Tampilkan postingan dengan label sistem sosial. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sistem sosial. Tampilkan semua postingan

Enam Tahun Kematian Munir: Darah Martir adalah Air Kehidupan

Diposting oleh FilsafatKonseling on 11.13.20118.27.20108.25.20108.20.20108.19.2010

I.
Entah karena alasan apa, salah satu guru saya bertanya soal pilihan saya dalam melihat dunia, yang mana pilihan tersebut banyak memengaruhi saya, yang di antaranya, dalam memaknai pola relasi sosial dan menafsirkan agama.

“Sampai kapan kamu akan menjadi orang yang "seperti" ini?”

Saya agak terkejut dengan pertanyaan ini. Apakah dia bertanya untuk sekadar pengin tahu atau menguji. Atau barangkali dia meragukan pilihan saya, menganggap sebagai euforia di masa muda.

“Ya, kurang tahu juga sih, Om,” jawab saya telat. 
“Maksud aku, apakah ide yang kita pegang tersebut harus dijalankan tanpa kompromi, tanpa merhatiin keadaan dan alasan, atau enggak. Kadang kita punya alasan kuat, tapi enggak keadaannya. Nah, kalo maksud pertanyaan, Om, apa aku akan membuang ideku ketika harus kompromi, ya aku bilang enggak. Jadi, ya aku akan tetap megang ideku (jika ide itu masih tepat). Ini kan soal taktik, yang mana taktik itu juga dibangun pada ide itu sendiri. Jadi, kompromi yang ada pun dilakukan dengan sinaran ide itu sendiri,” sambung saya.

“Ok, I see,” timpalnya.

Mungkin pembicaraan saya dengan dia, bisa dikatakan semacam penguat dan pengingat. Mengingat dia juga merupakan seorang yang memiliki pandangan keagamaan, paling tidak dalam konteks Indonesia, merupakan minoritas. Saya juga paham bahwa dia menanyakan hal itu bukan tanpa sebab atau alasan. 

Guru saya itu sekadar guru bagi saya, melainkan juga seorang teman, kakak, dan tentu saja guru spiritual saya. Dari interaksi kami selama ini, dia memang sangat penyayang dengan orang yang dikenalnya. Itu juga kenapa saya lebih nyaman memanggilnya dengan panggilan “Om” ketimbang ustadz.

Pertanyaannya itu membuat saya sejenak untuk tepekur. Sejauh mana bangunan pemikiran saya berperan dalam kehidupan yang dijalani. Akankah saya siap akan segala konsekuensi atas pilihan-pilihan yang diambil dan ditempuh. Mengapa saya tidak membiarkan diri ini larut dalam arus utama. Mengapa saya tetap berpendapat bahwa dunia yang selama ini dipahami banyak orang perlu di(de)rekonstruksi. Pertanyaan-pertanyaan lain berkelebatan di benak saya. Paling tidak, pertanyaan itu semakin mengingatkan saya bahwa akan ada kemungkinan-kemungkinan yang boleh jadi buruk menimpa atas pilihan yang sudah dipilih.

II.
Beberapa hari kemudian, pada waktu malam mulai memasuki masa pekatnya, saya ngobrol-ngobrol dengan salah satu guru saya yang lain di rumahnya. Guru saya yang satu ini, selain salah satu ahli filsafat Islam, merupakan seorang ustadz muda yang cukup menarik pemikirannya. Ada banyak hal yang dibicarakan pada waktu itu. Dan, tentu saja, ada banyak hal yang bisa saya dapatkan dari obrolan tersebut.

Entah bagaimana, kita membicarakan sampai pada soal martir. Makna martir dalam kehidupan ini. Darah martir yang sangat diperlukan dalam hidup. Seakan-akan, atau jangan-jangan memang, martir merupakan salah satu dinamika dari sejarah hidup. Membicarakan martir berarti bicara perjuangan. Perjuangan demi kehidupan yang lebih baik.

Akal saya telah sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada kejadian-kejadian di kehidupan ini keserbabetulan. 

Setiap peristiwa selalu saja ada sasmita atau makna di dalamnya. Boleh jadi, bisa saja Anda mengatakan bahwa saya terlalu memaksakan untuk mencocok-cocokan peristiwa yang ada. Akan tetapi, ketika segala peristiwa itu memberikan efek dalam kesalinghubungannya, maka tentu ada realitas di sana. Setiap efek menandakan realitas.

Perbincangan saya dengan dua guru saya itu menemukan kesalinghubungannya. Bahkan, hal itu menjalin kesalinghubungan dengan hal-hal lain yang sudah saya alami sebelumnya.

III.
Masyarakat sekarang secara umum telah buta, tuli, bisu, dan mati hatinya, dalam melihat kejadian-kejadian yang ada di dalam kehidupan sekarang. Kemiskinan mengemuka di mana-mana. Fenomena kelaparan pun tidak sulit ditemukan. Fenomena penindasan, ketidakadilan, otoritarianistik, mudah ditemukan dalam keseharian kita. Kasih sayang yang hilang, cinta yang hilang, kepedulian sosial yang mulai memudar, nampak akrab dengan keseharian. Tegur sapa manusiawi selalu diselimuti dengan kecurigaan.

Banyak orang berbelanja melampaui kebutuhannya, pada saat sama banyak orang didera kemiskinan dan kelaparan. Banyak pusat perbelanjaan, apartemen, kondomonium dibangun, pada saat sama banyak orang tidak memiliki tempat tinggal, dan tidak sedikit yang kehilangan tanah atau pemukiman karena digusur demi pembangunan hal-hal yang disebutkan sebelumnya. 

Banyak orang mengeluarkan uang untuk membeli makanan yang berharga di luar jangkauan nalar, pada saat sama banyak orang mencuri untuk memenuhi kebutuhan perutnya.

Negara beserta aparatusnya banyak membuat kebijakan-kebijakan yang malah menimbulkan kemudaratan yang hebat, kendati demikian negara tetap dilihat sebagai hal yang tidak bersalah dan tercela. Banyak pejabat negara yang menggunakan uang rakyatnya bukan demi kepentingan rakyat, melainkan dirinya sendiri. Akan tetapi, tetap saja kita selalu mendambakan akan munculnya pejabat negara yang baik hati, tanpa pernah berpikir bahwa apakah sistem negara yang membuat hal itu terjadi. 

Keburukan-keburukan pada kehidupan banyak orang yang diakibatkan oleh penguasa negeri ini, masih tetap tidak membuat kita berpikir bahwa para penguasa itu hadir untuk apakah untuk mepentingan publik atau kekuasaan dan kapital belaka. Alih-alih mengambil alih kontrol hidup ke tangan kita dari penguasa, kita malah membiarkan terus menerus para penguasa mengontrol hidup kita, walaupun para penguasa itu selalu membayar dengan kemudaratan atas sikap kepatuhan kita kepadanya.

Masyarakat kita adalah mayat hidup, untuk tidak mengatakan sudah benar-benar mati. Dunia kita sudah mati. Bumi sebagai tempat kita berpijak seakan-akan mati, hingga tidak menginspirasikan kita untuk menghidupkan hidup kita.

Seorang pernah berkata bahwa darah martir sangat diperlukan bagi kehidupan di dunia ini, ketika masyarakat telah buta, tuli, bisu, dan mati hatinya. Untuk menghidupkannya ialah dengan darah, darah seorang martir. Darah seorang martir yang membasahi bumi akan memberikan kehidupan dan menginspirasikan kehidupan.

Mendadak saya teringat kasus Munir. Pascakematian Munir, banyak berbagai kalangan yang mulai mencoba memeriksa kembali penglihatannya, pendengarannya, dan angkat suara serta menengok hatinya. Munir mati akibat tindakannya selama ini dalam melihat dunia yang dijalankannya. Akan tetapi kematian Munir memberikan nafas kehidupan untuk banyak orang. Kematian Munir menghidupkan banyak Munir yang lain. Mungkin inilah yang dimaksud dengan “Gugur satu tumbuh seribu”. 

Tentu saja tidak hanya Munir yang kematiannya memberikan kehidupan dan inspirasi untuk menghidupkan kehidupan. Di dunia ini kita tahu bahwa banyak orang yang melawan tirani yang sudah mati dan menemui kematian akibat perlawanannya, akan tetapi kehadirannya selalu saja tetap dirasakan. Bahkan, dalam Kitab Suci disebutkan bahwa tidak selamanya “Kekasih Tuhan” yang mati itu dikira benar-benar mati di dunia ini. 

Kematian tidak selamanya adalah kematian itu sendiri.







Catatan:
  1. Tulisan ini merupakan tulisan yang sudah saya buat beberapa tahun silam, yang boleh jadi sudah tidak mencerminkan keadaan saya sekarang. Sekadar berbagi catatan dan dokumentasi hidup.
  2. Saya terpikir untuk menaruh tulisan ini lantaran sesuai dengan semangat para pejuang yang gugur membela ketidakadilan. Dan kita akan menyambut kemerdekaan Indonesia sebentar lagi. Saya juga juga ingat nasib orang banyak yang berjuang untuk lepas dari penjajahan. Jadi, selamat merenungkan makna kemerdekaan, yah :-)
  3. jangan lupa baca bagian pertama cerita ini di sini yah.
Baca selengkapnyaEnam Tahun Kematian Munir: Darah Martir adalah Air Kehidupan

P untuk Peradaban | Glosari

Diposting oleh FilsafatKonseling on 11.13.20118.27.20108.25.20108.20.20108.19.2010

Peradaban adalah sejarah pendominasian dan penundukkan atas alam dan perempuan. Peradaban adalah suatu demarkasi nilai berdasarkan olahan material dan pembagian kerja. Nilai tersebut yang mengotakkan manusia ke dalam kotak kemajuan dan kotak keterbelakangan. Peradaban merupakan satu alat pemenggal cara pandang organistik lantaran menempatkan sebagian manusia sebagai pusat segala hal (solipsistik). Peradaban melanggengkan nilai kuasa yang ditawarkannya dengan cara mendomestifikasi sedemikian rupa; alam, manusia, terutama perempuan, dan hewan merupakan objek domestifikasi. Peradabanlah yang menjadikan manusia sebagai satu-satunya spesies yang mendomestifikasi sesama spesiesnya.

Dalam perkembangan mutakhirnya, peradaban tertentu bisa digunakan sebagai pendulangan sikap heroik atas masalalu yang dihadirkan sedemikian rupa untuk melampaui peradaban lain. Dengan demikian, peradaban merupakan relasi sosial sekaligus kekuasaan. Peradabanlah yang membuat masyarkat adat menjadi tidak luhur lantaran dari kacamata peradaban masyakarat adat merupakan kelompok tertinggal. Peradaban juga yang membuat manusia rela bekerja bukan untuk dirinya sendiri, melainkan orang lain. Peradaban juga yang menumbuhkan rasa permusuhan atau rasa kelainan terhadap alam dalam diri manusia
Baca selengkapnyaP untuk Peradaban | Glosari

K untuk Kerja | Glosari

Diposting oleh FilsafatKonseling on 11.13.20118.27.20108.25.20108.20.20108.19.2010


Pada masa sekarang, kerja menjadi tolok ukur kemanusiaan Anda. Seorang insinyur akan menjadi hina jika bekerja sebagai pemulung. Dalam masyarakat urban modern kerja bukan dilihat sebagai aktualisasi diri, melainkan representasi kualifikasi kemanusiaan. Jika Anda seorang pengangguran, meski Anda itu kaya sekalipun, Anda akan dianggap tidak berguna dan benalu. Kerja modern juga merupakan jenjang kemanusiaan. Pada jenjang itulah berjajar kualifikasi manusia terendah hingga terluhur berdasarkan pekerjaan.
Baca selengkapnyaK untuk Kerja | Glosari

K untuk Kapitalisme | Glosari

Diposting oleh FilsafatKonseling on 11.13.20118.27.20108.25.20108.20.20108.19.2010

Kapitalisme adalah Anda menernakkan domba saya, lalu Anda memerah susunya, kemudian saya memberikan sedikit hasil perahan susu yang Anda lakukan itu dengan prasyarat Anda harus membeli dombanya terlebih dahulu.
Baca selengkapnyaK untuk Kapitalisme | Glosari

K untuk Keren | Glosari

Diposting oleh FilsafatKonseling on 11.13.20118.27.20108.25.20108.20.20108.19.2010

Baca selengkapnyaK untuk Keren | Glosari

B untuk Bank | Glosari

Diposting oleh FilsafatKonseling on 11.13.20118.27.20108.25.20108.20.20108.19.2010

Bank, sebagai salah satu kerja sistem akumulasi dan ekspansi kapital, berfungsi sebagai salah satu—selain negara dan citra—penyangga sistem kapitalistik untuk berjalan dengan baik. Bank menyebarkan kapital nasabahnya kepada publik, tepatnya segelintir orang. Bank mendapatkan kapital dari nasabahnya kemudian meminjamkannya kepada segelintir orang yang dapat mengakumulasi dan mengekspansi kapital. Bank tidak meminjamkan kapital kepada orang dan institusi yang tidak memiliki logika kapital seperti itu. Setiap peminjam harus menciptakan relasi sosial berdasarkan akumulasi dan ekspansi kapital. Nilai jejaring ikatan sosial di luar logika tersebut harus dinafikan: kejujuran, kepedulian, kepercayaan, misalnya. Bank tidak melihat nilai-nilai tersebut sebagai suatu hal yang eksis. Bank meminjamkan kapital kepada orang yang memiliki agunan yang memadai sekaligus mampu menjalankan logika kapital tersebut. Oleh karena itu, bank tidak pernah melihat tujuan peminjam selain dari logika tersebut. Tujuan eksploitasi dan penaklukkan serta penggeseran nilai ikatan sosial berdasarkan nilai-nilai kemanusian dan ekologis serta spiritual ke ikatan sosial berdasarkan kapital—kesemuanya adalah salahsebagian karakter kapitalistik—adalah permainan yang harus dirayakan dalam perputaran kapital.

Kepemilikan agunan untuk dimungkinkan meminjam kapital kepada bank pada dasarnya bukanlah alasan utama. Alasan utama adalah logika kapital yang sudah disinggung di atas. Tanpa itu, Anda akan gagal dalam mengakumulasi kapital. Dan itu artinya Anda bangkrut. Bank menarik agunan Anda yang nilainya melampaui jumlah pinjaman. Penarikan agunan tersebut adalah salah cara untuk mengakumulasikan dan mengekspansikan kapital. Kapital bukanlah uang melulu. Kapital adalah suatu proses penciptaan relasi sosial dan ikatan sosial berdasarkan kebutuhan dan kepemilikan barang dan citra sekaligus. Jadi, selama hal itu dapat melapangkan tujuan kapital, maka siapa pun berhak terlibat: kompetisi. Akan tetapi, kompetisi tersebut tidak bebas seperti namanya, melainkan Anda harus memiliki kapital memadai sebelumnya untuk turun di percaturan tersebut. 

Dengan demikian, jika bank syariah tetap bersandar pada logika tersebut, ia tetap memiliki efek perusak nilai sosial dan ikatan sosial. Yang beda dari bank syariah dan bank konvensional pada akhirnya hanya terletak pada penamaan yang tidak signifikan.
Baca selengkapnyaB untuk Bank | Glosari

C untuk Coolness | Glosari

Diposting oleh FilsafatKonseling on 11.13.20118.27.20108.25.20108.20.20108.19.2010

Coolness dimaksud adalah suatu hal spectacle belaka dalam pengertian Guy Debord (rujuk Society of the Spectacle). Spectacle adalah suatu relasi yang dimediasi oleh citra atau pencitraan. Dengan demikian, dalam spectacle yang terjadi hanyalah suatu peristiwa tontonan belaka yang merayakan kepasifan dan pertunjukkan pseudo-realitas. Sebagai ilustrasi, “[ke]hijau[an]” (green[ness]), secara spectacle, hanya sekadar pencitraan semu mengenai kepedulian lingkungan. Pada kenyataannya, perayaan hijau tersebut adalah demi pengintegrasian ke dalam akumulasi dan ekspansi kapital dan konsumsi citra.

Mendadak dunia industri dan korporasi mengeluarkan slogan “hijau” demi perengkuhan konsumsi massa yang bermuara pada kepasifan dan pencitraan belaka. Hal tersebut bisa dilihat dari, hampir bisa dipastikan, sebagian besar pelaku dan industri serta korporat yang merayakan gerakan hijau adalah perusak lingkungan signifikan; Freeport, Exxon-Mobile, Caltex, Medco, McDonald, misalnya. Lebih lanjut, kemudian, kesadaran mengenai lingkungan tersebut diarahkan pada pengonsumsian produk material, yang mana hal tersebut jauh dari sumber permasalahan krisis ekologis tersebut. 

Akan tetapi, hal itulah yang disematkan tanda sebagai hijau. Di luar itu, bukanlah hijau. Dan, pada akhirnya bukanlah suatu hal mainstream. Sesuatu yang tidak mainstream tidak mencitrakan coolness (kekerenan). Pertemuan Internasional mengenai lingkungan di Bali beberapa tahun lalu merupakan contoh bagus dari spectacle. Di mana pihak industri dan korporasi menjadi sponsor kegiatan. Akan tetapi, tidak ada yang mengkritik mereka secara frontal; tidak ada penekanan—pun sekadar asumsi—bahwa nalar industrialisasi dan korporasi sebagai terjemahan kapitalisme adalah pelaku krisis ekologis terbesar.

Dengan demikian, “coolness” adalah citra atas realitas dan bukan realitas itu sendiri. Coolness juga suatu relasi sosial dan ikatan sosial berdasarkan citra. Anda tidak akan menjadi keren jika tidak mengonsumsi sesuatu atau menyantirkan citra sesuatu.
Baca selengkapnyaC untuk Coolness | Glosari
 

YANG MENGIKUT

Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 Unported License.

Hasil Bertukar Banner