Al-Jahizh (wafat 255 H) dalam kitabnya Al-Hayawan (1/55) berkata: “Barangsiapa ketika membeli buku tidak merasai kegembiraan melebihi kegembiraan membelanjakan harta untuk orang yang dicintai, atau untuk mendirikan rumah, berarti dia belum dapat dikatakan mencintai ilmu. Tidak berfaedah harta yang dibelanjakannya sehingga ia lebih mengutamakan untuk membeli buku, sebagaimana seorang arab badui yang lebih mengutamakan susu untuk kudanya dibanding untuk keluarganya.”
Al-Jahiz memang terkenal sebagai seorang pencinta buku. Yaqut Al-Hamawi ketika menceritakan biografinya dalam kitab Irsyad al-Arib (16/75), dari Abu Hiffan ia bercerita : “Aku tidak pernah melihat atau mendengar seorangpun yang paling mencintai buku dibanding Al-Jahizh. Tidak ada satupun buku yang dipegangnya kecuali dia habiskan membacanya. Bahkan beliau sempat menyewa beberapa toko buku, kemudian bermalam di sana untuk sekedar membaca!”
Bagaimana dengan anda?
Rabu, 13 April 2011
Minggu, 10 April 2011
Jangan Berdebat Dengan Orang Jahil
Imam Asy-Syafi’i berkata :
قلوا سكت وقد خوصمت قلت لهم
إن الجواب لباب الشر مفــتاح
والصمت عن جاهل أو أحمق شرف
وفيه أيضا لصون العرض إًصلاح
“Mereka menanyakan mengapa engkau diam padahal engkau telah dihujat, maka kepada mereka aku katakan :
Sesungguhnya menjawab mereka dapat membuka pintu kerusakan;
Sedangkan diam dari orang jahil nan pandir adalah kemuliaan;
Dan dalam diam itu juga merupakan perbaikan untuk terpeliharanya kehormatan.”
قلوا سكت وقد خوصمت قلت لهم
إن الجواب لباب الشر مفــتاح
والصمت عن جاهل أو أحمق شرف
وفيه أيضا لصون العرض إًصلاح
“Mereka menanyakan mengapa engkau diam padahal engkau telah dihujat, maka kepada mereka aku katakan :
Sesungguhnya menjawab mereka dapat membuka pintu kerusakan;
Sedangkan diam dari orang jahil nan pandir adalah kemuliaan;
Dan dalam diam itu juga merupakan perbaikan untuk terpeliharanya kehormatan.”
Rabu, 06 April 2011
Tulisan Tangan
Rasanya sejak ana mengenal komputer, ana jadi jarang menulis dengan tangan. Alasannya tentu karena lebih mudah, cepat, menghemat kertas dan tinta. Oleh karena jarang menulis dengan tangan, ana lihat tulisan tangan ana sekarang bak tulisan dokter yang sulit dibaca. Walau masih bisa dibaca dan belum mencapai derajat manuskrip :-) .
Terbayang bagaimana ulama zaman dulu tanpa peralatan elektronik sanggup menulis kitab sebanyak puluhan bahkan ratusan jilid, dengan tulisan yang rapi dan bagus pula. Bahkan beberapa di antara mereka menulis kitab yang sama berulang-ulang. Seperti Al-Hafidz Al-Mizzi (wafat 742 H). Guru sekaligus mertua dari Ibnu Katsir tersebut dalam beberapa literatur seperti Thabaqat Syafi’iyah Al-Kubra (10/417) diceritakan bahwa Al-Mizzi menyalin kitabnya Tuhfah Al-Asyraf dan Tahzib Al-Kamal lebih dari satu kali.
Padahal kitab Tahdzib Al-Kamal setelah dicetak sekarang terdiri dari 35 jilid (terbitan Muassasah Ar-Risalah, Beirut, cetakan ke-2/1403 H). Nah, bayangkan bagaimana kesungguhan beliau sanggup menyalin kitab tersebut berulang kali. Ada yang mengatakan sebab Al-Hafidz Al-Mizzi menyalin kitab-kitabnya lebih dari satu kali adalah karena kemiskinan yang menimpanya. Sedangkan beliau seorang yang menjaga diri dari meminta-minta kepada manusia. Maka untuk menghidupi kehidupannya beliau menyalin ulang kitab-kitabnya dan menjualnya. Wallahu a’lam.
Sungguh kisah-kisah seperti itu, hanya kita dengar ceritanya dari lembaran-lembaran kitab di masa lalu. Sedangkan di zaman ini jangankan untuk menulis berjilid-jilid buku, untuk membaca buku berjilid-jilid pun rasanya banyak yang tak mampu.
Terbayang bagaimana ulama zaman dulu tanpa peralatan elektronik sanggup menulis kitab sebanyak puluhan bahkan ratusan jilid, dengan tulisan yang rapi dan bagus pula. Bahkan beberapa di antara mereka menulis kitab yang sama berulang-ulang. Seperti Al-Hafidz Al-Mizzi (wafat 742 H). Guru sekaligus mertua dari Ibnu Katsir tersebut dalam beberapa literatur seperti Thabaqat Syafi’iyah Al-Kubra (10/417) diceritakan bahwa Al-Mizzi menyalin kitabnya Tuhfah Al-Asyraf dan Tahzib Al-Kamal lebih dari satu kali.
Padahal kitab Tahdzib Al-Kamal setelah dicetak sekarang terdiri dari 35 jilid (terbitan Muassasah Ar-Risalah, Beirut, cetakan ke-2/1403 H). Nah, bayangkan bagaimana kesungguhan beliau sanggup menyalin kitab tersebut berulang kali. Ada yang mengatakan sebab Al-Hafidz Al-Mizzi menyalin kitab-kitabnya lebih dari satu kali adalah karena kemiskinan yang menimpanya. Sedangkan beliau seorang yang menjaga diri dari meminta-minta kepada manusia. Maka untuk menghidupi kehidupannya beliau menyalin ulang kitab-kitabnya dan menjualnya. Wallahu a’lam.
Sungguh kisah-kisah seperti itu, hanya kita dengar ceritanya dari lembaran-lembaran kitab di masa lalu. Sedangkan di zaman ini jangankan untuk menulis berjilid-jilid buku, untuk membaca buku berjilid-jilid pun rasanya banyak yang tak mampu.
Senin, 04 April 2011
Yang Perlu Diperhatikan Dalam Berdakwah
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surah Yusuf ayat 108 :
قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي
“Katakanlah : Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kalian (kepada) Allah dengan hujjah yang nyata.”
Berkata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin -rahimahullah- dalam kitab Zaad ad-Daa’iyah Ilallah : “Maksud عَلَىٰ بَصِيرَةٍ (dengan hujjah) pada ayat tersebut meliputi tiga perkara :
1. Mengetahui tentang apa yang akan didakwahkan
Seorang yang ingin berdakwah hendaklah mengetahui hukum syari'at. Karena jika tidak, maka boleh jadi ia mengajak orang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang disangkanya sebagai suatu kewajiban, padahal sesungguhnya dalam syari'at Allah perbuatan tersebut tidaklah wajib, maka ia telah mewajibkan manusia untuk melakukan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah. Dan sebaliknya boleh jadi ia melarang orang lain melakukan suatu perbuatan yang disangkanya sebagai hal yang haram, padahal sesungguhnya dalam agama Allah hal tersebut bukanlah suatu yang haram, maka ia telah mengharamkan manusia apa yang Allah halalkan untuk mereka.
2. Mengetahui tentang keadaan orang yang didakwahi
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika mengutus Muadz bin Jabal radhiyallahu 'anhu ke negeri Yaman, beliau berpesan kepadanya : “Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum dari ahli kitab”, tujuannya agar Muadz mengetahui dan bersiap-siap untuk menghadapi mereka.
Maka orang yang hendak berdakwah harus mengetahui keadaan orang yang didakwahi. Sejauh mana kapasitas ilmunya? Sejauh mana kemampuan bicaranya? Supaya ia memposisikan diri secara matang dalam berdiskusi. Karena seandainya ia membawa kebenaran lalu berdebat dengan orang yang jauh lebih pandai dalam berbicara, justru ia yang akan terpojokkan. Maka jadilah musibah besar terhadap kebenaran karena disangka sebagai kebatilan dan ia adalah penyebabnya. Dan janganlah menyangka bahwa pendukung kebatilan itu mesti kalah dalam berbicara pada setiap keadaan.
3. Mengetahui tentang cara berdakwah yang syar’i
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik” (QS. An-Nahl : 125).
Sebagian da'i ketika ia melihat kemungkaran segera menyerangnya tanpa berfikir dampak dari perbuatannya. Padahal dampaknya bukan saja menimpa dirinya pribadi, tetapi berdampak juga bagi teman-temannya sesama da'i. Oleh sebab itu, setiap da'i sebelum bergerak melakukan sesuatu hendaknya memikirkan apa yang mungkin akan terjadi dan menimbangnya dengan tidak tergesa-gesa.
Maka saya menganjurkan saudara-saudaraku para da'i untuk menggunakan hikmah dan ketelitian, dan perkara ini meskipun terkesan lambat tetapi membawa akibat yang terpuji dengan kehendak Allah.”
(Dari buku Fikih Nasehat, hal. 81-84, Ust. Fariq Qasim -dengan peringkasan dan sedikit perubahan redaksi-).
قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي
“Katakanlah : Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kalian (kepada) Allah dengan hujjah yang nyata.”
Berkata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin -rahimahullah- dalam kitab Zaad ad-Daa’iyah Ilallah : “Maksud عَلَىٰ بَصِيرَةٍ (dengan hujjah) pada ayat tersebut meliputi tiga perkara :
1. Mengetahui tentang apa yang akan didakwahkan
Seorang yang ingin berdakwah hendaklah mengetahui hukum syari'at. Karena jika tidak, maka boleh jadi ia mengajak orang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang disangkanya sebagai suatu kewajiban, padahal sesungguhnya dalam syari'at Allah perbuatan tersebut tidaklah wajib, maka ia telah mewajibkan manusia untuk melakukan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah. Dan sebaliknya boleh jadi ia melarang orang lain melakukan suatu perbuatan yang disangkanya sebagai hal yang haram, padahal sesungguhnya dalam agama Allah hal tersebut bukanlah suatu yang haram, maka ia telah mengharamkan manusia apa yang Allah halalkan untuk mereka.
2. Mengetahui tentang keadaan orang yang didakwahi
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika mengutus Muadz bin Jabal radhiyallahu 'anhu ke negeri Yaman, beliau berpesan kepadanya : “Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum dari ahli kitab”, tujuannya agar Muadz mengetahui dan bersiap-siap untuk menghadapi mereka.
Maka orang yang hendak berdakwah harus mengetahui keadaan orang yang didakwahi. Sejauh mana kapasitas ilmunya? Sejauh mana kemampuan bicaranya? Supaya ia memposisikan diri secara matang dalam berdiskusi. Karena seandainya ia membawa kebenaran lalu berdebat dengan orang yang jauh lebih pandai dalam berbicara, justru ia yang akan terpojokkan. Maka jadilah musibah besar terhadap kebenaran karena disangka sebagai kebatilan dan ia adalah penyebabnya. Dan janganlah menyangka bahwa pendukung kebatilan itu mesti kalah dalam berbicara pada setiap keadaan.
3. Mengetahui tentang cara berdakwah yang syar’i
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik” (QS. An-Nahl : 125).
Sebagian da'i ketika ia melihat kemungkaran segera menyerangnya tanpa berfikir dampak dari perbuatannya. Padahal dampaknya bukan saja menimpa dirinya pribadi, tetapi berdampak juga bagi teman-temannya sesama da'i. Oleh sebab itu, setiap da'i sebelum bergerak melakukan sesuatu hendaknya memikirkan apa yang mungkin akan terjadi dan menimbangnya dengan tidak tergesa-gesa.
Maka saya menganjurkan saudara-saudaraku para da'i untuk menggunakan hikmah dan ketelitian, dan perkara ini meskipun terkesan lambat tetapi membawa akibat yang terpuji dengan kehendak Allah.”
(Dari buku Fikih Nasehat, hal. 81-84, Ust. Fariq Qasim -dengan peringkasan dan sedikit perubahan redaksi-).
Langganan:
Postingan (Atom)