Tampilkan postingan dengan label Cultural Studies. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cultural Studies. Tampilkan semua postingan

Menuju Agama Virtual

Diposting oleh FilsafatKonseling on 8.18.2010

Pada tulisan sebelumnya, kami menyinggung soal upacara bendera virtual, Anda bisa melihatnya di sini, dan sebagian pertanyaan apa saja yang muncul yang bisa kita diskusikan bersama. Pada kesempatan ini, kami hendak mencoba menyoroti persoalan virtual tersebut pada ranah berbeda, agama. Apa yang hendak kami bahas, pernah disinggung oleh Yasraf Amir Piliang dalam pelbagai bukunya. Tetapi, ketika menuliskannya, Yasraf belum menyaksikan upacara bendera virtual. Oleh karena itu, kemunculan upacara bendera virtual pada 17 Agustus lalu sangat menarik untuk dibahas lantaran kemungkinan melakukan kegiatan agama berbasis virtual semakin mendekati aktualitasnya, terlepas dari normativitas agama itu sendiri yang boleh jadi tidak memungkinkannya. Namun, seperti upacara bendera virtual, barangkali tidak terbayang sebelumnya, pada akhirnya ia bisa hadir dan diterima.

Yasraf sempat menyinggung soal ibadah virtual, terutama dalam perkembangan cyberspace dan teknologi informasi itu sendiri yang tidak hanya memungkinkan membangun masjid virtual, tetapi melibatkan orang untuk melaksanakan ibadah di dalamnya; mulai dari adzan, wudhu, sampai shalat berjamaah.

Betapapun, sistem komputer pada masa mendatang bisa dirancang menciptakan sebuah model masjid 3D di dalam sistem memorinya. Dengan menggunakan peralatan khusus (headed mounted display, data suit, sensor-effector suit, eye-glass, glove, dst.) yang dihubungkan dengan sistem komputer, dapat dihasilkan lingkungan virtual, yang tidak lagi berupa gambar yang kita lihat di layar, tetapi gambar virtual yang kita seakan-akan berada atau tercelup di dalamnya. Dengan cara yang sama, kita seakan-akan berada di dalam sebuah masjid nyata, dengan melihat di sekeliling, kita akan menemukan orang, mimbar, jendela, dst., yang tampak nyata. Artinya, melalui teknologi realitas virtual, kita tidak lagi melihat gambar di depan kita, tetapi kita berada di dalam gambar itu. Kita dapat melihat masjid tersebut, berjalan ke arahnya, atau memasukinya. Kita dapat menyentuh dindingnya, relief kaligrafinya, atau permadaninya. Kita dapat berjalan ke tempat wudhu dan berwudhu di dalamnya. Misalnya, kita dapat memutar keran air di tempat wudhu, lalu air akan mengucur dan kita dapat mendengar suara kucurannya. Model yang kita hadapi betul-betul tampak tiga dimensi. Ketika kita selesai berwudhu dan memalingkan muka, keran tempat wudhu tampak masih tetap diam di tempatnya. Kini, kita melihat sisi lain dari ruang tempat wudhu, beranjak pergi ke dalam masjid, lantas suara keran air semakin menghilang dari pendengaran. Lalu, kita siap sembahyang berjamaah dengan sejumlah orang di dalam masjid virtual atau cybermosque. Namun, tempat dan ruang masjid yang kita masuki tadi, serta perlengkapan yang kita gunakan dan dapat kita rasakan, bukanlah sesuatu yang nyata, hanya ada di dalam komputer. Kita dapat melakukan sembahyang berjamaah secara interaktif (menyentuh orang di sebelah, menyela imam yang salah, mendengar suara orang-orang di sekitar), meskipun, secara fisik, setiap jamaah yang salat tersebut pada kenyataannya berada di depan komputer dan dilingkupi peralatan interaktif cyber di rumahnya masing-masing. Itulah lukisan sebuah masjid virtual di masa depan, terlepas dari persoalan syariatnya (coba lihat beberapa buku Yasraf).

Jika pada masa mendatang cybermosque dan shalat virtual mungkin dilakukan, dan mengacu pada upacara bendera virtual yang sukses dilakukan itu, tidak menutup kemungkinkan ibadah lain bisa dilakukan secara virtual nanti, seperti puasa virtual, perang jihad virtual, tarawih virtual, pendek kata, ibadah dari setiap agama, baik itu Islam, Kristen, Yahudi, Buddha, Hindu, Tao, Indian, dan lainnya, bisa dilakukan secara virtual pada masa mendatang.

Barangkali Anda sebagai pembaca tulisan ini ada yang berkeberatan dan menyanggahnya. Itu boleh saja. Tetapi, yang hendak kami tegaskan adalah soal mengajak Anda untuk berdiskusi dengan kami soal ini, hiper-realitas, mengingat sudah banyak sekali hiper-realitas dalam dimensi religiusitas yang digelar. Misalnya, baiat virtual pada salah satu tarikat.

Soal ini, kami punya pandangan tersendiri. Dan, Anda tentu saja punya, yang boleh jadi itu berbeda dengan kami. Oleh karena itu, akan sangat menarik dan berfaedah jika Anda berkenan mendiskusikannya bersama kami di sini. Anda bisa menggunakan sudut pandangan atau pendekatan apa saja, filsafat, cultural studies, sosiologi, komputasional, filsafat perennial, gnostik, tasawuf, atau apa sajalah, bebas. Kami tunggu yah.
Baca selengkapnyaMenuju Agama Virtual

Telaah Budaya | Jika Upacara Benderanya Virtual, Maka Kemerdekaannya Pun Virtual

Diposting oleh FilsafatKonseling on 8.18.2010

Pada 17 Agustus lalu, di Indonesia dilaksanakan Upacara Bendera Kemerdekaan secara virtual. Respons masyarakat Indonesia pengguna Internet sangat semarak. Bahkan di Twitter #upacarabendera menjadi trending topic. Pada laman tempat upacara bendera itu dilaksanakan, disediakan pula interaksi tweet yang bisa diamati; di Twitter jika kita mengamati lintasan "kicauan" pada hashtag #upacarabendera, maka akan ditemui selorohan dan keseriusan yang terjadi di dalam upacara bendera nonvirtual seperti ada yang kesurupan, ada yang nakal lamat-lamat beranjak dari lapangan, suasana "ngaso" akibat kepanasan di lapangan. Pendek kata, apa yang ditemukan di dalam realitas upacara bendera bisa ditemukan di dalam upacara bendera virtual. Dalam ranah filsafat, realitas yang ditampilkan dalam upacara bendera virtual itu disebut sebagai hiper-realitas, yakni realitas yang tidak mengacu pada dirinya melainkan pada citraan yang ditampilkan; atau realitas yang tidak berakartunjang pada realitas itu sendiri, tetapi citraan yang digelar. Hiper-realitas bisa membangun realitasnya sendiri tanpa berpijak pada apa pun, selain citra.

Dari hal itu, timbul beberapa pertanyaan, untuk tidak menyebut semua: apakah perayaan kemerdekaan yang salahsatunya dimanifestasikan melalui upacara bendera virtual itu merayakan perjuangan yang juga virtual? Lalu, bagaimana upacara bendera virtual itu membangun makna kemerdekaannya sendiri? Bagaimana dan apa dampak sosial dari hiper-realitas yang hendak dicapai upacara bendera virtual itu? Relasi sosial macam apa yang direkonstruksinya? Apakah virtualitas bisa membentuk budaya virtual pula? 

Kami memercayai bahwa Anda pasti memiliki pendapat menarik, bagus, dan khas berkenaan soal ini. Oleh karena itu, kami mengundang Anda untuk berdiskusi bersama soal ini.
Baca selengkapnyaTelaah Budaya | Jika Upacara Benderanya Virtual, Maka Kemerdekaannya Pun Virtual
 

YANG MENGIKUT

Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 Unported License.

Hasil Bertukar Banner