Selamat datang Di Kebun inspirasi Linapmiilotim.

Rabu, 28 Januari 2009

PELANTIKAN PC PMII LOTIM

PC PMII LOMBOK TIMUR akhirnya dilantik juga,ahad 25 januari 2009..pelantikan yg dirangkai dgn seminar regional"Pemilu 2009 yg bersih dan Demokratis" yg bekerja sama dgn KPUD LOMBOK TIMUR di hadiri oleh perwakilan Bupati dan GUBENUR NTB.dihadiri pula oleh seluruh santri Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia(PMII),OKP,ORMAS,PARTAI dan diliput oleh berbagai media..

Pd acara ini GUBENUR NTB memberi sambutan sbg bentuk apresiasi beliau terhadap para generasi muda islam indonesi..

Pelantikan PC PMII LOTIM ini dihadiri pula oleh shbt ZAINI SOFARI selaku SEKJEN PB PMII dan MUKHLIS HASYIM selaku WASEKJEN sekaligus KORWIL NTB guna Melantik PC PMII LOTIM..
Dlm sambutannya sahabat ZAINI SOFARI menegaskan bahwa PEMILU harus benar-benar bersìh dari politisasi isu Palestina dan isu2 lainnya.menurut Sekjen PB PMÍI,upaya parpol tertentu melakukan politisasi isu2 asing khususnya kemelut Palestina tdk saja menciderai proses PEMILU yg diharapkan berkualitas dan bersih tetapi juga sudah masuk pada area kabar kebencian dan rasis. Sambutan beliau diakhiri dgn pesan"hendaknya mahasiswa selaku garda terdepan melakukan advokasi pemilu untk bagaimana merajut komponen-komponen PEMILU untuk membebaskan mustada affin dgn faham Ahlusunnah Waljama'ah..untk PC LOTIM yg diketui oleh HERRY CAHYONO selaku ketua umum,selamat berjuang..ZIKIR,FIKIR,AMAL SOLEH.. Selengkapnya...

Sabtu, 10 Januari 2009

KOMERSIALISASI NURANI DALAM GLOBALISASI

Kata globalisasi sudah tidak asing didengar oleh masyarakat dari berbagai jenis kalangan umur. Kata ini sepertinya sudah akrab dan lumrah menggauli telinga karena begitu mudahnya menjumpai kata ini yang tercecer di mana-mana, di koran-koran, siaran tv, radio, tong sampah, kertas-kertas meja kantor. Kata ini sekali lagi sangat mudah ditemui dari ruang publik sampai ruang private kehidupan masyarakat.
Hampir setiap menjumpai kata ini (globalisasi) seakan mindset (pola pikir) kita digiring untuk memaknainya pada kemajuan teknologi informatika dan komunikasi berupa surat kabar, televisi, radio, komputer, internet serta alat-alat elektronik lainnya. Simbolitas pemaknaan yang demikian berbanding lurus dengan gejala-gejala perubahan sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat yang ditandai dengan semakin mudah dan luasnya akses untuk mendapatkan alat-alat tersebut.
Secara sederhana, globalisasi dapat diartikan sebagai perubahan sosial, budaya, ekonomi serta politik yang dilahirkan oleh kedigdayaan kapitalisme global. Dimana dimensi ruang dan dimensi waktu semakin menyempit akibat mudahnya daya jangkau komunikasi dan mobilitas masyarakat. Sebagai misal, dengan hand phone manusia bisa berkomunikasi dari rentang jarak yang berjauhan, sehingga jarak yang demikian jauhnya seakan bukan sebagai penghambat untuk melakukan komunikasi. Akan halnya dengan alat transfortasi baik itu alat transfortasi darat (mobil, dan sepeda motor), alat transfortasi laut (kapal laut dan perahu mesin), dan alat transfortasi udara seperti pesawat terbang memiliki fungsi mobililisasi yang membuat ruang dan waktu semakin “mengecil”. Namun pada sisi yang beriringan, dimensi ruang dan dimensi waktu pun jaraknya dibuat semakin melebar di mana interaksi sosial dan pranata yang terdapat didalamnya tidak jarang terganggu. Tetangga dalam satu komplek tidak sedikit yang tidak saling tahu apalagi saling mengenal satu dengan yang lainnya. Tidak itu saja, pada komunitas sosial publik terkecil seperti kantin atau tempat-tempat angkringan sering ditemui individu-individu yang tidak aktif dalam menjalin komunikasi didalamnya, justru lebih asyik menikmati short message system (sms) dengan orang lain yang berada di tempat yang tidak diketahui dunianya.
Sedang dalam pranata ekonomi antara yang miskin (dhu'afa) dengan yang kaya (aghniya') semakin memunculkan disfarietas kesenjangan yang mencolok. Yang miskin, menjadi malu untuk berteman dengan yang kaya. Dan, yang kaya tidak begitu peduli dengan nasib yang miskin. Kedua-duanya saling mengabaikan satu sama lain. Tidak ada yang peduli, semuanya berjalan sendiri-sendiri. Normalitas kehidupan pun semakin menjauh. Betapa...!!!


Lebih dari itu, globalisasi sebagai laku tindak kapitalisme global telah menggiring masyarakat pada kepungan budaya materialistik, hedonistik, individual dan sangat konsumeris. Yang pada gilirannya budaya-budaya yang disajikan oleh arus globalisasi tersebut akan menggantikan nilai-nilai moral agama dan kearifan-kearifan lokal yang selama ini membentengi masyarakat. Budaya-budaya yang disajikan oleh globalisasi ini begitu mudahnya menjadi prilaku sosial masyarakat dikarenakan oleh modus kerja dari kapitalisme yang bak candu. Membius dan melenakan serta membuat perasaan senang bagi korbannya, sehingga tanpa sadar korban yang dihampirinya terus terseret semakin jauh tanpa pernah terhenti. Cara kerja ini bisa dilihat dalam fenomena sosial masyarakat kita yang sedang bergerak maju. Mulai dari dari menu-menu sajian yang ditayangkan oleh media televisi serta informasi-informasi yang ditampilkan. Arus mode (fashion) yang trend disetiap waktu dan selalu berganti-ganti. Kesemuanya adalah contoh kecil yang kemudian memaksa menjerat masyarakat semakin berwatak konsumeris. Alhasil, dari budaya tersebut adalah lahirnya manusia atau mesin tanpa nurani.
Lahirnya manusia-manusia tipe ini -dengan nada yang agak pesimis – akan membawa bumi ini pada kondisi yang sangat komersil. Di mana kualitas dan kebaikan seseorang hanya diukur dari ketampanan atau kecantikan paras dan kekayaan materialnya semata.
Pertanyaannya kemudian adalah: Sudah tidak mampukah nilai-nilai moral agama dan kearifan-kearifan lokal ini untuk membentengi pranata sosial masyarakat lagi? Atau jangan-jangan bahwa nilai-nilai tersebut tidak sepenuhnya mendapatkan tempat untuk diinternalisasi dan dihayati oleh masyarakat? Sehingga secara terus menerus nilai-nilai itu semakin tergerus mengalami abrasi akibat gelombang pasang budaya kapitalis yang tak kenal kompromi dan pada akhirnya nilai tersebut tak mampu “bersuara” pada level keimanan manusia. Menjadi sunyi..., padahal jika kita tengok komentar dari salah seorang intelektual Indonesia, Soedjatmoko, mengatakan: “bahasa agama akan selalu dapat dipergunakan sepanjang masa.”
Barangkali disinilah letak konsepsi Soedjatmoko akan dipertaruhkan shohih atau dho'if-nya. Shohih manakala pesan-pesan agama mampu memberikan pantul sinarnya sehingga manusia dapat keluar dari kegelapan budaya masinasi kapitalisme. Ataukah sebaliknya menjadi dha’if ketika konsepsi ini akan tenggelam tersesat di tengah kebingungan zaman yang semakin kacau. Entahlah...!!!
Dari pertanyaan di atas tadi, ada baiknya jikalau kita sedikit mengaca tentang klasifikasi manusia sebagaimana yang dinukilkan oleh Ali Syari’ati. Dalam penelitian yang dilakukannya, ia mengklasifikasikan manusia terdiri atas:
(a). Basyar, adalah makhluk tertentu yang terdiri dari karakteristik fisiologis. Biologis dan psikologis yang dimilki oleh seluruh manusia, tak peduli apakah mereka itu berkulit hitam, berkulit putih, berkulit warna atau berkulit kuning, bangsa Barat, beragama atau tidak; ia didasarkan pada atas hukum-hukum fisik yang ditemukan oleh kedokteran, fisiologi dan psikologi dan lain-lainnya. Pendasaran klasifikasi ini merujuk pada al-Qur’an (18:110), “saya hanyalah seorang basyar seperti kamu”.
(b). Sementara itu, manusia dalam pengertian yang lain, terdiri dari kebenaran menjadi insan, yang mempunyai karakteristik-karakteristik yang luar biasa, yang bisa menyebabkan masing-masing anggota manusia mencapai tingkat kemanusiaan (insaniyat) tertentu. Klasifikasi ini sesuai dengan al-Qur’an (17:11). Dengan demikian kita semua adalah basyar, tetapi tidak mesti insan. Jadi, di antara semua manusia, setiap orang sebagaimana juga lainnya adalah basyar , tetapi ada juga beberapa yang telah mencapai insaniyat, dan sebagian lagi ada yang berproses menjadi insan, baik baru pada tigkatan sedikit atau pada tingkat yang mengagungkan.

Dari cuplikan pemikiran Syari’ati di atas, bahwa kehidupan saat ini dipenuhi dan dihuni oleh basyar. Yang mana laku tindak mereka tidak jarang menyerupai hewan atau binatang. Dalam kurun sejarah yang mereka ciptakan, sering terjadi pembantaian satu dengan yang lainnya, baik secara individu ataupun berkelompok tanpa motif yang cukup beralasan. Tindakan ini bisa dilihat pada prilaku Amerika serikat (AS) di bawah kendali George W.Bush beberapa tahun yang lalu yang membombardir Afganistan dan Irak dengan berdalih pemusnahan senjata nuklir. Dari kebijakan politik AS tersebut, ratusan manusia tak berdosa meregang nyawa, terbunuh dalam deru desingan peluru. Dan, meski dihujat oleh seluruh bangsa di dunia, AS tidak mau ambil pusing demi mengkampanyekan kekuatannya di mata internasional.
Tetapi dengan alasan apapun dari aspek kemanusiaan, tindakan Amerika tidak bisa dibenarkan dengan melakukan pembantaian massal di dua negara itu. Tindakan Amerika beserta sekutunya, dalam bahasa Syari’ati adalah jenis basyar. Manusia tanpa hati nurani.
Manusia tanpa hati, akan menyerahkan dirinya pada penghambaan yang semu terhadap nafsu-nafsu keduniawian tanpa melibatkan dimensi transenden yang akan membimbingnya ke jalan yang lurus—al-shirath al-mustaqiim. Penghambaan ini, selanjutnya menuntun mereka untuk secara terus-menerus memenuhi kebutuhan yang bernilai profan. Dan ujungnya, tidak lain, akan membawa manusia kepada kesia-siaan. Garis pikiran ini, tidak bermaksud untuk bernegasi dengan dimensi transenden, melainkan bahwa Islam jauh sebelumnya telah merekomendasikan nilai tawazun—keseimbangan—agar manusia tidak terjebak dan terpenjara oleh nafsu duniawi. Dan dengan demikian manusia dapat menggapai selamat melalui “proses menjadi” manusia seutuhnya.
Sebelum menutup tulisan ini, ada baiknya penulis menghadirkan beberapa catatan penting dari pendapat beberapa tokoh yang cukup akrab menghampiri telinga kita tentang hakikat manusia.
(a). Karl Marx:
Karl Marx menyatakan bahwa pada hakikatnya manusia itu dilahirkan sebagai makhluk yang baik atau bersih. Akan tetapi, manusia akan menjadi tidak baik disebabkan karena faktor pengaruh milliu atau lingkungannya.
(b). Sigmund Freud
Pencetus teori psikoanalisa ini berpendapat sebaliknya dengan apa yang disampaikan oleh Marx, bahwa pada hakikatnya manusia dilahirkan sebagai makhluk yang berperangai buruk, karenanya untuk menahan laju sikap buruknya dibentuklah norma-norma dan aturan-aturan sebagai sebuah konsensus bersama dalam masyarakat, yang mana kesepakatan tersebut oleh anggota masyarakat harus tunduk dengan aturan dan norma yang disepakati tersebut. Apa yang disampaikan oleh Freud tidak lepas dari homo homini lupus-nya Thomas Hobbes – manusia memakan manusia lainnya.
Menghadirkan dua pendapat ilmuan di atas tidak bermaksud untuk mempertentangkan satu dengan yang lainnya, tetapi lebih sebagai upaya menghadirkan khazanah intelektual sebagai pilihan yang selanjutnya ditimbang oleh nalar rasio kita. Dari dua pendapat yang dipaparkan oleh Marx dan Freud di atas, ada dua unsur pokok yang ada dalam pendapat mereka yakni, norma (aturan) dan sifat dasar manusia. Dari dua unsur pokok tersebut, keduanya berjalin-kelindan untuk saling intervesi dan mempengaruhi. Dari keduanya pulalah yang selanjutnya turut serta memproyeksikan sikap, prilaku, dan cara berpikir manusia terhadap cara memandang suatu masalah.





Wallahu a’lamu bi al-shwaab...







Selengkapnya...