Tampilkan postingan dengan label Filsafat Moral. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Filsafat Moral. Tampilkan semua postingan

Dasar-Dasar Etika: Sebuah Pengantar Sangat Ringkas

Diposting oleh FilsafatKonseling on 8.06.2010

Ancang-Ancang
Persoalan moralitas merupakan hal pelik, dan pada saat yang sama hal tersebut dengan sangat mudah kita temukan dalam keseharian kita. Moral, bagaiamanapun ia dipahami, tidak bisa dilepaskan dari suatu sikap justifikasi akan sesuatu. Pada persoalan justifikasi inilah, moral begitu perlu untuk dikritisi. Hal ini disebabkan, pada kenyataannya, sistem moral tidak tunggal, melainkan pusparagam. Dengan demikian, ketika moral memasuki ruang publik, tidak menutup kemungkinan menciptakan atau mengkondisikan benturan-benturan atau gesekan-gesekan antara sistem moral yang satu dengan sistem moral yang lain. Tulisan berikut hendak memberikan gambaran umum dengan sangat singkat persoalan tersebut, dari sudut filosofis.

I. Pendahuluan
Penghayatan moral dalam tradisi pemikiran ditempatkan dalam etika. Ia bukan melulu disiplin pembahasan mengenai sikap praktis moral. Akan tetapi, etika melangkah lebih jauh, memertanyakan apa baik dan buruk itu. Kenapa suatu perbuatan bisa disebut baik dan buruk. Dari mana keputusan bahwa tindakan itu disebut baik dan buruk. Ringkasnya, etika lebih memertanyakan nilai suatu perbuatan dan persoalan terkait dengannya. Di sini kita bisa menarik kesimpulan bahwa moral dan filsafat berkaitan erat.

II. Pengertian Moral
Secara etimologis moral berasal dari kata Latin, moralis, yang berarti kebiasaan, adat-istiadat, perilaku, tata cara. Moral sering disamakan dengan kata Yunani, ethos. Dalam pengertian umum moral diartikan sebagai baik atau buruk suatu tindakan. Dan perbuatan tersebut hanya dialamatkan pada manusia. Hampir bisa dipastikan buku atau ensiklopedi mengartikan moral tidak jauh mengaitkannya dengan baik atau buruk suatu perbuatan manusia, paling tidak sedikitnya mengandung pengertian tersebut.

Paul Newall (2005) mengatakan “In simple terms, morality is the right or wrong (or otherwise) of an action, a way of life or a decision….” Sedangkan James Rachel mengartikan moral sebagai,
“Morality is, at the very least, the effort to guide one’s conduct by reason — that is, to do what the are the best reasons for doing — while giving equal weight to the interest of each individual who will be affected by one’s conduct.”
Blackwell Dictionary of Western Philosophy mengartikan sebagai,
“Being moral concerns human actions that can be evaluated as good or bad and right or wrong. These actions are in our power and we can be held rensponsible for them. If a persons actions conform to rules of what is morallity right, he said to be moral. If he violates them, he is immoral or morally wrong. Amoral action…is morally value-free, that is, neither right nor wrong (Bunnin & Yu, 2004: 443).”
A.R. Lacey (1996) mengartikan,
“Concerning habits, customs, ways of life, especially when these are assested as good or bad, right or wrong. Ethymologically the Latin “moral” corresponds to the Greek “ethical”. They both mean “concerning habits, etc”. ‘Ethical’ and ‘unethical’ tend often to be used of considerable behaviour directed at interests other than those of the agent, at any rate where the agent is an individual person.”
Dari pemaparan tersebut bisa kita tarik kesimpulan bahwa moral berkaitan dengan suatu tindakan, perilaku, kebiasaan yang bisa diatributkan dengan nilai baik atau buruk, salah atau benar. Moral juga selalu berkaitan dengan manusia. Dengan demikian, ada suatu tindakan yang tidak bisa kita atributkan dengan nilai baik atau buruk, salah atau benar. Hal tersebut tidak bisa dianggap sebagai moral, melainkan amoral. Dan ada perbedaan antara amoral dengan imoral. Amoral diartikan sebagai perbuatan yang tidak mengandung nilai moral, sedangkan imoral diartikan sebagai perbuatan yang menentang moral.

III. Problem Moral
Sampai sini moral dimaksudkan berkaitan dengan baik atau buruk, salah atau benar suatu tindakan. Permasalahannya adalah bagaimana menentukan kriteria baik atau buruk, baik atau benar suatu tindakan? Apakah moral itu berada di luar atau independen dari kesadaran kita? Apakah moral itu bersifat absolut? Apakah baik menurut saya harus baik menurut orang lain? Apakah boleh memaksa kepada setiap orang agar mengikuti moral yang kita yakini? Apakah tujuan itu membenarkan segala cara? Apakah tindakan benar atau buruk itu tergantung dengan situasi? Apakah moral berarti mengikuti peraturan belaka? Apakah keputusan moral itu diputuskan dengan menggunakan fakultas rasio atau hati? Apakah moral itu eksis karena agama? Haruskah kita menolong ibu terlebih dahulu ketimbang orang lain? Apakah manusia itu egois atau tidak egois? Apakah manusia itu pada dasarnya baik atau buruk? Apakah kita harus mengikuti hati nurani dalam mengambil keputusan moral? Apakah moral itu merupakan suatu ungkapan perasaan melulu? Apakah kita harus berbuat baik walaupun dengannya kita mendapatkan kematian? Apakah binatang bermoral? Dan sebagainya.

Di sinilah letak permasalah moral yang ada. Dengan demikian, moral tidak cukup sekadar diterima, melainkan perlu diperiksa. Itulah yang dimaksud dengan etika. Etika hendak menjawab berbagai permasalahan moral.

IV. Etika
Etika merupakan salah satu cabang filsafat. Dalam pembagian klasiknya, filsafat terdiri dari filsafat teoritis dan filsafat praktis. Etika masuk ke dalam filsafat praktis.

IV.1. Pengertian Etika
Apa itu etika? secara etimologis etika berasal dari kata Yunani ethikos. Secara terminologi etika diartikan sebagai,
“That study or discipline which concerns itself with judgements of approval dan disapproval, judgments as to the rightness or wrongness, goodness or badness, virtue or vice, desirability or wisdom of actions, dispositions, ends, objects, or states of affairs (Meta-Encyclopedia of Philosophy, 2007).”
Itu juga terkadang etika dipetukarkan dengan filsafat moral. Karena pada dasarnya etika merupakan sebuah disiplin untuk secara sistematis memahami hakikat moralitas, yakni bagaimana seharusnya manusia hidup dan mengapa harus begitu. Ia juga studi tentang serangkaian nilai dan pedoman hidup, serta justifikasi untuk masing-masingnya.

Dalam etika segala hal justifikasi dan pengetahuan atasnya dipertanyakan dan dipertanggungjawabkan.

IV.2. Ruang Lingkup Etika
Etika membicarakan segala perbuatan yang berkaitan dengan manusia dengan lingkup kehidupannya. Karenanya ruang lingkup etika banyak berkutat pada manusia. Dengan demikian, etika juga berurusan kepada persoalan manusia sebagai manusia. Bukan manusia sebagai dosen, mahasiswa, supir, rektor, pustakawan, tukang sapu, dll. Boleh jadi dosen bisa baik dalam mengajar (sebagai dosen), namun kebaikan dosennya tidak menjamin ia baik secara manusia.

Itu juga bisa dimengerti bahwa ada suatu perbuatan yang tidak mengandung nilai moralitas, yang disebut sebagai amoral.

IV.3. Epistemologi Moral
Dalam kaitannya dengan permasalahan moral, pertanyaan tersulit adalah dari mana kita bisa memutuskan suatu itu baik atau buruk, benar atau salah? Bisakah kita mengetahui bahwa menyiksa anak tidak berdosa adalah perbuatan tidak bermoral? Lebih jauh, bisakah kita mengetahui baik atau buruk itu? Mengetahui salah dan benar? Apakah mungkin mengetahui hal tersebut? Sejatinya, epistemologi moral mendedahkan permasalahan tersebut, persoalan pengetahuan dan justifikasi tentang moral.

IV.4. Tiga Pendekatan Etika
Setidaknya ada tiga pendekatan besar dalam etika:

1. Etika Deskriptif
Pendekatan ini hendak menggambarkan perbuatan dari berbagai tradisi, kebiasaan dan kebudayaan. Bagaimana tradisi Muslim atau Kristian membicarakan hubungan seksual sebelum menikah, misalnya? Pendekatan atau etika deskriptif lebih mencari tahu bagaimana berbagai tradisi yang ada menyoal satu permasalahan sama. Karenanya, ia tidak pernah menjustifikasi suatu kebudayaan yang ada. Ia juga lebih bersifat mengkomparatifkan perbedaan cara masyarakat menjawab pertanyaan moral.

Etika deskriptif lebih populer dalam kajian sosiologi dan antropologi. Mengingat sifatnya yang tidak menjustifikasi sistem moral suatu kebudayaan.

2. Etika Normatif
Berbeda dengan deskriptif, etika normatif dalam mengkaji moralitas yang ada, bersifat sekaligus menjustifikasi. Ia mencari tahu apa sih yang dimaksud dengan baik atau buruk, benar atau salah, dan bagaimana kita mengetahuinya. Apakah nilai baik atau buruk itu bersifat intrinsik atau nonintrinsik. Etika normatif bertanya “apakah melakukan hubungan seksual sebelum nikah benar?”

3. Metaetika
Studi yang menekankan tentang bagaimana gagasan etika berasal dan apa maknanya. Ia lebih bersifat kebahasaan atau pemaknaan atas segala ucapan moral. Apa yang kita maksudkan dengan ucapan “baik”? Pernyataan pisau ini baik apakah ekuivalen dengan “Dian itu baik”? apakah “baik” itu identik dengan “kebaikan”?

V. Teori-teori Etika
Terdapat banyak teori-teori etika. Namun demikian, dalam tulisan ini, setelah dilakukan riset kepustakaan, hanya memfokuskan pada empat teori, dengan alasan bahwa 1) semua teori yang ada bersinggungan dengan keempat teori tersebut; dan 2) semua pemikiran etika sekurang-kurangnya memercayai salah satunya.

V.1. Absolutis
Teori ini menganggap bahwa kebenaran moral bersifat universal. Artinya ia bisa diterapkan di mana pun, kapan pun. Dengan demikian, ketika membunuh dianggap sebagai salah secara moral, maka nilai tersebut akan berlaku kapan pun dan di mana pun.

Absolutis juga memercayai bahwa tindakan moral baik atau buruk, salah atau benar terdapat dalam dirinya sendiri. Dengan kata lain, perbuatan itu buruk karena hal tersebut memang buruk, bukan karena hal lain. Dengan begitu, absolutis tidak menekankan hasil perbuatan, melainkan semata perbuatan itu sendiri.

V.2. Relativis
Berbeda dengan absolutis, kaum relativis memercayai bahwa kepercayaan moral itu tidak universal. Setiap waktu atau tempat memunyai nilai moralnya sendiri, yang berbeda satu sama lain. Dengan demikian, membunuh itu mungkin salah bagi suatu kebudayaan tertentu. Akan tetapi, belum tentu dengan kebudayaan lain. Membunuh mungkin salah pada keadaan tertentu, tapi belum tentu pada keadaan lain.

Sederhananya, relativis memercayai bahwa kebenaran moral itu tergantung situasi, waktu, tempat dan kebudayaan. Tidak ada moral objektif yang tertanam dalam dunia eksternal. Prinsip etika relativis memercayai bahwa moralitas merupakan hal subjektif.

V.3. Teleologis
Etika teleologis memercayai bahwa nilai moral itu ditentukan dari akhir atau hasil tindakan. Jika suatu perbuatan menghasilkan kebaikan, maka ia benar atau baik secara moral, begitu pun sebaliknya. Implikasinya teleologis menganggap bahwa nilai moral itu tidak intrinsik dalam tindakan. Buruknya suatu tindakan bukan karena perbuatan tersebut pada dasarnya salah, melainkan karena hasil dari tindakan tersebut.

V.4. Deontologis
Kata deon berasal dari kata Yunani, berarti kewajiban. Dengan demikian, secara umum deontologis bisa diartikan sebagai teori moral yang menekankan kewajiban. Menurut teori ini perilaku moral didasarkan atas kewajiban. Ketika saya tidak berbohong, dalam pandangan ini, tindakan saya akan baik jika dilakukan semata kewajiban, bukan di luar itu. Pengin disanjung, misalnya. Karena untuk menentukan apakah suatu tindakan itu bisa disebut baik atau buruk tergantung alasan atau motifnya. Apakah saya melakukan sesuatu itu karena demi tujuan di luar tindakan tersebut atau karena semata saya harus melakukannya (baca: wajib)? Dalam prinsip deontologis, alasan pertama merupakan tindakan tidak bermoral, sedangkan alasan disebut terakhir merupakan tindakan bermoral.

Deontologis juga menekankan bahwa tindakan itu benar atau salah berasal dalam dirinya. Deontologis menganggap bahwa membunuh itu salah, sebab dalam tindakan membunuh secara intrinsik memang jahat.

VI. Kesimpulan
Betapa pun, moral pada dasarnya tidak bisa dijalani begitu saja. Ia perlu diperiksa atau dihayati. Setidaknya, seiring perkembangan waktu dan menyempitnya batas ruang maupun budaya, yang di mana pertemuan antarkultur sangat memungkinkan. Memeriksa atau menghayati moral merupakan keniscayaan.

Dengan bantuan filsafat, moral lebih mudah dipahami dan dipraktikkan serta dipertanggungjawabkan. Dan pada dasarnya, hampir bisa dipastikan dalam kesehariannya, setiap orang beretika. Sebagai misal, kita bisa menemukan pendapat banyak orang mengenai keangkuhan Bush. Mulai dari pangkalan ojek, warung kopi, rumah tanggga, arisan, kampus, hingga pesantren, semuanya membicarakan tindakan Bush. Dalam membicarakan hal tersebut, mereka tidak hanya sekadar berbicara, melainkan turut melakukan suatu penilaian.

Dengan etika atau filsafat moral, semua pernyataan atau penilaian kita tentang tindakan moral lebih dapat dipertanggungjawabkan.


Bibliografi

Adian, Donny Gahral. 2006. Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif. Jogjakarta: Jalasutra.

Audi, Robert (ed.). 1999. The Cambridge Dictionary of Philosophy. 2nd ed. USA: Cambridge University Press.

Bagir, Haidar. 2005. Buku Saku Filsafat Islam. Bandung: Arasy-Mizan.

Bagus, Lorens. 2002. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.

Bertens, Kees. 2000. Etika. Jakarta: Gramedia.

Bowie, Robert. 2004. Ethical Studies. 2nd ed. United Kingdom: Nelson Thomas Ltd.

Bunnin, Nicholas & Yu, Jiyuan. 2004. The Blackwell Dictionary of Western Philosophy. USA: Blackwell Publishing Ltd.

Concise Routledge Encylopedia of Philosophy. 2000. London: Routledge.

Eliade, Mircea (ed.). 1995. The Encyclopedia of Religion. vol. 10. USA: Simon & Schuster Macmillan.

Robinson, Dave & Garratt, Chris. 2004. Introducing Ethics. UK: Icon Books Ltd.

Kazhim, Musa. 2006. “Diktat Filsafat Moral”. naskah tidak diterbitkan.

Lacey, A.R. 1996. A Dictionary of Philosophy. 3rd ed. New York: Routledge.

Leaman, Oliver. 2001. A Brief Introduction to Islamic Philosophy. Polity Press.

Encyclopedia of Philosophy, “Metaethics”, dalam http://www.ditext.com/encyc/frame.html

Muththahhari, Murtadha. 2004. Filsafat Moral Islam. Jakarta: Al-Huda.

Muththahhari, Murtadha. 2002. Pengantar Ilmu-ilmu Islam. Jakarta: Pustaka Az-Zahra.

Newall, Paul. 2005. Ethics. dalam http://www.galileanlibrary.org/int11.html

Stanford Encyclopedia of Philosophy. Ancient Ethical Theory. 2004. dalam http://www.plato.stanford.edu/entries/ethics-ancient/

Suseno, Franz Magnis. 1987. Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Jogjakarta: Kanisius.
Baca selengkapnyaDasar-Dasar Etika: Sebuah Pengantar Sangat Ringkas

Etika Islam: Sebuah Pengantar Sangat Singkat

Diposting oleh FilsafatKonseling on 8.06.2010

Apa itu etika Islam? Adakah ciri-ciri khasnya dibanding dengan etika lain?


Sebelum membahas etika atau filsafat moral, tidak boleh tidak moral harus diperbincangkan terlebih dahulu. Secara etimologis moral berasal dari kata Latin moralis yang berarti kebiasaan, adat-istiadat, perilaku, tata cara. Moral sering disamakan dengan kata Yunani ethos. Dalam pengertian umum moral diartikan sebagai baik atau buruk suatu tindakan. Dan perbuatan tersebut hanya dialamatkan pada manusia. Hampir bisa dipastikan buku atau ensiklopedi mengartikan moral tidak jauh mengaitkan dengan baik atau buruk suatu perbuatan dan karakter manusia, paling tidak sedikitnya mengandung pengertian tersebut.


Paul Newall (2005) mengatakan “In simple terms, morality is the right or wrong (or otherwise) of an action, a way of life or a decision….” Sedangkan James Rachel mengartikan moral sebagai, “Morality is, at the very least, the effort to guide one’s conduct by reason—that is, to do what the are the best reasons for doing—while giving equal weight to the interest of each individual who will be affected by one’s conduct.”

Blackwell Dictionary of Western Philosophy mengartikan sebagai,
“Being moral concerns human actions that can be evaluated as good or bad and right or wrong. These actions are in our power and we can be held rensponsible for them. If a persons actions conform to rules of what is morallity right, he said to be moral. If he violates them, he is immoral or morally wrong. Amoral action is also opposed to an moral action, which is morally value-free, that is, neither right nor wrong (Bunnin & Yu, 2004: 443).”
A.R. Lacey (1996) mengartikan,
“Concerning habits, customs, ways of life, especially when these are assested as good or bad, right or wrong. Ethymologiclly the latin “moral” corresponds to the greek “ethical”. They both mean “concerning habits, etc”. ‘Ethical’ and ‘unethical’ tend often to be used of considerable behaviour directed at interests other than those of the agent, at any rate where the agent is an individual person.”
Dari pemaparan tersebut bisa kita tarik kesimpulan bahwa moral berkaitan dengan suatu tindakan, perilaku, kebiasaan yang bisa diatributkan dengan nilai baik atau buruk, salah atau benar. Moral juga selalu berkaitan dengan manusia pada aspek totalitasnya, bukan pada aspek parsialnya. Dalam perkataan lain, moral berkaitan dengan kemanusiaan manusia itu sendiri. Dengan demikian, ada suatu tindakan yang tidak bisa kita atributkan dengan nilai baik atau buruk, salah atau benar. Hal tersebut tidak bisa dianggap sebagai moral, melainkan amoral. Dan ada perbedaan antara amoral dengan immoral. Amoral diartikan sebagai perbuatan yang tidak mengandung nilai moral, sedangkan immoral diartikan sebagai perbuatan yang menentang moral.

Sedangkan etika, kadang dipertukarkan dengan kata filsafat moral, merupakan suatu upaya atau telaah kritis atas segala justifikasi moral. Ketika seseorang mengatakan bahwa membunuh adalah perbuatan buruk secara moral. Afirmasi tersebut menyimpan banyak hal yang perlu dipertanyakan. Bagaimana seseorang bisa mengetahui perbuatan itu salah dan benar? Bagaimana keputusan salah dan benar bisa diambil? Apakah baik untuk seseorang harus diartikan baik juga untuk orang lain? Etika hendak menjawab atau menelaah segala pertanyaan atau dasar-dasar yang melandasi hakikat moralitas. Melalui etika, persoalan moral tidak diterima begitu saja, melainkan diteliti sedemikian rupa. Etika lebih sebagai disiplin.
“That study or discipline which concerns itself with judgements of approval and disapproval, judgments as to the rightness or wrongness, goodness or badness, virtue or vice, desirability or wisdom of actions, dispositions, ends, objects, or states of affairs (Meta-Encyclopedia of Philosophy, 2007).”
Yang perlu digarisbawahi di sini ialah, membicarakan etika, pertama kali kita harus memulai dari epistemologi moral. Tanpa itu, kita akan gagal untuk memahami perbedaan-perbedaan dalam ranah etika. Pada sisi lain, perbedaan tersebut yang pada akhirnya membuat etika, sebagai suatu sistem pemikiran moral, disandangkan dengan kata sifat. Islam, Kristen, Buddha, Hindu, pragmatisme, utilitarianisme, absolutisme, dsb., misalnya. Kata sifat yang dilekatkan kepada etika, sejatinya ditentukan oleh, setidaknya berpijak pada persoalan, epistemologi sistem moral dari etika.

Etika dikatakan sebagai etika Kristen, lebih karena epistemologi moralnya disinari oleh Bible atau tradisi Gereja. Begitu juga dengan sistem pemikiran moral lainnya, termasuk Islam.

Etika Islam disebut sebagai etika Islam, lebih disebabkan atas dasar epistemologi moral itu sendiri. Landasan epistemologi moral Islam disandarkan pada al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad saaw. Dari kedua sumber tersebut, diturunkan prinsip-prinsip, sumber-sumber, semangat, putusan-putusan moral.

Kita bisa mengambil suatu contoh untuk memerjelas persoalan ini. Sebut saja persoalan poligami. Dalam tradisi etika Kristen, poligami ditolak, sebab dari Bible atau tradisi Gereja ditemukan afirmasi untuk menegasikan hal tersebut. Untuk pragmatisme, poligami bisa diterima atau ditolak secara moral ditentukan apakah poligami memberikan manfaat kepada orang. Begitu juga dengan kalangan utilitarianisme, poligami buruk atau buruk secara moral ditentukan apakah hal tersebut memunyai kegunaan yang memberikan kebahagiaan terbanyak dalam kehidupan (calculus of happyness, principle of utility). Pun Islam, poligami secara mendasar diterima sebab dalam kedua sumber normativitas Islam hal tersebut diperbolehkan. Akan tetapi, poligami pun bisa saja tertolak jika terdapat hal-hal yang membatalkannya. Kendati demikian, untuk menentukan apa saja hal yang dapat membatalkan poligami, diturunkan dari kedua sumber tersebut.

Sampai sini, kita bisa membuat suatu tali simpul bahwa perbedaan dalam menentukan suatu tindakan ditentukan oleh pandangan-dunia (worldview, weltanschauung) yang diambil. Tentu saja, pandangan-dunia tidak melulu hadir begitu saja. Kadang ia ditentukan oleh faktor lain. Situasi atau akibat, misalnya. Apa pun itu, etika disebut sebagai etika Islam, etika Kristen, pragmatisme, utilitarianisme, dll., ditentukan oleh pandangan-dunia yang menjadi fondasinya. Dan hal tersebut berarti ialah persoalan epistemologi moral.

Adapun apakah etika Islam memunyai ciri khas berbeda dengan etika lain. Jawabannya, bisa iya, dan juga bisa tidak.

Kita katakan iya, terdapat ciri khas etika Islam yang membedakan dengan etika lain, ketika etika Islam, sebagai etika yang bersifat “sakral”[i], dibandingankan dengan etika lain, yang bersifat “profan”[ii]. Etika Islam dalam membicarakan moralitas, tidak hanya berkaitan dengan soal buruk dan baik dalam konteks dunia, melainkan juga dalam konteks akhirat. Etika Islam juga bisa dikatakan sebagai suatu jalan untuk mencapai Tuhan, tidak hanya berurusan manusia melulu. Etika juga memberikan titik penekanan terhadap persoalan karakter manusia, yang lebih bersifat nonlahiriah, katakanlah ruhani kalau mau. Hal yang sudah disebutkan tentu saja tidak bisa ditemukan dalam etika profan. Dalam etika profan, moralitas lebih dilihat dari aspek ke-di-sini-an, persoalan bagaimana hidup di dunia bisa baik, bagaimana persoalan kebaikan lahiriah bisa direngkuh, dsb. Secara sederhana, etika Islam memunyai dimensi luas, ia meliputi dimensi lahiriah maupun batiniah. Sedangkan etika profan, lebih pada persoalan lahiriah.

Akan tetapi, hal-hal tersebut juga tidak hanya dimiliki oleh etika Islam semata, jika ia kita hadapkan dengan etika Hindu, Buddha, Yahudi, Tao, dan Kristen, misalnya. Etika yang sudah disebut itu pun juga memunyai dimensi yang meliputi sisi lahiriah maupun batiniah. Itu juga kenapa kita katakan bahwa etika Islam, pada titik tertentu, tidak memunyai ciri khas yang membedakan dengan etika lainnya.

Betapa pun, etika Islam bisa kita artikan sebagai sistem pemikiran yang mengarahkan manusia untuk meningkatkan karakter perilaku kemanusiaannya, baik itu secara lahiriah maupun batiniah, di bawah sinaran al-Qur’an dan Sunnah maupun tradisi hikmah dan/ kearifan lain yang tidak bertentangan dengan Islam. Kemeningkatan karakter lahiriahnya, menjadikan pribadi Muslim berguna atau memberikan manfaat dalam kehidupan dunia. Dengan kata lain hal tersebut menjadikannya sebagai cerminan sifat-sifat Tuhan dalam kehidupan dunia. Ada pun sisi batiniahnya, karakter tersebut menjadikan pribadi Muslim semakin jauh meninggalkan segala nafsu dimensi badaniahnya, yang pada akhirnya membuatnya dicintai oleh Tuhan.

Disebutkan bahwa sifat-sifat Allah atau asma Allah dijadikan sebagai dasar etika Islam. Bagaimana menurut Anda?

Sebagai sistem pemikiran moral yang juga memunyai basis ontologis transendental, etika Islam, secara epistemologis dan aksiologis, dalam mengarahkan manusia untuk membentuk perilaku serta karakter moralnya, mengusahakan sedemikian rupa untuk menyelaraskan sifat-sifat Tuhan dalam kehidupan manusia. Apakah hal tersebut bersifat a priori atau aposteriori, terlebih dahulu harus membicarakan bagaimana Tuhan itu dikonsepsikan.

Perlu digarisbawahi, konsepsi akan Tuhan di sini mengandaikan keterselesaian (clearness) akan status ontologis Tuhan. Jadi yang dimaksud dengan konsepsi Tuhan, harus dipahami sebagai upaya tindak lanjut atau bagaimana konsekuensi setelah tuhan itu diketahui. Karena Tuhan tidak berbicara dengan manusia di bumi secara langsung, melainkan dengan wahyu, maka konsepsi akan Tuhan itu sendiri didasarkan atas pemahaman wahyu dan ajaran Nabi, serta pengetahuan langsung (knowledge by presence, ‘ilm al-laduni) yang diberikan Tuhan kepada orang tertentu.

Allah dikonsepsikan memunyai sifat. Sifat-sifat-Nya dipahami ada yang bersifat dzatiyah dan nondzatiyah. Dzatiyah dimaksud adalah sifat Tuhan yang tidak bisa diketahui oleh manusia. Hal ini bisa dimengerti sebab Tuhan ialah tak terbatas, sedangkan manusia terbatas. Akan tetapi, bukan berarti hal tersebut tidak bisa dirasakan “getarannya”. Ada perbedaan antara mengetahui dengan merasakan (experential). Hal yang terbatas tidak mampu mengukur hal yang tak terbatas. Adapun sifat nondzatiyah dimaksud ialah sifat Tuhan yang bisa diketahui oleh manusia. Seperti sifat-sifat af’aliyah, yang di antaranya tercerminkan melalui asma’ al-husna. Asma’ al-husna tersebut ada yang bersifat jalaliyah (tremendum, maskulin, kegentaran) dan jamaliyah (fascinant, feminin, keindahan atau kelembutan). Etika Islam mengarahkan seseorang untuk mengejar sifat af’aliyah-Nya yang bersifat jamaliyah.

Etika Islam berkutat pada ranah insan manusia, bukan basyarnya. Itu juga kenapa sifat jalaliyah Tuhan tidak bisa dicapai oleh manusia, sebab hal tersebut secara prerogatif milik Tuhan semata.

Sifat jalaliyah Tuhan secara garis besar bersifat kegentaran atau kemahakuasaan. Seperti al-Mutakabbir. Al-Mutakabbir merupakan sifat yang hanya bisa disandangkan kepada yang Mahakuasa, yaitu Tuhan. Jika hal tersebut disandangkan kepada mansia, maka hal tersebut merupakan contradiction in term. Sebab al-Mutakabbir mengandaikan ketakterbatasan, sedangkan manusia pada hakikatnya adalah terbatas. Adapun sifat jamaliyah Tuhan secara garis besar bersifat keindahan atau kelembutan. Seperti yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Sifat-sifat seperti inilah yang bisa dicapai dalam etika Islam.

Dengan demikian, asma’ al-husna yang bisa dijadikan dasar etika ialah sifat jamaliyah-Nya.

Terkait apakah upaya mengejar sifat Tuhan untuk dijadikan landasan moral merupakan hal a priori atau aposteriori, jawabannya ialah a priori. Dalam diri manusia terdapat intuisi yang dapat mengetahui mana hal baik dan mana hal buruk. Hal tersebut merupakan hal yang fithrah dalam diri manusia. Begitu pun soal ketuhanan. Ketika seseorang beriman kepada Tuhan, tentu saja kebertuhanannya menjadikan seseorang tersebut berupaya untuk menerjemahkan keimanan dalam segala perilakunya.

Manusia memiliki kehendak bebas, sehingga ia bisa melakukan apa saja yang ia inginkan. Namun pada kenyataannya manusia memilih untuk melakukan sesuatu yang dianggapnya baik dan terpuji serta menghindari hal-hal yang diyakininya buruk dan tercela. Dasar apa yang mendorongnya seperti itu?

Manusia dalam melakukan sesuatu didasarkan dua hal. Pertama, daya “mendekati” (al-quwwah al-syahwatiyah, faculty of pleassure), dan kedua, daya “menghindari” (al-quwwah al-ghadhabiyah, faculty of avoid). Daya pertama membuat manusia akan mendekati sesuatu hal yang disenanginya. Dengan kata lain, manusia akan menghampiri atau meraih segala hal yang memberikan kesenangan pada dirinya. Misalkan, pemandangan indah. Daya kedua, membuat manusia menghindari atau menolak akan sesuatu yang dapat memberikan ketidaksenangan pada dirinya. Misal, manusia selalu akan menghindari sedemikian rupa hal yang membuat dia terluka. Perlu disebutkan di sini, bahwa kedua fakultas tersebut bukan merupakan determinan tindakan manusia, melainkan lebih pada semacam alat atau kemampuan.

Fakultas yang disebutkan tersebut, tidak berarti berkemampuan sebagai penjustifikasi tindakan. Dimaksud adalah ketika manusia menyenangi suatu hal, bukan berarti hal tersebut baik begitu saja, melainkan hal tersebut memang merupakan hal yang disenangi oleh manusia. Begitu juga ketika manusia menghindari sesuatu bukan berarti suatu tersebut buruk secara moral, melainkan manusia secara intrinsik tidak menyukainya. Fakultas tersebut memang berdekatan dengan, atau bisa dipahami sebagai, insting. Akan tetapi, insting mengandaikan akan hilangnya kebebasan dan kehendak. Sedangkan moral mengandaikan akan adanya kebebasan dan kehendak dalam tindakan manusia. Tanpa adanya kebebasan dan kehendak dalam tindakan manusia, maka moral akan tertolak dengan sendirinya.

Kendati demikian, pada titik tertentu manusia mampu mengetahui bahwa suatu perilaku adalah baik atau buruk maupun terpuji atau tercela. Bagaimana hal tersebut bisa diketahui oleh manusia? Dengan fakultas apa manusia bisa mengetahui hal tersebut?

Ketika kita tidak mampu menyangkal bahwa manusia mampu melakukan apa saja. Namun demikian, manusia pada saat sama, pada titik tertentu, mengetahui ada perbuatan yang diketahuinya dengan cara langsung sebagai perbuatan baik atau buruk maupun terpuji atau tercela. Hal tersebut membuat manusia tidak dengan begitu saja melakukan segala hal yang ia kehendaki atau inginkan. Konsekuensinya, ada hal yang menyebabkan hal tersebut. Karena, tidak mungkin ketiadaan sesuatu bisa mengetahui suatu hal yang ada.

Dalam diri manusia terdapat fakultas yang disebut sebagai hati nurani. Perlu disinggung, pengetahuan manusia terderivasi ke dalam dua bentuk: 1) pengetahuan secara langsung (‘ilm al-hudhuri, knowledge by presence); dan 2) pengetahuan dengan representasi/santiran (‘ilm al-hushuli, knowledge by acquired/representational). Bentuk pengetahuan kedua mengandalkan akal, sebab sifatnya yang tidak langsung atau menggunakan konsep, representasi, atau capaian. Sedangkan pengetahuan pertama bersifat langsung. Objek pengetahuan hadir dalam diri, hingga subjek dan objek menjadi identik. Pengetahuan jenis ini menggunakan fakultas hati (qalb, fu’ad). Berbeda dengan akal yang bersifat meruang (spatilized), sehingga akal dalam mengetahui sesuatu tidak bersifat langsung.

Hati nurani bisa dikategorikan sebagai fakultas pengetahuan yang mengenal objek pengetahuan secara langsung. Jika manusia samasekali belum tahu apakah secara etika suatu tindakan dianggap buruk atau baik. Akan tetapi, seseorang tersebut merasa bahwa tindakan tersebut adalah buruk. Ketahuan manusia akan hal tersebut ialah bersifat langsung, tanpa didahului konsep. Bahwa pengetahuan langsung mengandaikan ketertunggalan subjek dan objek, maka manusia mengetahui salahsatu sisi kemanusiaannya (objek) yang diketahui oleh sisi kemanusiaannya (subjek).

Hati nurani mengandung makna esensi manusia yang amat penting, yaitu esensi kebaikan. Hal itu disebabkan adanya sesuatu dalam diri manusia yang bersifat “cahaya” (nurani), yang menerangi jalan ke arah kebenaran. Hal tersebut juga bisa dipahami sebagai fithrah. Dimaksud fithrah ialah semacam kemampuan bawaan (innate) dan intuisi untuk mengetahui benar-salah, baik-buruk, dan sejati-palsu.

Moralitas berarti bicara sisi manusiawi manusia. Manusiawi dimaksud adalah hal yang terkait dengan substansi manusia: hal yang membuat manusia bisa disebut sebagai manusia atau sebaliknya. Karena hati nurani adalah fithrah, dan fithrah adalah salahsatu substansi manusia. Maka, pengetahuan manusia akan suatu hal yang dicapai oleh hati nurani, itu berarti hal yang diketahuinya bersifat substansial. Jika seseorang tidak mau mencuri suatu barang milik orang lain yang sangat ia gemari, walaupun ia memunyai kebebasan serta keadaan yang mendukung untuk melakukan hal tersebut. Tetapi, dari dalam dirinya ada suatu hal yang menghalanginya, membuat dirinya menganggap perbuatan mencuri tersebut adalah hal yang salah. Maka bisa dipastikan bahwa hal tersebut merupakan tindakan buruk secara moral. Tidak boleh diabaikan bahwa pengetahuan secara langsung mengandaikan akan ketertunggalan subjek-objek. Subjek di sini ialah hal yang membuat manusia merasakan degradasi atas kemanusiaannya, maka objeknya pun ialah hal yang dapat membuat gradasi kemanusiaan manusia menjadi menurun atau jatuh. Setiap hal yang menyebabkan manusia bisa kehilangan status kemanusiaannya, itu adalah persoalan moralitas, dan hal itu buruk secara moral.

Wa Allah a’lam.



[i] Sakral di sini dimaksud lebih sebagai praanggapan bahwa kehidupan selalu terkait dengan Tuhan. Dengan kata lain, sakral ialah melihat dunia ini tidak mengalami keterputusan (ruptures) dengan yang Ilahiah.

[ii] Profan di sini dimaksud lebih sebagai praanggapan bahwa kehidupan tidak terkait dengan Tuhan. Dengan kata lain, profan ialah melihat dunia ini mengalami keterputusan (ruptures) dengan yang Ilahiah.
Baca selengkapnyaEtika Islam: Sebuah Pengantar Sangat Singkat

Etika: Penting Gak Penting (1)

Diposting oleh FilsafatKonseling on 8.06.2010




Hampir tiga tahu lalu, saya pernah menjadi koordinator kelas nonformal bahasa Inggris di Jakarta. Kelas tersebut merupakan ruang yang digalakkan sedemikian rupa untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris mahasiswa Seperti yang sudah disepakati bahwa sebagai koordinator, saya diberi kebebasan untuk menentukan tema kelas tersebut. Saya menjatuhkan pilihan untuk menyuguhkan tema etika. Dengan dasar alasan bahwa, pada semester tiga dan empat, terdapat mata kuliah Filsafat Moral dan Etika Islam (baca tulisan saya mengenai Pengantar Etika Islam di sini), juga sebagian besar mahasiswa adalah semester satu dan tiga, dan juga ada ajakan untuk membuka kelas nonformal etika dari beberapa teman yang diampu oleh saya—yang kebetulan juga saya sempat melakukan riset mengenai etika selama satu semester—saya pikir mengangkat tema etika merupakan pilihan yang sangat bagus.


Begitulah, akhirnya kelas tersebut bergulir. Naskah yang dibaca ialah terjemahan bagian pendahuluan dari salah satu makalah etika saya. Sederhana saja, hanya satu halaman, agar tidak terlalu terbebani dalam belajar. Isinya ialah mengenai perbedaan antara etika dan moral serta pengertian moral itu sendiri.

Singkat kata, studi naskah berlalu. Mulailah memasuki diskusi, yang lagi saya diberikan kesempatan untuk memilih tema. Saya memutuskan tema seks bebas. Saya pikir tema tersebut cukup baik untuk mengeksplorasi permasalahan moral yang sudah mereka pelajari pada sesi pertama tadi. Saya membagi peserta menjadi dua kelompok, yang satu adalah proseks bebas, dan satu ialah kontraseks bebas. Saya mengajukan pertanyaan umpan, yang maknanya kira-kira adalah: Bagaimana kalian menjelaskan secara filosofis posisi kalian dalam hal ini? Mengapa suatu hal bisa disebut baik atau buruk?

Berlalulah diskusi dari kedua posisi tersebut. Semuanya memaparkan, akan tetapi tidak menjelaskan, mengapa mereka pro dan kontra terhadap seks bebas.

Ketika memasuki menit akhir dari diskusi—rangkaian terakhir dari kelas—saya dikagetkan oleh peserta, sebut saja fulan, dari kelompok yang kontraseks bebas, yang mengatakan bahwa “Kalian semuanya kafir!”. Tentu saja dengan spontan suara tawa terdengar. Saya pun ikut-ikutan tertawa. Akan tetapi, tentu saja saya memunyai catatan tersendiri akan peserta tersebut.
* * * * *

Terlepas bagaimana tawa itu diinterpretasikan sebagai reaksi sebagian besar peserta ketika kali pertama fulan mengatakan hal yang sangat teologis tersebut. Saya bertanya, mengapa memangnya. Fulan memaparkan bahwa kekafiran tersebut disebabkan penyangkalan akan kandungan kitab suci, dalam hal ini al-Qur’an, yang dengan eksplisit melarang hal tersebut.

Kalimat larangan dalam al-Qur’an secara gramatika disebut fi’il nahi. Jika ada teks yang berpola fi’il nahi itu artinya kalimat larangan. Akan tetapi, setiap fi’il nahi tidak berarti pengharaman, bisa saja itu berarti kemakruhan atau sekadar anjuran (sunnah). Seks, dalam Islam hanya diakomadasi secara sahih dalam bentuk pernikahan. Jadi, di luar bentuk itu tidak dikenal. Dan akomodasi tersebut, dengan mengeksplorasi kandungan al-Qur’an serta konteks dan faktor lainnya, dipastikan fi’il nahi itu diartikan sebagai pengharaman. Dan secara historis pula, tidak ditemukan seorang Muslim pun, secara umum, pun ulama, secara khusus, yang menyangkal status keharaman seks di luar nikah.

Sampai sini tidak menjadi terlalu masalah. Saya masih bisa menerima paparan tersebut. Akan tetapi, yang perlu disesali ialah teks merupakan suatu hal yang bisu. Ia akan berbicara jika disapa. Itu juga kenapa saya bilang bahwa tidak ditemukan penjelasan dalam diskusi tersebut, selain sekadar pemaparan. Pihak yang kontra terhadap seks bebas hanya mengutip al-Qur’an, tanpa pernah menjelaskan mengapa dan bagaimana teks itu bisa pada kesimpulan penolakan. Pada sisi lain, yang sangat penting ialah ketika pesan teks dilepaskan dari konteks ketika teks turun dan dalam konteks kekinian, yang mana pengutip tersebut hidup pada waktu sekarang.

Seks, secara umum, dan seks bebas, secara khusus, tidak hanya persoalan urusan nafsu dan moral belaka. Yang sayangnya sebagian besar umat Muslim menyikapi seks dengan cara-pandang seperti itu. Itu juga kenapa fuqaha (para ahli fikih) mainstream tidak mampu menjawab hal ini dengan jelas, selain hanya bisa mengatakan bahwa haram dan haram. Misalnya, setiap permasalahan mengenai prostitusi, Muslim di sini, juga di tempat lainnya, hanya menanggapi dengan menyatakan pembubaran tempat-tempat prostitusi. Tanpa pernah memerhatikan aspek kultur, ekonomi, politik, dll.

Seks, melihat pada fenomena kekinian, tentu saja tidak bisa direduksi sekadar nafsu. Ia juga memuat berbagai persoalan, sebut saja ekonomi, politik, kultural, image, hasrat, dll. Agaknya inilah yang luput dari perhatian peserta kelas tersebut. Sehingga, dengan mudahnya fulan mengatakan bahwa yang pro adalah kafir.

Mendukung seks bebas tidak berarti menolak ajaran al-Qur’an. Sama halnya ketika pada suatu kesempatan saya mengatakan bahwa melihat kondisi sekarang pelaksanaan haji perlu dipikirkan ulang, bukan berarti saya menolak kewajiban hal tersebut. Yang saya tolak ialah pelaksanaan dan memikirkan ulang alasan-alasan yang melatari pelaksanaan ibadah haji oleh departemen agama. Fulan tidak mampu membedakan mana antara penolakan ajaran dan ketidakmampuan menjalankan ajaran.

Hal seperti fulan sering saya temui, yang dengan mudahnya mengkafirkan orang yang berbeda pandangan. Saya sudah cukup puas untuk dianggap “sesat” oleh sebagian kenalan saya, mungkin juga pembaca tulisan saya. Berhubung ketika saya hanya memoderatori, tentu saja saya tidak mengeluarkan pernyataan untuk menyikapi fulan. Saya hanya “meminta” fulan, juga yang lain, untuk menjelaskan, tidak hanya memaparkan, argumen mereka.

Pada kelas itu, baik yang pro dan kontra, tidak mampu menjelaskan persoalan dengan tinjauan etika (filsafat moral). Pihak pro hanya sekadar bilang bahwa seks adalah hal yang secara alamiah disuka banyak orang. Yang kontra banyak mengutip ayat al-Qur’an, tanpa pernah melihatnya secara empirik. Singkat kata, diskusi berjalan tidak sehat. Tentu saja, saya mawas diri, bahwa kelas hanya menekankan persoalan kemampuan berbahasa, bukan isi materi. Jadi, saya benar-benar tidak bisa berbuat banyak, hanya mendengar bagaimana mereka saling berdebat tak karuan.
* * * * *

Jika kita membicarakan etika, itu tidak berarti kita sedang menjadi seorang moralis, melainkan bagaimana kita memertanggungjawabkan putusan (justification) moral kita. Pembedaannya, secara mudah, ialah, jika moral adalah suatu sikap afirmatif tindakan moral, maka etika ialah pengujian tindakan moral tersebut. Sebagai sebuah sistem pemikiran pengujian moralitas, tentu saja dalam etika segala hal moralitas diperiksa sedemikian rupa.

Berkaitan dengan seks bebas pada kelas itu, pihak pro tidak mendasarkan pandangan-dunianya dengan sinaran agama. Sebaliknya, pihak kontra mendasarinya dengan agama, dalam hal ini Islam. Paling tidak di sini, terdapat dua sumber berbeda dalam menyikapi suatu hal. Ketika terdapat dua perbedaan sumber dalam putusan moral, maka sudah tentu kemungkinan perbedaan putusan moral tak bisa dihindarkan. Pihak yang kontra tidak bisa, seperti yang dilontarkan oleh fulan, mengatakan bahwa orang pro sebagai kafir, sebab sama saja menafikan kandungan kitab suci. Hal ini disebabkan karena pihak kontra tidak mendasarkan pandangan moralnya berdasarkan teks kitab suci. Untuk mendebat pihak pro, pihak kontra harus menggunakan dasar yang dipakai oleh pihak pro, katakanlah itu pada rasio. Maka, bagaimana pihak kontra menjawab pernyataan pihak pro menggunakan dasar rasio. Sebaliknya, pihak pro tidak bisa mendebat pihak kontra yang menggunakan teks tanpa landasan rasionalitas, dengan dasar rasionalitas melulu. Harus ada kesepakatan dasar awal dari kedua belah pihak jika hendak berdiskusi untuk mendapatkan jawaban yang memadai kedua belah pihak. Nah, persoalan ini hanya bisa dijawab oleh etika, yang sayangnya hal itu tidak ditemukan pada kelas tersebut.

Saya, langsung kaget, ketika banyak sekali ayat al-Qur’an dijadikan untuk menghakimi pihak pro. Seolah-olah ayat al-Qur’an adalah suatu “pentungan” untuk memukul seseorang. Mereka lupa, bahwa ayat yang mereka kutip tidak bisa dilepaskan dari penafsiran dan pandangan-dunia mereka. Dan, sepanjang saya menghadiri ruang-ruang diskusi mengenai Islamic studies dan di luar itu, banyak sekali saya menemukan orang dengan mudahnya menggunakan ayat al-Qur’an untuk menyerang moralitas seseorang, bahkan tidak sedikit disisipkan pandangan teologis, hingga dengan mudah kata-kata murtad, kafir, dan sesat mencuat di ruang diskusi tersebut. Kalau sudah seperti itu, saya hanya mampu menarik nafas dalam-dalam dan mengurut dada. Ternyata, pada Ramadhan ini saya menemukan hal itu kembali, yang sayangnya terlontar dari seseorang yang juga mendalami agama. Telah dilupakan bahwa Nabi Muhammad pernah mengatakan yang bermakna “Janganlah mengkafiri seseorang yang memercayai Laa ila ha ila l-Lah wa Muhammad al-Rasul Allah.”

Dengan kejadian tersebut, saya semakin mendapatkan instance bahwa moral tidak cukup untuk sekadar dijalankan sedemikian, melainkan sangat perlu moral untuk dikaji dan diperiksa sedemikian serta dipertanggungjawabkan. Etika sangat besar sekali peranannya untuk membantu persoalan moralitas dalam kehidupan manusia yang melingkupi banyak hal. Pada sisi lain, dalam kehidupan sosial banyak sekali ditemukan perbedaan putusan moral—yang tidak sedikit turut menyumbangkan konflik antarpihak—yang mau tidak mau harus dicarikan jawabannya. Jika kita menerima tesis para antropolog budaya bahwa moral itu bersifat relatif, tentu saja etika sangat dibutuhkan. Sebab dalam etika, kita tidak hanya memeriksa segala putusan moral kita secara mendalam dan kritis, melainkan juga bagaimana membangun dialog moral dari berbagai sistem moral yang ada.

Bahkan, jika kita pernah mendengar suatu pernyataan “persetan dengan moral” atau “saya tidak percaya moral”, dalam etika kita bisa mengetahui bahwa sejatinya yang dipersetankan dan ditolak bukanlah moral itu sendiri, melainkan konsep atas moral yang ada. Manusia tidak bisa melepaskan diri dari persoalan moral, selama manusia masih memercayai bahwa ada hal yang harus dilakukan dan ada yang tidak boleh dilakukan oleh manusia. Pun untuk orang yang mengartikan kebebasan dengan sekacau-kacaunya, tetap saja ia tidak bisa menghindar dari hal itu. Misalnya, ia tidak ingin dilukai oleh orang lain. Nah, keinginan itu juga merupakan suatu persoalan moral.

‘Ala kulli hal, etika bukanlah moral itu sendiri, melainkan bagaimana kita memeriksa sistem moral yang ada secara mendalam dan kritis. Semoga, fulan merupakan hal terakhir yang kita temukan dalam hidup kita. Semoga, dengan memelajari etika, tidak ada lagi pengkafiran disebabkan perbedaan moralitas. Amiin.

Wa Allah a’lam.
Baca selengkapnyaEtika: Penting Gak Penting (1)
 

YANG MENGIKUT

Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 Unported License.

Hasil Bertukar Banner