Di sini cukuplah kita
mengutarakan faktor-faktor terpenting yang dapat menyuburkan takwa,
mengukuhkannya di dalam hati dan jiwa seseorang Mukmin, dan menyatukannya
dengan perasaan, semoga kita dapat mengikuti jejak menuju takwa.
Pertama: Mu’ahadah (Mengingat Perjanjian)
Kalimah ini diambil daripada firman Allah Yang Maha
Tinggi;
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu
berjanji…” [An-Nahl: 91]
Cara Mu’ahadah
Hendaklah seorang
Mukmin berkhalwat (menyendiri) antara
dia dan Allah Subha Nahu wa Taala untuk
mengintrospeksi diri seraya berkata kepada dirinya; “Wahai jiwaku, sesungguhnya
kamu telah berjanji kepada Rabbmu setiap hari disaat kamu berdiri di dalam
solat membaca;
“Hanya kepada Engkau kami beribadah dan hanya kepada
Engkau kami mohon bantuan.”
Wahai jiwaku,
bukankah dalam munajat ini engkau telah berikrar tidak akan menghambakan diri
kepada selain Dia. Tidakkah engkau telah berikrar untuk tetap komited kepada siratal mustaqim (jalan yang lurus).
Tidakkah engkau telah berikrar untuk berpaling daripada jalan orang-orang yang
sesat dan dimurkai Allah?
Kalau memang
demikian, hati-hatilah wahai jiwaku. Janganlah engkau langgar janjimu setelah
engkau jadikan Dia sebagai pengawasmu. Janganlah engkau mundur daripada jalan
yang telah ditetapkan oleh Islam setelah engkau jadikan Allah Subha Nahu wa
Taala sebagai saksimu. Hati-hatilah
jangan sampai engkau mengikuti jalan orang-orang yang sesat dan menyesatkan
setelah engkau jadikan Dia sebagai penunjuk jalan.
Kedua: Muraqabah (Merasakan Kehadiran Allah Subha Nahu wa
Taala )
Dasar muraqabah dapat anda temukan dalam surah Asy-Syura,
iaitu firman Allah Subha Nahu wa Taala;
“Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk solat) dan
melihat pula perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud.”
[Asy-Syura: 218-219]
Dalam sebuah hadis, ketika nabi SAW ditanya tentang
ihsan, baginda menjawab;
“Hendaklah kamu beribadah kepada Allah
seolah-olah kamu melihat-Nya, dan jika kamu tidak melihat-Nya, maka
sesungguhnya Allah melihat kamu.”
Makna Muraqabah
Muraqabah sebagaimana diisyaratkan oleh al-Quran dan
hadis, ialah; Merasakan keagungan Allah Azza Wa Jalla di setiap waktu dan
keadaan serta merasakan kehadiran-Nya dikala bersendirian ataupun dikhalayak
ramai.
Cara Muraqabah
Sebelum memulai sesuatu pekerjaan dan disaat
mengerjakannya, hendaklah seorang Mukmin memeriksa dirinya, apakah setiap gerak
dalam melaksanakan amal dan ketaatannya dimaksudkan untuk kepentingan peribadi
dan mencari populariti, ataukah kerana dorongan redha Allah Subha Nahu wa Taala
dan menghendaki pahala-Nya?
Jika benar-benar kerana redha Allah Subha Nahu wa Taala,
maka teruskanlah melaksanakannya walaupun hawa nafsunya tidak setuju dan ingin
meninggalkannya. Kemudian teguhkan niat dan tekad untuk melangsungkan ketaatan
kepada-Nya dengan keikhlasan sepenuhnya dan semata-mata demi mencari redha
Allah Subha Nahu wa Taala.
Itulah hakikat ikhlas. Itulah hakikat kebebasan diri
daripada penyakit nifa’ dan riya’. Iman Hasan al-Basri berkata; “Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada
seorang hamba yang selalu mempertimbangkan niatnya. Bila semata-mata kerana
Allah Subha Nahu wa Taala, maka dilaksanakannya tetapi jika sebaliknya maka
ditinggalkannya.”
Bentuk-bentuk Muraqabah
Ada beberapa bentuk muraqabah;
- Muraqabah
dalam melaksanakan ketaatan adalah dengan ikhlas kepada-Nya.
- Muraqabah
dalam kemaksiatan adalah dengan taubat, penyesalan dan meninggalkannya
secara total.
- Muraqabah
dalam hal-hal yang mubah (harus) adalah dengan menjaga adab-adab terhadap
Allah Subha Nahu wa Taala dan bersyukur di atas segala nikmat-Nya.
- Muraqabah
dalam musibah adalah dengan redha kepada ketentuan Allah Subha Nahu wa
Taala serta memohon pertolongan-Nya dengan penuh kesabaran.
Ketiga: Muhasabah (Memeriksa diri)
Dasarnya terkandung di dalam Al-Quran;
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah
dan hendaklah memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok
(akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan.” [Al-Hasyr: 18]
Makna muhasabah
sebagaimana diisyaratkan oleh ayat ini ialah; Hendaknya seorang Mukmin
menghisab dirinya ketika selesai melakukan amal perbuatan. Apakah tujuan
amalnya untuk mendapatkan redha Allah Subha Nahu wa Taala atau apakah amalnya
dicemari sifat riya’?
Ketahuilah, seorang Mukmin setiap pagi hendaklah
mewajibkan diri untuk memperbaiki niat, melaksanakan ketaatan, memenuhi segala
kewajiban, dan membebaskan diri daripada riya’. Demikian juga dipetang hari,
semestinya dikhususkan waktu untuk bersendirian dengan dirinya untuk
memperhitungkan semua yang telah dilakukan. Apabila yang dilakukannya itu
kebaikan, maka hendaklah memanjatkan puji syukur kepada-Nya atas taufik-Nya,
seraya memohon keteguhan dan tambahan kebaikan. Apabila yang dilakukan itu
bukan kebaikan, maka hendaklah ia bertaubat dan kembali ke jalan yang lurus,
seraya menyesal, memohon ampun, berjanji untuk tidak mengulangi serta memohon
perlindungan dan husnal khatimah
kepada-Nya.
Semoga Allah Subha Nahu wa Taala meredhai Umar al-Faruq
r.a. yang berkata;
“Hisablah
diri kalian sebelum kalian dihisab, timbanglah diri kalian sebelum kalian
ditimbang, dan bersiap-siaplah untuk pertunjukkan yang agung (hari Kiamat). Di
hari itu kamu dihadapkan kepada pemeriksaan, tiada yang tersembunyi dari amal
kalian barang satu pun.”
Keempat: Mu'aqobah
(Menghukum)
Asas bagi mu'aqobah adalah firman Allah Azza Wa
Jalla;
"Dan
dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang
berakal, supaya kamu bertakwa." [Al-Baqarah: 178]
Hukuman yang dimaksudkan sebagaimana yang diisyaratkan
oleh ayat tersebut adalah; Apabila seorang Mukmin melakukan kesalahan, maka
tidak wajar baginya membiarkannya. Sebab membiarkan sesuatu kesalahan berlalu
tanpa melakukan apa-apa akan mempermudah terlanggarnya kesalahan-kesalahan yang
lain dan akan menjadikan sukar untuk ditinggalkan. Sepatutnya dia memberikan
hukuman kepada dirinya dengan hukuman yang mubah (harus) sebagaimana memberikan
hukuman atas isteri dan anak-anaknya. Ini adalah agar ia menjadi peringatan
bagi dirinya agar tidak menyalahi ikrar, disamping merupakan dorongan untuk
lebih bertakwa dan bimbingan menuju hidup yang lebih mulia.
Kelima: Mujahadah
(Melawan Dorongan Nafsu)
Dasar mujahadah adalah firman Allah Subha Nahu Wa Ta'ala
di dalam Al-Quran:
"Dan
orang-orang yang berjihad untuk (mencari keredhaan) Kami, benar-benar akan Kami
tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar
beserta orang-orang yang berbuat baik." [Al-Ankabut: 69]
Makna mujahadah sebagaimana disyariatkan oleh ayat
tersebut adalah: Apabila seorang Mukmin terseret dalam kemalasan, santai, cinta
dunia dan tidak lagi melaksanakan amal-amal sunnah serta ketaatan yang lainnya
tepat pada waktunya, maka ia harus memaksa dirinya melakukan amal-amal sunat
lebih banyak daripada sebelumnya. Dalam hal ini, harus tegas, serius dan penuh
semangat sehingga pada akhirnya ketaatan merupakan kebiasaan yang mulia bagi
dirinya dan menjadi sikap yang melekat pada dirinya.
- Itulah beberapa cara untuk menumbuh suburkan takwa
dalam hati dan ruh setiap Mukmin serta menyatukannya dengan perasaannya.
Dengan mu'ahadah kita dapat beristiqamah di atas syariat Allah
dan dengan muraqabah, kita dapat merasakan keagungan Allah baik di kala
bersendirian maupun di khalayak ramai.
Dengan muhasabah kita dapat bebas daripada tarikan hawa
nafsu yang selalu memberontak, dan dapat memenuhi hak-hak Allah dan hak-hak
sesama manusia.