Tampilkan postingan dengan label Moral. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Moral. Tampilkan semua postingan

Dasar-Dasar Etika: Sebuah Pengantar Sangat Ringkas

Diposting oleh FilsafatKonseling on 8.06.2010

Ancang-Ancang
Persoalan moralitas merupakan hal pelik, dan pada saat yang sama hal tersebut dengan sangat mudah kita temukan dalam keseharian kita. Moral, bagaiamanapun ia dipahami, tidak bisa dilepaskan dari suatu sikap justifikasi akan sesuatu. Pada persoalan justifikasi inilah, moral begitu perlu untuk dikritisi. Hal ini disebabkan, pada kenyataannya, sistem moral tidak tunggal, melainkan pusparagam. Dengan demikian, ketika moral memasuki ruang publik, tidak menutup kemungkinan menciptakan atau mengkondisikan benturan-benturan atau gesekan-gesekan antara sistem moral yang satu dengan sistem moral yang lain. Tulisan berikut hendak memberikan gambaran umum dengan sangat singkat persoalan tersebut, dari sudut filosofis.

I. Pendahuluan
Penghayatan moral dalam tradisi pemikiran ditempatkan dalam etika. Ia bukan melulu disiplin pembahasan mengenai sikap praktis moral. Akan tetapi, etika melangkah lebih jauh, memertanyakan apa baik dan buruk itu. Kenapa suatu perbuatan bisa disebut baik dan buruk. Dari mana keputusan bahwa tindakan itu disebut baik dan buruk. Ringkasnya, etika lebih memertanyakan nilai suatu perbuatan dan persoalan terkait dengannya. Di sini kita bisa menarik kesimpulan bahwa moral dan filsafat berkaitan erat.

II. Pengertian Moral
Secara etimologis moral berasal dari kata Latin, moralis, yang berarti kebiasaan, adat-istiadat, perilaku, tata cara. Moral sering disamakan dengan kata Yunani, ethos. Dalam pengertian umum moral diartikan sebagai baik atau buruk suatu tindakan. Dan perbuatan tersebut hanya dialamatkan pada manusia. Hampir bisa dipastikan buku atau ensiklopedi mengartikan moral tidak jauh mengaitkannya dengan baik atau buruk suatu perbuatan manusia, paling tidak sedikitnya mengandung pengertian tersebut.

Paul Newall (2005) mengatakan “In simple terms, morality is the right or wrong (or otherwise) of an action, a way of life or a decision….” Sedangkan James Rachel mengartikan moral sebagai,
“Morality is, at the very least, the effort to guide one’s conduct by reason — that is, to do what the are the best reasons for doing — while giving equal weight to the interest of each individual who will be affected by one’s conduct.”
Blackwell Dictionary of Western Philosophy mengartikan sebagai,
“Being moral concerns human actions that can be evaluated as good or bad and right or wrong. These actions are in our power and we can be held rensponsible for them. If a persons actions conform to rules of what is morallity right, he said to be moral. If he violates them, he is immoral or morally wrong. Amoral action…is morally value-free, that is, neither right nor wrong (Bunnin & Yu, 2004: 443).”
A.R. Lacey (1996) mengartikan,
“Concerning habits, customs, ways of life, especially when these are assested as good or bad, right or wrong. Ethymologically the Latin “moral” corresponds to the Greek “ethical”. They both mean “concerning habits, etc”. ‘Ethical’ and ‘unethical’ tend often to be used of considerable behaviour directed at interests other than those of the agent, at any rate where the agent is an individual person.”
Dari pemaparan tersebut bisa kita tarik kesimpulan bahwa moral berkaitan dengan suatu tindakan, perilaku, kebiasaan yang bisa diatributkan dengan nilai baik atau buruk, salah atau benar. Moral juga selalu berkaitan dengan manusia. Dengan demikian, ada suatu tindakan yang tidak bisa kita atributkan dengan nilai baik atau buruk, salah atau benar. Hal tersebut tidak bisa dianggap sebagai moral, melainkan amoral. Dan ada perbedaan antara amoral dengan imoral. Amoral diartikan sebagai perbuatan yang tidak mengandung nilai moral, sedangkan imoral diartikan sebagai perbuatan yang menentang moral.

III. Problem Moral
Sampai sini moral dimaksudkan berkaitan dengan baik atau buruk, salah atau benar suatu tindakan. Permasalahannya adalah bagaimana menentukan kriteria baik atau buruk, baik atau benar suatu tindakan? Apakah moral itu berada di luar atau independen dari kesadaran kita? Apakah moral itu bersifat absolut? Apakah baik menurut saya harus baik menurut orang lain? Apakah boleh memaksa kepada setiap orang agar mengikuti moral yang kita yakini? Apakah tujuan itu membenarkan segala cara? Apakah tindakan benar atau buruk itu tergantung dengan situasi? Apakah moral berarti mengikuti peraturan belaka? Apakah keputusan moral itu diputuskan dengan menggunakan fakultas rasio atau hati? Apakah moral itu eksis karena agama? Haruskah kita menolong ibu terlebih dahulu ketimbang orang lain? Apakah manusia itu egois atau tidak egois? Apakah manusia itu pada dasarnya baik atau buruk? Apakah kita harus mengikuti hati nurani dalam mengambil keputusan moral? Apakah moral itu merupakan suatu ungkapan perasaan melulu? Apakah kita harus berbuat baik walaupun dengannya kita mendapatkan kematian? Apakah binatang bermoral? Dan sebagainya.

Di sinilah letak permasalah moral yang ada. Dengan demikian, moral tidak cukup sekadar diterima, melainkan perlu diperiksa. Itulah yang dimaksud dengan etika. Etika hendak menjawab berbagai permasalahan moral.

IV. Etika
Etika merupakan salah satu cabang filsafat. Dalam pembagian klasiknya, filsafat terdiri dari filsafat teoritis dan filsafat praktis. Etika masuk ke dalam filsafat praktis.

IV.1. Pengertian Etika
Apa itu etika? secara etimologis etika berasal dari kata Yunani ethikos. Secara terminologi etika diartikan sebagai,
“That study or discipline which concerns itself with judgements of approval dan disapproval, judgments as to the rightness or wrongness, goodness or badness, virtue or vice, desirability or wisdom of actions, dispositions, ends, objects, or states of affairs (Meta-Encyclopedia of Philosophy, 2007).”
Itu juga terkadang etika dipetukarkan dengan filsafat moral. Karena pada dasarnya etika merupakan sebuah disiplin untuk secara sistematis memahami hakikat moralitas, yakni bagaimana seharusnya manusia hidup dan mengapa harus begitu. Ia juga studi tentang serangkaian nilai dan pedoman hidup, serta justifikasi untuk masing-masingnya.

Dalam etika segala hal justifikasi dan pengetahuan atasnya dipertanyakan dan dipertanggungjawabkan.

IV.2. Ruang Lingkup Etika
Etika membicarakan segala perbuatan yang berkaitan dengan manusia dengan lingkup kehidupannya. Karenanya ruang lingkup etika banyak berkutat pada manusia. Dengan demikian, etika juga berurusan kepada persoalan manusia sebagai manusia. Bukan manusia sebagai dosen, mahasiswa, supir, rektor, pustakawan, tukang sapu, dll. Boleh jadi dosen bisa baik dalam mengajar (sebagai dosen), namun kebaikan dosennya tidak menjamin ia baik secara manusia.

Itu juga bisa dimengerti bahwa ada suatu perbuatan yang tidak mengandung nilai moralitas, yang disebut sebagai amoral.

IV.3. Epistemologi Moral
Dalam kaitannya dengan permasalahan moral, pertanyaan tersulit adalah dari mana kita bisa memutuskan suatu itu baik atau buruk, benar atau salah? Bisakah kita mengetahui bahwa menyiksa anak tidak berdosa adalah perbuatan tidak bermoral? Lebih jauh, bisakah kita mengetahui baik atau buruk itu? Mengetahui salah dan benar? Apakah mungkin mengetahui hal tersebut? Sejatinya, epistemologi moral mendedahkan permasalahan tersebut, persoalan pengetahuan dan justifikasi tentang moral.

IV.4. Tiga Pendekatan Etika
Setidaknya ada tiga pendekatan besar dalam etika:

1. Etika Deskriptif
Pendekatan ini hendak menggambarkan perbuatan dari berbagai tradisi, kebiasaan dan kebudayaan. Bagaimana tradisi Muslim atau Kristian membicarakan hubungan seksual sebelum menikah, misalnya? Pendekatan atau etika deskriptif lebih mencari tahu bagaimana berbagai tradisi yang ada menyoal satu permasalahan sama. Karenanya, ia tidak pernah menjustifikasi suatu kebudayaan yang ada. Ia juga lebih bersifat mengkomparatifkan perbedaan cara masyarakat menjawab pertanyaan moral.

Etika deskriptif lebih populer dalam kajian sosiologi dan antropologi. Mengingat sifatnya yang tidak menjustifikasi sistem moral suatu kebudayaan.

2. Etika Normatif
Berbeda dengan deskriptif, etika normatif dalam mengkaji moralitas yang ada, bersifat sekaligus menjustifikasi. Ia mencari tahu apa sih yang dimaksud dengan baik atau buruk, benar atau salah, dan bagaimana kita mengetahuinya. Apakah nilai baik atau buruk itu bersifat intrinsik atau nonintrinsik. Etika normatif bertanya “apakah melakukan hubungan seksual sebelum nikah benar?”

3. Metaetika
Studi yang menekankan tentang bagaimana gagasan etika berasal dan apa maknanya. Ia lebih bersifat kebahasaan atau pemaknaan atas segala ucapan moral. Apa yang kita maksudkan dengan ucapan “baik”? Pernyataan pisau ini baik apakah ekuivalen dengan “Dian itu baik”? apakah “baik” itu identik dengan “kebaikan”?

V. Teori-teori Etika
Terdapat banyak teori-teori etika. Namun demikian, dalam tulisan ini, setelah dilakukan riset kepustakaan, hanya memfokuskan pada empat teori, dengan alasan bahwa 1) semua teori yang ada bersinggungan dengan keempat teori tersebut; dan 2) semua pemikiran etika sekurang-kurangnya memercayai salah satunya.

V.1. Absolutis
Teori ini menganggap bahwa kebenaran moral bersifat universal. Artinya ia bisa diterapkan di mana pun, kapan pun. Dengan demikian, ketika membunuh dianggap sebagai salah secara moral, maka nilai tersebut akan berlaku kapan pun dan di mana pun.

Absolutis juga memercayai bahwa tindakan moral baik atau buruk, salah atau benar terdapat dalam dirinya sendiri. Dengan kata lain, perbuatan itu buruk karena hal tersebut memang buruk, bukan karena hal lain. Dengan begitu, absolutis tidak menekankan hasil perbuatan, melainkan semata perbuatan itu sendiri.

V.2. Relativis
Berbeda dengan absolutis, kaum relativis memercayai bahwa kepercayaan moral itu tidak universal. Setiap waktu atau tempat memunyai nilai moralnya sendiri, yang berbeda satu sama lain. Dengan demikian, membunuh itu mungkin salah bagi suatu kebudayaan tertentu. Akan tetapi, belum tentu dengan kebudayaan lain. Membunuh mungkin salah pada keadaan tertentu, tapi belum tentu pada keadaan lain.

Sederhananya, relativis memercayai bahwa kebenaran moral itu tergantung situasi, waktu, tempat dan kebudayaan. Tidak ada moral objektif yang tertanam dalam dunia eksternal. Prinsip etika relativis memercayai bahwa moralitas merupakan hal subjektif.

V.3. Teleologis
Etika teleologis memercayai bahwa nilai moral itu ditentukan dari akhir atau hasil tindakan. Jika suatu perbuatan menghasilkan kebaikan, maka ia benar atau baik secara moral, begitu pun sebaliknya. Implikasinya teleologis menganggap bahwa nilai moral itu tidak intrinsik dalam tindakan. Buruknya suatu tindakan bukan karena perbuatan tersebut pada dasarnya salah, melainkan karena hasil dari tindakan tersebut.

V.4. Deontologis
Kata deon berasal dari kata Yunani, berarti kewajiban. Dengan demikian, secara umum deontologis bisa diartikan sebagai teori moral yang menekankan kewajiban. Menurut teori ini perilaku moral didasarkan atas kewajiban. Ketika saya tidak berbohong, dalam pandangan ini, tindakan saya akan baik jika dilakukan semata kewajiban, bukan di luar itu. Pengin disanjung, misalnya. Karena untuk menentukan apakah suatu tindakan itu bisa disebut baik atau buruk tergantung alasan atau motifnya. Apakah saya melakukan sesuatu itu karena demi tujuan di luar tindakan tersebut atau karena semata saya harus melakukannya (baca: wajib)? Dalam prinsip deontologis, alasan pertama merupakan tindakan tidak bermoral, sedangkan alasan disebut terakhir merupakan tindakan bermoral.

Deontologis juga menekankan bahwa tindakan itu benar atau salah berasal dalam dirinya. Deontologis menganggap bahwa membunuh itu salah, sebab dalam tindakan membunuh secara intrinsik memang jahat.

VI. Kesimpulan
Betapa pun, moral pada dasarnya tidak bisa dijalani begitu saja. Ia perlu diperiksa atau dihayati. Setidaknya, seiring perkembangan waktu dan menyempitnya batas ruang maupun budaya, yang di mana pertemuan antarkultur sangat memungkinkan. Memeriksa atau menghayati moral merupakan keniscayaan.

Dengan bantuan filsafat, moral lebih mudah dipahami dan dipraktikkan serta dipertanggungjawabkan. Dan pada dasarnya, hampir bisa dipastikan dalam kesehariannya, setiap orang beretika. Sebagai misal, kita bisa menemukan pendapat banyak orang mengenai keangkuhan Bush. Mulai dari pangkalan ojek, warung kopi, rumah tanggga, arisan, kampus, hingga pesantren, semuanya membicarakan tindakan Bush. Dalam membicarakan hal tersebut, mereka tidak hanya sekadar berbicara, melainkan turut melakukan suatu penilaian.

Dengan etika atau filsafat moral, semua pernyataan atau penilaian kita tentang tindakan moral lebih dapat dipertanggungjawabkan.


Bibliografi

Adian, Donny Gahral. 2006. Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif. Jogjakarta: Jalasutra.

Audi, Robert (ed.). 1999. The Cambridge Dictionary of Philosophy. 2nd ed. USA: Cambridge University Press.

Bagir, Haidar. 2005. Buku Saku Filsafat Islam. Bandung: Arasy-Mizan.

Bagus, Lorens. 2002. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.

Bertens, Kees. 2000. Etika. Jakarta: Gramedia.

Bowie, Robert. 2004. Ethical Studies. 2nd ed. United Kingdom: Nelson Thomas Ltd.

Bunnin, Nicholas & Yu, Jiyuan. 2004. The Blackwell Dictionary of Western Philosophy. USA: Blackwell Publishing Ltd.

Concise Routledge Encylopedia of Philosophy. 2000. London: Routledge.

Eliade, Mircea (ed.). 1995. The Encyclopedia of Religion. vol. 10. USA: Simon & Schuster Macmillan.

Robinson, Dave & Garratt, Chris. 2004. Introducing Ethics. UK: Icon Books Ltd.

Kazhim, Musa. 2006. “Diktat Filsafat Moral”. naskah tidak diterbitkan.

Lacey, A.R. 1996. A Dictionary of Philosophy. 3rd ed. New York: Routledge.

Leaman, Oliver. 2001. A Brief Introduction to Islamic Philosophy. Polity Press.

Encyclopedia of Philosophy, “Metaethics”, dalam http://www.ditext.com/encyc/frame.html

Muththahhari, Murtadha. 2004. Filsafat Moral Islam. Jakarta: Al-Huda.

Muththahhari, Murtadha. 2002. Pengantar Ilmu-ilmu Islam. Jakarta: Pustaka Az-Zahra.

Newall, Paul. 2005. Ethics. dalam http://www.galileanlibrary.org/int11.html

Stanford Encyclopedia of Philosophy. Ancient Ethical Theory. 2004. dalam http://www.plato.stanford.edu/entries/ethics-ancient/

Suseno, Franz Magnis. 1987. Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Jogjakarta: Kanisius.
Baca selengkapnyaDasar-Dasar Etika: Sebuah Pengantar Sangat Ringkas

Etika: Penting Gak Penting (1)

Diposting oleh FilsafatKonseling on 8.06.2010




Hampir tiga tahu lalu, saya pernah menjadi koordinator kelas nonformal bahasa Inggris di Jakarta. Kelas tersebut merupakan ruang yang digalakkan sedemikian rupa untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris mahasiswa Seperti yang sudah disepakati bahwa sebagai koordinator, saya diberi kebebasan untuk menentukan tema kelas tersebut. Saya menjatuhkan pilihan untuk menyuguhkan tema etika. Dengan dasar alasan bahwa, pada semester tiga dan empat, terdapat mata kuliah Filsafat Moral dan Etika Islam (baca tulisan saya mengenai Pengantar Etika Islam di sini), juga sebagian besar mahasiswa adalah semester satu dan tiga, dan juga ada ajakan untuk membuka kelas nonformal etika dari beberapa teman yang diampu oleh saya—yang kebetulan juga saya sempat melakukan riset mengenai etika selama satu semester—saya pikir mengangkat tema etika merupakan pilihan yang sangat bagus.


Begitulah, akhirnya kelas tersebut bergulir. Naskah yang dibaca ialah terjemahan bagian pendahuluan dari salah satu makalah etika saya. Sederhana saja, hanya satu halaman, agar tidak terlalu terbebani dalam belajar. Isinya ialah mengenai perbedaan antara etika dan moral serta pengertian moral itu sendiri.

Singkat kata, studi naskah berlalu. Mulailah memasuki diskusi, yang lagi saya diberikan kesempatan untuk memilih tema. Saya memutuskan tema seks bebas. Saya pikir tema tersebut cukup baik untuk mengeksplorasi permasalahan moral yang sudah mereka pelajari pada sesi pertama tadi. Saya membagi peserta menjadi dua kelompok, yang satu adalah proseks bebas, dan satu ialah kontraseks bebas. Saya mengajukan pertanyaan umpan, yang maknanya kira-kira adalah: Bagaimana kalian menjelaskan secara filosofis posisi kalian dalam hal ini? Mengapa suatu hal bisa disebut baik atau buruk?

Berlalulah diskusi dari kedua posisi tersebut. Semuanya memaparkan, akan tetapi tidak menjelaskan, mengapa mereka pro dan kontra terhadap seks bebas.

Ketika memasuki menit akhir dari diskusi—rangkaian terakhir dari kelas—saya dikagetkan oleh peserta, sebut saja fulan, dari kelompok yang kontraseks bebas, yang mengatakan bahwa “Kalian semuanya kafir!”. Tentu saja dengan spontan suara tawa terdengar. Saya pun ikut-ikutan tertawa. Akan tetapi, tentu saja saya memunyai catatan tersendiri akan peserta tersebut.
* * * * *

Terlepas bagaimana tawa itu diinterpretasikan sebagai reaksi sebagian besar peserta ketika kali pertama fulan mengatakan hal yang sangat teologis tersebut. Saya bertanya, mengapa memangnya. Fulan memaparkan bahwa kekafiran tersebut disebabkan penyangkalan akan kandungan kitab suci, dalam hal ini al-Qur’an, yang dengan eksplisit melarang hal tersebut.

Kalimat larangan dalam al-Qur’an secara gramatika disebut fi’il nahi. Jika ada teks yang berpola fi’il nahi itu artinya kalimat larangan. Akan tetapi, setiap fi’il nahi tidak berarti pengharaman, bisa saja itu berarti kemakruhan atau sekadar anjuran (sunnah). Seks, dalam Islam hanya diakomadasi secara sahih dalam bentuk pernikahan. Jadi, di luar bentuk itu tidak dikenal. Dan akomodasi tersebut, dengan mengeksplorasi kandungan al-Qur’an serta konteks dan faktor lainnya, dipastikan fi’il nahi itu diartikan sebagai pengharaman. Dan secara historis pula, tidak ditemukan seorang Muslim pun, secara umum, pun ulama, secara khusus, yang menyangkal status keharaman seks di luar nikah.

Sampai sini tidak menjadi terlalu masalah. Saya masih bisa menerima paparan tersebut. Akan tetapi, yang perlu disesali ialah teks merupakan suatu hal yang bisu. Ia akan berbicara jika disapa. Itu juga kenapa saya bilang bahwa tidak ditemukan penjelasan dalam diskusi tersebut, selain sekadar pemaparan. Pihak yang kontra terhadap seks bebas hanya mengutip al-Qur’an, tanpa pernah menjelaskan mengapa dan bagaimana teks itu bisa pada kesimpulan penolakan. Pada sisi lain, yang sangat penting ialah ketika pesan teks dilepaskan dari konteks ketika teks turun dan dalam konteks kekinian, yang mana pengutip tersebut hidup pada waktu sekarang.

Seks, secara umum, dan seks bebas, secara khusus, tidak hanya persoalan urusan nafsu dan moral belaka. Yang sayangnya sebagian besar umat Muslim menyikapi seks dengan cara-pandang seperti itu. Itu juga kenapa fuqaha (para ahli fikih) mainstream tidak mampu menjawab hal ini dengan jelas, selain hanya bisa mengatakan bahwa haram dan haram. Misalnya, setiap permasalahan mengenai prostitusi, Muslim di sini, juga di tempat lainnya, hanya menanggapi dengan menyatakan pembubaran tempat-tempat prostitusi. Tanpa pernah memerhatikan aspek kultur, ekonomi, politik, dll.

Seks, melihat pada fenomena kekinian, tentu saja tidak bisa direduksi sekadar nafsu. Ia juga memuat berbagai persoalan, sebut saja ekonomi, politik, kultural, image, hasrat, dll. Agaknya inilah yang luput dari perhatian peserta kelas tersebut. Sehingga, dengan mudahnya fulan mengatakan bahwa yang pro adalah kafir.

Mendukung seks bebas tidak berarti menolak ajaran al-Qur’an. Sama halnya ketika pada suatu kesempatan saya mengatakan bahwa melihat kondisi sekarang pelaksanaan haji perlu dipikirkan ulang, bukan berarti saya menolak kewajiban hal tersebut. Yang saya tolak ialah pelaksanaan dan memikirkan ulang alasan-alasan yang melatari pelaksanaan ibadah haji oleh departemen agama. Fulan tidak mampu membedakan mana antara penolakan ajaran dan ketidakmampuan menjalankan ajaran.

Hal seperti fulan sering saya temui, yang dengan mudahnya mengkafirkan orang yang berbeda pandangan. Saya sudah cukup puas untuk dianggap “sesat” oleh sebagian kenalan saya, mungkin juga pembaca tulisan saya. Berhubung ketika saya hanya memoderatori, tentu saja saya tidak mengeluarkan pernyataan untuk menyikapi fulan. Saya hanya “meminta” fulan, juga yang lain, untuk menjelaskan, tidak hanya memaparkan, argumen mereka.

Pada kelas itu, baik yang pro dan kontra, tidak mampu menjelaskan persoalan dengan tinjauan etika (filsafat moral). Pihak pro hanya sekadar bilang bahwa seks adalah hal yang secara alamiah disuka banyak orang. Yang kontra banyak mengutip ayat al-Qur’an, tanpa pernah melihatnya secara empirik. Singkat kata, diskusi berjalan tidak sehat. Tentu saja, saya mawas diri, bahwa kelas hanya menekankan persoalan kemampuan berbahasa, bukan isi materi. Jadi, saya benar-benar tidak bisa berbuat banyak, hanya mendengar bagaimana mereka saling berdebat tak karuan.
* * * * *

Jika kita membicarakan etika, itu tidak berarti kita sedang menjadi seorang moralis, melainkan bagaimana kita memertanggungjawabkan putusan (justification) moral kita. Pembedaannya, secara mudah, ialah, jika moral adalah suatu sikap afirmatif tindakan moral, maka etika ialah pengujian tindakan moral tersebut. Sebagai sebuah sistem pemikiran pengujian moralitas, tentu saja dalam etika segala hal moralitas diperiksa sedemikian rupa.

Berkaitan dengan seks bebas pada kelas itu, pihak pro tidak mendasarkan pandangan-dunianya dengan sinaran agama. Sebaliknya, pihak kontra mendasarinya dengan agama, dalam hal ini Islam. Paling tidak di sini, terdapat dua sumber berbeda dalam menyikapi suatu hal. Ketika terdapat dua perbedaan sumber dalam putusan moral, maka sudah tentu kemungkinan perbedaan putusan moral tak bisa dihindarkan. Pihak yang kontra tidak bisa, seperti yang dilontarkan oleh fulan, mengatakan bahwa orang pro sebagai kafir, sebab sama saja menafikan kandungan kitab suci. Hal ini disebabkan karena pihak kontra tidak mendasarkan pandangan moralnya berdasarkan teks kitab suci. Untuk mendebat pihak pro, pihak kontra harus menggunakan dasar yang dipakai oleh pihak pro, katakanlah itu pada rasio. Maka, bagaimana pihak kontra menjawab pernyataan pihak pro menggunakan dasar rasio. Sebaliknya, pihak pro tidak bisa mendebat pihak kontra yang menggunakan teks tanpa landasan rasionalitas, dengan dasar rasionalitas melulu. Harus ada kesepakatan dasar awal dari kedua belah pihak jika hendak berdiskusi untuk mendapatkan jawaban yang memadai kedua belah pihak. Nah, persoalan ini hanya bisa dijawab oleh etika, yang sayangnya hal itu tidak ditemukan pada kelas tersebut.

Saya, langsung kaget, ketika banyak sekali ayat al-Qur’an dijadikan untuk menghakimi pihak pro. Seolah-olah ayat al-Qur’an adalah suatu “pentungan” untuk memukul seseorang. Mereka lupa, bahwa ayat yang mereka kutip tidak bisa dilepaskan dari penafsiran dan pandangan-dunia mereka. Dan, sepanjang saya menghadiri ruang-ruang diskusi mengenai Islamic studies dan di luar itu, banyak sekali saya menemukan orang dengan mudahnya menggunakan ayat al-Qur’an untuk menyerang moralitas seseorang, bahkan tidak sedikit disisipkan pandangan teologis, hingga dengan mudah kata-kata murtad, kafir, dan sesat mencuat di ruang diskusi tersebut. Kalau sudah seperti itu, saya hanya mampu menarik nafas dalam-dalam dan mengurut dada. Ternyata, pada Ramadhan ini saya menemukan hal itu kembali, yang sayangnya terlontar dari seseorang yang juga mendalami agama. Telah dilupakan bahwa Nabi Muhammad pernah mengatakan yang bermakna “Janganlah mengkafiri seseorang yang memercayai Laa ila ha ila l-Lah wa Muhammad al-Rasul Allah.”

Dengan kejadian tersebut, saya semakin mendapatkan instance bahwa moral tidak cukup untuk sekadar dijalankan sedemikian, melainkan sangat perlu moral untuk dikaji dan diperiksa sedemikian serta dipertanggungjawabkan. Etika sangat besar sekali peranannya untuk membantu persoalan moralitas dalam kehidupan manusia yang melingkupi banyak hal. Pada sisi lain, dalam kehidupan sosial banyak sekali ditemukan perbedaan putusan moral—yang tidak sedikit turut menyumbangkan konflik antarpihak—yang mau tidak mau harus dicarikan jawabannya. Jika kita menerima tesis para antropolog budaya bahwa moral itu bersifat relatif, tentu saja etika sangat dibutuhkan. Sebab dalam etika, kita tidak hanya memeriksa segala putusan moral kita secara mendalam dan kritis, melainkan juga bagaimana membangun dialog moral dari berbagai sistem moral yang ada.

Bahkan, jika kita pernah mendengar suatu pernyataan “persetan dengan moral” atau “saya tidak percaya moral”, dalam etika kita bisa mengetahui bahwa sejatinya yang dipersetankan dan ditolak bukanlah moral itu sendiri, melainkan konsep atas moral yang ada. Manusia tidak bisa melepaskan diri dari persoalan moral, selama manusia masih memercayai bahwa ada hal yang harus dilakukan dan ada yang tidak boleh dilakukan oleh manusia. Pun untuk orang yang mengartikan kebebasan dengan sekacau-kacaunya, tetap saja ia tidak bisa menghindar dari hal itu. Misalnya, ia tidak ingin dilukai oleh orang lain. Nah, keinginan itu juga merupakan suatu persoalan moral.

‘Ala kulli hal, etika bukanlah moral itu sendiri, melainkan bagaimana kita memeriksa sistem moral yang ada secara mendalam dan kritis. Semoga, fulan merupakan hal terakhir yang kita temukan dalam hidup kita. Semoga, dengan memelajari etika, tidak ada lagi pengkafiran disebabkan perbedaan moralitas. Amiin.

Wa Allah a’lam.
Baca selengkapnyaEtika: Penting Gak Penting (1)
 

YANG MENGIKUT

Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 Unported License.

Hasil Bertukar Banner