Politik Serupa Berdagang
Ditemui di tokonya yang khusus menjual air conditioning (AC) di Jl Dr M Isa, Senin (23/2), pria bernama Theng Seng Lun itu memberanikan diri mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Kota Palembang daerah pemilihan (dapil) Kec IT II, Sako, Kalidoni dan Sematang Borang.
Ketertarikannya berawal saat ada tawaran sebagai caleg pada Pemilu 2004 lalu. Kesulitan mendapatkan calon dari etnis Tionghoa membuatnya mau tidak mau memenuhi tawaran teman tersebut.
Karena hanya punya waktu tiga bulan menyiapkan verifikasi, kursi parlemen gagal diperolehnya. Namun ia tidak lantas menyerah. Momen itu dijadikannya titik balik untuk belajar berpolitik lebih dalam lagi.
Pada tahun 2005, ia terpilih sebagai bendahara DPC PDS dalam Musyawarah Cabang (Muscab). Secara aklamasi, ia pun terpilih sebagai Ketua DPC PDS Palembang tahun 2007. Keterbukaan yang diberikan pemerintah untuk seluruh warga berkecimpung di dunia politik itu pun ditangkapnya.
Peluang ini didukung partai yang menyediakan tempat khusus yakni nomor urut satu untuk para warga keturunan yang mau terjun sebagai caleg di empat DPC di Kota Palembang.
Ia pun mendatangi pemukiman etnis Tionghoa. Klenteng pun ia datangi. Namun tidak ada yang menyambutnya. Mereka cenderung mengembalikan bola yang dilemparkan kepadanya.
“Dari situ saya sadar, mereka tidak mau maju jika yang menawarinya tidak maju. Saya tergerak untuk memberikan contoh terlebih dahulu. Jika saya sukses kemungkinan besar mereka akan menyusul,” kata pria kelahiran Palembang, 1 September 1978 lalu.
Ardi optimistis ia akan menang. Ia berkaca pada seorang anggota dewan beretnis Tionghoa di Lubuk Linggau.
“Politik dan berdagang prinsipnya sama. Sama-sama punya kompetitor, sama-sama punya produk yang dijual dan sama-sama punya untung rugi. Tidak sulit bagi warga keturunan untuk mengubah haluan. Tinggal bagaimana menyesuaikannya,” imbuh buah hati Theng Cui Tek dan Nurjati itu.
Hardi yang kini menjabat Direktur CV Gunung Salju itu mengusung misi menghapus diskriminasi yang masih banyak dilakukan oknum-oknum birokrasi terutama dalam hal pembuatan KTP. Banyak aspirasi yang meminta kemudahan bagi warga Tionghoa untuk memiliki kartu penduduk. Mereka siap membayar asalkan dapat mengantongi sebuah kartu identitas kependudukan.
“Banyak pengalaman yang mereka alami saat membuat KTP. Mereka dimintai uang Rp 50 ribu. Saat ditagih bukan selesai, mereka malah dimarahi dan uangnya juga tidak dikembalikan penuh. Ini yang akan saya perjuangkan,” tandas bapak dari Kezia Aurelia Dinata ini.
Poros Harapan Warga keturunan lainnya yakni Kobar Kotot. Kobar adalah pengusaha yang sudah mapan. Pria bernama Kho Yan Xin itu kini caleg DPRD Provinsi Dapil Kota Palembang nomor urut tiga. Jabatannya di DPW Partai Golkar adalah Bendahara Umum Dewan Pimpinan Cabang (DPW) Partai Golkar.
Pria yang juga aktif sebagai Ketua Yayasan Pansus, wakil ketua Yayasan Tio Chiuw dan Ketua Yayasan Filadevia Jakarta tergerak terjun ke ranah politik setelah melihat kondisi riil masyarakat Tionghoa di Sumsel.
Dengan semangat ia menceritakan bahwa hampir rata-rata warga etnis Tionghoa buta tentang politik. Bagi mereka tidak ada untungnya memilih si A karena nasib mereka tetap seperti itu-itu saja. Untuk apa memilih si B bila berurusan ke pemerintah juga dipersulit.
Dengan adanya wakil rakyat dari warga keturunan paling tidak dapat memberikan harapan bagi para warga minoritas menyalurkan aspirasi yang selama ini tidak terdengarkan.
“Paling tidak mereka punya wakil yang akan memperjuangkan dan mengangkat persoalan mereka,” katanya saat ditemui pada acara Pembekalan Juru Kampanye (Jurkam) para Caleg dari Partai Golkar di Hotel Arya Duta.
Kobar baru tiga tahun bergabung bersama partai berlambang beringin. Pengetahuan dan minatnya berpolitik justru digalinya di Gapensi Sumsel dan Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Sumsel. Kobar juga pernah sukses di olahraga sebagai atlet voli dan bersertifikat sebagai pelatih terbaik di Sumsel.
Keinginannya hanya satu, agar etnis Tionghoa turut andil dan menjadi bagian dalam kancah politik khususnya Sumsel. Ia juga berharap akan ada Kotot-kotot muda yang melanjutkan langkahnya menjadi politikus yang jujur dan dapat mewakili seluruh warga keturunan setara dengan warga pribumi. “Semuanya hanya untuk pengabdian bagi warga Tionghoa,” tandas suami Noni Sriningsih ini.
Sumber: Sriwijaya Post.
Politik Dagang Batik
Batik Indonesia konon memiliki keunikan yang tidak ditemukan di negara lain. Keunikan itu terletak pada penggunaan malam atau campuran sarang lebah, lemak hewan, dan getah tanaman dalam pembuatannya. Hal ini berbeda dengan teknik pembuatan motif kain dari China ataupun Jepang yang menggunakan lilin (
Begitu besar perhatian masyarakat Indonesia soal batik ini. Kemarin, di mana-mana di seluruh Nusantara dengan mudah kita jumpai warga bangsa ini mengenakan batik. Tua muda mengekspresikan berbagai bentuk luapan kegembiraannya terkait dengan dinyatakannya batik sebagai warisan budaya manusia. Sebelumnya wayang dan keris juga mendapat pengakuan terhormat dari masyarakat internasional.
Pertanyaan kita adalah setelah itu lalu apa? Apakah ”perjuangan batik” cukup sampai sebatas pengakuan dan kehormatan itu? Apakah kita cukup berbangga saja? Seharusnya tidak.
Suatu kehormatan seharusnya dikawal bersama karena kehormatan tinggi dan luhur nilainya. Sebagai bangsa, kita semestinya lebih maju lagi dengan melakukan kapitalisasi atau moneterisasi potensi batik.
Batik bukanlah sebagai produk budaya semata dari perjalanan panjang peradaban manusia Indonesia. Di dalamnya ada proses kreatif yang melahirkan nilai ekonomis. Inilah yang seharusnya kita usahakan rebut sekuat tenaga.
Dari hasil pengumpulan data di lapangan oleh Yayasan Batik Indonesia bersama desainer batik Iwan Tirta di 19 provinsi di Indonesia terkumpul lebih dari 2.500 jenis batik dengan berbagai corak dan motif yang beragam.
Sekiranya potensi besar ini dapat dikapitalisasi, sudah pasti nilai ekonomis yang dapat diraih sungguh sangat besar. Kini, momentumnya sudah ada, jangan sampai berlalu begitu saja. Berhenti pada kebanggaan diakui dunia. Nah, bagaimana ”politik batik” itu akan dijalankan masyarakat Indonesia untuk meraih sebesar-besar manfaat finansial, tentu untuk kesejahteraan rakyat.
”Politik batik”, tentu saja dalam arti luas, menyangkut juga upaya-upaya yang seharusnya diambil segera untuk meraih manfaat ekonomis. Jangan sampai terjadi seperti ungkapan sapi punya susu, tetapi kambing punya nama. Jangan sampai kita berhenti sekadar pada rasa bangga memiliki sesuatu yang diakui dunia lalu
Kini era ekonomi kreatif, era globalisasi, era kapital. Bertali temali dalam dinamika ekonomi global. Siapa memiliki kapital, daya kreasi tinggi, tentu merekalah yang meraih manfaat besar.
Apalah artinya kita dinobatkan dunia sebagai ”pemilik” batik, tetapi manfaat ekonominya justru diraih bangsa lain dengan segala keunggulan kreatif, daya saing global, dan kekuatan kapitalnya.
Begitu mudah kita menemukan pakaian bermotif batik di pasar lokal. Bisa saja itu bukan buatan di dalam negeri, tetapi barang impor dari negara yang memproduksi secara mudah dan cepat serta murah. Dengan begitu, mereka memiliki daya saing tinggi untuk menerobos masuk ke berbagai pasar di seluruh penjuru dunia, termasuk pasar kita.
Ah...! Jangan-jangan baju atau rok berbahan kain bermotif batik yang Anda kenakan kemarin untuk menunjukkan rasa bangga atas pengakuan dunia terhadap batik justru buatan China atau negara lain. Ya, siapa tahu. Maaf, jangan tersinggung.
Soalnya, banyak di antara kita yang pasti kurang pemahaman, bahkan tidak tahu-menahu soal kain. Begitu melihat kain bermotif batik, kita sudah langsung menganggapnya itu buatan Indonesia. Buatan Pekalongan, Solo, Cirebon, Yogyakarta, atau batik daerah lain.
”Politik batik” adalah politik dagang juga. Itu kita tempatkan dalam konteks batik dan juga semua produk pertekstilan kita sebagai komoditas dagangan. Politik dagang kita sering kali kedodoran manakala memasuki arena pertarungan global. Bukan hanya di arena internasional, tetapi politik dagang kita juga harus kuat dalam membela kepentingan industri nasional di pasar domestik.
Betapa kalangan pengusaha industri tekstil dan produk tekstil mengeluhkan serbuan produk luar negeri yang masuk mengacak-acak pasar domestik. Mereka sering melontarkan kritik tidak adanya perlindungan pasar dan industri domestik. Barang impor, termasuk yang ilegal, begitu mudah menyerbu, melemahkan, bahkan mengancam ajal industri-industri pertekstilan nasional.
Padahal, industri tekstil dan produk tekstil merupakan industri padat karya berorientasi ekspor. Kamar Dagang dan Industri Indonesia menempatkan sektor ini sebagai industri pendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, penetrasi produk ilegal di pasar domestik mengurangi daya saing industri di negeri sendiri.
Industri tekstil dan garmen merupakan industri padat karya dan terbukti pernah berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Pengalaman panjang pengusaha pada industri ini dan keragaman budaya yang dapat memperkaya ragam produk tekstil dan pakaian jadi merupakan modal dasar untuk tetap bertahan di tengah persaingan semakin ketat.
Mumpung daya saing produk tekstil, pakaian jadi, dan alas kaki Indonesia di pasar dunia masih cukup tinggi. Neraca perdagangan untuk produk tersebut mengalami surplus 6,9 miliar dollar AS pada 2008 (56 persen dari total ekspor). Pada 2004, surplus perdagangan sempat mencapai 80 persen dari total ekspor.
Produk tekstil dan pakaian jadi ”Made in Indonesia” telah lama dikenal di pasar ekspor.
Oleh: Andi Suruji
Sumber: Kompas.