11/20/2024

Foto dua anak







Ini adalah foto saya dan kakak. Di balik dua anak ginok-ginok dalam foto ini, ada seorang Ibu yang menciptakan memori luar biasa, terutama untuk anak bungsunya.

Ibu tempatku mencari nyaman

Ingat sekali, menjelang akad nikah, saya termehek-mehek nangis sesenggukan, takut menikah. Takut tidak tahu apa yang akan terjadi setelau menikah. Takut berpindah dari tangan ayah dan ibu yang sudah terbukti keamanannya, ke tangan seorang laki-laki yang entah bagaimana lah nanti jadinya. Memeluk ibu, dan tidur beralaskan lengannya sebagai bantal, sesenggukan sampai tertidur menjelang akad nikah. Setelah menikah, rasanya tetap ingin memeluk ibu sesuka hati, tapi sulit sekali dengan posisi perut melentung hamil, apalagi setelah ada anak piyik yang saat itu baru lahir.

Garang di Bandung, tapi anak ketek begitu pulang ke Semarang. Iya, saya masih tidur mencari ketek Ibu meskipun sudah mahasiswa. Jangan ditanya ketika SMA, SMP, atau usia di bawahnya. Momen favorit adalah ketika Ibu sudah pulang dari mengajar di sekolah, dan saya bisa dusel dusel ketek Ibu tidur siang sampai puas. Ibu pun merasa ayem kalau bisa ngetekin anaknya, kalimat ini entah mengapa menjadi afirmasi positif, membuat saya merasa menjadi diri yang sangat berharga. 

Ibu (ternyata) pemersatu keluarga

Ada kata ternyata di dalam kurung, karena ini baru saya sadari setelah Ibu tiada. Anggota keluarga ini selain ibu adalah 1 orang bapak sumbu pendek, 1 orang anak yang tidak pernah bisa dimengerti orang tuanya, dan 1 orang anak dengan weton yang sama dengan bapaknya, jadi konon tak akan pernah akur dengan bapaknya. Ajaibnya keluarga ini bisa berjalan bersama dengan baik-baik saja. Ternyata kuncinya ada pada ibunya. Setelah ibu tidak ada, saya heran bukan main. Mengapa sulit sekali berkomunikasi dengan Bapak. Ternyata selama ini Ibu saya semacam pemimpin redaksi, memfilter semua narasi 2 arah. Sampai ke tangan pembaca sudah terstruktur, mudah dimengerti, dan tentu saja dalam kasus keluarga saya hasil edit pimred tidak sebombastis naskah aslinya. 

Selain karena kemampuan redaksionalnya yang memukau, saya masih berusaha mengingat-ingat apa yang dilakukan orang tua saya, terutama Ibu saya, sampai-sampai saya dan kakak sama sekali tidak tertarik untuk bermusuhan. Mungkin juga karena tidak ada harta warisan bombastis yang sering menjadi sumber perkara keluarga. Tapi sepertinya lebih dari itu. Saya cuma ingat ibu saya cerita, paska saya lahir, ibu berusaha untuk tetap memperhatikan kakak saya. Memastikan dia tidak kehilangan perhatian, meskipun sudah punya adik. Sampai-sampai kelewatan lupa memperhatikan saya, sehingga saya ngencut jempol dan gigi berantakan saking ibu tetap fokus ke kakak saya. 

Ibu memperlihatkan bagaimana wanita harus berdaya

Berdaya disini kalau ala-ala instagram salah satunya adalah menyediakan menu makanan bergizi. Terlepas dari minimnya pengetahuan saat itu, salah satu prestasi terbesar ibu saya adalah memiliki 2 anak yang berat badannya melejit naik pada garis Kartu Menuju Sehat (KMS-kartu posyandu). Bukan hanya selalu naik, tapi mentok kelewat batas atas, sampai-sampai harus ditulis manual karena grafik yang ada sudah tidak cukup lagi angkanya. Tentu saja bukan masakan ibu yang saya kangen, karena kami selalu makan masakan embak ART. Tapi yang tercatat di kepala saya adalah agenda Ibu tiap hari sabtu pergi ke pasar, membeli beragam ikan, daging, dan ayam. Sampai rumah mencuci semuanya dan menyiapkan dalam porsi-porsi sekali masak. Dipikir-pikir canggih juga, sudah mengenal meal prep sejak jaman dulu.

Sisanya, adalah jalan ninja. Sarapan indomi bakso sayur telur, kornet telur, atau nyemil sosis goreng kecap. Tentu saja tidak sehat, tapi entah mengapa tetap bikin kangen Ibu.

Ibu saya bekerja, sebagai guru SMA. Berangkat pulang menyetir mobil, hijet merah hadiah dari kakek saya, yang sudah ada sejak saya lahir. Pulang pergi di tengah terik matahari Kota Semarang, Ibu saya baru berani bermimpi membeli mobil ber-AC ketika semua anaknya sudah masuk jenjang kuliah. Itu pun mobil bekas yang dijual oleh kakaknya dengan harga super miring dan pinjaman lunak selunak-lunaknya. Perempuan menyetir mobil kala itu masih jarang di Semarang. Makanya Ibu terkenal diantara kenek-kenek bus jurusan Ngaliyan Boja, rute yang Ibu lewati setiap menuju sekolah tempat mengajar dari rumah.

Satu lagi "ternyata" yang baru saya sadari ketika Ibu sudah tidak ada. Saya pikir menjadi guru SMA hanya hobi saja untuk Ibu karena gajinya tidak seberapa. Belakangan setelah saya lulus kuliah Ibu seperti bisa menikmati hidup yang sesungguhnya, mau beli apa saja bisa. Tapi saya pikir, ya itu karena sejauh yang terpikirkan olehnya ya yang dipengenin itu-itu saja. Ternyata, setelah Ibu tidak ada, Bapak heran dan pusing bukan main. Selama ini semua bisa terbayar. Hitang hitung, otak atik, tetap saja mustahil cukup untuk membayar semuanya. Yang jelas Bapak dan kami anak-anaknya tidak pernah merasa tidak tercukupi kebutuhannya. Kami tetap jalan-jalan dan makan diluar, sesuai kemampuan. Nggak nelangsa ngirit-ngirit banget lah. Ternyata, tidak terasa kontribusi ibu besar sekali. Mungkin gaji yang tidak seberapa selama ini benar-benar tidak pernah dipakai untuk dirinya sendiri. Mungkin juga jadi cukup berkat tangan sakti ibu yang kemampuan mengelola finansialnya luar biasa. Entah yang benar yang mana, intinya kok bisa. 

Tidak berhenti disitu. Ibu saya, entah minum suplemen apa sampai-sampai besar sekali tenaganya, rajin sekali bikin ini itu. Bikin kolase foto, jadi tim heboh persiapan 17 agustusan di komplek rumah, jadi tim heboh pentas seni di sekolah, bikin slide power point untuk mengajar di sekolah dengan animasi dimana saat itu masih jarang sekali guru yang kepikiran mengajar dengan media digital, sampai menulis artikel di koran. Ckckckck. Saya cuma kerja dan ngurus anak sepulang kerja aja rasanya cuma pengen nggletak ketika ada kesempatan. Kok bisa.

Ibu, adalah benchmarking kanker usus

Ini khusus untuk saya pribadi. Bila kanker usus adalah prompt, chat GPT dalam kepala saya otomatis menghasilkan narasi adegan di Bulan Desember 2016-Januari 2017. Akhir tahun selalu bernada sendu kelabu untuk saya. Rentetan gejala, penyesalan lambat tindakan, rentetan tes, progress yang naik turun dan tidak jelas kabarnya, masih erat sekali rasanya. Apalagi akhir tahun cuaca selalu mendung-mendung kelabu. Film horor kembali berputar minggu lalu ketika ada rekan kantor yang istrinya wafat karena kanker usus. Mungkin semua orang aneh melihat saya, tiba-tiba sesenggukan tidak terkontrol. Duh, sudah lah

***


Lalu, ini adalah foto mini me. Ya, kedua anak saya. Dibalik dua anak yang semua lahir ginok-ginok tapi lalu menemukan bentuknya masing-masing ketika semakin membesar, ada seorang Ibu yang berharap dapat menghasilkan memori luar biasa juga.

Tidak ada Subjudul khusus yang bisa saya tuliskan untuk menceritakan ibu dari kedua anak yang ini. Memori yang berputar di kepala sejauh ini adalah up and down kehidupan, yang membuatnya sering kali ingin kembali ke wujud anak ketek saja. Mencoba berdaya dengan bekerja, tetapi rasanya kondisi sekarang jauh berbeda dari kondisi dulu. Rasanya ingin sekali memanggil Ibu untuk bertanya, bagaimana saya dan kakak begini dan begitu, ketika Ibu pergi bekerja. Mencoba berdaya dengan menyiapkan bahan makanan dan jadi ahli pengatur keuangan keluarga, tapi tetap saja rasanya ada banyak tanda tanya.  

Penuh syukur bisa terbangun pukul 23.15, sehingga masih bisa ikut Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Bulan November.


 










10/02/2024

Menua Sedunia

Tersenyum saya melihat topik tantangan bulan ini. Setelah 3 kali gagal dan menyisakan tumpukan draft terbengkalai yang semakin tinggi pada dashboard blog saya, marilah kali ini kita mulai sejak hari pertama tantangan. Kalau sampai gagal submit lagi, ampun deh Rin. 


Tentu saja, cerita kali ini ditujukan untuk ikut Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Bulan Oktober 2024, berjudul Hari Tua. Ide tulisan kali ini lagi-lagi dari tempat kerja saya. Entah karena kerjaan saya se -absurd-menarik itu, atau karena saya sekudet itu, kerja melulu sampai-sampai tidak ada hal lain yang bisa diceritakan selain tentang pekerjaan. hahaha -ketawa miris sambil was was.

12 tahun berlalu, pekerjaan saya tidak jauh-jauh dari isu menjaga lingkungan. Bukan karena cinta almamater TL garis keras, tapi karena ya rejekinya disitu.hehehe. Merupakan pengalaman yang tidak biasa ketika 4 bulan ini saya tiba-tiba tercemplung ke dalam topik Jaminan Sosial. Jamkes, Jamket, JKP, JHT, je je je je terbata-bata saya mengingat semua singkatan itu karena selama ini berbicara jaminan sosial yang ada di kepala saya hanya jamsostek. Hahahaha. Sekarang jadi BPJS, dan ternyata di dalamnya ada segambreng program pemerintah. Sebetulnya, banyak sekali jaminan sosial yang digelontorkan pemerintah. Baru tau :)

Konferensi bikin tua?

Belum selesai mencerna je je je tadi, saya terseret dalam koordinasi persiapan Ageing Conference. Bloon total soal ini, saya berguman dalam hati, apakah saya salah dengar. Ageing conference? Konferensi penuaan? Apakah pemerintah juga menyediakan jaminan sosial skin care untuk menghilangkan flek ageing? Atau ini konferensi untuk kakek nenek berkumpul? Atau bisa juga, konferensi yang membuat pesertanya mendadak tua setelah keluar dari ruangan?

Ageing conference
Sumber: https://baliconventioncenter.com/

Sungguh malu dengan kekudetan saya, ternyata ageing, alias penuaan ini, menjadi isu global yang hangat. Fokusnya adalah untuk memikirkan bagaimana nasib negara-negara yang laju kelahirannya menurun, sehingga akan tiba masanya negara itu berisi orang-orang tua. Indonesia sendiri diprediksi akan diisi 25% populasi tua di tahun 2026. 

Usia 60 atau lebih selama ini hanya dilihat sebagai kelompok dengan produktivitas yang menurun, dan butuh pertolongan dari orang lain. Intinya, menjadi beban bagi kelompok usia lainnya. Masih cukup jauh dari hari tua, tapi belum apa-apa saya sudah sedih memikirkannya. 

Apakah menyerah dengan hari tua?

Sungguh konferensi ini adalah refleksi diri. Hari tua sudah pasti datangnya. Tapi ternyata ada cara-cara yang katanya bisa meningkatkan kualitas hari tua kita. Aktif berkomunitas adalah salah satu caranya. Konon katanya, orang tua bisa tetap produktif bila aktif berperan dalam komunitas. Bukan hanya mengikuti arus, tetapi komunitas tersebut berjalan dengan memikirkan kebutuhan elderly. Dengan memberikan ruang dan kesempatan, beberapa komunitas bahkan menjadi maju setelah dipimpin oleh anggota mereka yang sepuh. Wah!

Cara lainnya adalah dengan intergenerational sharing alias ngobrol, mah! Berkomunitas saja sudah baik, tapi kalau mau lebih ajaib lagi, banyak-banyak lah ngobrol dengan lintas generasi. Jadi ingat kembali film Live to 100: Secret of the Blue Zone yang saat itu direkomendasikan Mamah May. Ternyata bukan hanya di blue zone, mengobrol dengan anak-anak muda menjadi cara yang globally proven untuk meningkatkan kualitas hari tua. 

Mengobrol lintas generasi untuk menolak tua
Sumber: https://faithachiaa.com/

Bukan hanya untuk mencegah pikun, ternyata ngobrol lintas generasi ini dianggap bisa membantu ketahanan terhadap perubahan iklim dan adaptasi teknologi. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, ngobrol menjadi sesuatu yang berfaedah bahkan didorong. Konon katanya, melalui obrolan ini, yang sepuh bisa menceritakan pengalaman bertahan di masa lalu dengan wisdom yang seringkali anak muda tidak ketahui. Sebaliknya, anak muda juga bisa berbagi cara-cara mereka untuk bertahan dalam kehidupan yang semakin menantang saat ini, terlebih dalam hal bagaimana mereka menggunakan teknologi. Inspirasi bisa didapat oleh kedua belah pihak. Menjadi refleksi bagi saya yang menuju tua, jangan malu mendengar dari anak-anak yang lebih muda.

Kembali ke realita

Lepas dari mengurusi seantero dunia yang sedang memikirkan hari tuanya, suatu hari saya duduk bersama teman kantor saya, menunggu kereta kembali ke Jakarta. Duduk sekitar 2,5 jam di foodstall stasiun KCIC karena salah perhitungan jam, dengan latar belakang matahari senja yang cerah. Entah terbawa suasana atau memang ya mencari topik obrolan saja, tiba-tiba teman saya bergumam tentang hari tuanya. Beliau sekitar 15 tahun lebih tua dari saya dan sudah berkeluarga. "Nanti saat tua diurus siapa" adalah isu yang berputar dalam benaknya. 

"Kamu sih ada anak, Rin," 

"Yah ada anak juga nggak menjamin ada yang ngurus 24 jam," saya menimpali, teringat kembali bagaimana kedua orang tua saya melewatkan hari-hari terakhirnya.

"Iya sih," sepertinya kali ini gantian beliau yang teringat orang tua yang saat ini masih ada.

Obrolan lantas berlanjut ke senior living care alias "panti jompo" modern yang saat ini mulai muncul di Indonesia. Bukan panti yang sesungguhnya tapi lebih ke rumah full service. Saya sendiri belum terbayang seperti apa bentuknya, tapi memang kalau curi-curi intip dokumen pemerintah sih, konon katanya akan ada kota-kota pusat pertumbuhan, yang fokusnya menjadi retirement city. Kota pensiun, salah satunya Batam. Mungkin rumah full service tadi ada di kota semacam ini. Biayanya sekitar 12-15 juta rupiah per bulan. 

"Semahal itu, udah pensiun gimana cara bayarnya coba, Rin?" terlihat raut wajah teman saya yang seperti memikirkan apakah harus mulai puasa setiap hari untuk berhemat hingga bisa menyisakan 15 juta per bulan hingga meninggal dunia. 

Padahal pada level beliau, seharusnya ya enggak segitunya sih😂.

Memikirkan senja
Sumber: kompasiana.com


Di kesempatan lainnya, saat break acara pelatihan, 2 teman saya membicarakan topik ini juga. Bagaimana mereka gelisah memikirkan hari tua. Yang satu lebih slow santai aja, mungkin karena masih sibuk memikirkan putra putri-nya, alih-alih sudah bisa konsentrasi memikirkan hari tua. Yang satu lagi, kebetulan belum berkeluarga. Mereka berdua membahas peluang hidup orang Indonesia yang saat ini rata-rata ada di usia maksimal 60-65 tahun. Saya cuma angguk-angguk khusyuk mendengarkan. Mereka berdua ini memang berkecimpung dengan isu sosial di pekerjaannya, jadi lumayan bisa dipercaya lah, pikir saya.

Obrolan makin hangat ketika mereka berhitung kebutuhan biaya untuk hidup hingga usia 65 tahun. Hidup saja mungkin tidak menjadi masalah. Tapi pertanyaannya, berapa yang dibutuhkan kalau tidak ingin mengurangi kualitas hidup setelah pensiun?

Mereka komat kamit sambil ketak ketik kalkulator. Es kelapa di mulut saya hampir tersembur, keselek, mendengar teman saya tiba-tiba berteriak dengan suara menggelegar, UMUR SUDAH SEGINI KEK MANA MAU NGUMPULIN EMPAT MILIAR BUAT HIDUP SAMPAI UMUR 65. MASA HARUS JADI ANI-ANI?!

Memikirkan diri sendiri

Senyam-senyum saya mengingat kembali obrolan dengan teman kantor. Tidak berapa lama sebelum itu, saya dan suami adu argumen cukup panjang, tentang bagaimana kami harus mulai menyiapkan hari tua. Tentang mau dimana, dengan siapa, dan tentunya berapa uangnya. 

Pengetahuan minim saya menggiring ke pikiran sederhana. Intinya, tidak mau merepotkan anak-anak. Yang penting, kapan pun ingin mengunjungi mereka saya bisa melakukannya. Suami saya yang lebih futuristik sudah memikirkan banyak angan. Tinggal di desa dengan kolam ikan dan air mancur mengalir kricik kricik adalah salah satu tujuan hidupnya yang hakiki. Keinginan lainnya adalah bisa set up ruangan game dan menghabiskan waktu main game - sesuatu yang sangat mewah untuk dilakukan sekarang. Mengingat, baru 5 menit menghilang minum teh saja sudah ada yang teriak Babaaaaa... baba dimanaaaa??? 😂

Menutup dengan kembali lagi ke bumi

Perdebatan antara saya dan suami semakin memanas ketika memikirkan berapa banyak yang harus kami tabung hari ini untuk mempersiapkan kondisi pensiun yang kami harapkan. Kepala realistis saya penuh sanggahan seperti apakah di desa ada internet yang bagus untuk main game? apakah kita bisa rajin menyapu halaman dan membersihkan rumah karena sepertinya untuk menjadi orang desa idealnya harus rajin bekerja. Yang sudah pasti, hidup di desa akan minim bantuan seperti mamang gojek, eceu goclean, atau penyedia jasa lainnya. Sebaliknya, kepala pragmatis suami saya mengatakan, ya intinya harus menabung sebanyak-banyaknya agar tidak gelisah dan punya pilihan yang lebih luas. Harus merencanakan sebaik-baiknya agar tidak was-was dan zonk di akhir. 

Pusing sekali memikirkan hari tua setelah pensiun ini. Padahal ketika mencoba membahas topik ini dengan kakak saya, dia cuma tanya: 

"Orang tua kita meninggal umur berapa?"
            
"58 dan 60."

"Sudah pensiun?"

"Belum."

"Nah, ya udah."

-selesai-