Tampilkan postingan dengan label Spiritualitas. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Spiritualitas. Tampilkan semua postingan

Tasawuf | Puisi Ibn ‘Arabī | The Theophany of Perfection

Diposting oleh FilsafatKonseling on 8.15.20108.11.20108.08.20108.05.2010

Islam banyak menghasilkan guru tasawuf terkemuka, salah satunya adalah Ibn ‘Arabī. Beliau dikenal lantaran gagasanya yang kelak disebut para muridnya sebagai wahdat al-wujūdIbn ‘Arabī, selain menulis uraian pemikirannya melalui risalah dan kitab, beliau juga turut menuangkannya melalui puisi. Salah satu puisi indahnya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, berjudul The Theophany of Perfection. Buat seseorang yang merasa bahwa sudah berputus asa dalam menggapai Rahmat Tuhan, saya sarankan membaca puisi ini; buat orang yang sudah merasa saleh, juga saya sarankan membaca puisi, barangkali ada manfaat yang bisa dipetik. O, iya, selain teks puisinya akan saya lampirkan di bawah, ada juga video-musik atas puisi ini. Silakan disimak di sini videonya. O, iya, buat yang pengin membaca salah satu kitab yang berjudul Syajarat al-Kawn dalam bahasa Indonesia atau Arab silakan lihat tulisan sebelumnya dalam blog ini yang berjudul Tasawuf | Ibn ‘Arabī | Download Buku Syajarat al-Kawn (Arab dan Indonesia).


The Theophany of Perfection

Listen, O dearly beloved!
I am the reality of the world, the centre of the circumference,
I am the parts and the whole.
I am the will established between Heaven and Earth,
I have created perception in you only in order to be the object of My Perception.
If then you perceive Me, you perceive yourself.
But you cannot perceive Me through yourself.
It is through My Eyes that you see Me and see yourself,
Through your eyes you cannot see Me.

Dearly beloved!
I have called you so often and you have not heard Me.
I have shown Myself to you so often and you have not seen Me.
I have made Myself fragrance so often, and you have not smelled Me,
Savorous food, and you have not tasted Me.
Why can you not reach Me through the object you touch
Or breathe Me through sweet perfumes?
Why do you not see Me?  Why do you not hear Me?
Why? Why? Why?

For you My delights surpass all other delights,
And the pleasure I procure you surpasses all other pleasures.
For you I am preferable to all other good things,
I am Beauty, I am Grace.
Love Me, love Me alone.
Love yourself in Me, in Me alone.
Attach yourself to Me,
No one is more inward than I.
Others love you for their own sakes,
I love you for yourself.
And you, you flee from Me.

Dearly beloved!
You cannot treat Me fairly,
For if you approach Me, 
It is because I have approached you.
I am nearer to you than yourself,
Than your soul, than your breath.
Who among creatures
Would treat you as I do?
I am jealous of you, over you,
I want you to belong to no other,
Not even to yourself.
Be Mine, be for Me as you are in Me,
Though you are not even aware of it.

Dearly beloved!
Let us go toward Union.
And if we find the road
That leads to separation,
We will destroy separation.
Let us go hand in hand.
Let us enter the presence of Truth.
Let It be our judge
And imprint Its seal upon our union
For ever.

Bagaimana menurut Anda? Indahkah puisi tersebut? Ayo, mari berbagi pengalaman Anda ketika membaca puisi tersebut di blog ini.
Baca selengkapnyaTasawuf | Puisi Ibn ‘Arabī | The Theophany of Perfection

Tasawuf | Ibn ‘Arabī | Download Buku Syajarat al-Kawn (Arab dan Indonesia)

Diposting oleh FilsafatKonseling on 8.15.20108.11.20108.08.20108.05.2010

Tasawuf dalam Islam merupakan jantung spiritual agama. Untuk mengetahui keindahan agama, maka lihatlah tradisi esoterik atau spiritualitasnya. Begitu pun dengan Islam, tengoklah tasawuf untuk mencecap keindahannya.

Salah satu tokoh dan guru spiritual Islam terbesar adalah Ibn ‘Arabī. Lantaran keagungan tingkat spiritualitasnya, dia disematkan gelar Syaikh al-Akbar (Mahaguru) dan Muhyiddīn (Yang Menghidupkan Agama). Ibn ‘Arabī dilahirkan pada 28 Juli 1165 di Andalusia, Spanyol, dan meninggal di Damaskus pada 1240. Ibn ‘Arabī merupakan Sufi yang kesohor atas kebesarannya sekaligus kontroversinya. Ada dua tema besar dari visioner sufistiknya yang sampai sekarang menjadi penelitian dan perdebatan, yaitu Wahdat al-Wujūd (Kesatuan Wujud) dan Wahdat al-Adyan (Kesatuan Agama-Agama). Untuk masa sekarang, ada satu lembaga penelitian berskala internasional yang khusus mencurahkan penelitian soal Ibn ‘Arabi, yaitu The Muhyiddin Ibn ‘Arabi Society

Betapapun, untuk mengetahu lebih detail soal biografi Ibn ‘Arabī Anda bisa melihat di laman Penerbit Anqa dan The Muhyiddin Ibn ‘Arabi Society atau Stanford Encyclopedia of Philosophy entri Ibn ‘Arabī, pada tulisan ini kali saya sekadar berbagi salah tulisan Syaikh al-Akbar, yaitu Syajarat al-Kawn, saya unggahkan dalam dua bahasa, Arab dan Indonesia (Diterjemahkan oleh Deddy Djuniardi).

Syajarat al-Kawn? Apakah isinya? Langsung saja download atau unduh, yah.

Syajarat al-Kawn | Indonesia (doc.pdf)
Syajarat al-Kawn | Arab (doc.pdf)

Catatan:
Jangan lupa, alasan saya mendistribusikan kedua buku itu adalah soal penyebaran ilmu pengetahuan. Jadi, mohon jika Anda ikut mendistribusikan kedua buku ini tidak untuk tujuan komersial.
Baca selengkapnyaTasawuf | Ibn ‘Arabī | Download Buku Syajarat al-Kawn (Arab dan Indonesia)

Puasa adalah Pembunuhan

Diposting oleh FilsafatKonseling on 8.15.20108.11.20108.08.20108.05.2010



Gambar dari sini.


Menurut tradisi esoterik manusia memiliki tiga dimensi: jasmani (body), jiwa (mind), dan ruh (soul). Trinitas ini merupakan esensi manusia yang di dalam tradisi disebut-sebut sebagai cerminan Tuhan. Manusia diciptakan menurut atau dalam bentuk Tuhan, demikian riwayat. Sesuai dengan tiga dimensi tersebut, maka segala ritual keagamaan memiliki dimensi trinitas pula. Misalnya, puasa.

Puasa pada hakikatnya merupakan pengosongan. Dengan merujuk esensi puasa ini, maka puasa secara jasmaniah merupakan upaya reintegrasi atas kejatuhan dimensi transendennya ke dimensi jasmaniah. Lapar adalah simbol akan kedambaan untuk kembali.

Secara jiwa puasa mengarahkan rasionalitas menuju tataran transendental. Ini juga upaya reintegrasi. Rasionalitas pada sifatnya adalah parsial dan terbatas. Untuk melampaui keterbatasan dan reintegrasi ia harus tergantung pada intelek (ruh). Pengosoangan jiwa berarti mengosongkan segala sesuatu kecuali Yang Absolut.

Secara ruhaniah adalah mengosongkan diri dari ego dan mengarahkan intelek kepada Yang Absolut. Seperti kata Meister Eckhart agar Tuhan dapat masuk manusia harus keluar.

Dengan demikian, puasa adalah semacam kematian, tidak hanya sekadar mengatur hawa nafsu yang muncul secara fluktuatif dalam diri manusia.

Kematian di sini adalah kekosongan. Seperti dalam maksim tradisi esoterik Nasrani, Tuhan menjadi manusia agar manusia menjadi Tuhan. Manusia harus mati agar Tuhan masuk dan manusia menjadi Tuhan atau Insan Kamil dalam bahasa Ibn 'Arabi atau The Noblest Man menurut Meister Eckhart.

Dikatakan dalam ortodoksi Islam bahwa hanya Ibadah puasa yang langsung diganjar oleh Tuhan. Ini artinya, menurut Ibn 'Arabi, ganjaran puasa bukanlah pahala atau kebaikan, melainkan Tuhan itu sendiri yang menjadi ganjarannya.

Menurut hadits yang populer di lingkaran sufi Tuhan berkata bahwa:

"barang siapa yang mencariku
maka dia akan menemukanku
barang siapa yang menemukanku
maka dia akan mengenalku
barang siapa yang mengenalku
maka akan mencintaiku
barang siapa yang mencintaiku
maka aku pun mencintainya
barang siapa yang Aku cintai
maka Aku akan membunuhnya
barang siapa yang Aku bunuh
maka Diriku yang menjadi ganjarannya"

Dengan demikian, puncak pencapaian spiritualitas dari puasa adalah ketika seorang hamba terbunuh oleh Tuhannya dan mendapatkan ganjaran Diri Tuhan sebagai denda hukuman pembunuhan diri seorang hamba itu. Ketika seorang hamba mendapatkan ganjaran Diri Tuhan, maka tidak ada apa-apa selain Diri Tuhan itu sendiri.
Baca selengkapnyaPuasa adalah Pembunuhan

Puasa dan Kekosongan Diri

Diposting oleh FilsafatKonseling on 8.15.20108.11.20108.08.20108.05.2010

Gambar dari sini.
Puasa adalah kekosongan. Salah satu simbol kekosongan itu bisa dilihat dari tidak boleh makan dan minum. Dalam berbagai tradisi, makanan itu memiliki banyak makna simbolik. Misalnya, daging itu simbolik kualitas jiwa hewani seperti reproduksi. Tidak heran, jika ada tradisi yang memiliki ajaran selibat pasti memiliki ajaran tidak makan daging. Nah, makna simbolik dari setiap tradisi berbeda, bergantung pada penekanan filsafat manusianya.

Puasa secara historis bukan milik agama Islam saja, nyaris setiap tradisi agama memiliki ajaran puasa. Perbedaan terletak pada rentang waktu dan batasan makanan serta sikap normatif. Betapapun, semuanya tetap menyiratkan makna kekosongan.

Soal kosong itu sendiri, pada dasarnya sesuatu yang sangat purba dalam ajaran agama. Itu bisaa kita lihat pada soal wahyu. Dalam tradisi kenabian, sebagai contoh saja, bisa kita lihat gelar yang diberikan atau proses penerimaan wahyu itu sendiri atau pengangkatan nabi. Dalam Islam, Nabi Muhammad disebut sebagai ummi. Penafsiran umum kaum Muslim mengatakan bahwa makna ummi itu tidak bisa membaca dan menulis. Tetapi, itu salah satu penafsiran saja. Jika kita tengok dalam tradisi tasawuf, para sufi mengartikan bahwa ummi itu adalah kekosongan diri Nabi Muhammad dari egonya, sehingga wahyu pun mampu masuk ke dalam dirinya. Dengan kata lain, ummi adalah wadah kosong, wadah yang bisa diisi, dalam hal ini oleh wahyu. Jika kita tengok tradisi Kristiani, makna perawan dalam diri Bunda Maria bisa dibaca dengan cara seperti itu. Jika Muhammad menerima wahyu yang kita kenal sebagai al-Qur'an, maka Bunda Maria menerima wahyu berupa Yesus, dengan kata lain Yesus itu adalah Logos. 

Orang berpuasa sama saja sedang mengosongkan diri. Hawa nafsu dalam konteks ini dipersonifikasikan dengan makan dan minum. Tidak heran jika Nabi Muhammad pernah mengatakan bahwa banyak orang yang berpuasa, tetapi hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja. Jika makan dan minum bukan suatu hal simbolik, tidak mungkin Nabi Muhammad berkata seperti itu lantaran secara fiqh umum orang yang berpuasa meski dia bergunjing pusanya tetap sah. Tetapi, nyatanya puasa lebih dari itu.

Tidak heran, jika tidurnya orang berpusa itu dianggap bernilai kebaikan lantaran itu juga suatu simbol. Orang tidur tentu kosong dari hawa nafsu, dalam arti dia tidak melakukan perbuatan buruk atau memikirkan perbuatan buruk.

Buat kita, yang sekarang menjadi pekerja, yang hidup dipenuhi dengan rutininas kerja demi memenuhi kebutuhan dasar, puasa menjadi suatu hal berharga, seperti air dingin buat peziarah gurun pasir gersang. Dengan puasa, yang sebelumnya kita lepas dari mengontrol diri dalam mencari nafkah, dengan berpuasa kita bisa mengontrol diri, tidak tergesa-gesa, mengusahakan waktu untuk bertafakur di sela-sela waktu kerja.

Sama halnya dengan tidur, yang dibutuhkan manusia untuk mengistirahatkan dirinya secara fisiologis, yang ujung-ujungnya memiliki dampak kesehatan tidak sekadar jasadi saja, barangkali puasa bisa kita maknai seperti itu jika memang itu lebih mudah buat kita internalisasikan maknanya ke dalam diri kita. Puasa adalah istirahat jiwa. Puasa adalah upaya mengosongkan ego kita. Seperti Nabi Muhammad yang bertafakur ke Gua Hira untuk mengosongkan diri, menyambut wahyu datang, peristiwa puasa juga bisa kita jadikan kesempatan buat jiwa kita untuk mengenal lebih hakikat dirinya.

Akhirul kalam, saya mau mengutip perkataan salah satu Guru Mistik, yaitu Meister Eckhart, "agar Tuhan dapat masuk ke dalam diri kita, kita [ego] harus keluar". Semoga, melalui puasa ini, diri kita bisa mengenal Diri-Nya dan diri kita menjadi lebih baik.

Selamat berpuasa! 
Selamat kosong!

Baca selengkapnyaPuasa dan Kekosongan Diri

Hiper-Ramadhan (3)

Diposting oleh FilsafatKonseling on 8.15.20108.11.20108.08.20108.05.2010



Selamat Datang Bulan Kebohongan

Selamat Datang Bulan Kemunafikan
Selamat Datang Bulan Kekerasan
Selamat Datang Bulan Konsumtif
Selamat Datang Ramadhan

Semenjak segala suatu dilihat memunyai nilai guna dan nilai tukar, manusia berupaya sedemikian untuk menjadikan segala sesuatu sebagai komoditas. Mulai dari hal yang merupakan hal krusial dalam hidup, air sebut saja, hingga hal yang khas dari kita, hasrat dan daya kreasi kita, harus kita dapatkan dengan mengonsumsi, yang artinya kita harus mengeluarkan uang, sebagai alat tukarnya. Begitulah, hingga kita merasa terkesima dan tak mengerti, mengapa ada manusia yang mati karena kelaparan, buruknya air minum, tak mampu berobat, dll., di tengah masyarakat secara global maupun lokal hidup dengan pola konsumtif tingkat tinggi.

Kapitalisme, sebuah paradigma ekonomi dunia modern, tidak hanya memasuki wilayah publik saja dalam mengakumulasikan kapitalnya, melainkan juga wilayah publik. Mengarahkan segala hasrat Anda untuk dimanifestasikan kepada hal penting menurut logika kapital. Tidak cukup, kapitalisme pun menelikung agama. Sebut saja seperti sekarang ini, Ramadhan.

Paling tidak, dua minggu sebelum Ramadhan tiba-tiba, kapitalisme mulai meruyak ke dalam ranah publik dan privat pada Ramadhan. Mulailah ranah publik, katakanlah seperti taman kota, jalanraya utama, terminal, halte, dll., dipenuhi dengan aneka media iklan untuk menyongsong Ramadhan. Tidak soal ketika kaum Muslim gembira menyambut kedatangan Ramadhan. Masalahnya menjadi lain, ketika menyambut kedatangan Ramadhan ditujukan untuk mengakumulasikan kapital sebanyak-banyaknya, seperti yang ditawarkan oleh iklan-iklan tersebut. Seperti, jangan lupa untuk berbuka pada tempat ini, tempat itu; berbukalah dengan makanan ini, makanan itu; dll.

Mendadak pusat-pusat perbelanjaan merubah tataruangnya dipenuhi dengan semangat Ramadhan, atau mendadak membuka gerai-gerai kagetan khusus menyambut datangnya Ramadhan. Jamak pusat penjualan makanan cepat saji, menawarkan menu baru spesial Ramadhan. Tidak mau ketinggalan, dunia pertelevisian pun. Muncullah berlusinan sinetron yang diklaim sebagai bernafas religi untuk memberikan makna tambahan dalam menjalankan puasa orang banyak. Mendadak para aktor/aktris, khususnya aktris, yang sebelumnya abai akan penampilan berpakaian, kini menjadi lebih tertutup, katakanlah kalau mau lebih islami. Setelah puasa berlalu, kembali pola pakaian tersebut ditanggalkan. Hanya demi tuntutan peran, katanya. Atau menjaga citra di tengah masyarakat, sambungnya. Masih banyak daftar yang bisa ditambahkan betapa ekstensifnya kapitalisme meruyak ke mana-mana dalam ranah keagamaan. Betapa meningkatnya daya konsumtif, kebohongan diri, kemunafikan masyarakat Muslim ketika menjalankan puasa.

Semoga kita dapat berpuasa full dan belanja full.
Baca selengkapnyaHiper-Ramadhan (3)

Hiper-Ramadhan (2)

Diposting oleh FilsafatKonseling on 8.15.20108.11.20108.08.20108.05.2010

Marhaban Ya Syahr Ramadhan
Selamat Datang Syahr Ramadhan
Marhaban Ya Ramadhan
Selamat Datang Bulan Konsumtif

Era kontemporer atau kekinian ialah era komodifikasi segala sesuatu. Kehidupan kontemporer dicirikan kegandrungan pada budaya populer, budaya komoditas, dan budaya konsumerisme dalam keseharian masyarakat kebanyakan. Ketika hal-hal tersebut mulai memengaruhi pola keberagamaan, maka keberagamaan menjadi suatu jagad komoditas, citra, dan konsumerisme. Ibadah puasa kaum Muslim, yang jatuh pada syahr Ramadhan, pun tak luput dari hal-hal tersebut. Syahr Ramadhan menjadi terperangkap pada suatu ruang komoditas, citra, dan konsumerisme.

Puasa syahr ramadhan, seperti hal ibadah lainnya, memunyai akar tunjang pada pribadi Nabi Muhammad saaw. Yang artinya, puasa memunyai rujukan atau referensi dalam pelaksanaannya. Puasa yang diamanatkan Tuhan, melalui Rasul-Nya, kepada manusia ialah bertujuan untuk membina manusia mencapai tingkat eksistensi murninya atau untuk menghindarkan nafsu duniawi yang menyebabkan terhapuskan nafsu ruhaniahnya. Puasa adalah menahan--seperti arti asalnya yakni menahan atau diam, yang berakar kata dari shad-ya-mim (shiyam)--diri dari segala hal yang membuat manusia mengalami ketidakseimbangan pada dirinya. Puasa ialah menahan diri dari segala hal yang dapat merusak kadar kemanusiaan manusia. Puasa adalah diam[1] terhadap segala perbuatan tercela.

Hal yang sering luput dari pemahaman kaum Muslim kebanyakan ialah, bahwa segala ibadah, baik itu mahdhah dan muamalah, mengandung pesan atau nilai moral untuk direngkuh oleh manusia agar mencapai tingkat paripurna dalam akhlak. Dengan demikian, puasa ialah suatu upaya penggemblengan-diri (riyadhah) manusia. Puasa, dengan melakukannya, diharapkan kaum Muslim mampu merasakan kegetiran dan kepahitan ketika rasa lapar dan dahaga hadir dalam dirinya. Puasa adalah mengingat, bahwa ada di luar sana manusia yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, yakni makan dan minum. Puasa juga memerhatikan persoalan kemiskinan. Puasa adalah suatu modus penyentilan eksistensi akan ketamakan dan kekikiran manusia. Puasa ialah latihan merasakan penderitaan orang lain. Dengan kemampuan merasakan penderitaan orang lain, manusia diharapkan mampu memberi dan berbagi kepada sesamanya. Puasa juga modus eksistensi egalitarian. Rasa lapar dan dahaga yang selama ini hanya dirasakan oleh banyak orang miskin, juga dirasakan oleh banyak orang yang tidak pernah mengalaminya samasekali.

Pada era kekinian, ketika syahr Ramadhan masuk ke dalam ruang komoditas, citra, dan konsumerisme, maka ramadhan kehilangan akar tunjang, referensi, dan maknanya. Syahr Ramadhan kontemporer selalu dirayakan gegap gempita pada wilayah permukaan, penampakan, dan tanda-tanda. Sibuk dan ramai-ramai ruang-ruang dimodifikasi sedemikian untuk mencitrakan Ramadhan, seperti ketupat, bedug, atmosfir padang pasir, Timur Tengah, mediterania, dll. Pusat-pusat perbelanjaan mendadak menyulap ruangannya atau mendekorasi dengan citra Ramadhan. Reklame-reklame komoditi, yang sebelumnya tidak terpaut dengan semangat Ramadhan, mendadak menciptakan permainan dan rangkaian tanda dan citra Ramadhan.

Puasa kontemporer ialah berbuka dengan menu ini-itu (fastfood, dll.), berbuka pada tempat ini-itu (cafe, hotel, dll.), berbuka bersama dengan pihak atau orang ini-itu (selebritas, radio, televisi, ustadz selebritas[2], dll.), mengenakan pakaian ini-itu (sarung, baju koko, kupiah, jilbab, kerudung, dll.). Puasa kekinian ialah bagaimana merayakannya dengan membeli sesuatu dan bermain citra di dalamnya. Puasa yang telah kehilangan makna dasarnya.

Berbuka dengan suatu menu yang ditawarkan oleh restoran fastfood, misalnya, tidak hanya sekadar berbuka atau makan, melainkan mengandung citra yang hendak ditampilkan. Seperti, menciptakan cita-rasa atau selera atas tanda dan/ dari citra tertentu, misalnya. Berbuka pada suatu tempat yang ditawarkan, katakanlah hotel atau cafe, tidak hanya sekadar berbuka atau makan, melainkan soal status atau citra kelas yang hendak dicitrakan. Begitupun soal permainan citra, yang sebelumnya absen, mendadak hadir pada ruang publik. Sebuah rangkaian tanda dan citra yang memproduksi makna-makna baru puasa yang tidak memunyai referensi dasar, namun dianggap sebagai realitas. Padahal sejatinya ia merupakan sebuah realitas artifisial. Sebuah rangkaian tanda dan citra yang akan menghilang kembali ketika syahr Ramadhan berlalu.

Dalam masyarakat konsumer atau "masyarakat tontonan" (society of spectacle), puasa menjadi sebuah ajang reproduksi makna yang dinisbahkan pada hal lain atau di luar puasa itu sendiri. Pada akhirnya, puasa dikembangbiakkan di dalam jagad komoditas yang menciptakan suatu gaya hidup konsumtif. Sebuah gaya hidup yang memunyai rujukan aksiologis logika konsumtif. Kendati demikian, aksiologis tersebut dianggap sebagai bagian dari ritual puasa.

Puasa terjebak pada perangkap budaya massa dan budaya populer, yang didalamnya berbagai bentuk artifisialitas tanda dan citra. Berbagai bentuk kemasan citra dan tanda serta gaya hidup, seperti menu buka puasa, berbuka pada tempat-tempat komoditas tertentu, pakaian bersimbol kesalehan, fashion show, parcel, paket hiburan Ramadhan, acara kuis sambil menunggu berbuka, berbuka bersama selebritas, baik itu dari kalangan artis dan ustadz, dianggap sebagai bagian ritual puasa hakiki.

Fenomena syahr Ramadhan dan puasa kekinian, telah kehilangan jejak jejak-jejak makna yang disuritauladankan oleh Nabi dan dalil-dalil yang teperici. Hal tersebut, membuat syahr Ramadhan dan puasa menjadi berkembang sebagai hiperrealitas, hiperrealitas Ramadhan. Adalah realitas Ramadhan yang telah melampaui hakikat puasa itu sendiri. Maka Ramadhan adalah suatu perkembangan dan penciptaan berbagai bentuk realitas-realitas ritual artifisial. Yang mana sifat artifisialitas tersebut membawa pelbagai bentuk budaya materi yang sangat bertolak belakang dengan hakikat puasa itu sendiri, puasa yang sebagai sebuah ruang penggemblengan-diri dan pembersihan diri dari kekotoran nafsu duniawi yang menafikan nafsu ruhaniah.

Hiperrealitas adalah reliatas artifisial, yang tidak lagi berkaitan dengan realitas asasi, referensi dasar, sifat dasar, atau prinsip alamiahnya. Ia adalah realitas yang telah terdistorsi dari awal, yang menjadi model atau rujukannya. Hiperrealitas menciptakan sebuah kondisi, yang didalamnya citra dianggap sebagai kebenaran. Mematikan kemampuan sikap kritis dan reflektif untuk membedakan antara kebenaran dan kepalsuan, antara citra dan realitas. Hiperrealitas adalah penciptaan model-model kenyataan yang menafikan asal-usul dasar atau referensi realitas.

Ramadhan tidak lagi mengacu pada realitas dasar, melainkan realitas artifisial. Pelbagai kegiatan Ramadhan artifisial digalakan sedemikian, sehingga menjadi suatu realitas yang dianggap hakiki. Padahal sejatinya, ia adalah realitas artifisial. Realitas dasar menjadi realitas artifisial, sedangkan realitas artifisial menjadi realitas dasar.

Dekonstruksi Ramadhan Kontemporer
Hilangnya akar tunjang, pada kegiatan ibadah puasa, menjadikan puasa sebagai hiperrealitas. Puasa artifisial yang melampaui puasa hakiki itu sendiri. Hiperrealitas Ramadhan adalah kegiatan ibadah puasa yang dibangun pada dasar prinsip simulasi, yakni dimensi atau kegiatan puasa yang tampak, atau dibuat tampak sedemikian, seakan-akan dianggap sebagai bagian dari realitas yang asli, yakni semangat Ramadhan yang berakartunjang dan tumbuhkembang pada pribadi Rasulullah.
Puasa juga mengalami pereduksian sedemikian rupa. Menjadi sekadar fenomena ibadah yang dilihat pada permukaan, penampakan, dan tanda-tanda, dan tergerusnya makna puasa hakiki, pada nilai-nilai moral-spiritualnya. Puasa malah menjadi sekadar simbol-simbol yang digunakan untuk ungkapan dan identitas kesalehan: citra takwa, baju koko, kupiah, topi haji, sajadah, sarung, kerudung, jilbab, dll., yang semuanya dibuat khusus dan digunakan untuk syahr Ramadhan. Pasca-Ramadhan, semua hal tersebut dikuburkan kembali.

Puasa kekinian juga merupakan sebuah proses semiotisasi Ramadhan, yakni memasuki atau memuati nilai-nilai Ramadhan dengan makna-makna artifisial. Yang dicirikan oleh serangkaian tanda dan citra artifisial, yang tidak berkaitan samasekali dengan konteks puasa, melainkan diciptakan dan dikonstruksikan sedemikian, sehingga secara kolektif dianggap menjadi suatu bagian syahr Ramadhan. Sebagai misal, paket berbuka dengan selebritas, paket liburan Ramadhan, parcel lebaran, iklan-iklan produk yang memanfaatkan momen Ramadhan, sinetron-sinteron religi menyambut puasa, kuis-kuis menunggu sahur dan berbuka puasa, adalah contoh yang tidak ada kaitannya dengan hakikat puasa.

Puasa kekinian ialah gaya hidup, yang mengelompokkan masyarakat menjadi tefragmentariskan pada strata-strata tertentu, yang menampakkan ciri, tanda, simbol dan identitas mereka lewat citra pakaian yang dikenakan, citra menu berbuka yang dimakan, citra tempat-tempat tertentu yang dijadikan tempat berbuka, citra parsel lebaran yang dikirim atau diterima. Ia menciptakan divisi-divisi masyarakat Ramadhan berdasarkan status, prestise, dan citra serta tanda-tanda.

Sampai sini, bisa dikatakan bahwa hiperrealitas Ramadhan adalah merupakan sebuah bentuk logika konsumtif-lanjut hiper. Mengonsumsi makanan berbuka bukanlah untuk fungsi utilitasnya, melainkan mengonsumsi citra dan tanda diluar nilai puasa dan makanan itu sendiri. Dan sikap konsumtif lainnya.

Ramadhan, agar selalu mampu menjadi suatu proses transformatif kualitas seseorang, puasa haruslah dikembalikan pada referensi dasar, makna dasar, hakikat, dan nilai-nilai moral-spiritualnya. Kita harus mampu membedakan mana nilai puasa yang artifisial, dan mana nilai yang tidak. Dengan demikian, puasa adalah suatu upaya latihan diri untuk mentransformasikan kualitas kemanusiaan kita, bukan suatu pemanjaan diri.

Diriwayatkan, Nabi Muhammad saw berkata bahwa, "Betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak memeroleh apa pun dari puasanya, kecuali lapar dan dahaga".

Alla kulli hal, selamat menunaikan ibadah puasa pada syahr Ramadhan ini kali.

Wa Allah a'lam.


[1] Diam terhadap perbuatan tercela di sini bukan berarti membiarkan segala kemungkaran, katakanlah ketidakadilan, terjadi, melainkan tidak melakukan atau mendekati perbuatan tercela.
[2] Yang saya maksudkan dengan ustadz selebritas ialah ustadz yang dilahirkan atau diciptakan oleh media elektronik mainstream, dalam hal ini televisi. Yang mana sebelumnya, ustadz tersebut tidaklah dianggap sebagai ustadz oleh masyarakat sekitar di mana ia tinggal. Dan selalu berkolaborasi pada ruang komoditas, seperti menjadi bintang iklan suatu produk, misalnya.
Baca selengkapnyaHiper-Ramadhan (2)
 

YANG MENGIKUT

Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 Unported License.

Hasil Bertukar Banner