampus saya, seorang mahasiswa menulis tentang refleksi sumpah pemuda dan apakah pemuda Indonesia saat ini bisa menjadi agen perubahan.

Seperti yang bisa anda tebak, tulisan yang berjudul “Memaknai 28 Oktober, Siapkah Pemuda Lahir Sebagai Agen Perubahan???” itu bercerita soal sejarah sumpah pemuda, soal betapa heroiknya para pencetus sumpah itu, dan soal betapa pengaruh sumpah pemuda itu terasa sampai sekarang.

Setelah itu, ujung-ujungnya, tulisan tersebut bertanya pada para pemuda sekarang: apakah mereka sanggup meneladani gagasan di balik sumpah pemuda, lalu siapkah mereka kini menjadi agen perubahan seperti para pendahulu mereka.

Ada logika yang simplistis dalam tulisan tersebut. Seolah pemuda jaman sekarang adalah sambungan langsung dari pemuda tahun 1928. Seolah kondisi sosiologis pemuda Indonesia tak perlu diperhatikan saat kita melakukan telaah tentang pemuda, kepemudaan, dan semangat kebangsaan.

Tulisan yang mengutip teks sumpah pemuda di awal dan Soekarno di bagian agak akhir tersebut, ternyata jatuh pada lubang yang sama dengan berbagai ragam tulisan sejenis yang mencoba melakukan refleksi tentang pemuda. Lubang itu adalah simplifikasi sejarah dan konteks sosial.

Yang umum dipahami adalah bahwa pemuda Indonesia, sebagai sebuah bagian dari bangsa Indonesia, memiliki peranan penting dalam sejarah kebangsaan. Dalam tiap periode dari sejarah negara kita—yang pada dasarnya dibagi berlandaskan kejadian politik itu—pemuda selalu diangankan memiliki peranan penting.

Makanya, harapan pada generasi muda ini selalu hadir, dan dalam konteks tertentu, hampir selalu berlebihan. Yang justru dilupakan adalah bahwa kata “pemuda” di Indonesia pada awal terbentuknya nasionalisme kita adalah sebuah konsep khusus yang tak mungkin lagi diulangi lagi pada kondisi sekarang.

Pemuda, bukanlah sebuah gugus gagasan yang hanya dibatasi oleh persoalan umur semata. Pemuda, sebagai sebuah konsep, memiliki dimensi politis. Bennedict Anderson, misalnya, menyebut bahwa definisi “pemuda” sebelum orde baru merekah selalu dikaitkan dengan dimensi politik. Sejak revolusi kemerdekaan sampai menjelang orde lama dimakamkan, pemuda adalah kelompok umur tertentu yang menghabiskan sebagian besar—atau kalau tidak malah semua—waktu longgar mereka dalam kegiatan yang sifatnya politis.

Para pemuda mengikuti organisasi-organisasi pemuda, mahasiswa, partai politik, serta hadir dalam rapat raksasa, pertemuan organisasi, atau rapat-rapat. Kalau kita membaca “Layar Terkembang”-nya Sutan Takdir Alisjahbana, akan nampak gaya hidup yang demikian. Meski harus diakui tetap ada pemuda yang lepas dari kondisi yang demikian, secara kuantitatif jumlahnya tak banyak dan secara kualitatif mereka tak berpengaruh.

Definisi pemuda yang demikianlah yang lambat laun digeser ketika orde baru ditegakkan. Depolitisasi yang dilakukan pemerintah memaksa para “pemuda” lambat laun bergeser menjadi “remaja”. Remaja, mengambil pendapat James Siegel, bukanlah berkaitan dengan batasan umur, tapi dengan soal gaya hidup.

Term “remaja”, seperti kata Siegel, adalah hasil dari depolitisasi dari pemerintah orde baru yang lambat laun kemudian menggeser term “pemuda” di mana pengertian asasinya selalu mengandung dimensi politis yang inheren di dalamnya.

Pembatasan kegiatan politik oleh orde baru membuat hanya sedikit golongan masyarakat yang terlibat di dalamnya. Di kalangan kaum muda, keterlibatan secara politis hanya terjadi di kalangan yang amat terbatas.

Pada masa “boom minyak” 1970-an—sebuah masa ketika Indonesia sebagai pengekspor minyak diuntungkan karena kenaikan harga minyak dunia dan akibatnya banyak orang kaya baru di negara itu—mulailah sebuah fase di mana secara perlahan tapi pasti anak-anak muda Indonesia secara besar-besaran terlibat dalam kegiatan yang non politis.

Itulah cikal-bakal term “remaja” yang secara umum bisa diartikan sebagai kalangan muda yang lebih banyak terlibat dalam hal-hal yang sifatnya non politis. Kebanyakan dari generasi awal remaja ini adalah anak-anak dari orang-orang Indonesia yang sedang menikmati rejeki nomplok dari “boom minyak” yang terbukti hanya sesaat itu.

Lalu, mulailah sebuah fase di mana kaum muda selalu ada dalam tarik-menarik antara hal-hal politis dan hal yang non politis. Dewasa ini, setelah reformasi, hal-hal yang non politis lah agaknya yang mendominasi. Setidaknya, kalau kita melihat ekspresi kaum muda jaman ini pada film-film yang dihasilkan sineas muda kita.

Laela S Chudori pernah dengan sangat putus asa mengomentari film-film remaja kita. Dari “Ada Apa dengan Cinta?”, “Jelangkung”, “Eiffel, I’m in Love”, sampai “30 Hari Mencari Cinta”, Laela sampai pada kesimpulan bahwa film-film itu sama sekali tak memberi seusatu yang teramat berarti.

Bahkan, sebagai sebuah hiburan yang cerdas dan baik saja, sebagian besar dari film-film tadi tak berhasil sama sekali. Jangankan persoalan-persoalan “besar” seperti soal kebangsaan, soal hiburan yang cerdas saja ternyata tak mampu dipenuhi oleh (sebagian) sineas (muda?) kita.

Pada titik inilah saya setuju dengan Ariel Haryanto bahwa anak muda pasca reformasi telah mengamali dekadensi, bukan terutama dalam hal moralitas seperti yang dikeluhkan para ulama kita, tapi dalam hal kekuatan berpikir dan kepedulian sosial. Mayoritas ekspresi kebudayaan pop yang kita lihat saat ini, kata Ariel Haryanto, memang akhirnya memerkuat kesimpulan pahit Laela S Chudori.

Aspek-aspek seperti inilah yang mesti diperhitungkan ketika sebuah telaah tentang pemuda hendak dimajukan. Tidak sekadar menggebrak dengan pamflet-pamflet jadul yang hanya dipenuhi semangat saja. Kondisi sosiologis adalah faktor mutlak yang mesti direkap kalau kita memang sumpah pemuda masih hendak direnungkan setelah hampir 80 tahun berlalu.

Ya, kalaupun pembicaraan dan renungan sumpah pemuda masih saja hendak kita lakukan saat ini, mari bicarakan itu dengan kepala yang sedikit lebih jernih, dengan konteks sosial yang kita punguti dari file sejarah, dan dengan pisau analisa yang kita usahakan lebih cerdas.

Sukoharjo, 9 Maret 2008
Haris Firdaus

Read more...

  © Blogger template Wild Birds by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP