Jumaat itu dia bangun jauh lebih awal daripada biasa. Padahal, menurut ibunya, hampir semalaman dia tidak tidur. Sampai tengah malam dia masih membaca Al-Quran. "Tatkala saya terjaga, dia sedang asyik solat malam. Dia membaca ayat-ayat Surah An-Nabaa sambil menangis!"
Usai Shubuh, Ayat Al-Akhras (16) -remaja shalihah itu- kembali membaca Al-Quran. Ayat-ayat jihad dibacanya berulang-ulang dengan nada bergetar. Sesekali dia terhenti, menahan isak tangis. Menjelang pukul 6.00 waktu Palestin, dia menulis sesuatu di meja belajar. Sejurus kemudian Ayat sudah siap berpakaian seragam dan bergegas menuju dapur untuk menemui ibunya.
Kepada ibunya, dia minta izin hendak pergi ke sekolah. "Ada pelajaran dan tugas tambahan. Hari ini boleh jadi merupakan saat terpenting dalam hidup ini. Saya mohon doa restu ibu," ucapnya dengan mata berbinar.
Ibunya sedikit bingung, hairan, dan terkejut melihat tingkahlaku puterinya. "Semoga Allah selalu melindungi dan merahmatimu, anakku. Tapi, bukankah Jumaat adalah hari cuti?"
"Doa itulah yang anakanda harap, bu," jawabnya. Ayat tak lagi berkata-kata. Dia hanya tersenyum, mencium tangan, kemudian memeluk erat ibu yang masih kebingungan. Dan, dengan tetap tersenyum, dia menarik tangan adiknya, Samaah (10). Mereka pun sama-sama bergegas ke sekolah.
Beberapa jam kemudian, Jumaat 22 Mac 2002 sekitar pukul 10 waktu setempat, Radio Israel memberitakan ledakan bom di supermarket Nataynya, dekat Jerusalem. Peristiwa ini menyebabkan tiga orang maut dan lebih dari 40 orang cedera. Pelakunya disyaki seorang puteri Palestin.
Jantung Ibu Ayat Al-Akhras berdegup kencang mendengar khabar itu. "Jangan-jangan dia ..." bisiknya saat itu. Firasatnya kuat mengatakan demikian manakala dia mendapati Samaah pulang sendirian sambil terisak-isak. Dia mengaku tak tahu ke mana kakaknya pergi. Ayat, kata dia, hanya berpesan, "Jangan cemas dan takut. Allah selalu bersama orang-orang beriman. Sampaikan salam buat semua, dan berdoalah. Mudah-mudahan Allah memberi pengampunan dan kemenangan!"
Tinggal di kem beramai-ramai, Ibu Ayat Al-Akhras sangat cemas dengan nasib anaknya. Batinnya bertanya-tanya, "Ke mana dia pergi? Apakah dia sudah merealisasikan impiannya untuk menjadi syahidah?" Pertanyaan lain terus muncul di benaknya. "Bagaimana dengan impiannya yang lain? Soal pinangan, rancangan pernikahan, dan pakaian pengantin yang sudah dijahitnya sendiri? Bukankah dia juga bercita-cita untuk melahirkan anak-anak, kemudian membina mereka menjadi mujahid-mujahid masa hadapan?"
Sementara fikirannya tertanya-tanya, kalbunya mendapat isyarat bahwa calon mempelai itu telah gugur dalam operasi syahid. Dan, apabila laporan rasmi mengesahkan jenazah Ayat, Ibu Ayat Al-Akhras hanya berkata, "Inna lillaahi wainna ilaihi raji'un. Semoga Allah mencatatnya sebagai syahidah. Mudah-mudahan dia juga akan menjadi pengantin Palestin yang melahirkan kehormatan dan kemerdekaan bagi umat dan bangsanya."
Siang Jumaat itu, Ayat Al-Akhras pergi mengikuti jejak Issa Farah dan Saa'id, dua kerabatnya, yang gugur ditembak helikopter Israel.
Lahir 20 Februari 1985 di Kem Dheishes, Ayat adalah anak keempat dari 11 beradik. Dia mempunyai tiga saudara laki-laki dan tujuh saudara perempuan. Di akhir hayatnya, dia tercatat sebagai pelajar Tingkatan Tiga sekolah menengah atas.
Ayat, menurut ABC News, termasuk anak cerdas dan rajin belajar. Sampai saat-saat menjelang syahidnya, dia masih rajin menasihati teman-temannya agar terus belajar dan belajar. "Penguasan ilmu dan teknologi amat penting dan diperlukan untuk mendukung perjuangan kita, walau apa pun bentuknya."
Hayfaa, teman baiknya, berkata, "Dia selalu menasihati kami bahawa pembelajaran harus tetap berjalan, meskipun rintangan dan bahaya mengancam di sekeliling kita."
Tentang jihad, Ayat selalu berkata, "Jihad itu kewajiban setiap Muslim. Termasuk wanita. Mengapa kita harus membiarkan nyawa kita diragut sia-sia oleh kebiadaban zionis Israel." Kematian seorang mujahid, katanya, akan membangkitkan keberanian mujahid-mujahid lain, bukan sebaliknya.
Hayfaa tak menyangka Ayat syahid secepat itu. Dalam hari-hari terakhirnya, dia rajin mengumpulkan gambar-gambar mujahid Palestin. Di meja belajarnya berbaris slogan-slogan jihad dan kepahlawanan. "Dia pergi untuk bergabung dengan barisan para syuhada' yang lain."
Ayat, kini tercatat sebagai syahidah kedua di Palestin atau yang keenam dalam barisan pelaku operasi istisyhadiah sepanjang tahun 2002. Syahidah pertama adalah Wafa Idris (27), seorang janda di Ramallah. Dia gugur dalam operasi menjelang akhir Januari 2002 yang menyebabkan seorang Israel maut dan 100 orang lain cedera.
Meskipun tahu bahawa syahidah adalah cita-cita tertinggi anaknya, ibu Ayat Al-Akhras tetap merasa kehilangannya. Dengan air mata berlinangan, dia mengulangi kata-kata anaknya ketika berdiskusi soal kewajiban jihad bagi setiap warga Muslim Palestin. "Apa nikmatnya hidup di dunia ketika kematian selalu mengintai kita. Mana yang lebih indah, mati dalam kehinaan atau gugur di medan jihad."
Samaah, adik sekaligus teman terdekat Ayat, turut merasakan hal yang sama. Sambil menangis, dia bercerita tentang saat-saat akhir bersama kakaknya. "Saya lihat cahaya di mukanya dan sebuah rona kebahagiaan yang tak pernah dilihat sebelumnya." Sambil memberi sepotong coklat manis, lanjutnya, Ayat berkata lirih, "Salat dan doakan agar kakak berjaya melaksanakan tugas suci ini."
"Tugas apa?" Samaah bertanya. "Hari ini kamu akan mendengar satu berita baik. Mungkin inilah hari terbaik dalam hidup saya. Inilah hari yang telah lama saya nantikan. Tolong sampaikan salam hormat saya kepada Akh Shaadi," tutur Ayat sambil memberikan secarik kertas.
Shaadi Abu Laan (20), calon suami Ayat, termangu beberapa ketika apabila khabar itu sampai padanya. Dia hampir tidak percaya Ayat pergi begitu cepat mendahuluinya. Padahal Julai ini, jelas Shaadi, "Kami sudah merancang untuk berumah tangga. Selepas Ayat lulus ujian, kami akan menempati rumah sederhana yang belum dihias lagi." Mereka, sudah satu setengah tahun bertunang. Bahkan, kedua mereka telah menyiapkan nama 'Adiyy untuk bayi pertama mereka.
Mereka bertekad mendidik si kecil sebaik-baiknya dengan harapan kelak menjadi seorang mujahid yang akan membebaskan Al-Aqsa dan Palestin dari penjajahan Israel.
"Ternyata Allah miliki perancangan lain," ucap Shaadi. "Semoga kami dapat bertemu di syurga kelak, seperti harapan Ayat dalam surat terakhirnya. Saya tahu dia gadis berkeperibadian kuat, tegar, dan cerdas. Dia mencintai negara dan agamanya lebih dari apa pun."
Setiap saat, lanjut Shaadi, Ayat memang selalu memimpikan operasi syahid. "Kami pun pernah bercita-cita untuk syahid bersama-sama. Ternyata Allah telah memilih dia terlebih dahulu. Kalau ada kesempatan, saya akan menyusulnya segera. Semoga Allah mengabulkannya," ucap pemuda Palestin yang baru saja meraih gelar sarjana muda itu.
Ulasan saya:
Itu remaja Palestin, jiwa mereka segar dengan semangat jihad untuk agama dan negara yang terjajah. Bagaimana remaja kita hari ini? Apakah yang ada dalam pemikiran? Hiburan? Seks? Artis? Wang? Superiority? Kelmarin sahaja diberitakan, pelajar remaja perempuan menumbuk dan menendang guru mereka di Perlis. Hilang sudah rasa hormat kepada guru yang mendidik mereka, apatah lagi semangat mencintai ilmu. Marilah kita selamatkan generasi muda harapan ummah ini dengan mengembalikan kegemilangan sistem pendidikan Islam yang rabbani di tanahair. Sistem pendidikan yang sedia ada perlu dinilai semula. Zaman sudah berubah, cabaran makin hebat, persiapan generasi hadapan perlu semakin teliti dan mantap. Acuan yang rosak mana mungkin menghasilkan kuih yang baik. Sama-sama kita renungkan...