Tampilkan postingan dengan label Ilmu Pengetahuan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ilmu Pengetahuan. Tampilkan semua postingan

Epistemologi Islam: Sebuah Pengantar Sangat Singkat

Diposting oleh FilsafatKonseling on 8.06.20108.03.2010

Betapapun pengetahuan merupakan masalah yang selalu relevan dikaji, bahkan ia mempunyai sejarah yang panjang sepanjang kehidupan manusia itu sendiri. Sejarah banyak mencatat tentang bagaimana upaya manusia untuk mencari pengetahuan sejati untuk sampai pada kebenaran—dalam konteks nilai pengetahuan. Al-ghazali, untuk tidak menyebut semua, menulis sebuah otobiografi tentang masalah ini, Al-Munqidz Min Al-Dhalal. Tentu saja bukan hanya al-Ghazali yang gelisah akan nilai pengetahuan. Dalam setiap zaman dan waktu selalu saja ada manusia yang memertanyakan nilai pengetahuan.


Dalam dunia pengetahuan terdapat berbagai aliran pengetahuan, seperti rasionalisme, empirisisme, dan intuisisme. Rasionalisme mengandaikan bahwa kemampuan manusia mengetahui realitas hanya dengan fakultas rasio belaka. Berbeda dengan rasionalisme, empirisisme mengandaikan bahwa manusia hanya mampu mengetahui realitas berdasarkan kesan indriawinya. Berbeda dengan keduanya, intuisisme menganggap hanya hatilah yang mampu menangkap realitas.

Empirisisme membatasi objek kajiannya hanya pada bidang fisik, sedangkan rasionalisme menitikberatkan kajiannya pada bidang fisik maupun nonfisik. Lain hal dengan intuisisme, ia hanya mampu menangkap realitas yang bisa dihayati atau dijadikan pengalaman-diri, experential. Perbedaan tersebut merupakan implikasi dari sumber-sumber pengetahuan itu sendiri yang dianggap valid dalam menangkap realitas (konkret dan abstrak) dan objek (objek-objektif dan objek-subjektif).

Tulisan berikut menitikberatkan pada persoalan tersebut, sumber-sumber pengetahuan, terutama dalam tradisi ilmu keislaman.

Epistemologi Islam
Membicarakan sumber-sumber pengetahuan berarti menyoal epistemologi. Epistemologi merupakan cabang filsafat yang mengkaji hakikat pengetahuan, khususnya empat pokok persoalan pengetahuan seperti keabsahan (nilai), struktur, batas, dan sumber (Adian, 2002;17). Epistemologi sebuah bidang ilmu yang membahas pengetahuan manusia, dalam berbagai jenis dan ukuran kebenarannya (Yazdi, 2003;83).

Sederhananya epistemologi adalah teori pengetahuan. Ia membahas bagaimana pengetahuan itu bisa dicapai oleh manusia? Di manakah batas-batas pengetahuan itu? Apakah manusia dalam pengetahuannya menangkap realitas, tak terbatas? Apakah pengetahuan yang diperoleh manusia bersifat pasti? Atau berupa kemungkinan? Kalau pengetahuan yang ditangkap manusia adalah bersifat kemungkinan, sampai di manakah batas kemungkinan tersebut?

Sebagai sebuah disiplin ilmu yang mengkaji pengetahuan manusia, kita harus memahami terlebih dahulu tentang pengetahuan itu sendiri. Apakah yang dimaksud dengan pengetahuan (ma’rifah)?
“Ma’rifah dalam bahasa Arab mempunyai banyak penggunaan, tetapi lazimnya ia berarti pengetahuan (knowledge), kesadaran (awareness), dan informasi. Adakalanya ia digunakan dalam arti pencerapan khusus (idrak juz’i atau particular perception), dan adakalanya digunakan dalam arti tindak pengingatan-ulang (tadzakkur atau recognition). Kadang-kadang ia juga dipakai dalam arti ilmu yang sesuai dengan kenyataan dan melahirkan kepastian dan keyakinan (Yazdi, ibid;82).”
Perlu dikemukakan bahwa pengetahuan merupakan salah satu konsep swanyata atau paling jelas. Dengan demikian pengetahuan tidak perlu didefinisikan, bahkan sebagian mengatakan memang tidak bisa didefinisikan. Bukanlah hal yang keliru untuk tidak mendefinisikan pengetahuan, sebab definisi bertujuan untuk menjelaskan sesuatu yang belum jelas.

Kalau memang hendak memaksa untuk menjelaskan pengetahuan— haruslah dipahami bahwa hal itu hanya bertujuan untuk memberikan gambaran atau contoh atas pengetahuan itu sendiri—adalah pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya.

Kalau epistemologi dipahami sebagai teori pengetahuan, yang jadi pertanyaan kita adalah kenapa harus ada kata sifat dalam epistemologi, seperti epistemologi Islam? Epistemologi Barat? Epistemologi Hindu? Epistemologi Timur? Konsekuensinya kita berasumsi bahwa pengetahuan tidak bersifat universal, melainkan partikular, hingga harus ada pembedaan sifat antara satu epistemologi dengan epsitemologi lainnya. Atau kata sifat yang mengikut pada epistemologi bukan bermakna pada tataran hal tersebut, melainkan hanya terletak pada sumber pengetahuan itu sendiri? Karenanya mendudukkan makna dari kata sifat itu sendiri dirasa sangat perlu.

Epistemologi Islam di sini dimaksud sebagai epistemologi alternatif terhadap epistemologi Barat, yang mempunyai objek pengetahuan berbeda. Dalam epistemologi Barat, dalam hal ini sains positivistik, objek pengetahuan hanya dibatasi pada objek yang bisa dicerap oleh indra atau bersifat fisik.

Sains dipahami bukan sebagai pengetahuan sistematis belaka, ia juga harus berasal dari observasi, kajian, dan percobaan-percobaan yang dilakukan untuk menentukan sifat dasar atau prinsip dari apa yang dikaji. Dengan mensyaratkan observasi, sains harus bersifat empiris (Kartanegara, 2003;2-3). Karenanya, objek-objek metafisika atau nonfisik tidaklah dianggap sebagai objek pengetahuan. Kalaupun objek tersebut mau dianggap sebagai objek pengetahuan, toh manusia takkan mampu mengetahuinya, sebab tuhan tidak bisa dicerap oleh indriawi. Pada sisi lain objek tersebut tidak bisa diverivikasi secara korespondensi. Dengan demikian tuhan disingkirkan dari ranah pengetahuan. Disingkirkan di sini bisa dipahami dua macam. Pertama, tuhan tidak ada; karena tidak bisa dicerap oleh fakultas indriawi atau tidak mampu diverivikasi. Kedua, tuhan itu ada; akan tetapi pengetahuan atasnya tidak mungkin bisa diperoleh oleh manusia. Tentu saja pemahaman bahwa objek nonfisik tidak bisa diketahui menjadi masalah dalam Islam. Bagaimana kaum muslim bisa beriman kepada Allah, kalau Allah itu sendiri tidak bisa diketahui?

Agaknya inilah yang dirasa sangat perlu untuk membubuhi kata sifat dalam epistemologi. Kaum Muslim tentu tidak bisa menerima pandangan epistemologi seperti ini. Salah satu bukti keislaman seseorang adalah bersaksi bahwa tiada tuhan selain Alllah. Dengan begitu, seorang Muslim tidak hanya mengakui bahwa Allah itu ada, melainkan ia juga bersaksi bahwa Dia adalah tuhannya (mengetahui-Nya).

Tuhan sebagai wujud nonmateri yang dianggap sebagai objek pengetahuan oleh kaum Muslim juga mengakibatkan bahwa dalam epistemologi Islam, objek pengetahuan tidak hanya dibatasi pada bidang fisik, melainkan juga nonfisik. Dalam al-Qur’an disinggung dua bidang pengetahuan, yaitu yang tampak dan yang gaib. Mungkin karena hal tersebut para filosof Islam membedakan dua jenis pengetahuan: 1) ‘ilm yang mengungkap alam syahadah; dan 2) ma’rifah yang mendedahkan ‘alam al-ghaib atau alam yang tersembunyi (metafisika).[1] Berbeda dengan epistemologi Barat, terutama sains positivistik, yang hanya mengakui objek fisik sebagai objek pengetahuan. Dengan demikian, objek pengetahuan epistemologi Islam lebih luas dan menyeluruh. Semua wujud merupakan objek pengetahuan, entah itu alam syahadah atau alam gaib..

Betapapun, barat atau Islam di sini dipahami bukan dalam tataran geografis, melainkan sumber pengetahuan.

Sumber-Sumber Pengetahuan
Salah satu pokok pembahasan epistemologi adalah mengenai sumber-sumber pengetahuan. Dengan fakultas apa manusia mencapai pengetahuan? Bagaimanakah nilai pengetahuan yang diperoleh manusia? Sampai batasan mana manusia memeroleh pengetahuan? Pertanyaan-pertanyaan ini terkait erat dengan sumber-sumber pengetahuan.

Apa saja sumber-sumber pengetahuan? Murtadha Muththahari mengatakan bahwa sumber pengetahuan tidak hanya rasio dan hati, melainkan alam dan sejarah.[2] Sedangkan M. Taqi Mishbah Yazdi lebih menekankan fakultas indriawi dan akal sebagai sumber pengetahuan. Adapun fakultas hati, dalam mencapai pengetahuan, merupakan ranah ‘irfan bukan filsafat.[3] Agaknya karena alasan inilah bahwa fakultas hati (qalb, fu’ad) merupakan pembahasan ‘irfan bukan filsafat, kita bisa memahami pandangan Yazdi yang tidak begitu menekankan daya hati dalam epistemologi—yang merupakan cabang filsafat. Ada juga yang menganggap bahwa sumber pengetahuan yang hakiki (primer) adalah wahyu sedangkan daya-daya lain lebih sebagai sumber sekunder.

Setidaknya ada tiga sumber pengetahuan yaitu 1) akal; 2) indriawi; dan 3) hati (intusi, qalb, fu’ad). Adapun wahyu, dalam hal ini wahyu yang dikodifikasikan dalam bentuk teks (kitab suci), tidak dimasukkan sebagai sumber pengetahuan. Karena kitab suci merupakan teks, yang akan berbicara ketika seseorang membacanya, maka pemahaman seseorang atas teks-teks suci tersebut yang dimasukkan sebagai sumber pengetahuan (Suteja, 2006). Begitu juga dengan sejarah maupun alam. Sebab alam untuk menyampaikan pengetahuan membutuhkan penafsiran dari sang pengamat, walaupun struktur pengetahuan tersebut tidak memisahkan antara sang penahu dengan yang diketahui, tetap saja ia meniscayakan kemampuan manusia untuk menangkap pengetahuan tersebut. Alam sebagai alam luaran ditangkap dengan fakultas indriawi, jadi, pemahaman fakultas indriawi yang dimasukkan sebagai sumber pengetahuan atau pemahaman atasnyalah yang dimasukkan sebagai sumber pengetahuan.[4]

Indriawi
Fakultas indriawi merupakan daya yang penting dalam pengetahuan manusia. Sebegitu pentingnya, ia dianggap atau diyakini sebagai satu-satunya tolak ukur pengetahuan, pandangan inilah yang disebut sebagai empirisisme. Dalam epistemologi Islam, fakultas indriawi terdiri dari dua bentuk; 1) pancaindra lahir; dan 2) pancaindra batin.

Pancaindra Lahir
Adalah fakultas yang terdiri dari lima dimensi yaitu: 1) pendengaran (audio); 2) penglihatan (visual); 3) perasa; 4) pencium; dan 5) peraba.

Dengan daya pendengaran (telinga), manusia dapat menangkap dimensi suara dari setiap objek fisik. Musik sebagai entitas yang keberadaannya tidak bisa ditunjuk atau tidak mempunyai referensi dalam alam luaran, dikenal melalui dimensi suara, bukan dengan penglihatan. Penglihatan (mata), melalui dimensi ini manusia menangkap berbagai bentuk, keberadaan, dan sifat-sifat atau atribut-atribut objek fisik. Perasa (lidah), melalui daya ini manusia mampu mengenali rasa dari setiap objek, seperti asam, manis, pahit, asin, dll. Pencium (hidung), melalui daya ini manusia mampu membedakan antara aroma yang harum dengan yang tidak harum. Begitu juga dengan daya peraba (kulit), manusia mampu mengenali dingin, panas, lunak, keras, halus, kasar, sejuk, dll.

Melalui indriawi kita mengenal lima dimensi objek. Pertanyaan kita adalah apakah fakultas indriawi mampu menangkap objek dengan sempurna atau sebagaimana adanya? Apakah daya penglihatan telah memberikan pengetahuan yang sebenarnya? Apakah bintang yang tampak kecil ketika dilihat dengan mata telanjang, telah benar-benar mewakili ukuran bintang itu sebenarnya? Apakah kayu yang dimasukkan ke dalam air benar-benar bengkok?

Apakah dentuman ledakkan yang sampai ke telinga, benar-benar terjadi saat itu, dalam artian ketika suara yang sampai ke telinga bebarengan dengan peristiwa dentuman ledakkan? Ketika orang sedang sakit, flu misalnya, terkadang kemampuan lidahnya atau hidungnya tidak mampu merasakan dengan sempurna. Begitu juga dengan kulit, ketika menggengam batu es dalam waktu yang lama, batu es tersebut bisa berubah menjadi panas. Padahal, sifat es adalah dingin. Dengan demikian, walaupun fakultas indriawi banyak memberikan manfaat, bukan berarti ia tidak mempunyai kelemahan. Dan yang terpenting, indriawi hanya mampu menangkap objek fisik.

Pancaindra Batin
Adalah kecakapan-kecakapan mental yang cukup efektif dalam membantu fungsi esensial akal. Yang pertama, indriawi bersama (al-hiss al-musytarak). Indriawi ini berfungsi untuk menggabungkan data-data indriawi lahir secara utuh. Pengetahuan yang didapatkan dari mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit bersifat parsial. Untuk menggabungkan pengetahuan itu dibutuhkan indriawi bersama ini.

Kedua, khayal atau daya imajinasi retentif. Pengetahuan yang digabungkan oleh indriawi bersama tidak berarti akan lestari di dalam benak. Karenanya ia membutuhkan daya lain untuk melestarikan atau merekamnya. Inilah fungsi daya khayal atau retentive imaginative faculty.

Ketiga, wahm atau daya estimasi. Pancaindra mampu menangkap benda-benda yang cukup rumit, tetapi tidak mampu menangkap “arti-arti” yang dikandung oleh benda. Daya estimasi inilah yang menangkapnya, misalnya, apakah sebuah benda itu bermanfaat atau tidak bermanfaat, aman atau berbahaya, sehingga dengan kemampuan ini manusia mampu mengambil keputusan. Ketika manusia telah mengetahui bahwa kandungan benda tersebut tidak bermanfaat atau berbahaya, ia akan menghindarinya. Sebaliknya, bila kandungan benda tersebut diketahui bermanfaat dan aman, misalnya makanan yang mengandung vitamin, ia akan memakannya untuk kesehatan.

Keempat, imajinasi (mutakhayal atau compositive imaginative faculty). Sebagaimana indriawi bersama (al-hiss al-musytarak) mampu menangkap sebuah objek secara utuh, demikian juga imajinasi dapat menangkap bentuk (shurah) secara komprehensif. Keunggulan imajinasi dibandingkan indra penglihatan dapat dilihat melalui perbandingan ini. Sementara mata kita hanya bisa melihat satu bentuk dalam sebuah benda, imajinasi tidak hanya dapat mengabstraksikan bentuk-bentuk itu dari bendanya, tetapi juga dapat menggabungkan menurut selera yang dikehendaki (Kartanegara, 2003;23).

Terakhir, indriawi pengingat atau memori (al-hafizhah). Daya ini mempunyai keserupaan dengan daya khayal berfungsi menyimpan pengetahuan indriawi bersama. Quwwah al-hafizhah berfungsi merekam pengetahuan yang didapatkan dari daya imajinasi atau bentuk-bentuk imajiner. Daya ini tidak hanya mampu merekam bentuk-bentuk fisik, melainkan juga bentuk-bentuk abstrak.[5]

Akal
Selain indriawi, akal juga merupakan salah satu sumber pengetahuan. Sama dengan indriawi, segera kita bertanya: Apakah akal mampu mengetahui realitas sebagaimana adanya? Objek yang dicerap oleh akal apakah objek-objektif atau objek-subjektif? Apakah akal juga mempunyai keterbatasan seperti sama halnya dengan indriawi? Dalam tradisi filsafat akal dibagi menjadi dua macam, akal praktis dan teoritis. Akal yang dibahas ini kali adalah akal teoritis.

Melalui penglihatan kita mengetahui bahwa bulan itu berbentuk pipih, tapi fakultas akal menyempurnakannya, sehingga diketahui bahwa bulan itu tidak pipih. Penglihatan hanya mampu melihat objek sesuai profil yang tampak kepadanya. Berbeda dengan akal, ia mampu melihat seluruh profil objek, walaupun profil objek yang terlihat oleh mata hanya satu profil. Sebab akal mampu mengabstraksikan sesuatu, karenanya akal dapat melihat seluruh profil dari suatu objek. Contoh lain, di balik tembok yang terlihat di hadapan saya terdapat sebuah dispenser. Ketika saya melihat tembok tersebut mata saya tidak bisa menangkap keberadaan dispenser, sebab terhalangi oleh tembok. Akan tetapi akal saya bisa mengetahui bahwa ada dispenser di balik tembok. Dengan begitu, akal bersifat melengkapi pengetahuan yang diperoleh oleh daya indriawi lahir. Di sisi lain, objek akal tidaklah bersifat kendriya (sensible), melainkan kawruhan (intelligible). Tembok yang ditangkap oleh akal, bukanlah tembok yang fisik tersebut (objek-objektif), melainkan tembok abstrak (objek-subjektif). Tidak bisa dibayangkan bahwa akal mengetahui tembok sebagai tembok yang bersifat objek-objektif. Tembok itu harus hadir dalam akal, bayangkan tembok ada di dalam kepala kita. Ketika kita mengetahui konsep api, kenyataan bahwa kita tidak merasakan panasnya api menandakan bahwa objek akal bukanlah objek-objektif.

Selain itu, akal juga mempunyai kemampuan untuk menangkap kuiditas atau esensi dari sesuatu yang dipahaminya. Dengan kecakapan ini, akal dapat mengetahui konsep universal dari sebuah objek yang diamatinya lewat indriawi yang bersifat abstrak dan tidak berhubungan data-data partikular (Kartanegara, ibid;25). Dalam memeroleh pengetahuan, manusia terkadang memerlukan pada suatu bentuk pemilahan (tazjiah) dan penguraian (tahlil) serta adakalanya memerlukan berbagai macam bentuk pemilahan dan penguraian. Pemilahan dan penguraian merupakan aktivitas rasio. Berbagai pemilahan dan penyusunan rasional (tarkib ‘aqli) itu, adalah meletakkan berbagai perkara pada katagorinya (maqulah) masing-masing, di mana hal itu disebut dengan pemilahan (tazjiah) (Muththahari, 2001;53). Di antara aktifitas rasio manusia yang amat luar biasa adalah proses tajrid (melepas) (Muththahari, ibid;55). Karenanya, meskipun indriawi mampu mengetahui dan realitas, terlepas dari kelemahannya, ia tidak mampu mengabstraksikan sesuatu, sehingga ia membutuhkan akal untuk menyempurnakannya. Tentu saja harus disebut bahwa salah satu yang utama dari daya akal ialah kemampuan untuk bertanya secara kritis.

Walaupun tulisan ini hanya membahas gambaran fakultas akal secara umum, rasanya perlu di sini sedikit menyinggung pembagian tingakatan akal dalam tradisi filsafat Islam. Para filosof Muslim membagi tingkatan akal teoritis menjadi tiga bagian (sistem al-Farabi) atau empat bagian (sistem Ibn Sina). Pertama, akal potensial. Menurut Ibn Sina akal potensial adalah kemampuan reseptivitas (quwwah isti’dadiyyah) ke arah hal-hal intelligible.[6] Sedangkan menurut al-Farabi akal potensial adalah kemampuan-awal akal yang sama-sama dimiliki oleh semua manusia. Kedua, akal habitual adalah kemampuan, menurut Ibn Sina, akal yang telah dilatih berpikiran abstrak. Ketiga, akal aktual adalah kemampuan berpikir abstrak atau kemampuan mencerap abstraksi, sehingga memungkinkan sang penahu berpikir untuk memeroleh sejumlah pamahaman dan sadar akan pengetahuan sesuatu. Akal aktual menurut al-Farabi adalah kemampuan menangkap arti lepas dari materi. Sedangkan menurut Ibn Sina, ketika menafsirkan surat al-Nur, mengatakan bahwa akal aktual adalah,
“…kemampuan lain yang diperoleh oleh akal ketika entitas-entitas intelligible primer muncul di dalamnya. Munculnya entitas-entitas intelligible primer ini merupakan landasan yang di atasnya entitas-entitas intelligible sekunder bisa didapatkan. Proses pemerolehan ini dimunculkan entah dengan kontemplasi, yang disebut pohon zaitun, jika pikiran tidak tajam, atau dengan dugaan yang disebut bahan bakar minyak dari pohon zaitun, jika pikiran benar-benar cerdik.”[7]
Keempat, akal pencapaian (‘aql al-mustafad) adalah kesanggupan akal manusia untuk berpikir abstrak dan sarana yang mampu menerima limpahan dari akal aktif atau kemampuan akal yang telah mampu melepaskan diri dari materi dan sepenuhnya bersifat formal (bentuk). Menurut al-Farabi, akal pencapaian adalah kemampuan menangkap makna dan bentuk murni yang berada di luar alam manusia.[8] Akal pencapaian merupakan puncak kemampuan intelek manusia, sehingga menurut Ibn Sina “…tanpa perlu penyelidikan, ia bisa mencerap objek-objek intelligible yang sebelumnya telah diperoleh dan yang sekarang terlupakan seolah-olah tepersepsi, manakala pikiran menginginkannya.”[9]

Hati (Intuisi)
Indriawi, betapapun, masih banyak terdapat kelemahan dalam mencerap realitas. Sedang akal bisa dianggap sebagai salah satu sumber yang cukup kuat. Dengan akal kita dapat mencerap konsep-konsep atau entitas abstrak. Akan tetapi akal masih bersifat terbatas. Misalkan akal tidak mampu mengerti kenapa orang yang sedang kasmaran akan sangat berbeda melihat realitas. Dimaksud berbeda melihat realitas ketika orang yang sedang jatuh cinta adalah, ketika sebuah tempat yang sering dikunjunginya, katakanlah kampus, akan menjadi berbeda maknanya ketika salah satu teman mahasiswanya menjadi dambaaan hatinya. Akal jelas tidak bisa memahami gejala ini, sebab salah satu sifat akal adalah meruang-ruang (spatilize). Jadi, akal melihat realitas, dalam hal ini kampus, suasana kampus tetaplah suasana kampus; tidak ada yang berbeda dari suasana tersebut untuk orang yang sedang kasmaran atau tidak kasmaran. Dengan demikian akal membutuhkan sumber pengetahuan lain, yaitu hati atau intuisi yang bentuk tertingginya adalah wahyu[10] (Kartanegara, ibid;26), untuk memahami realitas. Berbeda dengan akal yang meruang-ruang, hati bersifat penghayatan (experential) dalam mencerap realitas.

Akal sering tidak mampu memahami menyangkut sisi kehidupan emosional manusia. Akal juga tidak mampu membedakan bahwa waktu dan ruang pada titik tertentu atau karena satu hal bisa berbeda-beda maknanya. Hati mampu memahami hal-hal experential seperti ini. Hati juga mempunyai kemampuan mengenal objeknya secara langsung, bukan dengan konsep, seperti akal. Untuk mengetahui indahnya jatuh cinta tidak akan pernah tercapai bila lewat konsep-konsep, melainkan dengan mengalaminya secara langsung; jatuh cinta.

Kesimpulan
Sumber-sumber pengetahuan merupakan salah satu bahasan kajian epsitemologi. Oleh karenanya, untuk mendapatkan gambaran lebih jelas mengenai sumber-sumber pengetahuan, tidak bisa dilepaskan dari pembahasan epistemologi. Walaupun sumber-sumber pengetahuan tidak hanya akal, indriawi, dan hati, melainkan sejarah dan alam serta wahyu, pemahaman atas ketiga hal tersebut yang menjadi bahasan sumber pengetahuan. Dengan fakultas apa kita memahami alam, sejarah, dan wahyu?

Fakultas indriawi hanya mampu mencerap objek-objek fisik, sehingga objek-objek nonfisik tertutup untuk diketahui. Pada sisi lain, fakultas indriawi terdapat, betapapun fakultas tersebut berguna dalam kehidupan, banyak kelemahan. Sedangkan fakultas akal, walaupun tidak membatasi kajiannya dalam bidang fisik, melainkan mampu mencerap entitas-entitas nonfisik—bahkan pada tingkat akal perolehan, akal benar sama sekali terlepas dari materi dan sepenuhnya formal (bentuk)—ia tetap terbatas dalam menghadapi sisi kehidupan emosional manusia. Di sinilah letak pentingnya hati, untuk mengisi kekosongan kemampuan akal tersebut.

Tentu saja, menggunakan sumber-sumber pengetahuan tersebut pada dunianya masing-masing merupakan langkah yang tepat. Ketika kita mengetahui kemampuan fakultas indriawi begitu lemah, bukan berarti kita harus menafikan kemampuannya dalam kehidupan. Begitu juga dengan fakultas akal, walaupun bersifat terbatas, bukan berarti harus dipandang remeh. Betapapun hati bersifat langsung dalam menangkap realitas bukan berarti kemampuan fakultas hati mengungguli fakultas yang lain. Kita harus menempatkan fakultas pengetahuan tersebut pada tempatnya masing-masing. Indriawi hanya mampu menangkap objek-objek pengetahuan bersifat kendriya (sensible). Akal hanya mampu menangkap objek-objek pengetahuan berisifat kawruhan (intelligible). Hati mampu menangkap objek-objek yang bersifat experential.

Memadukan semua sumber pengetahuan mengandaikan kemampuan menangkap realitas dari berbagai bidang dan dimensi. Dengan demikian pengetahuan yang didapatkan dengan memadukan semua sumber pengetahuan tersebut bersifat menyeluruh. Paradigma holistik, demikian orang bijak meyebutnya.


[1] Pengetahuan jenis ini lebih dari sekadar pengetahuan proposisional, yakni pengetahuan menyangkut gejala-gejala yang tampak.

[2] Lihat Murtadha Muththahari, Mengenal Epistemologi, diterj. dari Mas’ale-ye Syenokh oleh Muhammad Jawad Bafaqih (Jakarta : Lentera, 2003), bab Sumber-Sumber Epistemologi, hal. 80-109.

[3] Lihat Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam, diterj. dari Philosophical Instructions: An Introduction To Contemporary Islamic Philosophy oleh Musa Kazhim dan Saleh Bagir (Bandung: Mizan, 2003), bab Epistemologi, hal.77-161.

[4] Muththahari mengartikan epistemologi sebagai sesuatu yang dapat memberikan pada kita suatu kekuatan dan tenaga praktis, ataupun sesuatu yang dapat menunjukkan suatu hakikat. Karenanya ia menganggap bahwa alam merupakan salah satu sumber pengetahuan. Masalahnya, ada pemahaman dari sudut lain bahwa walaupun alam merupakan sesuatu yang dapat memberikan suatu kekuatan dan suatu tenaga praktis, ia tetap membutuhkan kemampuan fakultas manusia untuk menangkap sesuatu (realitas) itu. Sebagai misal, perkembangan fisika modern mutakhir, dalam hal ini fisika mekanika-kuantum, membuktikan bahwa keterlibatan manusia sebagai penahu menentukan realitas. Terkadang subatom ketika diamati dengan cara tertentu oleh sang pengamat menjadi gelombang, terkadang juga partikel. Hal ini disebut sebagai “teori ketidakpastian” Heisenberg. Dunia fisika yang meyakini bahwa objek (yang diamati) mampu menyantirkan dirinya sebagaimana adanya, tanpa dipengaruhi sang pengamat, telah diguncangkan oleh teori relativitas-Einstein, teori ketidakpastian Heisenberg maupun mekanika kuantum. Dengan demikian, saya menganggap bahwa pemahaman atas alam, dan sejarah (maupun kitab suci) yang dimasukkan sebagai sumber pengetahuan. Pembahasan mengenai fisika modern lebih lanjut lihat Husain Heriyanto, Paradigma-Holistik (Bandung: Teraju-Mizan, 2002).

[5] Lebih jauh dalam pembahasan ini, dalam teks Indonesia, silahkan lihat Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 5-13, dan Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam (Bandung: Mizan, 2003), hal. 18-29.

[6] Sebagaimana dikutip oleh Mehdi Ha’iri Yazdi dalam buku Epistemologi Iluminasionis dalam Filsafat Islam, penerj. Husain Heriyanto (Bandung: Mizan, 2003 [hal. 52, edisi revisi]), dari kitab Ibn Sina, Al-Isyarat Wa Al-Tanbihat, (Kairo, 1960) bag. 2, hal. 390.

[7] Sebagaimana dikutip oleh Mehdi Ha’iri Yazdi dalam buku, Epistemologi Iluminasionis dalam Filsafat Islam, penerj. Husain Heriyanto (Bandung: Mizan, 2003 [hal. 52, edisi revisi]), dari kitab Ibn Sina, Al-Isyarat Wa Al-Tanbihat, (Kairo, 1960) bag. 2, hal. 390.

[8] Untuk pembahasan lebih lanjut mengenai tingkatan akal, silahkan merujuk buku, dalam teks Indonesia, Fazlur Rahman, Kontroversi Kenabian dalam Islam: Antara Filsafat dan Ortodoksi, diterj. dari Prophecy in Islam: Philosophy and Orthodoxy oleh Ahsin Muhammad (Bandung: Mizan, 2003), dan Mehdi Ha’iri Yazdi, Epistemologi Iluminasionis dalam Filsafat Islam, diterj. dari Knowledge by Presence: Epistemology in Islamic Philosophy oleh Husain Heriyanto (Bandung: Mizan, 2003).

[9] Sebagaimana dikutip oleh Mehdi Ha’iri Yazdi dalam buku Epistemologi Iluminasionis dalam Filsafat Islam, penerj. Husain Heriyanto (Bandung: Mizan, 2003 [hal. 52, edisi revisi]), dari kitab Ibn Sina, Al-Isyarat Wa Al-Tanbihat, (Kairo, 1960) bag. 2, hal. 390

[10] Wahyu di sini harus dilihat dengan dua jenis; wahyu yang sudah terkodifikasikan teks dan wahyu sebagai pancaran pengetahuan ilahi. Untuk wahyu bentuk pertama, sebut saja al-Qur’an, wahyu harus ditafsirkan, dan pemahaman atas teks tersebut yang dimasukkan sebagai sumber pengetahuan. Pemahaman atas teks tersebut bisa saja bersifat indriawi, aqliah, atau hati. Adapun wahyu dalam bentuk kedua bisa dianggap sebagai pengetahuan yang diperoleh dengan hati. Wahyu dalam bentuk kedua ini harus dibedakan antara wahyu status kenabian dan wahyu sebagai pancaran pengetahuan ilahi yang diperoleh sebagai hasil dari pembersihan jiwa (tazkiyah al-nafs), yang sering diperoleh para ‘urafa.
Baca selengkapnyaEpistemologi Islam: Sebuah Pengantar Sangat Singkat

Belajar Filsafat dari Pengamen

Diposting oleh FilsafatKonseling on 8.06.20108.03.2010

—buat sahabat-sahabat yang pernah bersamaku mengamen di Jakarta, Cirebon dan Semarang.

I.
Pengamen di dalam angkutan umum, dalam hal ini bus, di ibu kota Indonesia merupakan hal yang tidak asing. Ketika menaiki bus, kecuali, Transjakarta—yang memunyai jalur khusus (busway)—kita bakal bertemu dengan pengamen, yang mana merupakan hal yang kadang memang tidak bisa dielakkan. Hampir bisa dipastikan bus yang kita tumpangi (akan/sudah) terdapat pengamen didalamnya. Tentu, fenomena pengamen bisa dilihat dengan berbagai sudut, multidisipliner dan multidimensi. Katakanlah dari sisi sosiologis dan ekonomi, misalnya. Akan tetapi, saya bakal menulis pengalaman saya soal pengamen yang enam jam lalu saya temui di dalam bus, bertumpu pada sudut filosofis.

“Terima kasih atas partisipasinya dalam memberi. Dan untuk yang belum bisa bepartisipasi, saya ucapkan terima kasih juga. Dan, mohon maaf jika saya mengganggu,” demikian pengamen tersebut menutup pekerjaannya.

Partisipasi? Secara epistemologis, kata “partisipasi” mengandaikan kesalinghubungan antara berbagai hal, katakanlah subjek dan objek. Dalam “partisipasi” subjek dan objek bukan merupakan hal yang terpisah samasekali. Hal ini berbeda dengan kata “pengamat” (subjek/observer), yang mengandaikan keterpisahan atas yang diamatinya (objek/observed). Dalam partisipasi, kata “subjek” dan “objek” ditulis menjadi “subjek-objek”, sebab diandaikan atas ketidakterpisahan antara keduanya. Berbeda dengan pengamat dan yang diamati, hal itu menjadi “subjek dan objek”, sebab diandaikan atas keterpisahannya.

Pertanyaan kita di sini ialah, apakah bisa subjek dan objek dipisahkan samasekali? Bisakah objek hadir kepada sang subjek tanpa dipengaruhi peranan subjek? Apakah subjek tidak turut mengkonstruksi objek? Jika subjek dan objek terpisah samasekali, bagaimana mengandaikan status eksistensi keduanya? Dan bagaimana menjelaskan pola relasi keduanya, jika kedua hal itu terpisah? Mengapa kover Kata Zine edisi ketiga oleh kolega saya yang teolog itu dikatakan secara estetika mengandung asumsi kekerasan, sedangkan bagi saya malah dianggap sebagai hal yang jauh dari samasekali kekerasan, melainkan suatu ungkapan metaforik dalam memaknai hidup itu sendiri—padahal kita berdua melihat objek yang sama, yakni kover Kata Zine edisi ketiga?

Tentu saja saya tidak akan memaparkan dan menjelaskan pertanyaan tersebut secara rigorus. Paling tidak saya akan mencoba mengilustrasikan bahwa subjek dan objek samasekali tidak bisa dipisah. Andaikan, jika Anda suatu saat melihat (siaran) pertandingan sepak bola, maka perhatikan reaksi para penonton terhadap pertandingan tersebut. katakanlah ada dua kesebelasan, yakni A dan B. Untuk pendukung A, tentu saja gol yang diciptakan oleh kesebelasan A merupakan hal yang menggembirakan. Hal itu beda dengan pendukung kesebelasan B. Gol yang diciptakan itu merupakan kesedihan untuk mereka. Jelas, fenomena yang terjadi di sini ialah gol. Akan tetapi, gol tersebut dilihat oleh orang secara berbeda satu sama lain. Pun tingkat intensitas kegembiraan dan kesedihan setiap orang berbeda satu sama lain. Artinya, gol itu pun tidak luput dari konstruksi seseorang, bukan gol yang dianggap gol belaka. Secara per definitif, gol adalah masuknya bola ke dalam gawang. Tapi orang melihatnya tidak hanya sekadar itu. Bisa saja gol itu merupakan tanda kehebatan, atau sebaliknya, kepayahan. Gol, sebagai objek, tidak bisa dipisahkan dari keterlibatan yang menonton pertandingan tersebut (subjek).

Ilustrasi lain ialah mawar. Secara umum mawar dianggap sebagai tanda cinta atau romansa. Kendati demikian, terdapat sebagian yang menganggap tidak seperti itu. Secara umum, banyak wanita yang merasa senang ketika lelakinya memberikan mawar. Tapi, ada yang malah sebaliknya. Mawar, sebagai objek, tidak selamanya dimaknai secara tunggal. Mau tidak mau hal seperti ini membuat kita mengajukan praasumsi bahwa dalam sebuah pengetahuan keterlibatan subjek terhadap objek pengetahuan tidak bisa dilepaskan.

Keterpisahan subjek dan objek disebabkan oleh asumsi dasar ontologis yang dualistik. Jelas, pola dualisme gagal dalam menjawab pola relasi kedua hal, yakni antara materi dengan kesadaran. Dalam pandangan dualistik, pemaknaan gol oleh kedua pendukung kesebelasan tersebut, hanya satu yang hakiki atau objektif. Padahal kita tahu, kesedihan (pendukung) kesebelasan B merupakan fenomena yang benar terjadi, objektif. Pun kegembiraan (pendukung) kesebelasan A merupakan fenomena yang tidak bisa ditolak, objektif. Dalam dualisme, hanya satu fenomena objektif. Pada kenyataannya tidak demikian. Fenomena tidak bisa hadir begitu saja dengan tanpa mengikutsertakan peran subjek. Objektifitas tidak bisa dilepaskan kaitannya dari subjektivitas.

Dengan demikian, ketika pengamen itu mengatakan “terimakasih atas partisipasinya,” maka sudah jelas pengamen itu menghargai keberadaan penumpangnya. Bukan kenapa, jika Anda pengguna setia bus, merupakan hal yang mudah ditemukan bahwa ada pengamen yang dengan seenaknya memainkan musik dengan bising, tanpa memedulikan keadaan penumpangnya. Tidur, atau tetap memaksa meminta uang walaupun orang yang dipintanya tidak memberi, yang boleh jadi tidak memunyai uang lebih, misalnya. Dengan mengucapkan kata “partisipasi”, maka merupakan hal yang niscaya pengamen tersebut memainkan musik yang diupayakan sedemikian rupa membuat para penumpang tidak terganggu kenyamanannya. Dalam hal ini, nyaman dimaksud, pengamen tersebut memainkan gitar dengan tidak terlalu sember, dan bernyanyi dengan suara yang nyaman didengar, tidak asal “bunyi”. Tentu saja, saya tidak bermaksud menetapkan standar di sini. Yang saya maksudkan, jika pengamen tersebut mengerti kata “partisipasi”, secara epistemologis, maka secara psikologis ia memunyai kesadaran akan hal-hal tersebut. Sebab, untuk orang yang melihat fenomena maraknya pengamen melulu sebagai kemalasan atau kebodohan, sebaik-baiknya pengamen dalam melakukan pekerjaannya, akan tetap dianggap sebagai hal yang menggangu. Kesadaran-kesadaran tersebutlah yang hendak saya tekankan di sini, bahwa pengamen tersebut tidak melihat dirinya terpisah begitu saja dengan penumpang, melaikan memiliki interkoneksi.

Hal ini yang akhirnya membuat saya mengerti kenapa pengamen ini terlihat santun dan sangat serius dalam melakukan aktivitasnya. Tidak asal menggenjreng gitar yang bikin memekakkan telinga itu, serta tidak asal bunyi yang malah bikin “polusi audio”, dan setelah itu dengan seenaknya menggerutu ketika tidak diberi uang. Dalam partisipasi, pengamen dan pendengarnya, dalam hal ini penumpang, tidak terpisah. Maka, pengamen yang menganggap dirinya sebagai partisipan pada “pentas” ini kali, memunyai kesadaran bahwa para pendengarnya juga patut mendapatkan suguhan yang memadai sesuai kemampuannya. Sebaliknya, penumpang pun sebagai partisipan yang diajak bepartisipasi, memunyai kesadaran bahwa kehadiran pengamen itu di dalam bus tidak bisa dilepaskan dari keberadaannya.

II.
Faktor dominan dalam fenomena pengamen era kekinian tidak bisa dilepaskan dari persoalan ekonomi. Walaupun faktor ekonomi bukan satu-satunya faktor. Kadang, secara sosiologis dan kultur fenomena pengamen tidak hanya sekadar urusan kesulitan mendapatkan uang. Kadang “kebermengamenan” merupakan hal yang dicitrakan sebagai hal yang keren untuk kawula muda. Kita ingat bahwa gaya hippies sempat menjadi trendsetter kala itu di kalangan anak muda, atau paling tidak pada beberapa tahun ini gaya punk sangat in sekali di tengah geliat anak muda. Yang mana secara umum dalam pandangan masyarakat awam, hal tersebut masih dianggap sebagai hal yang tidak biasa. Akan tetapi, bagi orang yang melakukan hal tersebut, berdandan kumal adalah hal “keren”. Tidur di jalan adalah hal “keren”. Adalah soal citra bermain di sini. Bagaimana citra itu mereproduksi makna. Kekumalan secara umum merupakan hal yang dimaknai sangat tidak keren (kultur), kemudian dimaknai (reproduksi) menjadi hal “keren” sebagai sikap antikemapanan. Reproduksi ini mengandaikan ketidakmenerimaan masyarakat secara umum akan hal tersebut (kontrakultur). Jika, masyarakat sudah bisa menerima dengan baik fenomena kontrakultur tersebut, maka hal itu tidak bisa dianggap sebagai kontrakultur lagi, melainkan subkultur. Nah, hal ini pun jika kita amati, terjadi pada sebagian kemunculan fenomena pengamen yang belakangan marak. Persoalan citra bermain di sini. Mengamen adalah hal “keren”. Lihat saja, tidak sedikit para pengamen yang berpakaian “necis”. Tentu saja saya tidak sedang melakukan pengukuran (measured) di sini, bahwa pakaian menentukan identitas strata sosial seseorang. Atau pengamen selalu lusuh dan kumal. Yang patut dicatat di sini ialah, saya menggunakan metode fenomenologi dalam menulis cerita saya ini. Dalam fenomenologi, ia berusaha untuk membiarkan objek “berbicara” sendiri. Yang hendak saya tekankan adalah persoalan citra. Pengamen yang dianggap sebagai hal yang “kumal”, “lusuh”, dan tidak “keren”, menjadi “rapih”, “necis”, dan “keren”. Hal ini bisa saja dibangun atas dasar asumsi identitas pakaian sebagai representasi strata sosial. Kendati demikian, faktor citra tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Sekalipun ada pengamen yang “lusuh” dan “kumal”, hal-hal yang berkebalikan atasnya tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Bahkan, di sini ada istilah “punk kentrung”. Di maksud “punk kentrung” ialah sekelompok pengamen yang secara kultur mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang punk, yang menjadikan pengamen sebagai simbol identitas dari berbagai simbol identifikasi yang ada. Nah, pengamen ini berpakaian lusuh dan kumal bukan berarti sekadar berpakaian kumal dan lusuh, melainkan menganggap hal tersebut sebagai identitas, citra. Entah citra itu bisa dimaknai sebagai hal “keren” atau bukan, itu lain hal.

Ketika “kultur utama” mulai membelenggu masyarakat, maka akan lahir kultur yang menjadi antitesisnya, yakni kontrakultur. Kontrakultur tersebut, bagaimanapun, tidak bisa dilepaskan dari kultur utama itu sendiri. Dalam arti kontrakultur pada dasarnya merupakan dialektika terhadap kultur pusatnya. Ketika kontrakultur tersebut, secara perlahan diterima secara umum, maka berubahlah ia menjadi subkultur. Dari sini saya baru akan mengaitkan pada persoalan yang sudah disinggung sebelumnya, bahwa kehadiran pengamen tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan orang yang, katakanlah itu, nonpengamen.

Untuk memermudahkan kajian kita ini kali, saya membatasi dua faktor terhadap fenomena ini, yakni ekonomi dan citra. Dan setting peristiwa ini, atau kontekstualisasinya, berada pada tataran bus.

Jika, penumpang menganggap bahwa kehadiran pengamen merupakan hal yang sangat menggangu, maka hal itu tidak bisa dibenarkan begitu saja. Tentu, ada banyak pengamen yang menggangu kenyamanan. Akan tetapi bukan hal itu yang saya maksudkan. Yang saya maksudkan adalah fenomena pengamen itu sendiri, bukan bagaimana pengamen itu menjalankan aktivitasnya. Kemuculan fenomena pengamen yang marak belakangan adalah satu hal, dan aktivitas pengamen adalah hal lain. Secara ekonomi, fenomena pengamen muncul akibat tidakmeratanya distribusi ekonomi, kesempatan berkerja, terbatasnya lapangan pekerjaan, dan hal-hal lain yang dikatagorikan sebagai struktural. Jika kaitannya dengan ekonomi, maka hal itu kita sebut sebagai pemiskinan struktural. Jadi, kemiskinan, salah satu hal yang membuat kemunculan fenomena pengamen bak cendawan di musim hujan, merupakan hal yang dikondisikan sedemikian, bukan melulu disebabkan kemalasan dan kebodohan. Nah, sebagai hal struktural, tentu masalahnya sangat kompleks dan organis. Hampir semua dari kita, secara tidak langsung, “terlibat” dalam pemiskinan struktural ini.

Dengan demikian, mungkin tidak terlalu menjadi masalah jika kita enggan memberi uang kepada pengamen, betapapun bagusnya pengamen itu bermusik. Akan tetapi, merupakan hal yang sangat bermasalah jika kita mengutuk kehadirannya, “kebermengamenan”, dan pada saat sama kita menolak kenyataan bahwa kita pun turut “beperan” didalamnya. Inilah kesadaran yang perlu kita tumbuhkembangkan pada diri kita jika bertemu dengan pengamen. Kesadaran organis. Kesadaran yang pada akhirnya, menjadikan kita untuk memiliki kesadaran empati. Jika pengamen adalah tanda (signifier dan signified) kemiskinan, maka secara tidak langsung kita memunyai “peranan” di sana. Sudah sepatutnya kita tidak menggerutu akan kehadiran mereka.

Pada sisi lain, jika fenomena pengamen yang belakangan muncul sebagai sebuah permainan rangakaian citra “kekerenan”, tidak boleh dilupakan juga bahwa dalam masyarakat modern yang sangat alienatif dan reikatif serta konsumer ini, akan mudah membuat orang menjadi hal yang saya sebut sebagai “masyarakat objek”. Masyarakat objek dimaksud ialah objektivikasi, yakni di mana terdapat tipologi umum pada setiap orang untuk mencitrakan dirinya agar “eksistensinya” muncul ke permukaan (surface) dan tampak (appearance). Masyarakat objek berakar tunjang pada pola relasi sosial yang teralienasi, dan hal itu yang pada akhirnya menyebabkan gejala atau patologis reifikasi. Jika, Anda menganggap pengamen yang ditemui dalam bus sebagai hal “yang lain”, “the other” bukan dalam pengertian kategoris, melainkan eksistensi, maka itulah gejala yang disebut sebagai alienasi dan reifikasi.

Partisipasi mengandaikan keorganisan. Pemaknaan “kebermengamenan” akan gagal kita tangkap jika peran pengamen, penumpang, supir dan kondektur saling dipisahkan satu sama lain.

Setelah saya tersenyum mendengar pengamen itu mengucapkan terima kasih atas partisipasi para penumpang, segera saja terhenti ketika dia menambahkan, bahwa untuk yang belum bepartisipasi saya ucapkan terima kasih juga. Nah, di sini pengamen itu telah melakukan reduksi bahwa partisipasi ialah Anda memberi uang untuknya. Dengan demikian, pengamen itu menganggap bahwa Anda, sebagai penumpang, jika tidak memberi uang adalah hal “yang lain” (the other). Secara psikologis, pengamen ini menganggap bahwa sikap kepedulian atau kepartisipasian itu diukur pada memberi uang atau tidak. Yang tidak memberi kepadanya dianggap tidak peduli. Yang memberi padanya dianggap peduli. Padahal belum tentu begitu. Bisa saja orang yang tidak memberinya merupakan sosok yang sangat peduli, hanya saja kebetulan orang itu tidak punya uang lebih. Pun boleh jadi orang yang memberi pada kenyataannya merupakan orang yang tidak peduli padanya. Ia memberi sebab takut dipelototin oleh pengamen itu jika tidak mengasih uang, misalnya.

III.
Mendadak saya ingat, sehari sebelumnya saya menjumpai pengamen yang dalam keadaan mabuk hebat. Dia mengamen tidak menggunakan instrumen musik, melainkan hanya bernyanyi saja. Karena mabuk, suara dia terdengar bukan sebagai nyanyian, melainkan “bunyi”. Ia teriak, tentu di luar kontrol dia, dan menuding siapa saja dengan jarinya. Kadang di tengah lagu ia terhenti, mengingat apa lirik berikutnya. Kadang gagal, kadang ia berhasil mengingat. Jika gagal mengingat, ia akan mengulang dari awal. Ia berjalan dengan terhuyung, kadang menyenggol dengan kencang dan menabrak tubuh penumpang. Kadang ia meludah sembarangan di dalam bus berkali-kali. Kadang ia berada dalam posisi di antara keadaan terjatuh dan menahan jatuh. Pengamen itu asik dengan dunianya sendiri, dengan menafikan dunia penumpang. Inilah yang tidak disebut sebagai partisipatif. Menjadikan penumpang, sebagai objek partisipasinya, sebagai hal yang terpisah.
Baca selengkapnyaBelajar Filsafat dari Pengamen

Perbedaan Filsafat dan Disiplin Ilmu Lain (Seri Pengantar Sangat Ringkas Filsafat Umum)

Diposting oleh FilsafatKonseling on 8.06.20108.03.2010

Filsafat, di dalamnya, membahas berbagai persoalan atau masalah dan menyentuh berbagai dimensi yang ada. Ia menyoal hal material maupun nonmaterial; dunia maupun akhirat; fisik maupun nonfisik; rasioanal maupun suprarasional; jasadi maupun ruhani; dst. Filsafat membahas suatu hal tidak hanya dengan atau dari satu sisi saja, melainkan berbagai sisi. Sampai sini, kita bisa mengatakan, walaupun dengan cara yang agak menyederhanakan, bahwa filsafat itu membahas hal umum apa pun yang mampu dijangkau olehnya. Titik pembahasan akhir filsafat terletak pada kemampuan filsafat itu sendiri dalam menghampiri objek pembahasannya.

Hal ini berbeda dengan disiplin ilmu selain filsafat, yang hanya membahas satu hal secara spesifik atau terbatas. Katakanlah fisika. Ia membahas persoalan yang hanya berkaitan dengan materi. Akan tetapi, dari materi tersebut, fisika pun menyoalnya tidak dari berbagai segi, melainkan terbatas. Katakanlah itu hanya pada persoalan gerak atau hukum-hukum gerak. Pun biologi. Ia juga membahas pada soal materi, yang juga melihatnya dari satu sisi. Dari sisi organisme atau pertumbuhan sel, misalnya. Menariknya, selain hanya membataskan persoalan dari satu dimensi saja, katakanlah materi—dengan mengabaikan, bahkan menafikan, dimensi nonmaterial dari materi tersebut—disiplin ilmu tersebut, yakni fisika dan biologi, pada kenyataannya juga memecah diri sedemikian rupa dalam melakukan pengkajiannya. Misalnya, dalam fisika, ia tederivasi menjadi beberapa cabang tersendiri. Astronomi, untuk tidak menyebutkan semua, yang hanya berbicara materi pada ranah benda langit dan hal yang terkait dengannya. Begitu juga dengan biologi, ia tederivasi ke dalam beberapa bagian. Biologi molekular, misalnya.

Kita bisa menyebutkan banyak disiplin ilmu lain di luar filsafat, yang di mana bisa kita buktikan bahwa semua ilmu tersebut, dalam membingkai objek kajiannya secara terbatas dan, dalam perkembangannya menjadi, terspesialisasi sedemikian rupa. Kita akan mencoba memaparkan dan menjelaskan berbagai disiplin ilmu tersebut secara ringkas. Dan, tentu saja, tidak semua disiplin ilmu tersebut kita paparkan di sini.

Psikologi, ia hanya membahas objek materi, dalam hal ini manusia. Akan tetapi, ia melihat manusia dalam pengertian yang tidak menyeluruh, melainkan terbatas, dalam hal ini psikologi hanya menekankan pada perilaku manusia. Misalnya, bagaimana menjelaskan antara seseorang yang pada masa kecilnya mengalami kekerasan dengan yang tidak mengalami kekerasan, pada fase kehidupan dewasanya memberikan pengaruh berbeda pada dirinya dalam menjalankan atau memahami pengalaman hidupnya? Bagaimana seseorang bisa melakukan slip tounge dalam pembicaraan yang dikuasainya? Psikologi mencoba menjawab hal tersebut dengan caranya tersendiri atau dengan batasan-batasan yang dibuatnya.

Sosiologi, ia juga membahas materi, manusia. Akan tetapi, ia hanya membatasi untuk mencoba menjawab permasalahan perilaku manusia dalam lingkup sosialnya. Bagaimana menjelaskan status keunikan individual manusia dalam konteks kehidupan sosialnya? Bagaimana menjelaskan bahwa manusia tidak bisa dilepaskan dari lingkungan kehidupan sosialnya? Sosiologi mencoba menjawab hal tersebut dengan kerangka yang sudah dibangunnya sedemikian rupa.

Antropologi, ia juga membahas manusia. Namun, ia membatasi pada pola kebudayaan dan peradaban yang telah diciptakan manusia atau ditinggalkan manusia. Entah itu membahasnya dari hasil-hasil kebudayaan dan peradaban, dimungkinkan juga artefak-artefak yang ada, atau di luar hal tersebut. Bagaimana manusia menciptakan kebudayaan? Bagaimana manusia berinteraksi dengan hal-hal material di luar dirinya? Bagaimana manusia menerjemahkan nilai-nilai luhur yang dipercayainya dalam bentuk material?

Nah, hal itu berbeda dengan filsafat. Filsafat, ketika membicarakan manusia, ia tidak hanya membahas pada unsur materialnya belaka, melainkan juga dimensi nonmaterialnya. Pada sisi lain, manusia dalam pandangan filsafat, tidak hanya dibatasi dalam pengertian psikis, sosial, kultur, dst, melainkan menyangkut keseluruhan pada diri manusia itu sendiri. Begitu juga ketika filsafat membicarakan hal lain, ia membahasnya secara keseluruhan. Pada titik ini, keseluruhan tersebut, secara sederhana, bisa kita katakan hal itu ialah eksistensi atau keberadaannya.

Tentu saja, untuk keperluan sebuah tulisan pengantar, beberapa contoh di atas sudah cukup membantu kajian kita ini kali, bahwa terdapat perbedaan antara disiplin ilmu filsafat dengan nonfilsafat. Sekarang, pertanyaan kita adalah, apa yang membuat disiplin ilmu-ilmu tersebut, baik itu filsafat dan nonfilsafat, menjadi terbedakan satu sama lain?

Kita akan jawab pertanyaan tersebut, bahwa yang membedakan berbagai disiplin ilmu itu ialah objek. Kalau kita teliti mengikuti paparan dan penjelasan sebelumnya, dengan mudah kita akan memahami apa yang dimaksud dengan objek ilmu serta mengapa dan bagaimana ia bisa menjadi unsur penting dalam membedakan satu ilmu dengan ilmu lainnya.

Misal, fisika, biologi, kimia, astronomi, membahas materi. Akan tetapi, dari materi tersebut, ada yang membatasinya hanya pada gerak, unsur penyusun reaksi materi, langit, sel-sel, dst. Manusia, walaupun sama-sama menjadi objek kajian dari sosiologi, antropologi, politik, dsb, akan tetapi dari kesemua ilmu tersebut melihatnya dari sudut yang berbeda, yang sekali lagi membatasi objek kajian. Sosiologi menyoal perihal sosial pada diri manusia, politik pada sikap atau perilaku manusia pada aspek politiknya, dst.

Filsafat pun serupa, ia membahas objek, yang kita sebut sebagai eksistensi. Dari eksistensi ini, filsafat mampu membahas berbagai hal, berbagai hal yang ada; baik itu meliputi eksistensi yang bersifat material dan nonmaterial, abstrak dan konkret, jasadi maupun ruhani.

Sampai sini, bisa kita buat kesimpulan, bahwa hal yang membuat ilmu-ilmu menjadi berbeda satu sama lain, ialah disebabkan pada objek yang menjadi perhatian pembahasan keilmuannya.

catatan
Tulisan ini adalah tulisan serial soal Pengantar Filsafat Umum, yang akan dilengkapi juga dengan tulisan serial Pengantar Filsafat lainnya, katakalah itu Filsafat Islam, Filsafat Perennial, Filsafat Barat, Filsafat Timur, dll. Ia diupayakan sedemikian rupa ditulis dengan secara ringkas dan sistematik.
Baca selengkapnyaPerbedaan Filsafat dan Disiplin Ilmu Lain (Seri Pengantar Sangat Ringkas Filsafat Umum)
 

YANG MENGIKUT

Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 Unported License.

Hasil Bertukar Banner