Berjilbab karena Cinta
Saya lebih suka menyebutkan kerudung. Karena jika masih berada pada kata ‘jilbab’, sudah menyeluruh dari atas kepala hingga ujung kaki. Tapi, baiklah, karena (lagi) di Indonesia lebih dikenal dengan jilbab, mari kita membahasakannya demikian.
Sejak SMU, keinginan terbesar saya adalah memakai jilbab. Namun, semakin besar, semakin banyak pula alasan yang tercipta dari ketidak mampuan diri membendung nafsu lahiriah. Walaupun pribadi saya yang bukan pesolek, tidak suka shopping, tidak pernah rutin berganti model dan merk pakaian, toh, tetap saja seabreg pengalihan pendapat menggunung. Seperti, apakah saya harus mengenakan jilbab ketika lari ditengah pertandingan softball, dengan pakaian –yang tahu sendiri- kebangsaan olahraga itu mengharuskan press pada bagian pinggul ke bawah. Atau, haruskah saya jingkrak-jingkrak menggiring bola basket, lalu meliuk-liukkan badan menghindari lawan? Duh, nggak mutu banget kalau diingat stok alasan saya dulu.
Walau demikian, kobaran keinginan untuk segera mengenakan tidak padam. Penyalurannya, saya kerap ada pada berbagai hari besar islam dengan segala pernik muslimah. Buku-buku yang saya baca pun tidak pernah lepas dari hal-hal yang berkaitan islam. Saya pikir kala itu, cukuplah saya menjejali diri dengan menghadirkan ruh untuk segera menggapai hidayah itu.
Hingga pada saat saya bisa dengan leluasa berkeliaran di hutan kalimantan. Hidup dengan rute yang itu-itu saja. Hanya asrama, kantor, tempat makan, kantor lalu asrama lagi. Tidak ada stick, gluf, atau pun pertandingan-pertandingan yang selalu saya ikuti bersama tim. Tidak ada sibuk mempersiapkan dengan latihan setiap hari, tidak ada kesibukkan dimana harus memacu adrenalin untuk bisa tetap PD ditengah lapangan. Justru…adrenalin saya terpacu pada hal lain. Saya harus segera mewujudkan untuk segera berjilbab. Kapan lagi?!?
Lingkungan saya punya andil besar dalam mendukung saya untuk segera mengenakannya. Teman-teman se’gank’ pun telah duluan ambil start berjilbab dibanding saya. Walaupun kami sama-sama tidak lepas dari kegiatan IRMA (Ikatan Remaja Masjid), namun justru saya yang –ngakunya- anak ibu, masih saja takut akan ketidak-nyamanan akan pendapat orang tua kelak jika mereka melihat perubahan saya. Apa kata dunia?!? Wah…
Saya masih ingat, teman sekamar saya, waktu itu minta tolong untuk membelikan beberapa jilbab melalui ibu saya.
“Teh, tolong titip ibu ya buat beliin jilbab. Warnanya ini, ini dan itu.” Saya pun segera mengontak ibu agar membelikan pesanan teman saya itu. Kalimat ibu pun tidak saya duga,
“Kamu mau pake jilbab, Rien? Udah siap belum?? Kalau belum siap, ntar aja, takutnya udah pake, ehh dilepas.”
Saya tidak mengiyakan ataupun menyanggah. Cukuplah si pemilik hati tahu bagaimana hati saya saat itu.
Jadilah, dengan berbekal satu buah jilbab (nodong beli dari teman sekamar saya), bismillah saya kenakan. Lucu jika ingat kejadian itu. Pagi-pagi sekali, saya ngantor seperti biasa dengan memakai lengan panjang dan celana panjang, lengkap kaus kaki dan ransel. Sedari pagi hingga menjelang makan siang, saya gelisah dan bingung untuk menahan perasaan. Salah seorang teman, yang kerap menasihati, menegur seolah tahu kegundahan saya. Ketika saya jelaskan duduk persoalannya, dia mantap menyemangati, “Rien, doaku selalu mengiringimu!”. Selesai makan siang, saya kembali ke kantor dengan telah memakai jilbab, seraya diiringi tatapan heran dari teman-teman kantor saya.
Dalam metamorfosa berjilbab, mungkin saya tidak terlalu neko-neko (baca: saya memang kuno dalam mode). Jilbab saya dari dulu haruslah menutup dada. Kalaupun masih bercelana panjang ria ke kantor, lebih karena medan kantor saya yang berada di area pabrik mengharuskan demikian. Setelah kembali beraktifitas di asrama atau pun di mesjid, saya pun dengan bebas mamakai gamis/abaya, lengkap jilbab panjang. Dan alhamdulillah, itu berlangsung hingga sekarang. Pernah iseng saya kenakan dengan gaya ‘ngatung’, dan … ups! saya diprotes orang-orang disekitar saya, “Gaul amat Rien! Nggak syar’e banget ah!’. Saya tersipu. Ini namanya menghindari atau mengabaikan nurani sendiri, karena pada saat itu pun hati saya protes, rasanya saya terlalu ‘gaul’ dan nggak mencirikan bagaimana berjilbab sebenarnya. Namanya juga proses. Semua akan berjalan sunatullah. Tergantung kita sebagai manusia pandai-pandai untuk memilahnya.
Tidak jarang, ketika berkumpul bersama binaan saya, mereka bertanya, “Mbak, kalau pengen make jilbab lalu gimana kalau gini, kalau gitu?” Yah, manusia kan paling pandai memberikan alasan. Tidak terkecuali saya. Tapi justru karena alasan itulah kita semakin tidak berarti, semakin tidak mempunyai tujuan hidup yang jelas. Kapanpun ingin dimulai, mulailah hanya ingin mengharap cinta-NYA, bukan karena trend, mode atau apapun itu. Saya yakin, ketika kita memulai segala sesuatu hanya berdasarkan karena Sang Pemilik Kehidupan, apapun yang dimiliki-NYA akan menghapus segala kendala pada diri kita. Toh, dengan berjilbab kita tetap bisa melakukan banyak hal, bahkan lebih banyak hal lagi, yang bermanfaat bagi orang lain.
Jika ditanya sekali lagi, kenapa saya berjilbab?
Saya hanya manusia biasa, seorang hamba yang ingin mentaati serta menjalankan segala perintah dari Sang Pemilik Kehidupan. Dan, karena cinta saya, saya ingin selalu melakukan apa yang diperintahkan-NYA. Karena, cinta saya, hanya DIA yang menggenggamnya.
ps: ukhti, syukron jazakillah dikasi tag, semoga manfaat. Uhibbuki fillah.