Zen duduk manis diatas motornya, beberapa menit yang lalu Faya menelfon mengabari klo dia sudah nggak ada kelas. Sambil menunggu, Zen kembali menata rambutnya yang hampir berantakan.
“hai!” suara Faya muncul dari belakang “udah lama nunggu?”
“nggak, lumayanlah sempet buat ngerapiin rambut. Eh lo bawa helm gak?”
“nggak! Emang mau kemana harus pake helm?”
“nggak kemana-mana sih! Tapi gue kan klo pake motor gak bisa pelan. Takutnya ntar rambut lo berantakan”
“biarin aja, kan bisa keliatan lebih sexy”
Zen tertawa lucu mendengar kata-kata Faya, dalam hati perasaan Zen makin meluap.
“ya udah ayo!”
Faya mengikuti Zen naik ke motornya. Meskipun dipelataran parkir itu banyak mahasiswa-mahasiswa yang lalu lalang, tapi Zen dengan mudah dan cepatnya bisa melewati mereka. Bagian inilah yang disukai Zen saat bersama Faya. Saking akrabnya, Zen dan Faya nggak pernah kehabisan bahan omongan. Dan yang paling Zen suka, tangan Faya melingkar diperut Zen tanpa dia minta. Naluri laki-laki gitu kan? Sapa sih yang gak suka dipeluk sama orang yang dia suka?
“hmm… gila! Udah puluhan warung-warung siomay gue coba tapi yang paling top Cuma satu. Ya siomay ini!” Faya melahap siomaynya didepannya
Zen tersenyum.
“waktu lo pertama kali bawa gue makan disini, lidah gue langsung klop. Enak banget rasanya! Klo abang siomay-nya mau buka resto fastfood, gue bersedia jadi model iklan tetapnya”
“kagak ada modalnya neng!” abang penjual siomay itu menyahuti kata-kata Faya
“itu kan klo bikin bang! Klo gak ya biar saya aja yang jadi langganan tetapnya. Cuma sayangnya tempat ini jauh dari rumah atau kampus, makanya gue jadi gak bisa sering-sering kesini”
“emang lo nggak pernah kesini selain dengan gue?”
Faya geleng-geleng “kayaknya dari semua orang yang gue kenal, Cuma elo yang tau tempat jual siomay terenak seantero Surabaya ini. Klo sama Idhan sih seringnya makan di cafe”
Zen diam sambil memakan siomay dipiringnya “Fay kenapa sih lo tetep manggil gue Ardhan? Kenapa gak Zen aja? Semua temen gue panggil gue Zen”
“nggak ah! Waktu gue kecil dulu, gue kenal elo pake nama Ardhan. Jadi yang melekat diotak gue, elo itu Ardhan”
“tapi lo tau konsekuensinya kan?”
“tau, elo berdua jadi sering salah panggil kan? Itu Cuma masalah kecil kale”
“lo kan tau gue gak suka”
“aneh deh! Ardhan-Idhan itu bagus kok. Harusnya lo berdua itu bangga jadi cowok kembar. Keren-keren lagi”
“ck… ah! Gue sih gak mau punya kembaran klo kayak dia. Gue sih pinginnya kembaran kayak Danni Pedrosa, Nicky Hayden, Valentino Rossi”
“itu sih maunya elo! Maunya Tuhan kan beda, elo nggak bersyukur banget sih”
Zen diam. Dia meneguk segelas es jeruk.
“eh Idhan!” Faya berteriak kecil
“uhuk… uhuk… uhuk” Zen tiba-tiba tersedak mendengar Faya meneriakkan nama asli Michi “apaan sih lo?”
“NutsZhen itu bandnya Idhan kan?”
“tau!” jawab Zen sedikit ketus
“kayaknya iya, liat deh spanduk disitu” Faya menunjuk kain spanduk di seberang jalan dan Zen Cuma melirik sebentar “be… sok malem. Hebat banget si Idhan bisa manggung di Saturday night besok”
“kayaknya biasa deh!”
“beda! Sponsornya itu terkenal banget, pasti acaranya Ok. Lo liat gak?”
“ha… nggak. Ngapain gue liat konser gituan?”
“gituan gimana? NutsZhen itu cukup terkenal kok. Lo beneran gak liat? Padahal gue kepingin liat, beneran gak mau liat nih?”
“nggak!” Zen tetap bersikukuh
“ya udah, besok gue liat sendiri aja”
Zen diam.
“lo marah ya?” tanya Faya
Zen geleng-geleng.
“bener?”
Zen manggut-manggut
“sumpah?”
“iyaa…a Fayaaa…a!” kata Zen gemes “ke ken-park yuk!” Buat informasi ajah, ken-park itu nama gaul sebuah pantai di Surabaya
“ngapain?”
“gak pa-pa. Cuma pengen liat pantai aja. Ntar pulangnya jam-jam 8 gitu deh. Mau?”
Faya mengangguk cepat.
Segera setelah membayar siomay yang mereka makan, Zen bersama Faya langsung menuju ke Ken-Park sebelum sunset yang ditunggu Zen tiba. Dan jarak antara Ken-Park dengan siomay tempat mereka makan emang cukup jauh tapi sunset nggak bakal mau menunggu. Zen nggak ingin melewatkan suasana sunset yang romantis ini sia-sia apalagi ada Faya.
Faya sendiri nggak pernah tau klo Zen menyimpan perasaan khusus buat dia. Selama ini dia memandang 2 bersaudara antik ini sebagai teman kecil yang selalu ada buat dia. Zen pun nggak langsung mnegungkapkan perasaannya ke Faya, takut Faya menganggap dia Cuma sahabat akrab aja.
Setelah moment ‘mata dewa’ yang ditunggu oleh Zen selesai, mereka nggak langsung pulang. Mereka menyempatkan diri dulu untuk jalan-jalan dipasar wisata Ken-Park. Yah meskipun pasar ini nggak seramai malam minggu, tapi kayaknya masih banyak kok muda-mudi yang datang kesini. Apalagi ada hiburan band-band-an gratis hari ini.
“kayaknya gue kenal deh sama personel band itu?” gumam Faya saat melintas di area konser “eh itu Idhan kan?”
Zen menoleh sambil mengerutkan kening “kok dia lagi?”
“ya… nggak tau. Tapi bener kan yang nyanyi itu Idhan?”
Zen diam, dia sibuk memandang berkeliling berharap menemukan sesuatu yang menarik dan segera mengalihkan perhatian Faya.
Faya yang sadar klo Zen nggak jawab pertanyaannya langsung ngerasa gak enak “lo gak suka ya?”
Zen geleng-geleng.
“ya deh pergi aja ya!” Faya menarik tangan Zen dan berlalu dari situ
Zen dan Faya berjalan diantara banyaknya pengunjung yang datang. Toko-toko disitu rata-rata menjual berbagai macam accessories kayak kalung unik, bando unik, topi unik, dan benda-benda unik lainnya. Zen dan Faya sempat mencoba topi, kalung dan bando tapi dari sekian banyak barang yang dicoba nggak ada satupun barang yang dibeli.
“lo mau main games itu gak?” Zen menunjuk salah satu stan yang membuka permainan berhadiah boneka
“boleh, tapi lo yang maen ya?”
“tenang!”
Permainan itu Cuma permainan sederhana, ada tumpukan kaleng bekas minuman yang ditempeli nomor-nomor hadiah dan ada yang nggak. Aturannya dari jarak 2 meter pemain menembak kaleng tersebut sampai jatoh, dan nomor pada kaleng yang jatoh itu menunjukkan hadiah yang bisa dibawa pulang. Klo nggak ada nomornya ya gak dapat apa-apa, apalagi yang ada nomornya limited edition alias terbatas. Jadi pemain harus konsentrasi penuh karena Cuma ada jatah 2 kali tembak sekali maen.
Faya melihat sebentar permainan itu sebelum Zen mulai main. Dia melihat orang lain selalu menembak kaleng yang nggak ada nomornya “lo yakin bisa maen? Lo emang pernah nembak-nembak ya?” Faya ragu
“ya waktu kecil dulu sih pernah main tembak-tembakan, klo sekarang sih seringnya ditembak cewek-cewek” gurau Zen
Faya manggut-manggut. Males mikir soalnya, daripada pusing mikirin kejayusan Zen mending dia iya aja.
“lo mau yang nomor berapa Fay?”
“emm…” Faya berfikir “gue sih tertarik sama boneka kucing pink itu. Nomornya emm… 10! Tapi kayaknnya sulit deh, kaleng nomor 10 Cuma ada 2 trus agak ketutupan sama kaleng yang depan. Kayaknya boneka itu hadiah utama deh, kan itu boneka paling gede. Emang lo bisa?”
“klo nggak dicoba mana tau!”
Zen mengambil pistol mainan yang sudah disiapkan oleh si pemilik stan. Zen mulai bersiap-siap, matanya membidik antara moncong pistol dengan kaleng itu. Sementara Faya berharap-harap cemas disamping Zen.
‘DOR… KLONTANG’
Zen mengangkat kepalanya melihat kaleng mana yang dia jatuhkan.
“yaah!” jerit Faya pelan “lo jatuhin kaleng yang sebelahnya”
“yah sori deh!”
“gak pa-pa, lo masih punya 1 peluru lagi”
Zen kembali bersiap-siap. Kali ini pikirannya dipenuhi sugesti bahwa dia harus bisa menembak kaleng yang tepat. Tiba-tiba saja kaleng yang dibidiknya berubah wujud menjadi wajah Michi. Kontan kening Zen mengkerut, dia mengucek-ucek matanya sebentar menghilangkan bayangan Michi. Wajah Michi memang hilang tapi ketika Zen kembali membidik, wajah Michi muncul lagi.
Zen nggak peduli, dia emang nggak suka banget dengan adik kembarnya ini. Mungkin dengan membayangkannya, Zen bisa melampiaskan kebenciannya. Tapi wajah Michi terlalu mirip dengan wajahnya sendiri. Dia jadi merasa seperti akan menembak dirinya sendiri. Tapi klo dia gagal lagi artinya Faya pasti kecewa.
Zen mulai menentukan tempat pelurunya akan ditembakan. Hidungnya, matanya, jidatnya, mulutnya, atau apanya? Akhirnya Zen memutuskan 1 tempat. Nggak ada yang sadar bahwa perbedaan fisik mereka terletak pada warna bola mata masing-masing. Mungkin Cuma Zen yang sadar klo warna bola matanya lebih coklat daripada adiknya.
‘DOR…’ Zen menarik pelatuk pistolnya
“aduh!” ditempat lain Michi yang sedang istirahat di backstage setelah menyanyikan 3 lagu tiba-tiba merintih pelan sambil menutup mata
“kenapa lo?” Noel sang keyboardis yang berkaca mata itu menoleh heran kearah Michi
“mata kiri gue kayak ada yang nyolok nih!” Michi mengucek matanya
“nggak ada yang nyolok mata lo!”
“mungkin kelilipan nyamuk kali ya?”
“ya udah lo tetesin obat mata gih”
Michi mengangguk.
Sementara itu Zen dan Faya sedang dalam ketegangan. Zen memutuskan untuk menembak bayangan mata kiri Michi, tapi mungkin karena gugup ternyata peluru itu menyerempet pinggiran kaleng. Kini kaleng itu bergoyang, berputar-putar diambang jatuh atau gak.
‘KLONTANG… TANG!’ akhirnya setelah puas bergoyang-goyang indah jatuh juga kaleng itu
“yee….!” Faya menjerit senang “lo berhasil Dhan! Hebat!” puji Faya
“yes!” Zen ikutan senang
“bang boneka kucingnya yang pink ya!” Faya menunjuk boneka yang diinginkannya
Abang pemilik permainan itu mengambil boneka yang ditunjuk Faya dengan hati dongkol. Sebelum-sebelum ini nggak ada yang bisa dapetin boneka paling gede, paling pol biasanya boneka beruang. Makanya dia sebel banget ada pemain baru yang langsung berhasil. Dengan senyum yang dipaksakan, orang itu memberikan boneka itu pada Faya.
“thanks ya!” kata Faya
Zen dan Faya beranjak pergi, tapi… ‘BRAK’
Belum sempat Zen melangkah, seseorang menabraknya.
“duh!” rintih Zen yang terdorong kebelakang. Untung dia nggak jatuh tapi kakinya yang terdorong kebelakang itu nggak sengaja menginjak setangkai mawar.
“eh-eh” terdengar suara latahan seorang cewek yang menabraknya “aah… mawar gue lo injek!” teriak cewek itu sambil melihat kearah mawarnya yang terinjak oleh kaki Zen.
“ha!” Zen mengalihkan kakinya karena kaget
“yaaa….h” cewek itu membungkuk dan mengambil 2 mawarnya yang terjatuh “mawar gue rusak deh!” katanya lesu melihat 1 dari 2 mawarnya rusak, beberapa kelopaknya rontok dan tangkainya membentuk huruf ‘r’ “trus gimana dong?” cewek itu menatap Zen dengan melas
Kening Zen mengkerut “lha kok gue? Elo kan yang nabrak gue dulu?”
“tadi gue terburu-buru. Harusnya klo gue gak liat elo, elonya yang harus liat gue supaya elo bisa menghindar dari gue. Gimana sih?”
“lo kok nyalahin gue? Kan…”
“udah-udah deh!” Faya menengahi “mbak mawarnya kita ganti aja ya?”
Cewek itu memandang Faya sebentar “e… nggak usah deh gak pa-pa! Untung yang rusak Cuma 1, soalnya ini titipan temen, ya udah ya… keburu-buru nih” cewek itu berlari pergi
“cewek aneh! Tadi marah-marah sekarang diganti gak mau!” gerutu Zen
“udah… jalan lagi yok!” ajak Faya
Dan cewek yang tadi ditabrak Zen terus berlari kearah konser musik gratis tempat NutsZhen manggung. Disana dia menghampiri satu cewek lain yang sedang berdiri sambil bersendekap memandangi panggung.
“hei!” panggil cewek itu
“Cleo, lama amat sih?”
“sori Ken, tadi sempet ada masalah gitu deh!”
“ya udah, trus mawarnya mana?”
“nih!” Cleo menyodorkan 1 mawar yang masih bagus ketemennya, Niken
“lho kok Cuma satu?” Niken memandang Cleo heran “punya lo mana?”
Cleo mengeluarkan 1 mawar lagi dari balik punggungnya.
“lho kok rusak gitu?” alis Niken mengkerut
“ini nih masalahnya. Tadi pas gue lagi balik kesini gue nabrak cowok, eh malah tuh cowok nginjek mawar ini”
“trus lo gak minta ganti?”
“nggak! Abisnya gue udah terlanjur gak enak hati. Gue maki-maki tuh cowok padahal yang nabrak gue, untung ceweknya gak ikutan marah”
“ah lo-nya juga sih yang salah!” tuduh Niken “trus lo nggak pake mawar dong?”
Cleo geleng-geleng “gue ikutan punya lo aja! Eh tapi NutsZhen belum pulang kan?”
“tau! Tadi waktu lo pergi, katanya break sebentar trus gantian sama band lain. Mungkin masih di backstage”
“oh!”
“kita ke backstage yuk!”
“ha?” Cleo terkejut dengan ajakan Niken
“Iya, siapa tau mereka udah nggak tampil lagi. Jadi kita bisa sempet kenalan sekalian ngasihin mawar ini buat mereka sebelum mereka pulang”
Cleo mengangguk antusias.
2 cewek penggemar NutsZhen itu buru-buru berlari kearah backstage. Mereka menerobos diantara penonton-penonton yang masih menonton konser. Tapi mereka nggak segampang itu bisa bertemu personel NutsZhen di backstage. Backstage itu dikelilingi pagar besi, meski bisa dilihat dari luar tapi nggak semua orang bisa masuk. Khusus orang-orang yang memakai tanda pengenal bertuliskan ‘CREW’, apalagi ada 2 petugas yang berjaga-jaga. Alhasil 2 cewek ini Cuma bisa melihat dan menunggu NutsZhen keluar.
“eh kayaknya itu mereka deh” tunjuk Niken pada beberapa orang yang ada di backstage. Saat ini 2 cewek ini duduk dibawah pohon dekat backstage.
“lagi ngapain?” tanya Cleo
“lagi… nggak tau ah, pokoknya kayak lagi beres-beres”
Mereka menunggu lagi.
“eh… eh… liat deh Cle. Kayaknya mereka mau keluar deh” Niken mendadak bersemangat sambil menunjuk-nunjuk ke backstage
“masa sih… masa sih?” Cleo ikut-ikutan semangat
Ternyata bener, dari arah backstage keluar 4 cowok sambil menenteng tas berbentuk gitar. Segera saja mereka bisa mengenali 4 cowok itu sebagai personil NutsZhen lewat kaos yang mereka pakai sama persis seperti kaos waktu mereka manggung
“Ken… mereka keluar” Cleo meremas lengan Niken
Mereka semakin terbengong-bengong takkala melihat 4 cowok band yang mereka tunggu-tunggu berjalan kearah mereka. Mulut mereka semakin ternganga seiring dengan langkah kaki cowok-cowok keren itu. ‘deg… deg… deg… deg…’ tiba-tiba terdengar degup jantung Cleo dan Niken karena ternyata 4 cowok itu memang menuju kearah mereka.
Tapi ternyata itu Cuma Cleo dan Niken yang ke-GR-an. Karena sebenernya cowok-cowok itu memang menuju arah mereka tapi bukan untuk mendatangi 2 cewek yang sedang terpesona melainkan menuju ke mobil yang terparkir di dekat mereka. Kontan aja Cleo dan Niken serasa jatuh dari langit ketujuh setelah angan-angannya melambung tinggi.
“eh…” Cleo berkedip-kedip tanda sadar dari lamunannya “Ken… Niken! Haloo…” Cleo mengibaskan telapak tangannya didepan muka Niken
“eh… oh… kenapa-kenapa?” tanya Niken gugup
“mawarnya!”
Niken memandang mawar yang dipegangnya “ya ampun gue lupa!”
“NutsZhen tunggu!” teriak Niken setelah sadar soal mawar di tangannya
“kayaknya gue denger ada yang manggil NutsZhen ya?” tanya Deki pada temen-temennya
“NutsZhen!” panggil Niken lagi
Michi, Deki, Noel, dan Zico pun menoleh kebelakang malihat siapa yang memanggil mereka. Cleo dan Niken berlari menghampiri.
“panggil kita ya?” tanya Deki
Cleo mengangkat tangannya sebagai isyarat supaya cowok-cowok itu mau menunggu sampai Cleo dan Niken bisa mengatur nafas lagi “hah… sori ganggu… hah… kita ada perlu sebentar kok”
“tentang?” tanya Michi
“nggak pa-pa sih. Kita Cuma mau ngasih ini” Niken menyodorkan mawar yang dibawanya
Michi mengambil mawar itu lalu menunjukkan pada 3 temennya.
“eh sori, kita Cuma bisa ngasih satu mawar. Tadi sebenernya ada 2 tapi yang satunya keburu rusak” Cleo cepet-cepet menambahi
“oh gak pa-pa! jarang-jarang ada 2 cewek yang langsung nyamperin kita di backstage sambil ngasih mawar. Biasanya sih mawarnya dilempar dipanggung” kata Zico sang drummer
“cantik-cantik lagi!” tambah Deki
Cleo dan Niken nyengir-nyengir karena malu.
“kalian penggemar NutsZhen ya?” tanya Noel
“banget. Tapi kok kalian nggak rekaman major label aja sih?”
“ya doain aja tahun ini kita bisa rekaman”
“pasti!”
Setelah sebelumnya minta ijin pada cowok-cowok keren itu, Cleo dan Niken bisa berfoto ria lewat hape mereka. Cewek-cewek itu bener-bener gak nyangka bisa ngobrol langsung sama calon artis.
“Hei, lagi jumpa fans nih?” tiba-tiba datang seorang cewek menghampiri mereka
“iya nih! Ada 2 cewek cakep yang bela-belain nunggu kita di luar backstage” kata Deki
“oh halo!” sapa cewek itu
Cleo dan Niken mengangguk dan tersenyum.
“eh kenalin ini Patricia, manajer NutsZhen” Michi memperkenalkan cewek itu pada 2 fansnya.
Mereka bersalaman dan menyebutkan nama masing-masing. Tiba-tiba Patricia membisikkan sesuatu pada ke-4 cowok itu.
“em… sori ya! Kita mesti cabut. Kan besok kita tampil lagi diacara Saturday Night, jadi kita harus keliatan fit. Lo berdua liat kan?” tanya Noel
“pasti!” jawab Cleo antusias
“ya… udah kita pergi ya!” pamit Patricia
“yeah!” teriak Niken saat mobil personel NutsZhen beserta manajernya pergi
“lo besok liat gak?” tanya Cleo
Muka Niken berubah lesu “du…h sori deh besok gue piket malam nih. Lo gak kerja ya?”
“kerja tapi pagi, ya udah klo lo gak bisa gue ngajak Rino aja”
“Rino cowok lo?”
“he-eh! Moga aja dia bisa, soalnya tadi gue udah telfon trus katanya bisa”
“ya… udah! Sori ya!”
“Dhan lo beneran gak liat?” tanya Faya pada Zen
Saat ini Zen dan Faya masih dikawasan Ken-Park tapi bukan ditempat pasar wisata melainkan sedang dalam perjalanan menuju motornya.
“nggak ah males! Lo sendiri beneran mau liat?”
Faya mengangguk.
“sama siapa? Cowok lo?” Zen sedikit cemas
“nggak lah! Gue kan nggak punya cowok”
“pantes gue liat gak pernah ada cowok yang jalan sama lo”
“lo pikir gue gak laku? Enak aja, banyak kok yang sebenernya naksir gue. Tapi gue tolak semua” Kata Faya PD
“kenapa?”
“gue tuh pilih-pilih soal pacar, pokoknya klo gue gak suka duluan sama dia, dia harus tampak sempurna dimata gue. Tapi klo gue yang suka duluan ya… gue terima dia apa adanya. Cuma kebanyakan sih cowok-cowok yang pada suka gue, gue sih jarang!” Faya berlagak sombong
“klo gue? Masuk kriteria gak?” Zen coba-coba siapa tahu Faya sebenernya juga suka sama dia
“gini-gini! Lo kan selalu bai…k banget sama gue, jadi kadang-kadang klo ada cowok yang naksir gue, gue suka ngebanding-bandingin dia sama elo…”
Zen tersenyum.
“dan Idhan!” lanjut Faya
Muka Zen cemberut “selalu dia!” gerutu Zen
“abisnya lo berdua itu selalu ada buat gue, klo gak elo ya Idhan. Makanya gue jadi nggak bisa misahin elo berdua. Buat gue ada elo ya ada Idhan” terang Faya
“trus cowok-cowok lo?”
“o… ya! E… klo ada cowok yang bisa kayak elo berdua, baru gue mau terima mereka”
“klo kayak Idhan sih ada, tapi klo kayak gue nggak bakal!” kata Zen yakin
“tumben lo panggil nama Idhan, biasanya kan Michi” sindir Faya
Zen pura-pura gak denger “pulang yok udah hampir jam 10 kan?”
Zen dan Faya menaiki motor mereka dan beranjak pulang. Mengingat boneka kucing pink yang tadi baru didapat Faya ukurannya lumayan gede, ternyata cukup bikin mereka duduk empet-empetan ibarat naik becak.
“thanks ya Dhan!” kata Faya sesampainya didepan pagar rumah
“yoi!”
Faya berjalan masuk rumah meninggalkan Zen. Zen sendiri terus memandangi Faya sampai dia bener-bener masuk kedalam rumah.
‘tut…tut…tut’ terdengar bunyi ponsel Zen
“halo!”
“Zen, kemana aja sih lo?” tanya suara diseberang dengan gusar
“kenapa sih?”
“eh lo lupa ya? Kita ditantang balapan ditempatnya Edo”
“ya ampun!” Zen menepuk jidatnya “sori gue barusan pergi sebentar. Disana udah mulai belom?”
“udah dari tadi. Lo cepetan kesini”
Zen menutup telfonnya, lalu buru-buru menyalakan motornya sampai berbunyi kencang. Faya yang lagi ganti baju dikamarnya melongok ke jendela melihat Zen yang langsung pergi dengan deru motor yang dapat membangunkan orang sekabupaten.
“gimana Zen?” tanya Nico pada Yosi yang tadi menelfon Zen
“ya dia bentar lagi datang! Sekarang yang balapan Ayel kan?”
“he-eh! Gila kita bakal malu-maluin klo kalah dikandang lawan. Si Edo malah gak balapan sama sekali, katanya dia gak level sama kita dia maunya lawan Zen”
“duit sejuta sih gampang buat dia, tapi ada kebanggaan sendiri klo bisa ngalahin Zen”
5 menit kemudian orang yang paling mereka harapkan akhirnya datang. Untung grupnya Edo sibuk ngelihat balapan yang sedang berlangsung, jadi suara motor Zen nggak terlalu mengganggu perhatian Edo cs.
“akhirnya lo dateng juga” Yosi menepuk pundak Zen
“gimana keadaannya?”
“5 ronde, taruhannya 1 juta, kita menang sekali dan sekarang ayel pasti kalah” kata Nico
“kok yang balapan 3, ada grup lain selain grupnya Edo?”
“ah itu sih anak baru yang masih coba-coba, Edo-nya gak bakal turun klo elo belum turun”
“setelah ini elo aja deh yang balapan, elo menangin aja 2 ronde setelah ini” tambah Nico
Zen, Yosi, dan Nico menonton sebentar sisa pertandingan Ayel. Dan memang seperti yang diprediksikan Yosi, Ayel memang kalah. Meskipun beda-beda tipis tapi tetep aja motor lain yang masuk finish lebih dulu.
“kenapa sih lo semua? Kita sering balapan tapi kan menang, kok ini nggak?” gerutu Zen saat Ayel udah selesai balapan “pake taruhan lagi, gue udah bilang aturan balapannya kan? Gak ada taruhan!”
“sori Zen! Gank-nya Edo kan lawan kuat buat level kita-kita. Klo taruhan sebenernya gue juga gak setuju, tapi kayaknya si Edo tuh ngeremehin terus”
Zen diam.
“ya udah deh klo lo gak mau main, kita bayar aja taruhannya” kata Nico pasrah
“eh… jangan!” jawab Zen cepat “gengsi dong klo kita nyerah tanpa alasan. Ya udah deh gue main”
Zen menaiki motornya lalu melaju ke garis start. Beberapa penonton yang rata-rata cowok, yang udah pernah tau soal Zen langsung bertepuk tangan dan bersorak membuat arena balap liar itu gaduh. Edo yang sedang ngobrol dengan gank-nya menoleh ke sumber kegaduhan, ternyata Zen sudah stand by di garis start sambil memblayer-blayer gas motornya.
Ternyata meskipun Zen sudah muncul, Edo masih tetap belum turun. Edo yakin sekali pasti Zen akan menang melawan salah satu anggota gank-nya, dan klo itu benar maka keadaan gank-nya Zen dan Edo bakal seimbang. Saat itulah baru Edo turun dan balapan dengan penuh semangat.
Bukan Zen namanya klo mudah terbawa suasana balapan yang saling meremehkan. Siapapun lawannya dia akan lawan dengan serius. Dan bener aja, Zen dengan gampangnya bisa mengalahkan lawannya. Tentunya sesuai dengan cirri khasnya selama ini, kalahkan skor waktu lawan dengan telak.
Edo pun turun. Cowok-cowok yang menonton semakin bersorak. Kali ini nggak ada orang yang ikut balapan kecuali Zen dan Edo karena mereka tahu Zen dan Edo nggak mungkin bertanding secara biasa. Lagipula level 2 cowok ini nggak sebanding dengan level mereka yang masih kacangan.
Beberapa orang ada yang meneriakkan nama Zen dan sebagian lagi nama Edo. Zen melihat wajah Edo yang tersenyum menantang dari balik helm, Zen nggak peduli. Sudah hampir 5 tahun Zen masuk didunia balapan liar, sejak kelas 1 SMA lalu. Zen mulai coba-coba balapan. Sejak dia mendapatkan hadiah motor dari ortunya, Zen mulai bisa memasuki dunia balapan yang sebenarnya. Meskipun Cuma balapan liar, Zen serasa menemukan dunianya disini. Kini 5 tahun sudah dia jadi jockey motor, dia sudah kebal dengan suasana balapan yang rawan razia polisi, rawan tawuran, dan saling jatuh-menjatuhkan. Bahkan Zen and the gank pun punya 1 tempat area balapan liar yang bisa disebut markasnya. Klo orang-orang bilang sih penguasa tempat itu ya Zen and the gank.
Seorang cewek maju ke tengah-tengah antara Zen dan Edo. Tangan kanannya memegang sapu tangan dan diangkat tinggi. Zen dan Edo berkonsentrasi melihat sapu tangan itu. Jari cewek yang mengapit sapu tangan itu merenggang dan sapu tangan yang dipegangnya jatuh. Saat itulah secara bersamaan Zen dan Edo melaju cepat meninggalkan garis start.
Entah bagaimana balapan liar itu berlangsung, yang pasti baik Zen maupun Edo balapan dengan cirri khas masing-masing. Balapan itu berlangsung cepat, tau-tau motor mereka sudah melewati garis finish.
“elo masih tetep hebat Zen!” kata Edo yang mendatanginya setelah selesai balapan “kali ini lo kalahin gue dengan skor waktu 10 detik, rekor gue paling lambat saat melawan elo”
“a…h itu biasa aja kok, soalnya gue hari ini lagi seneng makanya gue semangat balapan”
“yah terserah lo aja deh! Eh nih duit sejuta sesuai taruhan awal” Edo mengeluarkan beberapa lembar uang ratus ribuan dari jaketnya
Yosi siap-siap mengambil uang itu tapi cepet-cepet ditahan oleh Zen.
“lo ambil aja uang itu, gue gak perlu” Zen mendorong kembali tangan Edo “lo buat aja deh makan-makan sama gank lo”
Edo keheranan.
Zen tersenyum lebar “tapi gantinya gimana klo wilayah lo ini buat gue?”
Edo semakin keheranan, wajahnya menunjukkan dia sedikit nggak setuju dengan usul Zen.
“tenang aja gak selamanya kok, cuma 6 bulan aja gimana?” lanjut Zen
Edo memutar-mutar bola matanya berfikir.
“6 bulan… 6 bulan?” tanya Zen lagi
“trus tempat lo sendiri gimana?” bales Edo
“udah ada yang ngurusin itu kok! Lo mau gak? Elo masih tetep jadi penguasa tempat ini, tapi selama 6 bulan gue big boss-nya gimana?”
Edo diam lagi “OK deh, sebagai penghargaan lo udah kalahin gue 10 detik lebih cepet. Trus lo mulai kapan?”
“besok! Jangan lo sebarin-sebarin ya, cukup lo-lo aja yang tau”
“siip lah! Gue cabut ya?”
“hebat lo, tempat ini kan banyak ceweknya. Jadi gue bisa sering-sering nongkrong disini” kata Ayel senang
“ah lo sih cewek mulu!”
“eh capek nih gue!” keluh Zen “gue pulang ya?”
Tanpa menunggu jawaban temen-temennya, Zen langsung cabut pulang. Badannya capek banget sampe-sampe dia nggak sempet mikirin apa-apa, begitu sampai dikasur langsung tidur.