![]() |
Gambar dari sini. |
Ancang-Ancang
Filsafat ngeblog? Makanan apakah gerangan? Filsafat? Ngeblog? Apakah ada hubungannya di antara keduanya?
Sebelum saya memaparkan soal filsafat ngeblog, perlu saya sebutkan di sini bahwa tulisan ini sekadar refleksi saya pada soal tulis-menulis. Lantaran pada masa sekarang Internet sangat signifikan dalam memengaruhi pola sosialitas kita, fenomena tulis-menulis pun ikut berevolusi secara kultural, dalam hal ini media tulis-menulis.
Sebelum Internet merambah dan diterima sebagai sesuatu yang publik, tidak semua orang mampu menerbitkan tulisannya agar dibaca oleh khalayak. Ketika itu, penerbitan tulisan masih dimonopoli oleh penerbit konvensional. Jika tulisan dikontekskan pada soal informasi, pengetahuan, dan kuasa, dengan kehadiran Internet, sesuatu yang disebut pusat menjadi suatu yang diragukan eksistensinya. Ini bisa dilihat dengan berkembangnya jurnalisme warga, kalangan profesional yang berbagi pengetahuannya, orang yang disebut awam pun tak kalah ketinggalan ikut menyebarkan sesuatu yang diketahuinya, dan sudah banyak orang yang menjadikan blog sebagai media kontrol sosial. Untuk mencari berita, pada masa sekarang tidak harus bergantung pada media massa lantaran sekarang orang bisa menjadi seorang pewarta. Untuk berbagi pengetahuan sekarang orang tidak melulu bergantung pada lembaga pendidikan formal lantaran sudah banyak orang yang menguasai disiplin tertentu membagi pengetahuannya secara cuma-cuma. Untuk mengkritisi pemerintah, sekarang orang tidak melulu menitipkan pesan pada anggota DPR atau pejabat setempat lantaran sekarang orang sudah bisa mengkritik pemerintahan langsung di blognya, atau di laman jejaring sosialnya. Itulah yang saya maksudkan bahwa sesuatu yang disebut pusat, seperti pusat informasi, pusat pengetahuan, pusat kekuasaan, semuanya menjadi diragukan lantaran sekarang sudah tersebar.
Media yang hendak saya bincangkan dalam kesempatan ini adalah soal blog. Saya ingin menangkap semampu mungkin dimensi filosofis di balik aktivitas ngeblog itu sendiri. Tentu tulisan ini suatu tafsir. Anda harus membacanya secara kritis. Dengan begitu, Anda bisa bersama saya merayakan permainan ini dengan melampaui keterpusatan.
Omong-omong, apa sih blog itu? Untuk soal tersebut, saya tidak akan menulisnya lantaran sudah banyak tulisan lengkap soal ini. Anda bisa merujuk pada Enda Nasution, Wikipedia, Fikri, dan Isnaini (tentu masih banyak, Anda bisa mencarinya). Dengan demikian, tulisan ini sudah mengasumsikan bahwa definisi blog sudah diketahui sehingga tidak perlu disinggung.
Teroka
Tulisan dalam blog (selanjutnya disebut ngeblog), merupakan suatu alternatif dalam diskursus. Pengategorian ngeblog sebagai suatu alternatif diskursus, tentu saja bukan tanpa sebab. Selama ini, bicara tulisan, selalu diberikan standarisasi yang sarat dengan kepentingan, seperti selera kapital, pasar, kekuasaan, kemapanan, keterampilan menulis, dll. Suatu tulisan layak diterbitkan atau tidak, ditentukan oleh hal-hal tersebut, yang tidak secara langsung terkait dengan semangat aktivitas menulis itu sendiri.
Ngeblog sebagai Modus Mengada
Ketika segala hal diukur dengan logika akumulasi kapital, maka apa pun harus dijadikan komoditas, dan dibandroli nilai akumulasi kapital. Akan tetapi, sangat sedikit, bahkan tidak ada, dari segala hal yang dibandroli nilai itu yang memiliki makna, selain bagaimana suatu hal itu dapat mengakumulasikan kapital. Dari sudut tersebut kita akan membicarakan ngeblog.
Ngeblog adalah modus eksistensi, yakni penyingkapan diri. Dengan ngeblog kita menjelajahi dan melampaui ruang-waktu. Kita bisa menuliskan suatu hal yang lampau, kini, akan datang; kehidupan di Bumi, Mars, antah-berantah, alam imajinal (alam barzakh, imago mundo), dll. Dengan ngeblog kita memeriksa kadar kemanusiaan kita. Ngeblog tidak hanya kegiatan fisik belaka, melainkan olah-pikir dan olah-rasa. Semakin sering menulis, semakin mampu kita melepaskan kungkungan yang melulu fisik.
Dalam ngeblog, kita tidak hanya mematerialkan apa yang ada di dalam diri, melainkan pemeriksaan. Ngeblog adalah kreasi atau penciptaan. Dengan mencipta, kita mengamati proses dalam kemenjadian yang kita upayakan. Dengan ngeblog, kita pun melakukan pelongokan ke dalam. Sejauh mana dan sampai titik mana kita mengetahui suatu hal. Bagaimana kita menggeluti suatu hal. Ngeblog, juga bicara kejujuran—kejujuran dimaksud bukan hanya dalam batasan moral. Apa yang kita rasakan, entah itu dari pencerapan persepsi maupun penalaran serta permenungan, yang kesemua hal tersebut hadir dalam diri kita, hendak dituangkan dalam bentuk aksara. Dari sini, kita memeriksa kejujuran kita. Tentu saja, dalam ngeblog tidak ada objektivitas yang terpisah dengan subjektivitas. Dengan demikian, kejujuran bukan hanya terletak pada persoalan suatu hal sebagaimana hal itu sendiri, melainkan bagaimana kita memahami dan memaknai hal yang kita geluti tersebut.
Ngeblog, sebagai penyingkapan diri, sama halnya kita melakukan “kenaikan” diri menuju hal yang abstrak dan nonmaterial dalam prosesnya. Ketika ngeblog, kita sepenuhnya berpikir dan merenung serta mengabstraksikan sesuatu, yang mana kedua hal tersebut merupakan penziarahan kita akan dunia yang melampaui fisikalitas melulu.
Ngeblog sebagai suatu proses sama halnya dengan “kebelummenjadi-kemenjadian”. Ngeblog tidak hanya berkutat pada hal ketakterselesaian maupun keterselesaian, melainkan irisan dua hal tersebut: itu juga kenapa saya menyebutnya “kebelummenjadi-kemenjadian”. Dengan demikian, dalam ngeblog tidak melulu ada titik henti dan titik berangkat yang permanen, juga tidak temporal, melainkan melampaui kedua hal tersebut.
Ngeblog, sama halnya dengan bahasa, adalah ungkapan kita mengenai hidup. Sebagai sebuah ungkapan atas tegur-sapa kehidupan, ngeblog merupakan pengetahuan kita akan hal tertentu. Karenanya, hal tersebut patut dirayakan untuk kehidupan dan pengetahuan itu sendiri. Itu juga mengapa ketika kita membaca suatu tulisan yang pernah kita tulis pada waktu lalu dalam waktu kekinian, kita bisa melihat jejak kita dalam menggeluti kehidupan. Kadang kita merasa konyol, tertegun, kagum, heran, gemas, tertawa, dsb. saat membaca kembali tulisan yang pernah kita ciptakan. Atau ketika kita membaca tulisan orang lain, kadang kita melihat jejak kehidupan sang pengarang dalam tulisannya. Dengan demikian, ngeblog juga bisa dikatakan sebagai sebuah rekaman perjalanan hidup itu sendiri.
Salah satu yang paling mengagumkan dari ngeblog ialah, ia mampu merekam peristiwa lalu dan menghadirkan kembali pada masa kini. Layaknya kotak tempat penyimpanan akan suatu hal, kita bisa menaruh peristiwa yang sudah kita alami dalam blog, dan pada masa kemudian kita bisa membukanya, untuk melihat masa lalu.
Ngeblog juga merupakan suatu alat berkomunikasi. Terkadang ketika seseorang membaca suatu tulisan, pembaca tidak hanya membaca isi tulisan, melainkan membaca sang pengarang. Dari hal tersebut, suatu upaya awal komunikasi bermula. Tulisan bisa menjelajah ke berbagai tempat, walaupun kita yang menuliskannya berdiam di suatu tempat. Dengan demikian, dalam ngeblog terdapat suatu jembatan penghubung antara penulis dan pembaca.
Ngeblog juga berbicara gagasan. Pengetahuan, ide, gagasan, teori, atau apa pun itu namanya, hanya sekadar memori yang mendekam di ruang memori jika tidak diungkapkan ke dalam ujaran dan aksara. Tidak ada pengetahuan yang tersebar jika tidak ada ujaran dan aksara. Itu juga, bukanlah merupakan hal berlebihan jika ngeblog bisa dikatakan atau dianggap sebagai senjata. Dengan demikian, dalam upaya merayakan proses menuju hal lebih baik dalam konteks kehidupan sosial, aksara tidak bisa diabaikan begitu saja. Transformasi sosial yang pernah terjadi, hampir ada aksara yang turut berperan di dalamnya.
Ketika pengetahuan dan kekuasaan saling berkelindan, maka pengetahuan yang beredar pun akan mendapat kontrol atau pengawasan dari penguasa. Teks dan ujaran pengetahuan akan terdistribusikan dengan mudah jika tidak mengancam eksistensi kekuasaan. Teks yang mengancam eksistensi kekuasaan, menghancurkan budaya mapan, mendobrak nilai tatanan sosial mapan, dll. akan menjadi hal terlarang. Sampai sini, kita bisa melihat bahwa teks, termasuk negblog di dalamnya, mempunyai makna yang dalam, melampaui yang pernah kita duga sebelumnya. Dengan demikian, teks sangat penting ketika penguasa mengatur peredaran teks dalam masyarakat. Harus ada teks yang beredar untuk menjadi counter atau sanggahan terhadap kekuasaan. Pada titik ini, ngeblog juga bicara akan pemaknaan suatu hidup itu sendiri. Perlawanan atau pemberontakkan atas kekuasaan, bukanlah sekadar ketidakterimaan suatu pihak saat dikuasai oleh pihak lain, melainkan pemaknaan kehidupan yang juga dapat dilakukan oleh diri kita sendiri, sebagai manusia yang berkehidupan.
Hal-hal seperti yang sudah disebutkan sebelumnya—walaupun masih banyak hal yang bisa kita sebutkan—tentu sangatlah sulit untuk kita dapatkan ketika kita menulis dalam jagad komoditas. Makna-makna tulisan menjadi kering, selain hanya persoalan komoditas. Dalam jagad komoditas, pihak yang bekerja menerbitkan tulisan tidak akan menerbitkan begitu saja tulisan yang tidak bisa memberikan tambahan pada kapital dan mengancam eksistensi kekuasaan. Pun pada akhirnya, banyak blogger serupa dalam mencipta, terjebak pada logika komoditas: mencipta untuk mencari uang.
Tentu saja, saya tidak bermaksud untuk mengatributkan benar-salah belaka dari persoalan ini. Dalam arti, hal tersebut adalah hal lain, paling tidak bukan hal yang dijadikan titik pembahasan tulisan ini—walaupun saya tidak akan menghindari hal tersebut. Yang hendak saya bincangkan ialah bahwa kita bisa dan mampu menulis lepas dari kungkungan logika komoditas. Dan, ngeblog merupakan salah satu hal yang bisa dijadikan sebagai jawaban—tentu bukan satu-satunya jawaban.
Dalam ngeblog, menulis bukan demi komoditas melulu, melainkan suatu hal bisa yang dilakukan penuh dengan pemaknaan. Karenanya, ia tidak bisa direduksi hanya untuk sekadar mencari uang. Dengan demikian, pada dasarnya ngeblog merupakan suatu sistem tanda bahwa ngeblog adalah penciptaan. Dikatakan sebagai sistem tanda lantaran ngeblog merupakan wujud penolakan atas kehidupan yang didominasi oleh kepentingan kapital; pendobrakkan atas standardisasi penulisan yang disepakati segelintir pihak; penolakan dalam mencipta demi keinginan pasar melulu; pendobrakkan atas batasan-batasan isi tulisan atau hal-hal yang selama ini didiamkan untuk ditulis; pendobrakkan asumsi bahwa menulis adalah kemampuan yang dimiliki sebagian orang saja; perlawanan terhadap kekuasaan atau dominasi; penolakan terhadap penyeragaman dalam melihat dunia yang kaya akan makna; dan tanda-tanda lainnya. Ngeblog juga merupakan suatu upaya pemutusan kebergantungan penulis terhadap pusat penerbitan yang didasari logika komoditas.
Appendiks: Permasalahan
Bagian ini lebih tepat dipahami sebagai bahan yang bisa kita renungkan dan diskusikan ke depan. Oleh karena itu, saya hanya memaparkan sedikit permasalahan, tidak semua disebutkan, yang bisa ditemui dalam ngeblog. Alasan saya membuat lampiran ini, sebab hal yang akan saya sebutkan cukup penting, terutama pada titik bahwa ngeblog sebagai merupakan peretas keterpusatan.
Jika kita membaca pelbagai blog atau blogwalking, tidak sedikit kita menemukan ungkapan yang malah menjadikan sang blogger teralienasi dan rendah diri. Misalnya, tidak sedikit blogger yang menyebut dirinya tidak bisa menulis; mohon dimaklumi jika tulisannya jelek atas nama blogger newbie; menganggap ketidakseriusan sebagai hal yang melulu tidak serius; dll.
Hal-hal seperti itu, tentu saja tidak hanya mengerdilkan makna menulis, melainkan juga mengerdilkan kehidupan itu sendiri. Jika alasan seseorang ngeblog dikarenakan tidak bisa menulis, sama saja kita mengamini pendapat bahwa menulis adalah milik segelintir pihak. Padahal menulis bukanlah hal yang given, melainkan upaya. Dengan demikian, hal tersebut sama saja menafikan proses aprosiasi kita akan hal-hal yang kita ketahui dan bisa kita lakukan. Pada sisi lain, hal tersebut malah membuat demarkasi antara tulisan yang tidak bisa disebut sebagai tulisan sebagaimana tulisan dengan tulisan yang bisa disebut sebagaimana tulisan.
Akhirnya, jika begitu keadaannya, ketika kita ngeblog, pada saat sama kita membangun sistem tanda rendah diri dan hierarkis. Blogger lebih rendah daripada penulis/pengarang buku, wartawan, dll; informasi yang didapat dari blog tidak serius daripada informasi yang berasal dari surat kabar, televisi, dll; blogger adalah orang yang kemampuan menulisnya pas-pasan; dsb.
Tentu saja, ada banyak hal yang pengin saya bicarakan soal keterjebakan pada alienasi yang terdapat di dalam ngeblog. Akan tetapi, karena niat saya hanya hendak membuka diskusi, hal tersebut sudah dirasa cukup memberikan sedikit gambaran permasalahan yang ada di dalam ngeblog yang bisa didiskusikan bersama.
Saya tunggu yah, responsnya!