Monday, July 23, 2007
Oh Sidoarjo.....
"Saya sebagai pemerintah, kalau soal Lapindo, tanya saja ke Lapindo," katanya singkat sambil berjalan menuju pintu ke luar Kantor Presiden, Jakarta beberapa waktu lalu.
”Tanyakan ke Lapindo, jangan ke saya,” katanya mengulang saat ditanya soal ketidakmampuan Lapindo melakukan pembayaran kepada 1.000 orang perhari seperti yang telah dijanjikan.
Sambil berjalan Ical pun terpaksa menjawab lantaran diserbu pertanyaan.
Menurut dia, persoalan Lapindo menjadi tanggungjawab Tim Badan Penanggulanan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Tim tersebut diharap bisa mempercepat proses verifikasi secara benar guna merealisasikan proses ganti rugi kepada warga Sidoarjo yang menjadi korban.
"Harus ada sesuatu verifikasi yang benar. Jangan nanti menimbulkan kesulitan baru di kalangan masyarakat," katanya.
”Jangan ada orang yang tidak berhak mengklaim tanah orang, kan begitu. Kalau begitu kan berat, nanti timbul kerusuhan lagi," tambahnya.
Kalau persyaratan verifikasi tidak dipenuhi karena tidak ada kejelasan suratnya, tentu proses ganti rugi tidak dapat dilaksanakan.
"Kalau tidak ada suratnya, ya ngapain. Jadi, mesti ada pengesehan dari pemerintah bahwa benar, kalau seumpannya ada orang tidak punya tanah, tapi mengaku-gaku punya tanah, kan yang punya tanah marah dong."
Ical mengharap, BPLS harus benar-benar bisa memastikan jika tanah yang diklaim itu adalah tanah milik warga, bukan tanah kuburan yang diklaim warga kepada Lapindo agar diganti.
Aburizal mengatakan, Perpres No.14 Tahun 2007 harus dijalankan. "Itu harus dijalankan. Kan Perpres itu sudah ada. Tidak ada penekanan. Tidak ada bedanya sejak sebelumnya, hanya Presiden mengatakan dipercepat. Perpres-nya tetap."
Kenyataannya, tim verifikasi hingga saat ini baru berhasil memverifikasi ratusan berkas milik para korban. Padahal, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menginstruksikan agar tim verifikasi dapat menyelesaikan paling tidak 1.000 berkas setiap minggu.
Namun, sampai sekarang baru sekitar 300 berkas yang diselesaikan. Warga pun kembali menggelar aksi penekanan. Presiden pun kembali mengeluarkan pernyataan. Kepala Negara mendesak agar pembayaran 20 persen uang ganti rugi kepada korban lumpur Lapindo diselesaikan pada Oktober atau sebelum hari raya Idul Fitri.
"Saya hampir tiga hari sekali melakukan pengecekan soal lumpur Lapindo ini. Yang saya inginkan betul-betul sebelum Ramadhan berakhir pembayaran 20 persen kepada penduduk yang terkena dampaklumpur Sidoarjo itu sudah tuntas," tandas Presiden dalam jumpa pers di Hotel Shilla Seoul, Korea Selatan Rabu lalu sebelum menjelaskan hasil kunjungan kenegaraan di Korea Selatan selama tiga hari.
"Progresnya memang baik tetapi saya ingin semua mengalir baik verifikasinya, pembayarannya. Sehingga penerimaan dari dana itu betul-betul tepat waktu dan sasaran sehingga bisa menyelesaikan masalah sosial di Sidoarjo," katanya.
Presiden sebelumnya telah memerintahkan agar PT Lapindo Brantas segera merealisasikan pembayaran ganti rugi kepada korban lumpur Sidoarjo.
Pembayaran 20 persen dari tanah dan bangunan penduduk yang oleh Perpres No.14 Tahun 2007 dibayar di muka dan 80 persen harus dituntaskan pembayaran selama 10 minggu sejak 1 Juli 2007.
Menurut Presiden Lapindo akan menyalurkan dana semua itu lewat rekening penampung sejumlah Rp100 miliar tiap minggu dan siap disalurkan sejajar dengan verifikasi yang telah dirampungkan. Agar semuanya mengalir sesuai jadwal, maka verifikasi sangat penting.
''Karena itu telah diputuskan intensifikasi verifikasi dan memperkuat tim dan jumlah yang diverifikasi tiap minggunya ditingkatkan.,' kata Kepala Negara.
Dalam seminggu, 1.000 kepala keluarga akan diverfikasi secara cepat dan cermat. Sementara 80 persen sisanya, akan dibayar sebulan sebelum masa kontrak 2 tahun habis. Untuk itu akan diatur mekanisme pembayarannya.
Lumpur panas PT Lapindo Brantas hingga kini masih menyembur liar. Kerugian sosial, ekonomi dan ekologi di sekitar Sidoarjo, Jawa Timur, sangat luar biasa.
Departemen Pertanian mencatat 267,7 ha tanaman padi di kawasan itu gagal panen lantaran tergenang lumpur panas. Lahan pertanian itu dipastikan tidak dapat lagi berfungsi. Tragedi di sektor pertambangan itu telah menyebabkan lebih dari 8.000 warga menjadi korban, dan 10 desa tenggelam oleh lumpur panas.
Berdasarkan estimasi Greenomics Indonesia, semburan lumpur panas Lapindo menyebabkan kerugian mencapai Rp33,27 triliun. Greenomics Indonesia mengungkapkan kerugian-kerugian yang bersifat “segera” meliputi biaya penanganan sosial dan pembersihan lumpur, yang diperkirakan bisa mencapai Rp7,96 triliun.
Biaya yang sifatnya ”sudah terjadi” adalah hancurnya sistem ekologi akibat semburan lumpur panas, yang kerugiannya diperkirakan mencapai Rp4,63 triliun.
Salah satu komponen biaya yang harus dikeluarkan secara cepat setelah lumpur panas tersebut sudah dalam kondisi ”telah dibersihkan” adalah biaya restorasi lahan.
Biaya ini merupakan biaya pemulihan kondisi lahan menjadi areal yang produktif kembali. Dalam kondisi di mana lahan yang telah digenangi lumpur panas tersebut telah ”berumur” cukup panjang, maka biaya restorasi lahan tersebut diperkirakan bisa mencapai Rp3,97 triliun.
Semburan lumpur panas Lapindo tersebut juga menyebabkan timbulnya kerugian-kerugian ekonomi, baik pada tataran individu, kelompok masyarakat, perusahaan, pemerintah, serta pihak-pihak relevan lainnya.
Kerugian terhadap pertumbuhan ekonomi regional bisa mencapai Rp4,34 triliun. Kerugian ini membutuhkan biaya pemulihan iklim bisnis dan ekonomi, yang diperkirakan membutuhkan biaya mencapai Rp5,79 triliun.
Tak bisa juga dipungkiri bahwa semburan lumpur panas Lapindo telah menggiring terjadinya biaya-biaya kehilangan kesempatan (opportunity costs) yang dialami oleh banyak pihak. Kerugian ini diperkirakan bisa mencapai Rp2,88 triliun.
Kondisi di atas juga menimbulkan ketidakpastian ekonomi, yang kerugiannya diperkirakan bisa mencapai Rp3,7 triliun.
Melihat dampak kerugian yang amat luar biasa itu, Siti Maemunah, Direktur Eksekutif Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menilai, ganti rugi tidak hanya ditanggung pihak Lapindo.
Asuransi yang diterima Lapindo akibat tragedi itu hanya sekitar Rp25 triliun sehingga tidak cukup membiayai ganti rugi ekonomi, sosial maupun rehabilitasi lingkungan sekitar.
Siti menilai kasus PT Lapindo Brantas adalah kejahatan lingkungan yang yang bersifat korporasi. Karena itu, dia mendesak Polri perlu mengusut institusi lain yang juga menjadi pemilik saham dalam kegiatan eksplorasi yang dilakukan Lapindo.
“Sebagai kejahatan korporasi, Polri tidak sekedar menyidik pihak yang ecek-ecek, tetapi juga menyidik jajaran yang terkait urusan badan usaha sebagai korporasi,” tegas Maemunah.
Polri harus mengkaji keterlibatan institusi lain di belakang Lapindo seperti pemilik saham. “Otomatis mereka juga harus bertanggungjawab. Polri harus menelusuri hingga ke sana.”
Jika tidak diusut secara mendalam, dikhawatirkan ada upaya dari sejumlah kalangan—khususnya pemilik saham Lapindo untuk membuat perusahaan tersebut itu bangkrut.
“Ada tanda-tanda PT Lapindo Brantas akan dibangkrutkan sehingga tidak bertanggungjawab lagi, jadi bagaimana mau ganti rugi kalau tidak ada duit lagi.”
Pengusutan kejahatan lingkungan yang berdampak kerugian sosial dan ekonomi, dapat dilakukan dengan mengkaji subtansi kontrak karya. Dalam kontrak karya, akan terungkap pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan eksplorasi pertambangan.
Maemunah mencontohkan penanganan kasus kejahatan lingkungan yang dilakukan PT Newmont Minahasa Raya—yang oleh Polri dijerat dengan pasal kejahatan korporasi—memaksa petinggi Newmont Internasional di Amerika Serikat turut bertanggungjawab.
“Sangat mengherankan jika Lapindo tidak ditangani, Polri tidak berani ada apa.”
Menurut dia, Jatam dan NGO lainnya akan terus mengawasi kinerja Polri agar konsisten menerapkan kasus Lapindo sebagai kejahatan lingkungan yang bersifat korporasi.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur, Ridho Saiful Ashadi, mengatakan semburan lumpur panas di Sidoarjo tidak hanya melibatkan Lapindo. Harus juga dipertanyakan latar belakang keluarnya izin dari BP Migas.
“Dari situ akan jelas, siapa saja yang terkait azas penghasilan yang akan didapat oleh pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan, jadi jelas siapa saja pihak-pihak yang berada dibelakang Lapindo,” ujarnya.
Memang, katanya, Lapindo mengklaim keuntungan belum diraih karena masih tahap eksplorasi. Namun, jika eksplorasi berlanjut ke ekspolitasi, maka yang paling diuntungkan adalah jajaran direksi, dan pimpinan holding.
Menurut Ridho, jika Polri menggunakan pasal korporasi maka harus memeriksa Aburizal Bakrie sebagai pemilik Lapindo. “Tidak ada yang kebal hukum, persoalannya hanya mau atau tidak, Polri memanggil Aburizal Bakrie.”
Polri juga dapat mengungkap secara mendalam mulai dari penandatangan kontrak karya, izin pertambangan dari BP Migas, serta rangkaian aktivitas pertambangan.
Politisasi
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono nampaknya pusing dengan persoalan Lapindo yang meluas jadi persoalan politik. Segenap pihak mendesak pemerintah agar merealisasikan dana dari APBN untuk membiayai proses ganti rugi. Namun, meledaknya pipa gas yang menyemburkan lumpur panas adalah murni keselahan teknis, bukan bencana alam sehingga tak perlu digantikan dari uang APBN.
Di parlemen, sejumlah politisi nyaring berteriak agar DPR menggunakan hak interpelasinya dalam kasus Lapindo. Fraksi PDIP DPR paling lantang berteriak. Fraksi tersebut menyatakan konsisten untuk mendukung hak interpelasi lumpur Lapindo.
Sekretaris Fraksi PDIP DPR Bambang Pacul Wuryanto menyatakan, sikap PDIP itu merupakan bagian dari pertanggungjawaban kepada publik. Sementara Golkar nampaknya tak jelas sikapnya. Namun, Yuddy Chrisnandy menyatakan, para interpelator dari Fraksi Golkar tetap mendukung hak interpelasi. Alasannya adalah soal image partai di hadapan publik.
“Kami (para interpelator) kecewa kalau dikatakan berubah sikap dengan tidak mendukung interpelasi ini. Kami juga kecewa kalau dikatakan interpelasi ini hanya didukung PDIP dan PKB," katanya.
Namun, setelah Rapat Badan Musyawarah (Bamus) beberapa waktu lalu, kabarnya Golkar menarik dukungan untuk interpelasi. Yuddy juga kabarnya sempat dipanggil DPP Partai Golkar karena menyatakan interupsi untuk mendukung interpelasi. Pernyataan Yuddy tersebut dinilai tidak sejalan dengan garis partai.
Presiden SBY tengah menunggu komitmen PT Lapindo Brantas untuk merealisasikan tanggungjawabnya dalam memberikan ganti rugi kepada para korban. ”Kita tunggu saja sejauh mana komitmennya,” kata Presiden di atas pesawat kepresidenan usai rapat dua hari di Sidoarjo, Jawa Timur membahas soal lumpur.
Beberapa waktu lalu, Presiden bersama sejumlah menteri, BPLS, PT Lapindo, Gubernur Jawa Timur, Bupati Sidoarjo, menggelar rapat penanganan lumpur Lapindo di Wisma Perwira Pangkalan Udara TNI-AL Juanda, Sidoarjo, Jawa Timur.
Sejumlah menteri yang hadir antara lain Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa,Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah.
Selain itu, hadir juga Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Komunikasi dan Informatika Mohammad Nuh, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas Paskah Suzeta, dan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto.
Dari rapat itu diputuskan agar Lapindo segera memberikan ganti rugi kepada ribuan warga yang rumahnya terendam lumpur. Presiden juga mewanti-wanti agar pihak terkait mulai dari menteri terkait, Bupati Sidoarjo, Gubernur Jawa Timur, BPLS dan Lapindo, konsisten melaksanakan Peraturan Presiden (Perpres) No 14 tahun 2007.
Namun, di mata lawan politiknya, semburan lumpur panas menjadi komoditas politik yang ampuh menyerang Presiden. Di parlemen, sejumlah politisi menilai, apa yang telah dilakukan Presiden tak akan memberikan banyak manfaat kepada para korban lumpur di Sidoarjo. Sejumlah demo pun bermunculan.
Di Jakarta, sejumlah perwakilan korban Lapindo menggelar demo di Gedung DPR. Kritik pun semakin mengalir deras karena Presiden tidak bisa menemui langsung warga Sidoarjo yang menjadi korban lumpur.
Atas kritik itu, Presiden miris menanggapinya. ”Memang tadi ada sedikit komentar biasa, ketika saya belum datang lagi ke Sidoarjo—padahal saya sudah sering datang—tapi dikatakan SBY kok tidak datang. Jangan-jangan tidak memberikan atensi yang penuh. Padahal saya selalu memberikan atensi penuh. Tapi, saat datang ke Sidoarjo, ada komentar ngapain ke Sidoarjo,” kata Presiden.
Presiden mengatakan, dirinya bekerja tidak harus mendengarkan komentar. ”Tapi saya punya keyakinan. Kalau kita tulus, serius tentu ada yang dapat dicapai,” ujarnya.
Presiden menambahkan, dirinya sudah menerima laporan dari warga korban Lapindo Minggu lalu, dan sebulan sebelumnya Presiden sudah menerima representasi dari penduduk. ”Bahkan, hampir tiap hari Presiden menerima SMS mengenai pengaduan dan usulan dalam memecahkan masalah Lapindo.’’
Presiden mengharap, persoalan Lapindo tidak menjadi komoditas politik sehingga tidak memperkeruh situasi. ’’Marilah kita hindari, agar warga korban mendapatkan bantuan sebaik-baiknya. Ini harapan saudara kita yang memerlukan uluran perhatian dan pekerjaan yang tulus dari kita semua.”
Oh..........malangnya nasib mereka, warga Sidoarjo.
M. Yamin Panca Setia
Photo-photo: Tempo/Arie Basuki/Zulkarnain
Subscribe to Posts [Atom]