An-Nawawi berkata, "Ketahuilah! Walaupun hukum asal dusta itu haram, tetap boleh dilakukan pada beberapa keadaan dengan beberapa persyaratan .
Ringkasannya, bahwa ucapan merupakan perantara untuk mencapai tujuan. Setiap tujuan baik yang dapat dicapai dengan tanpa berdusta maka diharamkan melakukan dusta. Namun jika tidak dapat dicapai kecuali dengan cara berdusta maka boleh melakukan dusta. Kemudian apabila tujuan yang akan dicapai hukumnya mubah maka dusta disini jua hukumnya mubah, dan apabila tujuan yang dicapai berhukum wajib maka hukum berdusta di sini juga berhukum wajib. Apabila seorang muslim bersembunyi dari kejaran seorang zhalim yang ingin membunuhnya atau merampas hartanya, lantas si zhalim itu bertanya kepada seoseorang dimana muslim itu bersembunyi maka orang itu wajib menyembunyikannya. Jika muslim itu menitipkan sesuatu kepada orang itu maka wajib untuk menyembunyikannya. Yang terbaik dalam masalah ini dengan menggunakan tauriyah. Tauriyah adalah menggunakan suatu kalimat (yang disamarkan maksudnya) dengan tujuan yang benar dan tidak dikatakan dusta jika dipahami menurut si pembicara. Walaupun secara konteks bahasanya seakan-akan berdusta jika dinilai dari apa yang dipahami oleh orang yang diajak bicara. Jika ia tidak menggunakan tauriyah, tetap menggunakan kalimat yang jelas kedustaannya maka dalam kondisi seperti ini hukumnya adalah haram.
Para ulama membolehkan dusta pada kondisi seperti ini berdalil dengan hadits Ummu Salamah r.a, bahwasanya ia pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, "Tidak disebut pendusta orang yang mendamaikan perselisihan di antara manusia, kemudian ia menceritakan kebaikan atau mengatakan suatu hal yang baik," (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat tersebut Imam Muslim menambahkan, Ummu Kultsum berkata, "Aku tidak pernah mendengar beliau memberikan dispensasi dusta dalam pembicaraan kecuali pada tiga tempat: Untuk mendamaikan manusia, perbincangan seorang suami dengan isterinya, dan perbincangan seorang isteri kepada suaminya," (Lihat Riyaduhs Shalihin [III/69]).
Ringkasannya, bahwa ucapan merupakan perantara untuk mencapai tujuan. Setiap tujuan baik yang dapat dicapai dengan tanpa berdusta maka diharamkan melakukan dusta. Namun jika tidak dapat dicapai kecuali dengan cara berdusta maka boleh melakukan dusta. Kemudian apabila tujuan yang akan dicapai hukumnya mubah maka dusta disini jua hukumnya mubah, dan apabila tujuan yang dicapai berhukum wajib maka hukum berdusta di sini juga berhukum wajib. Apabila seorang muslim bersembunyi dari kejaran seorang zhalim yang ingin membunuhnya atau merampas hartanya, lantas si zhalim itu bertanya kepada seoseorang dimana muslim itu bersembunyi maka orang itu wajib menyembunyikannya. Jika muslim itu menitipkan sesuatu kepada orang itu maka wajib untuk menyembunyikannya. Yang terbaik dalam masalah ini dengan menggunakan tauriyah. Tauriyah adalah menggunakan suatu kalimat (yang disamarkan maksudnya) dengan tujuan yang benar dan tidak dikatakan dusta jika dipahami menurut si pembicara. Walaupun secara konteks bahasanya seakan-akan berdusta jika dinilai dari apa yang dipahami oleh orang yang diajak bicara. Jika ia tidak menggunakan tauriyah, tetap menggunakan kalimat yang jelas kedustaannya maka dalam kondisi seperti ini hukumnya adalah haram.
Para ulama membolehkan dusta pada kondisi seperti ini berdalil dengan hadits Ummu Salamah r.a, bahwasanya ia pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, "Tidak disebut pendusta orang yang mendamaikan perselisihan di antara manusia, kemudian ia menceritakan kebaikan atau mengatakan suatu hal yang baik," (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat tersebut Imam Muslim menambahkan, Ummu Kultsum berkata, "Aku tidak pernah mendengar beliau memberikan dispensasi dusta dalam pembicaraan kecuali pada tiga tempat: Untuk mendamaikan manusia, perbincangan seorang suami dengan isterinya, dan perbincangan seorang isteri kepada suaminya," (Lihat Riyaduhs Shalihin [III/69]).
Tauriyah adalah keinginan seseorang dengan ucapannya yang berbeda dengan dhahir ucapannya. Hukumnya boleh dengan dua syarat:
Pertama, kata tersebut memberi kemungkinan makna yang dimaksud.
Kedua, bukan untuk perbuatan zhalim.
Jika seseorang berkata, “Saya tidak tidur selain di atas watad.” Watad adalah tongkat di dinding tempat menggantungkan barang-barang. Ia berkata, “Yang saya maksud dengan watad adalah gunung.” Maka ini adalah tauriyah yang benar, karena kata itu memberi kemungkinan makna tersebut dan tidak mengandung kezhaliman terhadap seseorang.
Demikian pula jikalau seseorang berkata, “Demi Allah, saya tidak tidur kecuali di bawah atap.” Kemudian dia tidur di atas atap rumah, lalu berkata, “Atap yang saya maksudkan adalah langit. Maka ini juga benar. Langit dinamakan atap dalam firman-Nya,
“Dan kami jadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara,” (Al-Anbiya’: 32)
Jika tauriyah digunakan untuk perbuatan aniaya, maka hukumnya tidak boleh, seperti orang yang mengambil hak manusia. Kemudian dia pergi kepada hakim, sedangkan yang dianiaya tidak memiliki saksi. Lalu qadhi (hakim) meminta kepada orang yang mengambil hak tadi agar bersumpah bahwa tidak ada sedikit pun miliknya di sisi Anda. Maka dia bersumpah dan berkata, “Demi Allah, ma lahu ‘indi syai’ (tidak ada sedikit pun miliknya pada saya).” Maka hakim memutuskan untuknya. Kemudian sebagian orang bertanya kepadanya tentang hal tersebut dan mengingatkannya bahwa ini adalah sumpah palsu yang akan menenggelamkan pelakunya di neraka. Dan disebutkan dalam hadits,
“Siapa yang bersumpah atas sumpah palsu yang dengan sumpah itu ia bisa mengambil harta seorang muslim, ia berbuat fasik padanya, niscaya ia bertemu Allah, dan Dia sangat murka kepadanya.” (Muttafaq Alaihi)
Yang bersumpah ini berkata, “Saya tidak bermaksud menafikan (membantah), dan yang saya maksudkan adalah itsbat (menetapkan). Dan niat saya pada kata “ma lahu” bahwa ‘ma’ adalah isim maushul, artinya: Demi Allah, yang merupakan miliknya ada pada saya.” Sekalipun kata itu memberikan kemungkinan makna itu, namun hal itu adalah perbuatan aniaya, maka hukumnya tidak boleh (haram). Karena inilah disebutkan dalam sebuah hadits,
“Sumpahmu berdasarkan pembenaran yang diberikan temanmu.” (Riwayat Muslim)
Takwil tidak berguna di sisi Allah dan sekarang Anda telah bersumpah dengan sumpah yang palsu.
Jika seorang laki-laki, istrinya tertuduh melakukan tindakan jinayah (kriminal), sedangkan istrinya bebas (tidak bersalah) dari tuduhan itu, lalu ia bersumpah dan berkata, “Demi Allah, dia adalah saudari saya.” Dan ia berkata, “Maksud saya dia adalah saudari saya dalam Islam.” Maka ini adalah ta’ridh (sindiran/pemberian isyarat) yang benar, karena ia memang saudarinya dalam Islam, sedangkan dia dianiaya.
Kesimpulan:
Tauriyah adalah keinginan seseorang dengan ucapannya yang berbeda dengan dhahir ucapannya. Hukumnya boleh dengan dua syarat:
1. Kta tersebut memberi kemungkinan makna yang dimaksud.
2. Bukan untuk perbuatan zhalim.
Wallahu a’lam bisshawab
Pertama, kata tersebut memberi kemungkinan makna yang dimaksud.
Kedua, bukan untuk perbuatan zhalim.
Jika seseorang berkata, “Saya tidak tidur selain di atas watad.” Watad adalah tongkat di dinding tempat menggantungkan barang-barang. Ia berkata, “Yang saya maksud dengan watad adalah gunung.” Maka ini adalah tauriyah yang benar, karena kata itu memberi kemungkinan makna tersebut dan tidak mengandung kezhaliman terhadap seseorang.
Demikian pula jikalau seseorang berkata, “Demi Allah, saya tidak tidur kecuali di bawah atap.” Kemudian dia tidur di atas atap rumah, lalu berkata, “Atap yang saya maksudkan adalah langit. Maka ini juga benar. Langit dinamakan atap dalam firman-Nya,
“Dan kami jadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara,” (Al-Anbiya’: 32)
Jika tauriyah digunakan untuk perbuatan aniaya, maka hukumnya tidak boleh, seperti orang yang mengambil hak manusia. Kemudian dia pergi kepada hakim, sedangkan yang dianiaya tidak memiliki saksi. Lalu qadhi (hakim) meminta kepada orang yang mengambil hak tadi agar bersumpah bahwa tidak ada sedikit pun miliknya di sisi Anda. Maka dia bersumpah dan berkata, “Demi Allah, ma lahu ‘indi syai’ (tidak ada sedikit pun miliknya pada saya).” Maka hakim memutuskan untuknya. Kemudian sebagian orang bertanya kepadanya tentang hal tersebut dan mengingatkannya bahwa ini adalah sumpah palsu yang akan menenggelamkan pelakunya di neraka. Dan disebutkan dalam hadits,
“Siapa yang bersumpah atas sumpah palsu yang dengan sumpah itu ia bisa mengambil harta seorang muslim, ia berbuat fasik padanya, niscaya ia bertemu Allah, dan Dia sangat murka kepadanya.” (Muttafaq Alaihi)
Yang bersumpah ini berkata, “Saya tidak bermaksud menafikan (membantah), dan yang saya maksudkan adalah itsbat (menetapkan). Dan niat saya pada kata “ma lahu” bahwa ‘ma’ adalah isim maushul, artinya: Demi Allah, yang merupakan miliknya ada pada saya.” Sekalipun kata itu memberikan kemungkinan makna itu, namun hal itu adalah perbuatan aniaya, maka hukumnya tidak boleh (haram). Karena inilah disebutkan dalam sebuah hadits,
“Sumpahmu berdasarkan pembenaran yang diberikan temanmu.” (Riwayat Muslim)
Takwil tidak berguna di sisi Allah dan sekarang Anda telah bersumpah dengan sumpah yang palsu.
Jika seorang laki-laki, istrinya tertuduh melakukan tindakan jinayah (kriminal), sedangkan istrinya bebas (tidak bersalah) dari tuduhan itu, lalu ia bersumpah dan berkata, “Demi Allah, dia adalah saudari saya.” Dan ia berkata, “Maksud saya dia adalah saudari saya dalam Islam.” Maka ini adalah ta’ridh (sindiran/pemberian isyarat) yang benar, karena ia memang saudarinya dalam Islam, sedangkan dia dianiaya.
Kesimpulan:
Tauriyah adalah keinginan seseorang dengan ucapannya yang berbeda dengan dhahir ucapannya. Hukumnya boleh dengan dua syarat:
1. Kta tersebut memberi kemungkinan makna yang dimaksud.
2. Bukan untuk perbuatan zhalim.
Wallahu a’lam bisshawab
No comments:
Post a Comment