Tuesday, March 27, 2012
Baby Sitter dan Gaji
Thursday, April 23, 2009
Kartini dari Rumah
Artinya cita-cita Kartini untuk mewujudkan pendidikan atau lebih umumnya peran perempuan menurut saya sudah terwujud. Jika sebagian aktivis perempuan masih mengatakan emansipasi belum terwujud atau hak perempuan masih terbelenggu, kondisi tersebut hanya kondisi khusus (di tempat tertentu) yang bisa diselesaikan tanpa membuat generalisasi masalah.
Bahwasannya dalam ranah wacana ‘belenggu’ terhadap perempuan sudah sirna, namun dalam praktek keseharian sekat-sekat pembatas budaya antara laki-laki dan perempuan masih nyata adanya. Pembatas tersebut tidak muncul dalam pendidikan, melainkan berpeluang makin menjadi dalam institusi rumah tangga, tempat dimana wacana Kartini tentang perempuan terdidik dan berperan sosial mendapat tantangan.
Tugas perempuan dalam rumah seperti ‘sudah ditentukan’, pekerjaan domestik mulai dari menyapu, mengepel, mencuci, memasak sampai mengurus anak. Jika semua tugas domestik harus dibebankan pada perempuan, niscaya perempuan tidak akan mempunyai waktu untuk melanjutkan jenjang pendidikannya dalam bentuk pastisipasi dalam masyarakat.
Padahal perempuan yang sudah berpendidikan (bahkan sampai tinggi) adalah ‘produk investasi’ yang seharusnya kompetensi diaktualisasikan di masyarakat sehingga lebih bermanfaat, disamping sebagai pendidik pertama bagi generasi masa depan. Sehingga peran-peran perempuan (istri) di rumah dan masyarakat pun harus seimbang, sebanding dengan peran suami di tempat kerja dan rumah.
Sekalipun wacana keseimbangan peran domestik dan publik terkesan mudah dan bisa diterapkan siapa saja, dalam prakteknya ternyata tidak semudah yang dituliskan. Misalnya dalam hal tanggung jawab suami sebagai pencari nafkah tunggal dimana istri tidak/belum bekerja, secara praktis (emosi, psikologi atau ego) suami akan menyandarkan urusan domestik sepenuhnya pada istri. Lalu jika keduanya bekerja pun, urusan domestik belum tentu lepas dari tanggung jawab perempuan. Ditambah lagi menyangkut anak, mulai dari masa kehamilan hingga tahun-tahun pertama lahir.
Para pengamat bisa saja dengan mudah mengatakan bahwa itu hanyalah bagian dari komunikasi yang harus di bangun, tapi faktanya tidak sesederhana itu. Seperti yang disampaikan diatas, bahwa sudah seperti semacam ‘turunan’ jika perempuan adalah domestik, sekalipun dia bekerja atau beraktivitas di luar rumah. Fakta ini sulit dihindari, apalagi didukung budaya timur dan norma agama yang tidak mewajibkan perempuan untuk mencari nafkah. Bahkan seorang laki-laki feminis pun, secara nurani masih akan menginginkan istri nya lebih banyak waktu di rumah mengurus keluarga daripada full aktivitas di luar.
Lalu apa yang bisa dilakukan oleh perempuan? Pertama yang bisa dilakukan adalah melakukan pilihan atas hidupnya. Pilihan yang dimulai dari kebebasan memilih jodohnya (dalam konteks usaha), yang diwujudkan dalam kesepahaman antara (calon) suami istri. Pilihan ketika sudah berumah tangga dimana sekalipun sudah disepakati pra-nikah tentang aktivitas istri, namun kondisi perempuan sendiri masih akan berbenturan dengan ‘ kodrat’ perempuan sebagai ‘ insan domestik’ (yang sedikit banyak dipengaruhi oleh ‘ dominasi laki-laki).
Hal lain yang bisa dilakukan tentunya dari pihak laki-laki, sebagai partner perempuan selama lebih dari setengah kehidupan dunia. Jujur tidak mudah bagi laki-laki secara sepenuhnya ikhlas melepas istri nya beraktivitas di luar, kerja full time, apalagi dalam kondisi hamil atau anak-anak di masa pertumbuhan awal. Orang modern bisa saja mencari pembantu untuk merawat anaknya, tapi hati seorang orang tua tetap tidak bisa berbohong jika disuruh memilih antara pembantu atau sendiri.
Jadi laki-laki lah yang justru menjadi kunci dari keseimbangan peran domestik dan publik bagi perempuan. Mulai tingkat kesadaran hingga dalam praktek keseharian yang menjadikan perempuan sebagai partner. Pembagian tugas domestik dengan skala prioritas, hingga transparansi dalam pengelolaan pendapatan bersama serta perencanaan masa depan.
Memang tidak mudah bagi laki-laki untuk konsisten menjaga keseimbangan peran tersebut. Sebuah bagian konsekuensi bagi laki-laki saat mengambil amanah seorang perempuan bukan hanya dari orang tua nya, melainkan dari bangsa yang sudah memberinya pendidikan untuk diamalkan.
Sebuah tantangan bagi laki-laki.
Monday, December 22, 2008
Dari ibu untuk anaknya
Itu jika kau bisa memilih. Tapi kau tak bisa memilih nak..! Kau hanya bisa menerima. Itu bukan salahmu, karena setiap orang pun bisa mengalaminya. Jangan pula kau salahkan takdir. Takdir berbicara hanya kepada orang-orang yang pantas menerimanya. Dan kita pantas, kau juga pantas.
Sekarang, sudah dewasa pula kau berumur. Cepat sekali waktu mempermainkan kita. Sudah tak sanggup lagi, ibu menggendongmu ataupun hanya sekedar memelukmu sekuat yang dulu. Layaknya tunas, kau telah tumbuh dengan akar menghujam dalam. Angin sepoi tak membuatmu terlena, angin badai pun tak membuatmu roboh serubuh-rubuhnya.
Kau tahu diri, kapan saat tersenyum, kapan saat tegar, dan kapan saat menangis. Oh..menangis bukan cengeng nak..! Menangis tidak selalu bermakna kesedihan. Itu adalah suara hati paling dalam, paling tulus dan paling sejati. Karena tak semua orang bisa menangis. Saat lahir saja manusia diharuskan menangis. Lalu, kenapa saat besar tak diperbolehkan menangis?
Betapa indahnya, bisa menatap tersenyum. Kau tak perlu datang setiap hari. Menatap fotomu dan membayangkan dirimu sudah cukup mengobati rindu ibumu. Sesekali datang, secepat itu pula kau pergi kembali. Tapi ibu tahu, kau punya kehidupanmu sendiri. Dan pastinya, kau sedang menuju masa depanmu.
Kemudian kau bekerja. Bekerja membuatmu makin dewasa. Tak ada yang lebih membahagiakan seorang ibu melihat anaknya mandiri. Ibu tak pernah meminta banyak dari hasil jerihmu. Tiga ratus, empat, atau lima ratus ribu sudah cukup untuk ibumu. Tentu ini bukan urusan setali, tiga tali uang. Tapi seperti katamu, “aku ingin sedikit membantu beban ibu.” Terima kasih nak..!
Oiya, sekalipun kau sudah punya banyak kaya sendiri. Tetaplah hidup bersahaja. Hidup bersahaja bukan sederhana semata. Sederhana itu harus nak.. jangan kau boroskan hidupmu dengan kesia-siaan. Dan bersahaja itu, adalah mampu membawa diri dimana kita berada. Janganlah kesederhaan membuat susah hidupmu. Hadapilah dengan bersahaja, niscaya kau akan lapang hati dalam menjalani dunia yang makin gemerlap.
Kejarlah apa yang kau cita-citakan dalam hidupmu. Pergilah ke seluruh penjuru dunia jika itu mungkin, lalu lihat dan belajarlah dari sana. Bergaulah dengan beragam jenis orang, maka kau pun akan berhati dan berpikiran luas. Namun, sejauh-jauhnya kau melangkah, ingatlah darimana kau berasal. Dan seberat-beratnya kehidupan, serahkan semuanya pada Yang Maha Kuasa. Jangan sekali-kali kau tinggalkan agama sebagai pegangan hidupmu, jika kau ingin selamat.
Dan sebentar lagi, ibu tebak kau pun ingin menggenapkan setengah agamamu. Tidak. Ibu tidak sedih. Ibu bahagia. Melihat kau bisa bersanding dengan pilihan hidupmu. Kau keras, tapi lembut. Maka kau mungkin pantas mendapatkan seseorang yang yang lembut tapi keras. Ah, kenapa juga ibu mempersoalkan pasanganmu. Tentu kau lebih bisa melihat seseorang yang cocok untuk dirimu.
Sebentar, kau akan memilihnya sendiri bukan? Kau tidak akan mempercayakan sepenuhnya kepada orang lain untuk menentukan pasangan jiwamu bukan? Nak.. hidup kita adalah tanggung jawab. Kita sendiri yang akan merasakan, dan menanggung akibatnya, bukan orang lain. Sekarang di dunia, atau saat menghadap Sang Pangeran kelak.
Atau jangan-jangan kau tak berani memilih? Tidak perlu kau jadikan takdir sebagai penghalang. Kau menusia baik. Agamamu baik. Jauh lebih baik dari ibumu ini. Kau bisa menghargai manusia lain. Dan manusia yang bisa menghargai, adalah jodoh bagi semua orang.
Jangan melihat seseorang dari apa yang telihat. Apa yang indah, belum tentu indah pula perangainya. Banyak yang hanya siap bahagia, tapi tak siap guncangan mendera. Jelaskan jujur siapa dirimu. Lebih baik kau tertolak diawal, daripada kau merasakan sakit kemudian. Bukankah kau sangat membenci kebohongan dan pengkhianatan?
Ini bukan masalah usia, tapi kedewasaan. Dan sudah saatnya menurut ibu. Ah, lupakan. Kau lebih tahu. Tapi ingat, menunggu itu membosankan. Bukan soal 1, 2 tahun, atau 3 tahun. Dan jika itu kehendakmu, buatlah menunggu itu menyenangkan.
Ibu tak ingin merusak mimpi yang ingin kalian wujudkan kelak. Tapi, jika kau berkenan. Sempatkanlah ibu untuk menginap di rumahmu, ya.. rumahmu atau rumah kalian sendiri. Rumah adalah harga diri, kalian harus mewujudkannya. Tak perlu besar, megah atau lengkap. Dan sebentar saja, ibu tak ingin merepotkanmu. Ibu hanya ingin merasakan, bahwa anaknya telah jadi manusia seutuhnya.
Dan terakhir nak, menjaga itu lebih sulit daripada mendapatkan. Menjaga kesetiaan, lebih sulit daripada mendapatkannya. Menjaga apapun, selalu lebih sulit daripada mendapatkannya. Mungkin akan mudah kau dapatkan, tapi tak akan mudah kau bisa menjaganya. Jagalah, apa yang bisa kau jaga sebaik-baiknya. Jangan kau mainkan sesuatu hanya untuk kepentingan dirimu, karena hidup sendiri sudah permainan. Percayalah, siapa yang menebar benih, akan menuai sendiri hasilnya.
Sudah anakku, cukup semuanya. Dan ibu hanya bisa berdo’a untuk kesholehan, kesehatan dan kesuksesan dirimu. amin.
Selamat Hari Ibu,
Untuk ibuku, semua ibu dan (calon) ibu anakku...
Monday, April 21, 2008
Perempuan dalam cinta
Mengerikan, mengerikan benar perempuan itu
Mereka tak pernah bisa percaya,
Mereka tak biasa jujur,
Sekalipun pada diri sendiri
...
-puisi ‘panas’ yang sudah di klarifikasi-
***
Bagi laki-laki, cinta hampir selalu identik dengan perempuan. Karena dunia yang didominasi cara pandang laki-laki, maka berbicara cinta dari paradigma perempuan pun jarang ada. Hal itu yang kemudian memunculkan pertanyaan, bagaimana perempuan memandang cinta?
Dalam khasanah indonesia, kedudukan cinta perempuan sebagian besar tidaklah istimewa. Kecuali di daerah-daerah tertentu, perempuan selalu menjadi ‘obyek’. Yang dipilih, yang dipinang, yang dilamar, yang diperebutkan atau yang tidak bisa menolak untuk dijodohkan.
Kartini, sosok emansipasi pun tidak lepas dari perlakuan umum terhadap perempuan. Dinikahi oleh Bupati Rembang sebagai istri kesekian, adalah bentuk dari pasrah kartini sekaligus sosok perempuan umumnya kala itu. Kartini lebih beruntung, karena untuk yang berasal dari keluarga bukan ningrat maka perempuan pun hanya ‘dinikahi’ bangsawan untuk melahirkan anak lalu dikembalikan kepada orang tuanya.
Seiring dengan perkembangan zaman, gaya feodal terhadap perempuan pun jauh berkurang. Perempuan mengenyam pendidikan sama halnya laki-laki. Dunia perempuan makin diakui, sebagai partner dari laki-laki bukan pelengkap saja. Intinya dalam kehidupan sekarang, kesempatan pada umumnya sama antara laki-laki dan perempuan. Tentu saja tidak melupakan peran masing-masing dalam kehidupan domestik keluarga. Walaupun dalam kaitan dengan keluarga, banyak perempuan yang akhirnya berada di ‘persimpangan’, memilih antara keluarga atau aktivitasnya.
Jika ‘kesetaraan’ perempuan sudah berada dalam porsi yang cukup ideal dengan kebebasan untuk memilih, lalu bagaimana dengan cinta? Apakah benar bahwa perempuan merdeka dalam menentukan cinta nya?
Pertanyaan diatas dilandasi atas dasar sederhana bahwa selama ini muncul kesan bahwa perempuan cenderung tertutup, diam-diam, tidak berani mengungkapkan (baik lisan atau tindakan) perasaan cinta atau simpatiknya terhadap seseorang. Berbeda dengan laki-laki, yang cenderung lebih ‘ofensif’ dalam mengungkapan perasaannya. Mungkin juga karena secara fitrah nya, hati peremuan sensitif nan lembut sehingga cenderung hat-hati (defensif).
Sikap memandam rasa itu wajar karena lebih menyakitkan bagi perempuan ketika cintanya ditolak daripada laki-laki. Bagi laki-laki, cinta ditolak ibarat tamparan yang berujung pada pembuktian bahwa dirinya bisa mendapatkan yang lain. Sedangkan perempuan, konon tidak sesimpel itu. Sakit hati karena ditolak. Merasa sudah jauh melangkah memberanikan diri, dan ditolak. Malu serasa mengguyur tubuh. Seolah tidak bisa mundur. Dan parahnya, hancur.
Dan terdapat kesan bahwa perempuan yang baik, adalah yang mempersiapkan diri untuk menyambut pangeran datang. Bersiap sebaik-baiknya untuk menunggu hingga waktu tiba. Usaha yang dilakukan adalah mempersiapkan diri, dan berdoa. Dan jika nantinya sudah di ‘ambang waktu’, maka tibalah saat ujian kesabaran.
Tapi semuanya tak bisa di generalisasi, toh apa yang dipertontonkan dalam kisah kehidupan tentang perasaan perempuan tidak serta menjadi dalih bahwa begitulah perempuan apa adanya. Kondisi tersebut memang umumnya yang terjadi sekarang, namun bukan berati hal tersebut menjadi kondisi yang seharusnya.
Sejenak ketika melihat sosok Khadijah, Ibu dari semua muslim, bahwa apa yang dilakukan Kahdijah saat menikah dengan Muhammad adalah mengajukan lamaran alias mengungkapkan perasaannya. Namun bukan berarti Khadijah tanpa perhitungan, karena memalui sosok pamannya, Khadijah sudah mendapatkan keterangan bahwa Muhammad dalam kondisi bisa di ajak menikah. Dalam hal ini, Khadijah tetap menjaga kehormatan seorang perempuan.
Jadi mendalihkan apa yang terjadi pada cinta perempuan sekarang pada agama (Islam) bukanlah alasan yang berdasar. Satu-satunya alasan yang mungkin sekarang adalah dari sosok perempuan itu sendiri.
Suatu hari saya pernah bediskusi dengan teman tentang posisi perempuan dalam memperjuangkan cinta. Seperti yang lumrah kita ketahui, banyak terjadi laki-laki yang ‘berjuang’ (baca: ofensif) dalam mencari cintanya. Lalu perempuan, bagaimana bentuk perjuangan cintanya?
Teman saya waktu itu menjawab bahwa bentuk perjuangan cinta perempuan adalah pergolakan batinnya untuk menerima sosok laki-laki tersebut, dan membawanya ke pihak keluarga. Namun saya mengelak, bukanlah laki-laki pun secara substansi juga berdamai dengan perasaan lalu juga keluarganya? Baiklah, memang pertimbangan perasaan yang digunakan laki-laki tidaklah sedominan seperti perempuan. Karena laki-laki sebagian besar melihat dari apa yang tercitrakan.
Kembali lagi tentang perjuangan cinta perempuan, apakah demikianlah adanya dimana perempuan harus menjaga hati, menutup perasaannya dalam-dalam dan ketika sosok laki-laki itu datang maka barulah perjuangan cinta perempuan dimulai.
Kenapa tidak perempuan juga memperjuangkan cinta nya itu. Pastinya, dengan tetap menjaga kehormatan seperti yang diteladankan Khadijah. Jika selama ini misalnya, perempuan cenderung bisa berharap terhadap seseorang namun tak kunjung datang seseorang tersebut, tidak kah lebih baik jika melalui perantara mencari kemungkinan memulai hubungan dengan yang bersangkutan lebih serius? Ringkas, tidak ribet dan tidak lama berharap cemas. Daripada hanya berharap, dan berharap. Lalu pada akhir kesedihan, melihat dia memilih yang lain.
Jadi tetap kembali ke perempuan sendiri, bagaimana mereka mendefinisikan perjuangan cinta nya. Perempuan lah yang memilih, dan memang harus memilih. Jangan sampai awalnya berharap romantis, lama kelamaan dramatis, lalu akhirnya menjadi ironis.
Sudahlah, saya tidak bisa merasakan bagaimana perempuan dalam mencinta. Tapi saya percaya bahwa perempuan yang jujur dan menjaga kehormatan selalu bernilai lebih. Itu saja.
Selamat memaknai Hari Kartini..
Friday, February 22, 2008
Memasak itu seperti membaca
Semua logika diatas benar adanya. Namun ada pendapat yang sangat humanis, saat seorang ibu mendengar dari anaknya sendiri bahwa masakan ibunya enak. Maka segala ‘jerih payah’ memasak pun menjadi hilang.
Dalam keluarga, memasak sebenarnya merupakan keahlian dasar. Sama halnya dengan membaca (dan berhitung), maka memasak sama halnya dengan keterampilan untuk memenuhi kebutuhan yang dasar. Karena kebutuhan dasar manusia salah satunya adalah makan (kebutuhan paling dasar?), maka usaha pemenuhan kebutuhan itupun menjadi fundamental.
Mari membayangkan sebuah analogi berikut. Jika seseorang tersesat di tengah hutan, maka keterampilan dasar yang dibutuhkan adalah membaca situasi, petunjuk jalan, atau arah angin. Membaca, itu kata kuncinya. Lalu jika semua usaha membeli makanan diluar jadi tidak ada alias tutup, maka keterampilan dasar bagi sebuah keluarga adalah memasak untuk mencegah kelaparan.
Jadi, memasak itu seperti membaca sebagai keterampilan dasar yang seharusnya dimiliki oleh semua manusia (terutama kaum hawa). Ya, semua manusia karena kebutuhan makan itu menyangkut semua manusia.
Kemampuan memasak dalam sebuah keluarga juga penting untuk memantau asupan gizi yang diberikan kepada keluarga. Kita tidak pernah bisa pasti melihat semua makanan di luar sehat dari bahan, pemasakan dan cara penyajian. Tapi jika dilakukan sendiri, pemantauan itu dalam kontrol. Hal ini sangat penting misalnya saat-saat masa pertumbuhan anak dalam keluarga tersebut.
Dalam sebuah survei kasar, saya amati bahwa kemampuan memasak perempuan dewasa (baca: mahasiswi) zaman sekarang jauh menurun. Kesibukan aktivitas, kuliah dan bermain. Semua memang bisa dibeli saat ini, tapi dengan analogi dan pertimbangan diatas, maka kemampuan memasak tetap penting adanya. Dalam potret keluarga di luar negeri pun, selalu ditampilkan suasana makan bersama di keluarga dengan masakan rumah.
Tidak perlu mengernyitkan dahi karena memasak makanan yang rumit ala hotel bintang lima. Saya tidak ahli dalam menentukan kemampuan memasak apa yang sebaiknya minimal dimiliki. Setidaknya, dengan analogi tidak bisa membeli diluar diatas, maka masakan dasar pun tak jadi soal asal berasa, sehat dan pastinya enak.
Ini bukan pemaksaan kehendak bahwa semuanya harus bisa memasak. Memang ada bakat, tapi tetap lebih besar pengaruh niat (betul kan?). Sibuk bekerja sehingga membeli makanan diluar, atau menggunakan tenaga ‘juru masak’ tak jadi soal asalkan proporsional, dan tidak berarti tidak butuh kemampuan memasak sesuai uraian diatas. Sekali lagi ini kembali tentang niat.
Dan buat kaum adam sendiri, tentu akan lebih bahagia jika punya (calon) istri yang bisa memasak. Akhirnya, selamat belajar memasak. :)
Wednesday, January 30, 2008
Ibu-ibu zaman sekarang
Sunday, November 04, 2007
3 karakter perempuan Jawa, masih adakah?
1. Tangguh, bekerja keras, pantang menyerah
Karakter ini bisa terlhat jelas di pedesaan jawa, sangat banyak (mungkin semua) perempuan jawa bekerja membantu kehidupan keluarga di sawah, rumah sendiri atau rumah orang lain. Parameter bekerja aadalah menghasilkan (earning) dan cukup bisa membagi waktu untuk keluarga. Ketangguhan dan pantang menyerah terhadap tujuan hidup untuk perempuan jawa modern sekarang mungkin bisa dilihat dengan banyaknya yang merantau keluar daerah seorang diri untuk bekerja atau pendidikan.
2. Hemat, tidak matre, mau hidup susah
Relatif mementingkan hal yang lebih besar dan jangka panjang daripada penampilan sesaat. Tidak berlebihan dalam bersolek sesuai dengan kondisi sosial-ekonominya, lebih memilih rumah yang cukup daripada memaksakan diri punya mobil, hemat sekaligus siap segala sesuatu yang menyusahkan, serta mau berjuang hidup bersama dengan kondisi pas-pasan.
3. Penurut, setia, lembut
Menurut apa kehendak laki-laki (dan memang cenderung inferior atau justru bisa dilihat sebagai bentuk menghargai laki-laki), tidak menuntut, dan lemah lembut (konon apalagi untuk perempuan Solo). Ada ‘kurang baiknya’ juga mungkin, dimana banyak poligami dilakukan oleh laki-laki jawa (hanya kemungkinan melihat statistik minimal 50% penduduk Indonesia adalah Jawa). Ingat Ayam Bakar Wong Solo, kata sebuah sumber penjualannya di sebuah kota di non-jawa) merosot (sekarang tutup?) karena ‘aksi boikot’ yang dilakukan oleh ibu-ibu di kota tersebut. Terlepas dari poligami, disini hanya melihat dari sisi penurutnya.
Tiga hal diatas pun sesuai dengan Ranggawarsita yang terbahas sedikit di sebuah buku tentang 3 watak perempuan yang menjadi pertimbangan laki-laki, yaitu:
Watak Wedi, menyerah, pasrah, jangan suka mencela, membantah atau menolak pembicaraan. Lakukan perintah laki-laki dengan sepenuh hati. Untuk pasangan yang terpisah jarak, seorang teman yang sudah menjadi istri pernah di nasehati untuk selalu patuh dengan kehendak suami, tentu dalam hal yang tidak bertentangan norma. Sudah terpisah jarak dan tidak setiap hari bertemu, masa harus disertai perselisihan yang tidak pokok.
Watak Gemi, tidak boros akan nafkah yang diberikan. Banyak sedikit harus diterima dengan syukur. Menyimpan rahasia suami, tidak banyak berbicara yang tidak bermanfaat. Lebih lengkap lagi ada sebuah ungkapan, gemi nastiti ngati-ati. Kurang lebih artinya sama dengan penjelasan gemi diatas. Siapa laki-laki yang tidak mau mempunyai pasangan yang gemi?
Watak Gemati, penuh kasih. Menjaga apa yang disenangi suami lengkap dengan alat-alat kesenangannya seperti menyediakan makanan, minuman, serta segala tindakan. Mungkin karena hal ini, banyak perempuan jawa relatif bisa memasak. Betul semua bisa beli dan cepat atau pembantu, apalagi untuk perempuan kerja zaman sekarang, tapi tetap masakan sendiri yang tidak tiap hari adalah sebuah bentuk kasih sayang seorang perempuan di rumah untuk suami (keluarga).
Tiga karakter yang baik dan sebenarnya tidak hanya bagus untuk dilekatkan dengan perempuan Jawa. Karena setiap laki-laki rasa-rasanya akan menyenangi karakter-karakter diatas.
Dan di era ini, bukan asal (suku) yang jadi masalah tapi karakter tersebut. Karena pun harus diakui tidak semua perempuan jawa mempunyai semua karakter diatas. Berkaitan dengan hal itu, saya sempat menemukan sebuah syair bagus yang dibuat oleh seorang perempuan jawa zaman ini untuk merepresentasikan kondisi tersebut (namun maaf, saya lupa dari mana sumber penulisnya). Jadi sekarang, semua kembali pada kita.
wanita Jawa itu,
ngerti tata-krama..
unggah-ungguh,
lemah lembut,
pemalu,
pantang menyerah,
pembaharu,
dan
setia
tapi aku juga seorang wanita jawa
Tuesday, October 16, 2007
Khadijah, True Love Story
Perempuan mulia istri Rasulullah Muhammad Saw, Khadijah, menjadi pendorong, penyokong utama di masa-masa awal dakwah Islam. Kisah Muhammad dan Khadijah sebagai sepasang suami-istri istimewa menjadi dasar terbitnya buku yang inspiratif ini, Khadijah The True Love Story of Muhammad.
Cerita tentang kisah hidup mereka dimulai dengan latar belakang kondisi masing-masing, Muhammad sebagai ‘anak angkat’ Abi Thalib pamannya sedangkan Khadijah adalah seorang janda yang mempunyai kerajaan bisnis besar. Singkat kata, Khadijah mencari orang yang bisa dipercaya untuk menjalankan misi dagangnya, hingga akhirnya diputuskanlah Muhammad, orang terpercaya (Al-Amin) dimana Khadijah sudah memberi perhatian khusus kepadanya.
Misi dagang berhasil dan pembantu yang disertakan dengan Muhammad menceritakan kepada Khadijah tentang kebaikan karakter Muhammad yang semakin membuat Khadijah mantap untuk menjadikan Muhammad sebagai pendamping hidup. Maka diutuslah pembantu Khadijah untuk bertanya kepada Muhammad tentang rencana Khadijah tersebut.
Muhammad tahu diri, dibandingkan Khadijah yang terpandang sebagai perempuan saudagar, Beliau bukan apa-apa. Tidak ada terpikir dalam diri Muhammad untuk menikah dengan Khadijah karena Muhammad tidak mempunyai banyak hal untuk dijadikan sebagai mahar. Namun secara prinsip, Muhammad tidak menolak kemungkinan tersebut karena Khadijah adalah perempuan mulia yang bisa menjaga dirinya, dermawan dan teguh memegang moral agama Ibrahim.
Dan diundanglah Muhammad untuk datang ke rumahnya. Akhirnya, Khadijah sendiri yang menyatakan keinginan untuk meminang Muhammad sebagai suaminya. Muhammad menerima, maka menikahlah keduanya dalam usia Muhammad 25 tahun dan Khadijah 40 tahun.
Hari-hari kehidupan Khadijah-Muhammad pun berjalan. Muhammad sebagai kepala rumah tangga sekaligus pemimpin bisnis, Khadijah sebagai istri yang mendukung suaminya. Dan lahirlah putri-putri Rasulullah (Allah mentakdirkan Muhammad tidak mempunyai putra yang berumur panjang).
Selain tentang kehiidupan keluarga Muhammad-Khadijah, buku ini lebih banyak berbicara tentang sirah (sejarah) kerasulan Muhammad mirip halnya buku sirah lainnya. Hal ini tentu tak lepas karena kehidupan keluarga selalu menyertai kisah kenabian, usai diangkatnya Muhammad sebagai Rasul di usia 40 tahun.
Sedikit tentang keislaman sahabat, perjuangan dakwah Islam, hingga masa hijrah. Sehingga pembaca pun akan diberikan penjelasan cukup tentang kisah dakwah Rasulullah Muhammad Saw sendiri. Namun tetap, pembahasan selalu dikaitkan dengan peran keluarga (Khadijah) dalam mendukung dakwah Muhammad.
Buku ini diakhiri dengan keistimewaaan-keistimewaan Khadijah, dimana Allah sampai memberikan salam khusus kepadanya yang disampaikan kepada Muhammad melalui Jibril. Kepada Aisyah (Istri yang paling disayangi Rasul sepeninggal Khadijah) Muhammad mengatakan bahwa Khadijah tiada tergantikan, sehingga sering membuat Aisyah cemburu. Khadijah, dengan kelembutan hati, kesabaran, karakter mengayomi telah menyokong, mendampingi Muhammad di masa-masa awal Islam. Tidak hanya sebagai istri dan partner, Khadijah juga memberikan kasih sayang Ibu mengingat Muhammad sudah yatim piatu sejak umur 6 tahun.
Jika kisah cinta Muhammad-Khadijah bagaikan ‘kisah ideal’, maka di bagian paling akhir juga disertakan sekelumit kisah Ali bin Abi Thalib dan Fathimah bin Muhammad yang ‘lebih membumi’. Keduanya dipersatukan dan sangat dicintai Rasul. Ada kemuliaan, namun ada juga kesahajaan. Ada kesejatian, tapi juga ada kecemburuan. Dari Ali-Fathimah, Muhammad mendapatkan 2 cucu yang sangat dicintai beliau, Hasan dan Husain.
Membaca buku ini, akan banyak hal ‘manusiawi’ kehidupan yang menyertai perjuangan awal dakwah Islam. Semua yang dibahas dalam buku ini tentu sangat berbeda dengan kondisi zaman sekarang. Namun pesan kehidupannya selalu sama, karena manusia kapan dan dimanapun mempunyai akal dan perasaan. Dengan pesan inilah, Muslim zaman sekarang harus berusaha mengejawantahkannya. Dengan contoh yang paling baik, semoga juga dihasilkan keluarga yang baik di zaman ini.
Hal yang ‘cukup unik’, sampul buku ini tertulis label ‘100% untuk wanita’. Namun tentu tak ada salah jika dibaca oleh para laki-laki. Karena dalam keluarga, bukankah keduanya harus saling mendukung? Karena di balik suami yang hebat, selalu ada perempuan hebat di belakangnya. Pun sebaliknya. Selamat membaca, belajar dari kehidupan cinta Khadijah, Muhammad, keluarga, dan sahabat-sahabatnya.
Wednesday, August 29, 2007
Afganistan; sketsa dari buku
Apa yang terbayangkan segera dengan negeri bernama Afganistan? Hancur, porak poranda sisa agresi Amerika demi memburu Osama bin Laden yang tak kunjung ditemuinya. Dan pasca agresi itu, praktis wajah Afganistan kembali hilang ditelan bumi penuh konflik timur tengah lainnya.
Namun sebenarnya, apa yang tersingkap dalam media-media yang memberitakan kondisi Afaganistan belum tentu menggambarkan kondisi (dan psikologis) Afganistan yang sesungguhnya. Dan lewat sebuah buku memoar perjalanan, Latifa dan Asne Seierstad masing-masing memberi sudut pandang lain dari kehidupan Afganistan.
My Forbidden Face (Wajah Terlarang-WT) karya Latifa,sungguh-sungguh sangat bagus dalam mendeskripsikan gejolak perasaan perempuan Afgan terutama semasa Taliban yang menerapkan ‘syariat Islam konservatif’ (yang menurut saya berlebihan),diantaranya melarang perempuan bekerja, sekolah dan bahkan keluar rumah tanpa orang yang menemani dengan penutup badan-kepala (burqa). Sednagkan laki-laki harus mempunyai jenggot panjang serta memakai baju jubah. Tidak boleh aktivitas malam, semua TV, media dilarang kecuali siaran agama-propaganda, tidak ada campur laki-laki perempuan di semua urusan, peredaran buku diawasi dan jika melanggar maka polisi pun akan menyeret ke pengadilan agama.
Latifa, seorang wanita asli Afgan yang menghabiskan waktu disana hingga usia 16 tahun saat-saat akhir kekuasaan Taliban, sempat menjadi guru bagi perempuan-perempuan kecil yang dilarang sekolah di sekolah formal dengan sembunyi-sembunyi menggunakan rumah keluarganya. Latifa kemudian ’hijrah’ ke Paris didukung ibu dan keluarganya untuk menyuarakan suara perempuan Afgan di dunia internasional.
Ibunya sendiri adalah dokter yang dilarang bekerja di rumah sakit sejak Taliban, dan akhirnya bersama Latifa membangun klinik sendiri di bagian belakang rumahnya tanpa sepengetahuan Taliban, karena tidak tega melihat pasien-pasien perempuan yang tidak pergi ke RS akibat semua dokternya laki-laki.
Sedangkan Asne, jurnalis Norwegia yang meliput ke Afgan dalam detik-detik Taliban jatuh lalu bertemu dengan Sultan Khan, seorang saudagar buku dan kemudian tinggal serumah bersama keluarganya selama 3 bulan untuk merasakan penuh kehidupan sebuah keluarga Afgan.
Saudagar Buku dari Kabul (The Bookseller of Kabul) - SB, lebih menggambarkan potret keluarga di tengah banyak perubahan kekuasaan di Afgan. Buku ini tidak hanya berbicara tentang dunia Afgan saja, tapi juga wilayah-wilayah di sekitarnya yang turut mempengaruhi kondisi politik-keamanan di Afgan. Menyusuri wilayah pesisir sambil mengetahui kondisi sosial-politiknya tentu lebih membuka mata tentang apa yang terjadi di Afgan.
Ide sentral kehidupan keluarga khas Afgan patut diacungi jempol. Pendeskripsian yang baik tentang posisi kepala keluarga yang sangat kuasa, tugas istri, ibu kepala keluarga, anak dan susunan lain yang membentuk keluarga. Layaknya sebuah keluarga, maka banyak konflik pun mendera disana apalagi dengan tangan besi Sultan yang sangat keras dan tanpa kompromi kepada keluarga.
Lalu lagi-lagi tentang perempuan Afgan yang penuh kisah sendu itu seperti dalam buku WT. Jika WT lebih banyak pada aktivitas sosial perempuan yang terkengkang, maka SB berkali-kali menggambarkan tentang ketidakperdayaan perempuan Afgan dalam meimilih pasangan hidupnya. Sebenarnya laki-laki pun demikian, namun laki-laki lebih bisa mengatakan keinginannya lalu menyerahkan hak melamar kepada ibu atau saudara perempuan. Sedang si perempuan, hanya bisa diam dan menerima apa kata ibu atau keluarganya yang biasa hanya atas pertimbangan materi menjual anak gadisnya.
Kisah keluarga saudagar diakhiri dengan sebuah sketsa cinta menyedihkan, antara Leila (adik Sultan) yang disukai Karim (seorang pemuda mapan) dan akhirnya kandas karena’budaya’ terkungkungnya seorang wanita Afgan terutama sejak Taliban dan masih berbekas sesudahnya. Menurut Leila, perempuan Afgan itu tidak punya rasa, tidak bisa merasakan apa-apa karena tidak terbiasa merasakan apa-apa. Dia tidak punya rasa karena tahu dia tak boleh punya perasaan. Jadi, apakah mempunyai perasaan dan memperjuangkannya adalah tabu bagi seorang perempuan?
***
Buku bagaimanapun adalah media yang sangat baik untuk menyuarakan hati nurani. Dan buku memoar, buku yang ditulis sebagai catatan perjalanan dan liku-likunya atas sebuah negeri bernama Afganistan ibarat suara hati nurani tercekik di balik kerudung Islam konservatif. Wajah Terlarang atau Saudagar Buku dari Kabul telah menjadi bukti eksistensi sebuah buku memoar, menampilkan sisi lain kehidupan Afgan, lebih membuka mata dunia dan kemudian memahami apa yang terjadi disana.
Semua dalam kehidupan penuh pilihan. Tapi tentu tidak ada orang yang memilih dalam kehidupan penuh ketertindasan dan keterkengkangan. Karena perasaan bebas dan bertanggung jawab atas apapun yang dipilihnya itu, adalah bagian utama dalam kehidupan manusia.
hidup selalu punya akhir
tidak perlu lagi ditindas
jika ketundukan adalah prasyarat hidup
aku tidak butuh hidup macam ini
dalam perbudakan,
bisa saja terjadi hujan emas
dan akan kukatakan pada langit
hujan ini tak dibutuhkan
[Latifa]
Sunday, August 12, 2007
Sokola Rimba
Jika ingin memperbaiki kehidupan, maka mulailah dari pendidikan. Falsafah itu yang benar-benar ada di benak Butet Manurung dan rekan-rekanya untuk bergerak dalam pendidikan rimba, yang dikenal dengan nama Sokola Rimba.
Apa yang ada di benak kita pertama saat mendengar kata rimba? Sebuah kehidupan terbelakang, nomaden, tidak teratur, atau bahkan mencapnya sebagai sebuah kehidupan ‘tanpa budaya’?
Anggapan-anggapan diatas dimentahkan Butet yang dengan keberaniannya memutuskan untuk bergabung dengan Warsi (Warung Informasi Konservasi) yang berlokasi di Jambi, di sekitar Taman Nasional Bukit Dua Belas. Tugas awalnya memang hanya sebagai pemberi informasi kepada Orang Rimba(OR) tentang peran penting mereka untuk menjaga hutan mereka atau TNBD secara umum.
Namun, karena paradigmanya bahwa pendidikan adalah awal dari segala perubahan sikap, maka Butet secara ‘tidak sengaja’ mengawali petualang hidupnya dengan menjadi salah satu founder model sekolah nonformal yang diselenggarakan di rimba. Sekolah rimba yang dia inisiasi, kembangkan, dan kemudian setelah keluar dari Warsi telah berwujud sebuah badan tersendiri dengan nama Sokola Rimba (SR).
Buku terbitan Juni 2007 ini terdiri atas dua bagian utama. Pertama adalah perjalanan awal Butet untuk bergabung dengan aktivitas Warsi di Jambi setelah lulus dwi-gelar sarjana yaitu sastra indonesia dan antropologi dari Unpad Bandung, awal kuarter keempat 1999.
Di bagian pertama ini, Butet juga menceritakan tentang pengalaman-pengamalam kehidupan di rimba yang sesungguhnya, sekalipun dia sudah aktif di pecinta alam Pallawa Unpad. Menjelajahi hutan, merasakan, berkomunikasi dengan bahasa rimba dan hidup bersama dengan berbagai kelompok-kelompok OR yang terpisah jauh di dalam rimba.
Menarik dan menantang sekali gaya tutur buku harian yang disodorkan Butet dibagian-bagian ini, dengan diselingi beberapa kekonyolan yang dilakukan Butet sendiri. Pembaca akan banyak tercerahkan dengan model kehidupan rimba yang unik, mandiri, dan juga berbudaya dengan budaya mereka. Selain itu pula, tentu aja sikap atau kondisi kekinian yang menjadikan OR obyek ‘modernitas’ yang makin menjarah hutan tempat tinggal meeka.
Di bagian ini pula, Butet dan kawan-kawannya di Warsi melaksanakan beberapa uji coba model SR. Sekolah yang akrab atau tidak galak, demikian kata anak OR yang trauma dengan sekolah formal yang pernah diperuntukan buat mereka.
Sekolah yang bisa mendidik menjadi manusia, demikian konsep awal Butet kemudian sebuah konsep SR yang berhasil bila SR bisa memberikan manfaat (langsung, riil) kepada lingkungan OR itu berada. Dengan ilmu sastra indonesia-nya,Butet banyak terbantu dalam membuat metode-metode baru yang kreatif tentang belajar baca, tulis dan berhitung.
Cerita perjalanan yang dituturkan dalam bentuk catatan harian ini sungguh memikat, setidaknya menjadikan pembacanya tidak merasa seperti diceramahi sehingga akhirnya tergerak untuk memahami kehidupan OR dan menghormati keberadaan serta pilihan mereka sendiri.
Di bagian kedua, buku ini menawarkan opini yang lebih non-diary tentang kehidupan OR dan kebutuhan SR buat mereka. Butet menggugat pandangan orang luar (non-rimba) yang menganggap OR butuh belas kasihan yang justru menjadikan OR makin rendah diri. Atau anggapan bahwa OR terbelakang ‘tak berbudaya’, yang sebenarnya tak selamanya benar karena OR punya kehidupan mereka sendiri yang mandiri dan ramah lingkungan justru jika tak ada gangguan dari orang luar.
Dan yang menjadi ide pokoknya tentu saja soal Sokola Rimba, sebuah sekolah nonformal yang akrab, tidak kaku dan dekat dengan kehidupan OR. Sekolah yang bukan hanya bisa baca-hitung-tulisan, namun juga bisa memberikan pilihan-pilihan kepada OR yang akhirnyaOR sendirilah yang memilih dan sadar akan pilihannya itu.
Indonesia jujur membutuhkan orang-orang seperti Butet, berani bekerja ‘melawan arus’demi tujuan besarnya dan gigih dalam mewujudkannya. Sosok Women Of The Year 2004 dari Anteve ini seperti setitik embun di tengah masih keringnya pendidikan ‘formal’ kita. Bagaimana pendidikan akan berhasil jika pendidikan sendiri hanya seperti sistem kaku yang tak bisa mendewasakan manusia?
Jika anda sempat berkeinginan untuk bisa berkeliling Eropa suatu hari karena terobsesi suatu cerita perjalanan disana, rasa-rasanya anda perlu membaca buku ini untuk bisa melihat bahwa perjalanan menjelajah rimba negeri kita sendiri bisa menjadi jauh luar biasa menantangnya. Belajar mengenal bangsa sendiri dan jika mungkin sedikit berkontribusi disana, sembari menikmtai eloknya Indonesia yang makin terlihat disana.
Dan Butet Manurung, seperti menjadi salah satu sosok Kartini masa kini.
Monday, July 30, 2007
Gender, antara rasional dan emosional
Namun, sebaiknya kita memberi batasan yang lebih jelas tentang rasional-emosional antara perempuan atau laki-laki. Tentu ini bukan diskusi yang harus berhenti karena jawaban, "semua kan bergantung pada orangnya" atau "ada kasus khusus, jangan digeneralisasi". Kalau seperti itu, kita tidak akan mengatakan kepada anak kecil bahwa langit itu biru, karena toh tiap menjelang hujan berubah mendung. Atau tidak mengatakan bahwa hutan itu hijau, karena yang kebakaran berubah menjadi merah dan hitam. Jadi, mari melihat dari kacamata umum dalam konteks zaman.
Terdapat tiga buah cerita (dan banyak lagi yang berkeliaran di sekitar kita) yang seolah mempertanyakan aksioma kuat bahwa laki-laki cenderung lebih rasional dan perempuan lebih emosional.
Pertama, ada ungkapan yang saya temukan dari artikel sebuah blog, bahwa laki-laki rela mengeluarkan uang 1.200,- demi membeli barang seharga 1.000,- yang diperlukannya, sedang perempuan rela mengeluarkan uang 800,- untuk membeli barang seharga 1.000,- yang tidak diperlukannya.
Disini saya kurang paham, siapa yang lebih rasional atau emosional, antara laki-laki atau perempuan dalam ungkapan diatas. Sebagai laki-laki, saya hanya bisa membenarkan ungkapan konsep 'berkorban lebih' laki-laki terhadap hal yang diinginkannya diatas. Bagaimana dengan perempuan?
Kedua, beberapa hari lalu 'diskusi ringan' di kantor tentang seorang dosen senior yang berpendidikan sangat tinggi (konon profesor) mempunyai seorang istri yang juga berstatus sosial 'terhormat', melakukan 'perbuatan terlarang' dengan pembantu rumah tangganya. Sampai disini, mungkin sebagian menganggap bahwa sang dosen tidak rasional (alias emosional), karena tidak menggunakan rasionya untuk menimbang-nimbang 'status perempuan', toh bagaimanapun dia adalah seorang maha guru yang mulia.
Tapi kemudian, ketika diadili dalam sidang alasan yang dikemukakan sang dosen 'sungguh polos' bahwa siapapun perempuannya itu, secara 'fisiknya' akan sama saja. Bukankah ini alasan paling rasional?
Ketiga, ini juga saya dapatkan dari sebuah blog tentang cerita kepahlawanan dan laki-laki. Dari beberapa cerita yang disampaikan, bahwa jiwa kepahlawanan seorang laki-laki akan timbul menghadapi sosok perempuan yang lemah atau membutuhkan 'sosok pahlawan' dalam hidupnya. Salah satu kisahnya, ada seorang perempuan penderita kanker otak yang seperti 'tak punya harapan hidup' dan masih ada 'sang pahlawan' yang mau menikahinya sekalipun belum pernah saling bertatap muka dengan perempuan itu (terlepas bahwa semua manusia ada jodoh dari Yang Maha Kuasa). Seperti tidak masuk akal?
Saya sendiri punya pengalaman, seorang perempuan keluarga dekat yang menderita epilepsi sejak SD-nya akhirnya disunting oleh jejaka sarjana yang tampan (dan mungkin bisa mendapatkan perempuan lain yang 'lebih baik'). Dan lagi-lagi sebagai laki-laki, saya bisa membenarkan keputusan laki-laki sebagai sosok pahlawan itu. Benar-benar emosional.
Jadi sekarang, masih percaya laki-laki cenderung lebih rasional dan perempuan lebih emosional? Jangan tanya saya, karena saya pun tidak tahu pasti jawabnya.
*Maaf kepada teman-teman perempuan 'yang peduli', karena saya tidak punya thread laki-laki maka saya memasukannya ke label Perempuan, padahal mungkin banyak dari sudut laki-lakinya.
Wednesday, May 30, 2007
Kartini
Judulnya pun menarik, Panggil Aku Kartini Saja. Diambil dari sebuah kalimat surat yang dikirimkan Kartini, 25 Mei 1899 kepada Estelle Zeehandelaar (Stella), teman korespondensinya seorang sosialis-feminis di Belanda. Sengaja diambil Pram, karena dengan Kartini (saja), tanpa embel-embel RA (Raden Ajeng, gelar kebangsawanan sebelum menikah-Raden Ayu, setelah menikah), maka Pram sejalan dengan Kartini untuk menjauhkan feodalisme (jawa) yang sengaja dipelihara oleh kolonial.
Buku diawali dengan sejarah singkat Tanampaksa (Cultuurstelsel) sebagai akibat merosotnya ekonomi Hindia Belanda ataupun Kerajaan Belanda karena Perang Diponegoro (Perang Jawa, 1825-1830). Melalui tanampaksa ini (sampai 1977 sebanyak 800 juta gulden dialirkan ke Belanda), tidak hanya hutang Kerajaan terlunasi, bahkan ekonomi Belanda telah tumbuh menjadi sebuah kekuatan di pasar eropa. Di sisi lain, pribumi benar-benar merasakan imbasnya, mulai dari kemiskinan hingga penurunan jumlah penduduk karena penyakit, kekurangan pangan dll .
Dalam masa itu, 21 April 1879, Kartini lahir. Ayahnya, Ario Sosroningrat, yang nantinya menjadi Bupati Jepara. Kartini lahir dalam keluarga terpandang, ‘feodal’ dan terpelajar. Ayah dan paman-pamannya salah satu sedikit orang di seluruh Jawa yang bisa berbahasa Belanda saat itu, dan Kartini (serta saudaranya, Kardinah dan Rukmini) pun perempuan-perempuan pertama yang bisa berbahasa Belanda. Bahkan dalam sebuah pameran kerajinan di Belanda dimana karya ukir Jepara dipamerkan, tulisan Kartini tentang seni ukir Jepara mendapat kekaguman pembesar kerajaan (bahasa Belanda-nya sempurna).
Kartini, dari buku ini terlihat lebih dari ‘sekedar’ perempuan yang memperjuangkan emansipasi wanita, hal yang kita kenal dari sosoknya. Sekalipun Kartini ingin sekali merasakan pendidikan setinggi-tingginya, namun Kartini sangat menghormati dan mencintai ayahnya, sangat-sangat. Izin dan restu dari ayah yang dicintainya sungguh dinantikannya. Sekalipun izin itu jarang sekali keluar, apalagi dengan niatnya untuk melanjutkan sekolah ke Belanda (yang akhirnya beasiswa itu ‘diberikannya’ ke Agus Salim).
Dan sekali Kartini mendapatkan izin untuk menjadi guru, betapa girang hatinya: “..aku begitu senang, malah riang, seakan aku sudah merasa bahwa percakapanku dengan ayah akan berhasil, ..... Duh, jadi tiada salah dugaanku terhadap dirinya; dan ia memang cintai putrinya ini dan ia pahami dia dengan baiknya.” (Hal 277).
Namun sebenarnya, perjuangan dan cita-cita besar Kartini mengahadapi tembok pertama dan penuh perasaan di depan-dekatnya sendiri. Kebencian Kartini terhadap feodalisme, berhadapan dengan ayahnya yang tetap mempertahankan gaya feodal (dimana sudah membudaya). Pembebasannya tentang perempuan, dibenturkan dengan ayahnya yang mempunyai ‘selir-selir’ yang sudah biasa sebagai nigrat saat itu, dan Kartini lahir dari ibu istri ‘non-resmi’ dari ayahnya yang setelah melahirkan anaknya kemudian diusir keluar rumah (baca Gadis Pantai, lebih lengkapnya). Dan Kartini akhirnya pun, menikah dengan Bupati Rembang sebagai istri kesekian.
Kemudian dalam budaya literasi Kartini, selama 4 tahun dipingit di rumah (mulai umur 12,5 tahun) benar-benar dimanfaatkan Kartini untuk membaca dan banyak belajar menjadi ‘perempuan’. Maka, Kartini juga adalah sosok perempuan biasa saat itu (karena dia sendiri ingin melepaskan atribut feodal dan ingin menjadi rakyat), yang bisa menyulam, membatik, dan menyukai kesenian. Baginya, seorang yang ingin memperjuangan rakyat harus menyukai seni rakyat, denyut nadi rakyat itu sendiri. Jiwa seni Kartini tumbuh, dengan kain batik dan beberapa lukisan hasil tangan-nya sendiri.
Kesukaan Kartini juga pada sastra, terutama puisi. Dalam salah satu suratnya: “Pikiran adalah puisi, pelaksanaannya seni. Tapi, mana ada seni tanpa puisi? Segala yang baik, yang luhur, yang keramat, pendeknya segala yang indah di dalam hidup ini, adalah puisi.”
Seni telah menjalari kehidupannya dalam perjuangan, katanya: “Sebagai pengarang, aku akan bekerja besar-besaran untuk mewujudkan cita-citaku, serta bekerja untuk menaikkan derajat dan peradaban Rakyat kami.”
Dalam masa pingit itu pula, Kartini banyak membaca sekaligus belajar Bahasa Belanda melalui buku-buku. Sangat banyak buku-buku yang dibaca Kartini. Sungguh merupakan anugerah bagi dirinya saat itu berkesempatan mambaca banyak buku, bahkan dengan memesan langsung ke Belanda. Lalu, setelah masa pingit pada usia sebelum 20 tahun, mulailah Kartini berkorespondesi dengan teman-teman Belanda-nya, dan beberapa teman luar negeri lainya.
Surat-surat Kartini, tidak hanya merupakan kegelisahananya pada kaum perempuan negerinya (melalui dirinya), melainkan juga nasib bangsa-nya keseluruhan yang membuatnya resah serta bentuk-bentuk aktivitas-nya, diantaranya adalah menjadi guru untuk sekolah perempuan di Jepara, membina pengrajin ukiran Jepara, membaca dan menulis karya sastra, serta aktivitas dengan rakyat biasa. Dalam suratnya pula, Kartini menyatakan betapa Barat (melalui membaca Kartini mengenal Barat) adalah contoh keunggulan saat ini dan juga memiliki kelemahan segabaimana dunia pribumi yang dikenal ‘lemah’ namun sebenarnya juga memilki keunggulan.
Dan dalam buku ini, Pram ingin sekali menunjukan bahwa surat-surat Kartini yang dikenal dalam Door Duisternis tot Licht (DDTL) adalah upaya sistematis kolonial untuk mengebiri jiwa sesungguhnya seorang Kartini, terutama dalam hal patriotik. Surat-surat yang termaktub dalam DDTL itu sudah melalui ‘pemilahan’ oleh J.H Abendanon, disesuaikan dengan kebijakan politik kolonial. Dimana di belahan dunia lain, adanya pejuang perempuan India (jajahan Inggris), Pandita Ramabai, yang dengan simpati internasional kemudian terbentuk Ramabai Foundation di New York dan London untuk mendanai perjuangan untuk perempuan India dalam pendidikan, kesejahteraan dll.
Apalagi, apa yang dilakukan Abendanon dengan menerbitkan ‘hanya’ 105 surat itu tidak bisa dianggap shahih karena kemungkinan adanya ‘popularitas pribadi’ demi karier politiknya (61 surat ditujukan untuk keluarga Abendanon). Padahal, sebelum mengenal Abendanon (dan istrinya saat kunjungan ke Jepara 1900), lebih banyak surat tertuju pada Stella, sahabatnya yang sangat mendukung dengan cita-cita Kartini untuk melanjutkan pendidikan di Belanda, memperjuangkan pendidikan bagi pribumi (tidak hanya perempuan) dan kesejahteraan lebih untuk Hindia Belanda.
Di indonesia sendiri, DDTL diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang, dan pertama diterbitkan 1920 oleh Commissie voor de Volkslectuur (sekarang Balai Pustaka). Dan pada cetakan ketiga (1951), Armijn Pane mengedit surat-surat Kartini karena menurutnya ada beberapa poin pokok surat yang repetitif.
Akhirnya, buku ini menarik untuk dibaca terutama jika ingin mengetahui gambaran Kartini ‘yang lebih utuh’, mungkin berbeda dengan apa yang kita ketahui selama ini, meskipun buku ini sebenarnya tidak lengkap karena dari empat jilid hanya dua jilid yang bisa diselamatkan dan menjadi buku ini. Sedang jilid ketiga dan keempat (diantaranya tentang pernikahan Kartini hingga meninggalnya bersama anak pertama yang dikandungnya), hilang saat peristiwa pemberangusan semua yang ‘berbau’ PKI 1965.
Dan dalam dewasa ini, semangat dan perjuangan Kartini yang dipaparkan buku ini relevan untuk terus dilakukan. Bukan lagi sekedar simbol kebaya pada 21 April setiap tahunnya. Serta buat saya pribadi semakin menyadari, betapa sulitnya mencari Kartini masa kini.
Friday, April 27, 2007
Perempuan!
Mengerikan, mengerikan benar perempuan itu
Mereka tak pernah bisa percaya,
Mereka tak biasa jujur,
Sekalipun pada diri sendiri
Mengerikan, mengerikan sekali perempuan itu
Hati mereka serasa tembok keangkuhan
Yang menghantarkan pintu-pintu kesepian
Jangan pernah percaya pada mereka
Karena pada diri sendiri pun
Mereka ingkar
Jangan pernah dengarkan apa kata mereka
Karena mereka tak punya jiwa
Untuk mendengar denting roman
Dan segenggam rasa harap
Mengerikan, mengerikan benar perempuan itu
-25 Januari 07-
'mengerikan' word, inspired from Gadis Pantai, Pramoedya
---
*Matur nuwun sekali, kepada ubrit atas design header dan mas bandoro atas edit html.. :)
Friday, April 20, 2007
perempuan dalam profesi

Tentang emensipasi, secara prinsip adalah keinginan mengangkat posisi perempuan dalam ranah sosial yang banyak dikuasai laki-laki. Dan karena pengangkatan, selalu ada bagian yang ditinggalkan menjadi kosong atau sedikit tak terisi, yaitu ruang domestik yang sejak dulu diidentikan dengan wilayah perempuan. Namun secara praktis hal tersebut bisa saja dihindari atau setidaknya diminimalisir melalui sebuah dialog.
Hal yang lebih prinsip lagi, emansipasi bukanlah ‘gerakan’ kasihan. Karena perempuan tak perlu dikasihani kemudian diangkat ‘derajat’nya. Emansipasi adalah sikap dan tindakan kesadaran atas potensi dan peran yang secara alamiah bisa dilakukan perempuan. Seperti apa?
Membicaran ide awal kartini untuk menyamakan pendidikan antara laki-perempuan tentu sudah tidak relevan lagi. Perempuan di negeri ini telah bebas mengenyam pendidikan mulai dari tingkat bawah sampai perguruan tinggi. Sehingga arah pembicaraan selanjutnya adalah realisasi dari pendidikan yang didapatkan perempuan dalam kehidupan masyarakat.
Perempuan terpelajar, yang mendapatkan pendidikan (materi, tugas dll) tanpa pembedaan prinsip adalah aset yang berharga. Sekalipun mempunyai keterbatasan dalam keleluasaan bergerak (dibanding laki-laki umumnya), kemampuan perempuan dalam akademik tidaklah perlu diragukan, bahkan sengat banyak pelajar-pelajar berprestasi datang dari perempuan.
Timbul masalah kemudian ketika sang perempuan meninggalkan dunia sekolah. Banyak perempuan-perempuan yang ‘memilih’ untuk tidak ‘berkompetisi’ dalam pekerjaan atau bidang untuk pengoptimalan pengetahuan yang sudah didapatkannya. Padahal, mereka sama-sama merasakan perjuangan untuk mendapatkan sebuah gelar sarjana, misalnya. Namun setelahnya, banyak perempuan yang memilih tidak mengoptimalkan potensinya tersebut dalam wilayah yang lebih luas.
Fenomena tersebut, bisa disebabkan oleh hal-hal berikut: pertama, paradigma yang masih banyak di masyarakat, bahwa perempuan adalah domestik un sich. kedua, sikap ‘pasrah’ perempuan atas ‘idiom kehidupan’ yang diidentikan kepada mereka. dan ketiga, Syndrom perempuan karir yang negatif (meninggalkan rumah tangganya dsb).
Namun yang utama adalah pandangan laki-laki atas perempuan sendiri. Artinya, tidak banyak laki-laki yang berkesadaran untuk menempatkan perempuan sesuai dengan potensi keprofesian yang dimilikinya. Dalihnya bisa macam hal, misalnya bahwa mendidik anak-anak di rumah adalah menyiapkan generasi depan bangsa, pekerjaan besar untuk masyarakat dan akan berbeda prosesnya antara perempuan lulusan SMP atau PT.
Sekali lagi, ini sebuah pilihan memang. Dan kemerdekaan untuk memilih itu tetap ada pada diri perempuan. Tapi secara prinsip, mereka punya potensi yang harus dimanfaatkan untuk kemaslahatan masyarakat. Karena perempuan sudah mendapatkan kesempatan pendidikan tinggi, maka seharusnya bisa kontribusi sesuai dengan potensinya tersebut.
Kembali ke hal prinsip, bahwa perempuan terpelajar punya potensi kompetensi. Secara sosial, kesempatan berpendidikan yang diberikan masyarakat seharusnya dikembalikan lagi. Kita tidak sedang berbicara tentang perempuan karir yang menduduki jabatan strategis korporat dan melalaikan rumah tangganya. Bukan pekerjaan atau jabatan yang utama, tapi optimalisasi bidang kompetensi. Hal yang bisa diartikulasikan dalam pelayanan masyarakat, dunia pendidikan anak, pemberdayaan perempuan, entrepreneur dan banyak bidang lainnya. Dan dalam rumah tangga, sekali lagi secara praktek bisa diselesaikan dalam satu kata: Dialog.
Memberikan kesempatan ‘berkarir’ bagi perempuan juga bukan tindakan tanpa waspada bagi laki-laki. Karena itu artinya ‘merelakan’ bagian-bagian yang seharusnya ‘ladang’ laki-laki kepada perempuan. Negatifnya yang ekstrim, masalah pekerjaan yang bisa menimbulkan pegangguran laki-laki. Padahal secara norma agama, laki-laki yang berkewajiban untuk bernafkah.
Secara lebih luas, perempuan adalah makhluk yang tekun. Prestasi yang dicapai sebagian besar karena ketekunan dan kesabaran, hal yang biasanya jarang ada pada laki-laki. Memberikan kesempatan perempuan untuk berkarir, artinya memberikan celah pada perempuan untuk lebih ‘tinggi’ daripada laki-laki. Dalam kehidupan keluarga atau calon pasangan, bisa terjadi penghasilan perempuan lebih besar daripada laki-laki.
Dua hal diatas, yang secara tidak langsung ada dalam alam bawah sadar laki-laki. Butuh kesadaran, persis dengan yang saya sampaikan diatas bahwa kendala utama ‘optimalisasi kompetensi’ perempuan ada di pihak laki-laki. Padahal, perempuan tidak bisa dipisahkan dari laki-laki. Disinilah, umumnya perempuan menemukan titik lemah. Namun semua manusia punya pilihan, dan perempuan pun bebas untuk memilih.
Selamat Hari Kartini...
Monday, February 19, 2007
dalam diskusi ”Biru Hitam Merah Kesumba”

Sore, sabtu lalu menjelang Ashar di Salman ITB sebuah telepon masuk. Andrea Hirata, teman yang akhir-akhir ini jarang bertemu meminta bertemu di Prefere 72, sebuah kafe di Jl. Juanda Bandung. Setelah sholat, saya pun segera meluncur kesana.
Ternyata, sedang diadakan diskusi kumpulan puisi Biru Hitam Merah Kesumba (BHMK), dengan empat penulisnya yang menyebut diri Perempuan Bukan Penyair. Saya pikir akan ketemuan saja dengan Andrea, ternyata ada sebuah acara. Tak ada salahnya ikut sebentar, mengingat sudah lama tak ikut diskusi seperti ini dan kebetulan dengan tema tentang, perempuan!
Acara diawali dengan pementasan dari teater 11 dengan mengambil kontens puisi-puisi di BHMK. Sekalipun semua pemeran laki-laki, tapi mereka memainkan kontens perasaan wanita. Agak dipaksakan, terutama saat salah satunya benar-benar bersikap (dan berpenampilan) seperti wanita.
Lalu, diskusi pun dimulai. Empat perempuan penulis, Lulu Ratna, Oppie Andaresta, Olin Monteiro dan Vivian Idris (Vivian tidak bisa hadir karena banjir) serta dengan pembedah seorang dosen Unpar dan aktifis perempuan, Valentina Sagala.
Pembedah memulai analisisnya bahwa puisi dan karya sastra perempuan lainya adalah medium perempuan untuk menunjukan eksistensi, dalam hal ini eksistensi politik perempuan. Dalam dunia yang dominan ”laki-laki”, aktivitas penulisan perempuan adalah aktivitas politik perlawanan dari aktivitas biasanya. Hal yang kental ditunjukan dalam kata-kata dalam sebuah puisi Vivian, Hari ini... / Aku ingin membangkang.
Kumpulan puisi ini menggambarkan dunia perempuan dalam sudut yang beragam, ada puisi seorang perempuan sebagai istri bagi suaminya, ibu bagi anaknya, kekasih bagi pacarnya, teman bagi sesama gender, ataupun bagi pribadi perempuan sendiri. Namun, mereka membingkainya dalam pandangan sosok perempuan urban.
Sebagai istri. Kau paku aku sebagai permaisurimu / Di ranjang yang sesak... / Lalu kau pinta restu untuk berbagi, karna tak cukup / Nafsu kauumbar pada satu bini / atas nama lelaki halal kau miliki dua tiga / Dan empat... (Cerita Teman, Oppie)
Sebagai ibu. Mari sini sayangku, Nak / Genggam jariku lalu mimpi / Sampai pagi kita pergi / mengayuh angin menumpang awan (Anak Sayang, Vivian).
Sebagai teman. Des, ceritakan juga gubuk-gubuk tua / Tempat banyak perempuan desa / Dianiaya, dicerca, tak bersuara / Tersiksa batinnya atas nama status istri aku juga / Seorang istri... aku juga/ Seorang istri (Teruskan Menulismu, Olin). Midah temanku terdampar di negeri orang / Midah temanku cari makan sebagai pembantu / Midah temanku pahlawan devisa / Midah temanku badan kecil, bernyali besar / Midah temanku... / Masih saja ada anjing-anjing, yang menjilatimu / yang menggongong parau, yang tak punya malu, / mengerjaimu, menipumu, merampokmu, / memperkosamu, mengarang aturan sialan, / Sesampainya di tanah air (Terminal 3, Oppie)
Sebagai pribadi. Malam ini biru / Aku mencari diriku / yang hilang dalam bibirmu / dan menemukannya / di pojok-pojok gelap kota / ternyata aku masih bisa pulang (Tersesat, Lulu). Jangan kasihani aku / Aku baik-baik saja / Bernapas, bermimpi, beradaptasi / Kita jalan minggu, bulan, tahun / dengan / Kita maknai dengan cara kita / bukan karena aku perempuan, tapi karena aku / manusia... (Karena Aku Manusia, Oppie). Aku menulis / Menyita rasa dan perhatian / agar bebas lepas / dalam sebuah dunia jiwa / sebab / aku adalah sebuah puisi... (Akulah Puisi, Lulu).
Dan hal yang cukup menarik, buku ini pun menyajikan ”kronologis sejarah” aktivitas perjuangan perempuan, semisal aksi perempuan, advokasi dan lain-lainya. Ada satu hal yang sebenarnya ingin saya diskusikan kemarin, bahwa penempatan perempuan dalam kajian apapun (termasuk sastra) seolah-olah menjadikan perempuan ”terlepas” sendiri dari keperempuannya dan sama bebas dari dunia laki. Mungkin akan ada jawaban, dalam dunia penuh kelaki-lakian, sentimen ”anti” wajar adanya untuk menumbuh-kembangkan eksistensi perempuan.
Dan sebagai bukti, sampai saya beranjak pergi lebih awal, pembahasan BHMK belum disinggung tentang negative side dimana bisa jadi, itu tentang mengembalikan perempuan dari rasa bebas-lepas nya.