Politik Pencitraan
"Pemerintahan Presiden Yudhoyono terperangkap pada politik pencitraan. Yakni pencitraan tentang keseriusan Presiden, pencitraan bahwa Pemerintah bekerja keras, dan pencitraan bahwa kebijakan Pemerintah berpihak kepada rakyat," ujar Pengamat Politik LIPI Syamsudin Haris.
Hal itu dikatakan Syamsuddin dalam Seminar Nasional Sehari "Membangun Rumah Indonesia, Memihak Bangsa Sendiri" di kantor LIPI, Jl Gatot Subroto, Jakarta, Selasa (3/8/2010).
Syamsuddin menyampaikan, yang dilakukan SBY itu justru menghambat langkahnya dalam mensejahterakan rakyat. Krisis tabung gas misalnya, belum juga dituntaskan oleh Pemerintah.
"Indikasi paling jelas bahwa komitmen Presiden Yudhoyono hanya pada tingkat wacana atau pidato belaka yang tampak dalam penegasan komitmennya tentang kebijakan Pemerintah pro rakyat," kritik Syamsudin.
Kelambanan SBY mengambil keputusan dirasakan Syamsudin justru semakin menyusahkan rakyat. Kenaikan BBM yang ditunda-tunda justru mengakibatkan kelangkaan stok karena ulah usil pengusaha.
"Sehingga membuka peluang bagi para spekulan BBM untuk memanfaatkan situasi ketidakpastian dan akhirnya berdampak pada kesulitan yang dihadapi rakyat," terang Syamsudin.
Selain itu, Syamsudin menyampaikan, kecenderungan yang sama juga berlangsung di bidang pangan dan pertanian. Dalam berbagai kesempatan Presiden SBY mengatakan pemerintahannya memberdayakan petani dan pro pertanian.
"Tapi secara faktual, kebijakan terhadap komoditas beras misalnya, keberpihakan Pemerintah belum tampak. Pemerintah kita hanya menerapkan tarif impor 30 persen, sehingga petani kita megap-megap terus," keluhnya.
Sumber: Detik.
Apa yang bisa dipelajari dari Kongres II Partai Demokrat? Jika ingin digambarkan maka bisa diwakilkan dalam satu kalimat yakni kalahnya politik pencitraan dengan pendekatan kultural.
Andi Mallarangeng yang begitu menggebu-gebu sejak mendeklarasikan pencalonannya beberapa bulan lalu, kalah telak pada pemungutan suara pemilihan ketua umum Partai Demokrat di Kota Baru Parahyangan, Padalarang, Bandung Barat, Minggu.
Perolehan suara Andi kalah jauh dibanding dua saingannya, Anas Urbaningrum dan Marzuki Alie.
Padahal, jika masyarakat dan peserta kongres melihat baliho dan spanduk yang ditebarkan Andi di penjuru Kota Jakarta, Bandung dan di arena kongres, tentu bisa menggetarkan lawan.
Tidak hanya baliho dan spanduk, kubu Andi juga "menyerang" dengan iklan di televisi. Bila melihat komposisi pemilih, pilihan iklan di televisi kurang mengena karena para pemilih bukanlah masyarakat umum, tetapi audiens terpilih, yakni pengurus cabang (DPC) dan pimpinan daerah (DPD).
Mereka adalah pemilih cerdas yang menjatuhkan pilihan atas pemikiran rasional, bukan terpedaya dengan iklan.
Bukan hanya melalui baliho dan iklan, kubu Andi yang didukung oleh lembaga pencitraan profesional, Andi juga menarik Edhie Baskoro atau Ibas, yang juga putra bungsu pasangan Susilo Bambang-Yudhoyono, ke jajaran tim pendukungnya. Ibas digadang-gadang ke mana saja Andi berkampanye.
Lalu tersebar info bahwa Cikeas mendukung Andi dan itu dipresentasikan oleh kehadiran Ibas di kubu Andi.
Namun, lihatlah kenyataannya. Andi kalah telak pada pemilihan ketua umum putaran pertama.
Pemilihan ketua umum putaran pertama menghasilkan 236 suara (45 persen) untuk Anas Urbaningrum, 82 suara (16 persen) untuk Andi Malarengeng dan 209 suara (40 persen) untuk Marzuki Alie. Sejumlah 2 suara tak sah dan dua peserta tidak menggunakan hak suaranya.
Karena tak ada yang meraih 50 persen plus 1 suara, maka diadakan pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh Anas dan Marzuki.
Semua upaya di atas mungkin merupakan perhitungan matang dari kubu Andi bahwa dia, meski populer di kalangan masyarakat sebagai Juru Bicara Presiden selama lima tahun, tetapi tidak dekat dengan pengurus DPC dan DPD.
Dia seperti menara gading yang terlihat bagus dari jauh tetapi terasing dari kader dan pengurus Demokrat di daerah. Mungkin jika dia tidak melakukan upaya pencitraan, iklan di televisi, baliho, spanduk dan pernyataan di pers secara intensif, suara yang diperolehnya kurang dari 82.
Terlepas dari itu semua Andi mengakui dirinya kurang intensif mendekati pengurus cabang dan pimpinan daerah sehingga perolehan suaranya pada putarannya paling kecil, yakni 82 (16 persen).
Kepada pers seusai pemungutan suara, Andi mengatakan dirinya lama menjadi juru bicara presiden sehingga tidak cukup waktu mendekati pengurus daerah.
Dia menyatakan calon lain, seperti Marzuki yang lima tahun menjadi sekjen PD dan Anas yang menjadi pengurus partai memiliki waktu yang cukup mendatangi daerah.
Andi yang kini menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga mengucapkan selamat kepada siapa pun yang terpilih nanti. Dia juga memberi apresiasi kepada peserta kongres yang sudah menunjukkan kepada masyarakat bagaimana demokrasi berproses di tubuh partai pemenang Pemilu 2009 itu.
Tak Cukup Pencitraan
Kekalahan Andi itu menguatkan pendapat jika ingin berhasil di dunia politik maka tidak cukup dengan upaya pencitraan saja. Setiap calon harus turun ke daerah, mendatangi konstituennya, berdialog dan menanam persepsi yang sama tentang visi dan misi partai.
Anas ketika ditanya tentang baliho lawan politiknya, mengatakan, "Baliho saya ada di hati pemilih."
Anas dan Marzuki memang minim dengan baliho dan spanduk. Manuver yang dilakukan hanya sekali-kali. Tidak ada pernyataan bombastis menjelang kongres. Kematangannya baru terlihat di saat kongres.
Jika ditilik lebih jauh, hasil penghitungan suara putaran pertama Kongres II Demokrat di luar perhitungan sejumlah pihak, termasuk dari kubu tim sukses ketiga calon.
Sebelumnya Kubu Andi sangat yakin akan memperoleh sekitar 300 suara sehingga berani melontarkan usulan aklamasi. Namun, pada saat tes pertama pemungutan suara untuk percepatan jadwal pemilihan ketua umum yang digagas kubu Marzuki, pada Sabtu (22/5), kubu Andi hanya mendapat 130 suara, dan sisanya untuk kubu Anas dan Marzuki.
Pada Sabtu (22/5) malam usai pemungutan muncul rumor Andi akan mundur dari pencalonan karena 130 suara tidak cukup untuk maju ke babak kedua yang mensyarat 25 persen suara dari 533 total suara.
Namun, ternyata Andi tetap maju dan perolehan suaranya merosot jauh menjadi 82 suara saja. Sebelum hasil penghitungan usai, Andi sudah meninggalkan posisinya di panggung dan melayani wawancara dengan televisi swasta.
Sementara di kubu Anas sebelumnya muncul optimisme akan meraih 270 suara, lebih dari 50 persen plus 1, sehingga pemungut suara cukup satu putaran.
Juru Bicara Tim Anas, Ruhut Sitompul, kepada pers mengatakan, Sabtu (22/5) malam semua pendukung Anas berkumpul di sebuah hotel dan tidur bersama di lobi.
"Ketika ditanya mengapa kalian tidak pulang ke hotel, mereka (pengurus DPD dan DPC) bilang kami takut serangan fajar, Bang," kata Ruhut mengutip pernyataan pendukungnya.
Ruhut juga menyatakan, dia sedang berpikir bagaimana menahan air mata jika Anas menang satu putaran. Kenyataannya, Anas hanya mendapat 236 suara, meski perolehannya tertinggi tetapi jumlahnya tidak sesuai dengan perkiraan kubunya.
Kuda Hitam
Di luar dugaan Marzuki, si kuda hitam, mendapat peroleh suara di luar perkiraan banyak pihak. Uji coba peroleh suara melalui usulan pemilihan ketua umum yang dipercepat agaknya melambung citranya.
Dia mengalahkan Andi yang semula dijagokan dan memiliki baliho serta spanduk dukungan di mana-mana. Marzuki memperoleh 209 suara.
Artinya, terjadi perpindahan suara Andi ke Anas dan Marzuki yang sangat siginifikan. Pada putaran kedua, publik menanti akan kemana Andi dan pendukungnya akan melimpahkan suaranya.
Sebelumnya, Ahmad Mubarok, Ketua Tim Pemenang Anas, mengatakan posisi Sekjen Partai Demokrat akan diberikan kepada Edhie Baskoro (Ibas), meski tawaran itu belum dibicarakan secara serius dengan Anas.
Sejumlah pengamat menilai, kekalahan Andi karena SBY tidak memberi isyarat mendukung Andi pada saat pidato pembukaan Kongres. SBY justru mengingatkan agar tidak melakukan politik uang.
Sikap netral SBY menghidupkan demokrasi di kongres partai pemenang Pemilu 2009 itu, meskipun kubu yang didukung oleh anaknya kalah telak.
Setidaknya Partai Demokrat sudah menunjukkan bahwa mereka bukan partai keluarga (partai yang didominasi keluarga) seperti yang dikhawatirkan banyak pihak.
Sumber: Antara.
Seorang filsuf berkebangsaan Jerman Friedrich Nietzhe pernah berucap “Tuhan telah mati”. Kini dalam nada yang hampir sama, Anas Urbaningrum yang naik ke podium dan mengucap “pencitraan telah mati”. Anas memang tidak mengucapkan itu secara verbal, namun secara tersirat, “sang pangeran biru” itu pastinya tidak akan menyangkalnya. Pencitraan disini adalah pola kampanye yang hanya mengandalkan kampanye udara tanpa pernah menjejakkan kaki ke tanah. Kemenangan Anas, sekaligus membuktikan bahwa suara arus bawah tidak goyah dikepung oleh iklan-iklan politik. Rival terberatnya adalah Marzuki Ali, senior dan sekaligus ketua DPR. Namun, sekali lagi, faktor senioritas juga tidak mampu membendung laju kemenangan Anas Urbaningrum. Anas Urbaningrum (AU), dalam putaran kedua pemilihan ketum Partai Demokrat ini, berhasil mengumpulkan 280 suara. Sedang Marzuki Alie (MA) meraih 248 suara.
Ada beberapa faktor yang bisa kita nilai sebagai kunci kemenangan Anas. Pertama, Anas sudah membuat investasi politik sejak dini di tubuh partai. Posisi yang dijabatnya sebagai Ketua DPP Bidang Politik,membuat interaksi politik dengan arus bawah sebagai pemilik mandat suara lebih terjaga. Dengan posisinya di DPP itu pula, Anas memainkan negosisasi dan bargain politik dengan proses politik arus bawah di DPC-DPC. Interaksi yang intens membuat hubungan emosional dan iman politik tersampaikan dengan baik. Kedua, Karakter pribadi yang santun, cerdas dan berwibawa. Anas tahu betul bahwa karakter pribadinya sangat cocok dengan positioning Partai Demokrat yang juga selaras dengan karakter pribadinya. Proses pelembagaan nilai-nilai yang dimiliki partai membuat kader-kader demokrat yang mempunyai hak suara dalam kongres dibuat nyaman dengan sosok Anas.
Ketiga, pengalaman politik sejak dini. Guru terbaik adalah pengalaman. Anas sebenarnya bukan anak kemarin sore dalam panggung perpolitikan tanah air. Karirnya sejak menjadi aktivis HMI sampai kemudian menjadi ketua fraksi demokrat di Senayan tergolong cukup mulus untuk usia yang masih muda. Ini adalah rajutan track record yang tidak bisa disangkal sebagai sebuah prestasi politik yang brillian. Ibarat kita membeli barang elektronik dengan rumusnya “harga tidak pernah bohong”, begitu pula dalam melihat kualitas pemimpin, diktumnya berbunyi “track record tidak bakal bohong”. Dalam usianya yang masih 41 tahun, dengan jabatan sebagai ketua partai terbesar di Indonesia, menunjukkan siapa sebenarnya beliau.
Keempat, dukungan SBY. Walau tidak tersurat, SBY sedang memainkan politik tebar jala. Artinya, siapapun ketuanya, yang menang tetap SBY. Menempatkan anaknya, Eddi Baskoro ke dalam kubu Andi Malaranggeng adalah satu sisi. Sisi lain, pada saat menjelang putaran kedua, kita sebenarnya bisa mencerna bahasa politik SBY dalam pidato singkatnya agar pemilihan dilakukan demokratis dan tidak ada tekanan. Demokratis dan tanpa tekanan adalah simbol kedaulatan rakyat, yang juga berarti suara pemilih tidak tunduk pada kekuatan politik tertentu dan hanya berdaulat pada sang pemilik suara. Pada saat itu, suara AM yang hendak diperebutkan, dan sesuai dengan pidato SBY, suara AM akhirnya punya otonomi atas hak politiknya masing-masing. Padahal AM sudah mengumumkan pelimpahan dukunganya pada Marzuki Ali. Pelimpahan dukungan akhirnya tidak bulat, karena hampir setengah lebih suara AM pindah ke kubu Anas. Menurut penulis, SBY sengaja bersikap netral dan cenderung membiarkan tiga kandidat bertarung habis-habisan sejak awal. Sambil menunggu dan melihat kandidat yang paling berpeluang menang. SBY tidak ingin berhadapan dengan konflik jika mendukung terang-terangan salah satu calon. Kalaupun ada beberapa sinyal, itupun tidak bisa di-judge oleh pihak yang kalah sebagai dukungan SBY. Terlihat disini bagaimana SBY juga bermain cantik mengamankan posisinya. Hal ini pula yang dianggap sebagai faktor penentuan kalahnya Marzuki. Posisi Marzuki sebagai ketua DPR mungkin terlalu sulit untuk dikendalikan SBY sehingga kemudian memberi sinyal halus mendukung Anas.
Terlepas dari faktor kekalahan Marzuki Ali, ada hal yang menarik dari kongres demokrat kemarin, yakni matinya iklan politik. Beberapa analisis kemenangan Anas, berbanding terbalik dengan tersingkirnya Andi di putaran pertama, banyak pertanyaan kenapa Andi dengan Ibas sebagai simbol Cikeas, bisa kalah ? Restu Cikeas kepada Andi dengan representasi Ibas adalah klaim. Tidak pernah ada tanda-tanda Cikeas mendukung Andi. Penempatan Ibas di kubu Andi bisa dibaca sebagai kebebasan Ibas dalam memilih calon pemimpin atau bisa juga dibaca sebagai strategi politik SBY untuk sekedar menebar pengaruh . Karena rumus politik SBY adalah siapapun yang menang, pemenang sejati adalah SBY,maka penempatan Ibas tidak terlalu menjadi perhitungan politik yang bisa menggoyahkan kewibawaan Cikeas jika Andi kalah. Rumus politik SBY terbukti dengan posisinya sebagai ketua dewan pembina sekaligus menjadi ketua majelis tinggi partai yang memiliki kewenangan yang sangat superpower. Kewenangan tersebut antara lain menentukan formatur pembentukan kabinet Anas sampai pengambilan keputusan strategis partai,pembentukan koalisi dan penentuan calon presiden dan wakil presiden. Jika dilihat dari kewenangan majelis tinggi tersebut, maka fungsi ketua umum hanyalah sebagai pembawa obor. Yang terang bersinar tetap SBY.
Selain itu, Andi jarang menjalin interaksi politik di akar rumput. Posisinya sebagai juru bicara presiden dan menteri pemuda dan olah raga tentunya bukan pintu yang tepat untuk membangun relasi politik dengan DPC-DPC. Akhirnya, iklan politik menjadi senjata pamungkas menutupi kelemahan itu. Namun, Andi lupa bahwa kampanye udara saja tidaklah cukup. Kampanye darat untuk pemilih sekelas partai masih sangat menentukan. Inti pencitraan dalam ajang politik seringkali dan kebanyakan adalah membangun kesadaran palsu bagi khalayak yang menjadikan sosok yang dimunculkan nampak sempurna. Hal itu mungkin bisa dikenakan pada khalayak yang memiliki kesadaran pasif namun tidak bagi khalayak aktif seperti anggota internal partai. Menurut Jean Baudrillard, filsuf dan pakar komunikasi Perancis, media merupakan agen simulasi (peniruan) yang mampu memproduksi kenyataan (realitas) buatan, bahkan tidak memiliki rujukan sama sekali dalam kehidupan kita. Teori Baudrillard masuk akal dihubungkan pada banyaknya iklan-iklan di televisi, radio, dan media cetak menampilkan tokoh-tokoh dengan bendera satu partai politik di belakangnya. Para tokoh politik memproduksi kenyataan buatan bermuatan politis agar mendapatkan dukungan di kongres. Proses dramatisasi ditunjukkan dengan mengangkat tema besar yang sensitif dan populer di hadapan pemilih.
Demokrat membuktikan iklan politik bukan rumus sakti menghasilkan pemimpin. Politik hati yang dibangun jauh-jauh hari masih ada dalam kongres kemarin. Kekalahan Andii itu menguatkan pendapat, jika ingin berhasil di dunia politik maka tidak cukup dengan upaya pencitraan saja. Setiap calon harus turun ke daerah, mendatangi konstituennya, berdialog dan menanam persepsi yang sama tentang visi dan misi partai. Andi lupa yang dihadapinya bukan segerombolan massa rakyat yang mudah tertipu dan terombang-ambing oleh iklan dan spanduk siapa yang paling banyak. Itu semua karena Andi lupa, dan sekali lagi lupa bahwa dia ”menggunakan meriam untuk membunuh nyamuk”.
Etika Dalam Berpolitik
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di depan para kepala daerah di Jakarta Kamis lalu mengingatkan kembali tentang pentingnya etika dalam berpolitik. Presiden mengajak seluruh masyarakat untuk menjunjung tinggi etika perpolitikan dalam membangun demokrasi yang kembali kita rajut sejak tumbangnya rezim otoritarian Soeharto pada Mei sembilan tahun silam.
Masalah etika dalam berpolitik di negeri ini memang masih tetap relevan untuk terus diwacanakan. Hal ini terkait dengan konsolidasi demokrasi yang masih terus berlangsung, yang membutuhkan kearifan semua komponen masyarakat dalam mengimplementasikannya. Bila gagal dalam konsolidasi, arus demokratisasi bukan tidak mungkin malah berbalik arah kembali kepada otoritarian. Padahal, kita semua sepakat untuk kembali membangun demokrasi yang telah ''mati'' ketika Orde Baru berkuasa.
Etika dalam masyarakat yang beradab adalah suatu keharusan. Tanpa etika mana mungkin kita bisa hidup aman, tenteram, sejahtera, dan berkeadilan. Tanpa etika, kita bagai hidup di rimba raya dengan prinsip ''yang kuatlah yang berkuasa''. Tidak terkecuali di bidang politik. Tidak salah bila sebagian kalangan menyebut demokrasi yang sedang kita bangun kembali sekarang ini sudah kebablasan. Ini dikarenakan jagat raya perpolitikan kita masih menunjukkan kurangnya etika. Cara-cara yang dilakukan untuk memenangkan sebuah pemilihan kepala daerah, misalnya, sering dilakukan dengan cara-cara tak bermoral seperti politik uang. Cara-cara yang dilakukan dalam mengkritik pun sering dilandasi atas dasar suka dan tidak suka saja. Ini jelas berbahaya.
Demokrasi secara pelaksanaannya yang sederhana memang bisa diterjemahkan sebagai suatu kebebasan. Warga negara bebas berpendapat, bebas berpolitik, bebas menyuarakan aspirasinya. Namun, hal itu bukan berarti bisa melakukan semaunya atas nama kebebasan.
Kebebasan tetaplah harus ada batas-batasnya, ada aturannya, ada rule of law-nya. Semuanya itu haruslah bermula dari etika yang dijunjung tinggi oleh setiap anggota masyarakat. Bila etika saja sudah tak punya, maka aturan-aturan tersebut bisa dengan mudahnya pula diinjak-injak demi mencapai tujuan-tujuan politiknya.
Membangun etika dalam berpolitik berarti juga membangun etika dalam berdemokrasi. Selanjutnya semua lapisan masyarakat perlu mematuhi aturan-aturan hukum yang berlaku. Itulah esensi demokrasi, suatu kebebasan yang dipagari oleh etika dan perangkat hukum yang harus dipatuhi oleh semua orang. Dalam konteks Indonesia, kita memang tidak bisa segera mendapatkan buah dari upaya demokratisasi itu sendiri. Dalam hal ini kita masih butuh waktu dan sosialisasi yang tak pernah putus.
Oleh karena itu, etika dalam berpolitik dan berdemokrasi mestinya selalu ada dalam setiap helaan napas kita. Hanya dengan itu kita dapat melewati tahapan konsolidasi demokrasi dengan mulus dan sesuai harapan. Bukankah kita sudah sepakat untuk membangun Indonesia dengan cara-cara demokrasi setelah era Orde Baru berakhir. Ataukah memang ada cara lain yang lebih baik selain demokrasi?
Sumber: Republika.
Seputar Etika Politik
Seolah menyentil rival politiknya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginginkan adanya generasi masa depan yang beretika dalam berpolitik. Ia bahkan meminta pesantren mengajarkan santri empat perkara. Apa saja?
"Perlu diingat bahwa tanda kehidupan yang baik itu ditandai oleh empat perkara," pesan Presiden Susilo Bambang Yudoyono dalam acara peluncuran program bantuan rehabilitasi madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah di Ponpes Al-Fitrah, Kelurahan Kedinding, Kecamatan Kenjeran, Surabaya, Rabu (28/1).
Empat perkara itu adalah mengajarkan nilai-nilai kebaikan dalam berperilaku, seperti taat hukum, aturan dan berperilaku jujur. Kemudian, hendaknya para santri diajarkan tentang pengetahuan ekonomi yang baik. Selanjutnya, diajarkan etika berpolitik yang baik, dan terakhir diajarkan tentang mencintai lingkungan yang baik.
"Kalau semua itu bisa kita ajarkan kepada para santri, saya yakin kehidupan ini jadi lebih baik," terangnya di hadapan ribuan warga yang memadati Masjid Al- Fitrah.
Terkait penjelasan etika politik yang baik, SBY mengharapkan generasi mendatang sadar akan bahasa halus. "Hendaknya para santri itu diajarkan etika politik yang baik. Jangan berpolitik kotor dengan mengembangkan isu-isu yang tidak baik," paparnya.
Sumber: Inilah.
Presidential Bukan Etika Politik
Pengokohan sistem presidensial memang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Multipartai yang demikian kuat akan membawa kita pada musim semideadlock. Di sini artikel saya ”Kediktatoran Konstitusional” (17/11) dan artikel Denny Indrayana ”Mengokohkan Sistem Presidensial” (26/11) berbagi idealisme yang sama.
Namun, satu hal yang membedakan saya dari jalan pikiran Denny. Denny menghubungkan sistem presidensial dengan etika politik. Saya tidak melihat ada sangkut paut antara presidensial dan etika politik. Pendeknya, tidak ada muatan moral setinta pun dalam artikel saya terdahulu.
Kata kediktatoran dalam frase kediktatoran konstitusional bukan karakter kepemimpinan. Kediktatoran adalah karakter konstitusi yang meleluasakan keputusan eksekutif presiden. Singkat kata, kediktatoran konstitusional berbicara tentang karakter konstitusi, bukan pribadi.
Apabila etika dimengerti sebagai kewajaran, maka keputusan presiden dapat menerabas batas-batas kewajaran. Keputusan bukan sesuatu yang harus dikebawahkan pada dekrit-dekrit moral. Carl Schmitt menegaskan posisi itu. Demikian pula Nietszcshe. Keputusan disebut keputusan justru karena tak terpenjara dalam dekrit moral tertentu. Keputusan menciptakan, bukan melayani moral.
Denny mengidolakan sistem presidensial yang berlaku di Amerika. Berdasarkan argumen di atas, saya justru memandang tinggi sistem presidensial di Peru. Sistem presidensial Peru membawa napas kediktatoran konstitusional sampai ke tarikan terakhirnya. Dalam sistem itu, konstitusi meleluasakan presiden untuk membatalkan keputusan atau bahkan membubarkan kongres (Denny Indrayana).
Sistem presidensial Peru memberi ruang bagi ”yang tak wajar” dalam keputusan eksekutif. Apabila sistem Peru berlaku di Indonesia, seorang Gus Dur dapat dengan mudah mencabut Tap MPRS Nomor XXV. Seorang SBY dapat memeriksa UU yang anti-NKRI dan membatalkannya. Di republik ini kenegarawanan beradu dengan kepentingan. Konstitusi yang baik harus memungkinkan kemenangan kenegarawanan.
Politik anomali
Jadi, jelas kiranya desain konstitusi demi kokohnya presidensial tidak untuk menciptakan pemimpin bermoral. Desain konstitusi ditujukan untuk memungkinkan jatuhnya keputusan-keputusan ”tak wajar” yang bisa jadi bertentangan dengan opini umum tentang apa yang baik. Perilaku politik tidak dijaga oleh desain konstitusi. Konstitusi justru memberi ruang bagi keputusan politik anomali.
Tidak ada sangkut paut antara karakter kediktatoran konstitusi dan etika politik seorang presiden. Sungguh naif menyamakan kekokohan sistem presidensial dengan kebesaran hati seorang calon presiden yang kalah. Kekokohan sistem presidensial berhubungan dengan prasyarat dukungan politik terhadap calon presiden, penyederhanaan sistem multipartai, penambahan hak prerogatif presiden, sampai dengan penjaminan hak veto.
Karakter kediktatoran konstitusi pun tidak bersangkutan dengan tingkat pendidikan calon presiden. Seorang doktor yang menjadi presiden tidak dapat dipastikan lebih tegas dalam mengambil keputusan dibandingkan dengan seorang lulusan SMU. Gus Dur bukan doktor. Namun, ketika republik ini di bawah komandonya, beliau banyak menjatuhkan keputusan tegas, tak wajar, dan tak populer.
Presiden ke depan diharapkan dapat mengambil keputusan-keputusan cepat, tegas, tak wajar, dan tak populer. Apalagi, kita sedang menghadapi krisis ekonomi yang sarat ketidakpastian. Kita tidak memerlukan sosok yang lama berdiskusi. Kita memerlukan sosok yang segera memutuskan dan menghitung cepat collateral damage dari keputusannya. Untuk itulah kediktatoran konstitusional diperlukan. Bukan untuk mencetak diktator, melainkan memungkinkan pengambilan keputusan yang tak terkendala konstitusi.
Kediktatoran konstitusional menuntut perbaikan karakter konstitusi. Tidak lebih. Moralitas politik adalah urusan individu, bukan konstitusi. Saya sepakat dengan Denny bahwa kita memerlukan legal engineering untuk mengokohkan sistem presidensial. Namun, kita tidak memerlukan moral engineering. Semoga tulisan ini dapat meluruskan apa yang lengkung sekaligus melengkungkan apa yang lurus (baca: wajar) dalam politik kita. Let free spirit flies alone!
Oleh: Donny Gahral Adian Dosen Filsafat Universitas Indonesia
Kita Harus Harus Memiliki Kesadaran dan Etika Pluralisme
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, yang terdiri dari berbagai suku, golongan, agama dan budaya. Fakta kemajemukan atau pluralitas ini harus kita terima sebagai kekayaan kita. Karena itu, para pemimpin bangsa dan warga negara harus menerima fakta pluralitas ini dan memiliki kesadaran, semangat atau etika pluralisme.
Demikian sari pendapat yang dirangkum dalam acara diskusi dan bedah buku “Politik Antara Legalitas dan Moralitas” karya P. Dr. Otto Gusti SVD, yang berlangsung di Auditorium III Kampus STFK Ledalero, Maumere, Rabu (20/5). Acara ini adalah bagian dari rangkaian kegiatan dalam rangka perayaan 40 Tahun STFK Ledalero. Tampil sebagai pembicara dalam kegiatan tersebut antara lain, P. Felix Baghi, SVD yang mengupas buku
“Kewarganegaraan Demokratis dalam Sorotan Filsafat Politik”, P. Dr. Otto Gusti SVD, dan Dr. Nobert Jegalus yang membedah buku karya P. Otto Gusti dengan makalah berjudul “Pluralitas adalah Dasar Politik Modern dan Pluralisme adalah Etika Politiknya” dengan moderator Fr. Alex Dancar, SVD. Diskusi dan bedah buku ini diikuti sejumlah dosen, alumni dan mahasiswa STFK Ledalero.
Dalam pemaparannya, Nobert Jegalus mengatakan buku karya Pater Otto Gusti adalah sebuah karya yang mengulas topik filsafat politik dengan mengangkat pemikiran dua filsuf politik terkemuka yakni Juergen Habermas dan John Rawls, dan kemudian mengkritisi persoalan-persoalan aktual yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini, seperti persoalan HAM, pornografi dll.
Satu persoalan pokok yang mengemuka dalam diskusi tersebut adalah kondisi aktual bangsa Indonesia yang majemuk. Menurut Jegalus, kemajemukan ini adalah sebuah fakta yang kita hadapi. Karena itu, sikap dasar yang mesti kita ambil adalah menerima fakta pluralitas yang merupakan dasar politik modern. Berbarengan dengan itu, kita juga perlu memiliki kesadaran, semangat dan etika pluralisme. “
Dalam kondisi kemajemukan, kita bisa mengalami perselisihan, pertentangan dan konflik. Kalau kemajemukan itu dihapuskan maka akan ada individu yang dikorbankan. Kita tidak menghendaki ini terjadi. Karena itu, yang tengah dikembangkan sekarang adalah etika, kesadaran atau semangat pluralisme. Dalam rangka inilah kita membangun diskusi dan komunikasi agar menemukan kesepahaman bersama,” katanya.
Sedangkan penulis buku “Politik Antara Legalitas dan Moralitas”, P. Otto Gusti, dalam pemaparannya, mengungkapkan beberapa pertanyaan mendasar dalam kaitannya dengan pembentukan sebuah negara. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan antara lain apa yang menjadi dasar legitimasi sebuah negara, atas alasan apa manusia menjadikan negara sebagai sarana untuk mengorganisir hidup sosialnya. “Pertanyaan ini penting karena negara bukan satu-satunya lembaga yang mengorganisir hidup sosial karena masih ada keluarga, kelompok suku, kelompok budaya, dan lain-lain. Lalu, mengapa kita menginginkan negara,” kata Pater Otto.
Menurut Pater Otto, negara pada prinsipnya dipandang sebagai lembaga kekuasaan yang legitim jika dibandingkan dengan para bandit yang mungkin memiliki kekuasaan atas wilayah tertentu, tetapi kekuasaannya dipandang sebagai ilegitim. Pertanyaan yang muncul adalah apa dasar legitimasi bahwa manusia boleh menguasai yang lain? Pertanyaan ini telah menjadi bahan refleksi para pemikir dan filsuf politik sepanjang zaman. Secara garis besar ada dua bentuk legitimasi terhadap keberadaan negara yakni legitimasi moral dan pandangan positivisme hukum. Legitimasi moral bermula dari konsep hukum kodrat dari Aristoteles dan dikembangkan kemudian oleh beberapa pemikir. Mereka memandang negara dan tatanan hukumnya sebagai sarana menciptakan keadilan.
Sumber legitimasi negara adalah moralitas yang berlaku universal. Negara tidak bisa bertindak sewenang-wenang. Ia hanya ditaati sejauh menjalankan fungsinya dalam batas-batas moral. Legitimasi moral berseberangan dengan pandangan posivisme hukum yang berpandangan bahwa konsep dan validitas hukum tak berkaitan sama sekali dengan penilaian moral dan bentuk-bentuk penilaian lainnya. Bentuk ekstremnya adalah pandangan Thomas Hobbes bahwa otoritas penguasa yang menjadi sumber legitimasi hukum. “Dewasa ini legitimasi hukum tidak lagi berasal dari otoritas penguasa, tetapi lebih merujuk pada paradigma fungsional dari berbagai elemen dalam negara,” jelas Pater Otto.
Rangkaian kegiatan dalam rangka Perayaan 40 Tahun STFK Ledalero pada hari ini Jumat (22/5) antara lain seminar dengan dua pembicara utama, yakni P. Dr. John Prior SVD dan Dr. Nobert Jegalus serta peluncuran buku kenangan Pancawindu STFK Ledalero. Perayaan puncaknya akan berlangsung pada Sabtu.
Sumber: Flores Pos.
Jangan Lakukan Politik Kotor
Jakarta-Ketua Umum Partai Demokrat Hadi Utomo mengajak kader Partai Demokrat untuk melakukan etika politik yang baik, santun, dan cerdas. Jadi, jangan melakukan praktik politik yang kotor, black campaign, karena itu tidak mendidik dalam alam demokrasi ini. Apalagi pemilu sudah tidak lama lagi.
Hadi mengatakan itu daam acara Silaturahmi Nasional (Silatnas) para anggota dewan Partai Demokrat se-Indonesia di Jakarta, Minggu (24/8).
Menurutnya, jangan hanya karena ingin menang di pemilu kemudian harus menggunakan cara-cara kotor, bahkan sebuah kejujuran diabaikan. Kalau cara ini digunakan itu artinya bukan berdemokrasi. “Demokrasi jangan dilalui dengan cara-cara yang kotor demi mencapai kemenangan pemilu. Karena itu saya mengajak untuk mengggunakan etika politik,” katanya.
Dia mengatakan Partai Demokrat tampil di depan untuk praktik demokrasi sesungguhnya. Untuk itu, jangan mencederai prinsip demokrasi. Apalagi tujuan dasar dari pemilu yang diselenggarakan 2009 mendatang adalah siapa yang dipilih rakyat itulah yang dipercaya oleh yang memilih.
Pemerintahan Yudhoyono-Kalla harus didukung dan diamankan demi untuk kepentingan rakyat. Dengan sistem presidensil ini, kata Hadi Utomo, Partai Demokrat harus punya kekuatan di parlemen. Karena itu, forum silatnas dipastikan sebagai bagian upaya dalam menghadapi pemilu tahun 2009.
Forum silatnas yang dihadiri selluruh anggota dewan Partai Demokrat se Indonesia ditambah Ketua DPD PD akan berlangsung hingga Selasa 26 Agustus. Direncanakan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono memberi pembekalan kepada para peserta, Selasa (26/8) ini.
Sebelum sambutan Ketua Umum, Ketua Panitia Silatnas Max Sopacoa melaporkan mengenai kegiatan tahunan itu kepada Ketua dan peserta.
Sumber: Sinar Harapan.
SAATNYA ETIKA POLITIK BICARA
Oleh :Muhammad Mubibbuddin*
Karyana adalah guru Madrasah Ibtidaiyah Nurul Ikhlas Muara Baru Jakarta Utara. Tanggung Jawabnya sebagai pengajar tergolong cukup besar, pagi hari mengajar di kelas IV dan siang harinya mengajar di Madarsah Tsanawiyah yang sama. Di samping itu, Karyana juga mengerjakan urusan administrasi sekolah. Namun imbalan yang diterimanya tidak sebesar tanggung jawabnya. Guru honorer yang sudah lima tahun dengan ikhlas mengabdikan diri pada bangsa dan negaranya ini hanya mendapatkan gaji sebesar Rp 150.000,- per bulan. Hidup di ibu kota dengan gaji sekecil itu jelas sangat tidak mencukupi. Maka Karyana pun nyambi jualan ikan di pelelangan untuk menutup kekurangannya.
Namun di tengah penderitaan guru itu, belum lama, negara ini digoncang oleh sejumlah sekandal korupsi para pejabat negara yang mencapai miliaran rupiah. Ini jelas sebuah ironi. Dengan ini menandakan bahwa ada yang tak beres dalam soal managemen sistem perpolitikan di Indonesia.
Tujuan didirikannya negara adalah untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bersama. Namun kenyataan yang terjadi justru sebaliknya: ketidakadilan dan kesenjangan yang merajalela. Para pejabat yang masuk dalam lingkaran kekuasaan bisa mengeruk keuntungan material secara berlebihan, sementara orang-orang seperti Karyana yang berada di luar lingkaran kekuasaan terus termarginalkan.
Politik yang tanpa etika
Munculnya kesenjangan antara masyarakat dengan pejabat,antara pihak struktural dengan pihak kultural merupakan indikasi bahwa politik di Indonesia sudah tidak dikelola berdasarkan etika. Akibatnya, politik berjalan secara banal yang kering dari niliai-nilai moral dan intelektual. Para politisi yang ada di dalamnya bukan lagi mencerminkan sosok-sosok negarawan yang peduli terhadap kepentingan bersama, tapi sudah menjadi aktor-aktor minimal yang berprilaku dangkal dan egois.
Dalam analisis Haryatmoko (2003), terdapat kecenderungan orang yang terjun dalam dunia politik bermental animal laborans di mana orientasi kebutuhan hidup dan obsesi akan siklus produksi-konsumsi sangat dominan, cenderung menjadikan politik tempat mata pencarian utama. Dengan mental yang rendah semacam itu, para politisi akhirnya menajdikan dunia politik sebagai ladang pencarian. Akibatnya korupsi, kolusi dan nepotisme berkembang subur. Mereka cenderung mengabaikan kepentingan orang banyak karena terlalu mengurusi diri sendiri, keluarga dan golongannya.
Dalam situasi semacam itu, maka yang menjadi tumbal kekuasaan tidak lain adalah rakyat. Rakyat akhirnya menjadi korban para politisi yang tidak beretika itu. Keberadaan rakyat hanya dipandang sebagai obyek komoditas ekonomi dan politik tanpa pernah benar-benar diperjuangkan aspirasinya. Kepentingan rakyat adalah nomor kesekian kalinya setelah kepentingan pribadi terpenuhi. Para pemimpin atau pejabat yang seharusnya mengabdikan diri sebagai pelayan rakyat justru menjadi penjilat dan monster yang serakah. Mereka seharusnya lebih mendahulukan hajat hidup orang banyak dalam distribusi kekayaan, namun justru sebaliknya, berebut untuk mengambil yang pertama. Tentu saja akan mengambil bagian yang terbesar.
Etika Politik perlu digaungkan
Untuk mengembalikan fungsi politik yang sebenarnya, yakni sebagai ruang publik untuk mengatur dan mengakomodasi semua kepentingan indifidu dan kelompok, maka etika politik harus ditegakkan. Tujuan etika politik, seperti yang dikatakan Paul Ricoeur (1990) adalah mengarahkan ke hidup baik bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil. Politik, dalam kerangka makna ini, digunakan untuk menjembatani antara kepentingan individual, kolektif, dan struktur-struktur yang ada. Tuntutan pertama etika politik adalah hidup baik bersama. Artinya bagaimana sistem politik yang ada bisa benar-benar difungsikan untuk menciptakan kesejahteraan bersama, kemakmuran bersama dan keamanan bersama. Sehingga masing-masing pihak merasakan kemaslahatan eksisnya sebuah pmerintahan, eksisnya sebuah negara dan instiyusi-instityusi politik di dalamnya.
Karena orientasinya semacam itu, maka etika poltik bukan sekedar berbicara soal prilaku para politisi dalam konteks individual, tetapi juga dalam konteks kebersamaan. Artinya seorang politisi tidak hanya dituntut untuk berprilaku baik dan terpuji dalam praktik berpolitik, etapi lebih dari itu—dan ini yang lebih substansial—-menempatkan kemaslahaan bersama sebagai agenda utamanya. Pada tingkat ini, etika politik dipahami sebagai perwujudan sikap individu sekaligus kolektif. Jadi, Politikus yang baik adalah jujur, santun, memiliki integritas, menghargai orang lain, menerima pluralitas, memiliki keprihatinan untuk kesejahteraan umum, dan tidak mementingkan golongannya. Jelasnya, politikus yang menjalankan etika politik adalah negarawan yang mempunyai keutamaan-keutamaan moral untuk kepentingan orang banyak.
Dengan demikian seorang politisi dituntut untuk berani berkorban untuk kepentingan umum. Pengorbanan yang paling minimal adalah mengalahkan kepentingan pribadi demi kepentingan orang banyak. Mempunyai mobil mewah itu enak, mempunyai istri banyak dan cantik itu menggairahkan, mempunyai vila dan hotel di mana-mana itu membanggakan, tapi batalkan terlebih dahulu karena masih ada saudara yang tidak kuat makan, masih ada guru yang gajinya jauh dari standar, masih banyak anak yang kurang gizi, masih banyak orang yang hidup di lorong-lorong jembatan dan sebagainya.
Artinya, berani menjadi politisi adalah berani mewakafkan dirinya untuk orang lain, berani berkorban untuk memenuhi kepentingan rakyat banyak dan bukannya justru sebaliknya—mengabaikan kepentingan umum untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian etika politik mengandaikan terciptanya keadilan sosial. Inti keadilan sosial, secara simplisif, adalah terciptanya kesadaran untuk selalu peduli terhadap orang lain, terutama yang tak berdaya, sebagai manifestasi semangat terhadap nilai-nilai sosial-kemanusiaan dalam sebuah masyarakat atau bangsa.
Sebab seperti yang dikatakan oleh Frans Magnis-Suseno bahwa kemanusiaan sebuah masyarakat diukur dari perhatiannya kepada angota-anggotanya yang paling lemah, miskin dan menderita. Dengan keadilan sosial ini secara implisit meneguhkan sebuah prinsip bahwa selama dalam sebuah masyarakat masih dijumpai orang miskin, terbelakang, tidak punya tempat tinggal, tertindas dan termarginalkan, maka unsur masyarakat lain, terutama para pemimpinnya tidak boleh berpangku tangan dan pura-pura tidak tahu. Para pejabat sebagai abdi masyarakat harus segera membantu secara konkrit terhadap masyarakat yang berada dalam jurang kemiskinan dan keterbelakangan tersebut.
Maka dari itu, untuk menjernihkan dunia politik yang sudah banyak terkotori oleh prilaku para politisi yang tidak beretika alias busuk seperti sekarang ini, etika politik sudah saatnya bicara dalam dunia politik. Ini harus menjadi pedoman bagi politisi yang sudah maupun yang akan terjun ke gelanggang politik. Ingat politik bukan ladang bisnis individu maupun keluarga, tetapi tempat untuk menciptakan kebaikan dan kebahagiaan bersama. Maka perhatikanlah saudara-saudara kita seperti guru Karyana itu.
*Muhammad Muhibbuddin adalah Koordinator komunitas studi filsafat “Sophos alaikum” Fak.Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Etika Politik Oleh Hidayat Nur Wahid
Bagi sebuah perguruan tinggi, melampaui usia 50 tahun bukanlah usia yang mudah dicapai, serta di tanah air masih sedikit perguruan tinggi yang telah mencapai usia itu. Karena itu jika terdapat sebuah universitas melewati usia lebih dari setengah abad, niscaya hal itu merupakan bukti kemampuan dan kecerdasan pemimpin dan pengelola universitas itu dalam meniti zaman demi zaman dengan berbagai kondisi dan tantangan yang berbeda-beda. Kita semua bersyukur karena Universitas Nasional telah mampu membuktikan keandalannya melewati usia setengah abad ini. Berbagai pengalaman, suka duka, dan pasang surut yang menyertai perjalanan selama 57 tahun tentunya akan mendorong terwujudnya kematangan dan kedewasaan serta kearifan bagi Universitas Nasional.
Semoga Universitas Nasional dapat terus meningkatkan kualitas perannya dalam mengemban amanah Tridharma Perguruan Tinggi; mencetak manusia-manusia Indonesia yang berilmu, berintegritas tinggi, dan berwawasan luas; melakukan penelitian yang memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat; dan melakukan pengabdian kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan kualitas kesejahteraannya.
Dalam dunia yang berubah dengan cepat di era globalisasi ini diperlukan pengembangan dan pemahaman paradigma baru untuk membangun sumber daya manusia yang unggul. Pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia itu bukan merupakan suatu produk manufaktur, tetapi seperti layaknya pengembangan tanaman yang harus dipilih bibitnya dengan tekun, dipilih tanahnya yang subur, atau kalau perlu dikerjakan tanahnya lebih dulu agar tanamannya bisa tumbuh subur, dan secara telaten harus disiram, dipupuk, dan dijauhkan dari tanaman liar yang bisa mengganggunya. Karena itu, sumber daya manusia harus dikembangkan dengan pemeliharaan sejak dini dengan sebaik-baiknya, dibangkitkan motivasi dan kemauannya untuk maju, dipompa kemampuannya, dan diberikan dorongan yang positif untuk sanggup membangun dan bekerja keras. Mereka harus sadar bahwa hanya dengan bekerja keras mereka berhak mendapatkan tingkatan kesejahteraan untuk masa depan pribadi, anak cucu, dan bangsanya.
Banyak studi empiris dilakukan untuk melihat kaitan antara kualitas sumber daya manusia dan pertumbuhan. Denison (1962), misalnya, menemukan adanya sumbangan yang besar dari peningkatan years of schooling terhadap pertumbuhan Amerika Serikat. Barro (1991) serta Mankiw, Romer, dan Weil (1992) menyatakan bahwa partisipasi pendidikan dan investasi yang cukup besar untuk pendidikan pada tahun 1960-an merupakan faktor yang penting dalam menjelaskan variasi pertumbuhan negara-negara di dunia selama 40 tahun terakhir ini. Mereka memperlihatkan bahwa kualitas sumber daya manusia menyumbang secara cukup berarti bagi pertumbuhan. Sumbangan itu kira-kira sama dengan sumbangan physical capital. Becker (1995) bahkan menunjukkan adanya estimasi bahwa sekitar 80 persen aset dan kekayaan Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya terdiri atas modal manusia.
Dengan pendekatan ini, dapat diterangkan secara jelas apa yang menjadi kunci keberhasilan negara-negara di Asia yang berkembang cepat, dimulai dari Jepang, kemudian Korea, Taiwan, Hongkong, dan Singapura, yang memberikan penekanan besar pada penguatan kualitas sumber daya manusia. Dengan sumber daya alam yang terbatas dan hambatan yang mereka hadapi dalam ekspornya ke Barat, mereka dapat tetap memelihara daya saing dan tingkat pertumbuhan yang menakjubkan.
Pengembangan kualitas sumber daya manusia ini yang paling utama dihasilkan oleh pendidikan. Melalui pendidikan akan menghasilkan insan-insan yang tidak hanya menyandang gelar sarjana, tetapi insan-insan yang bersemangat ilmiah, yang kreatif, yang selalu mencari kesempurnaan (unending search for excellence) dan menghindarkan sikap mediocre. Manusia-manusia yang demikian inilah yang akan menjadi modal pembangunan yang utama, yang akan menjadi andalan masa depan.
Saya menaruh harapan yang besar sekali kepada segenap civitas academica Universitas Nasional untuk tidak sekedar mengalir melalui proses dalam menekuni profesi dan membangun kualitas diri, namun lebih dari itu, kita harus mampu menangkap nuansa baru dari perubahan sosial yang sekaligus disertai dengan arus globalisasi yang sangat cepat tersebut. Kita harus secara dinamis menguasai, bahkan menciptakan masa depan dan tidak mengambil sikap menunggu untuk sekedar menjawab tantangan yang dikeluarkannya. Kita harus menciptakan masa depan kita sendiri. Kita harus mampu mengembangkan ide-ide baru yang segar, yang bisa menangkap “mimpi” dan “cita-cita” masyarakat dengan visi yang jauh ke depan melampaui jamannya.
Pada kesempatan yang baik ini saya mendapat kehormatan untuk menyampaikan Etika Politik di Indonesia. Pilihan topik ini sangat menarik karena kita berada pada tahapan konsolidasi politik setelah melampaui masa transisi politik dengan relatif mulus. Seiring dengan datangnya era reformasi pada pertengahan tahun 1998, Indonesia memasuki masa transisi dari era otoritarian ke era demokrasi. Dalam masa transisi itu, dilakukan perubahan-perubahan yang bersifat fundamental dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk membangun tatanan kehidupan politik baru yang demokratis. Arah baru ini menjadikan Indonesia oleh Freedom House (2003), dimasukkan sebagai salah satu dari dua negara demokrasi baru bersama Nigeria yang paling signifikan yang muncul setelah tahun 1997.
Pada awal masa transisi itu, agar agenda reformasi dapat dilaksanakan secara lebih utuh dan sistematis, dilakukan percepatan pemilu, yang semula direncanakan tahun 2003 dimajukan menjadi tahun 1999. Setelah terbentuk pemerintahan baru hasil Pemilu 1999 berbagai agenda reformasi dijalankan, termasuk salah satu yang terpenting adalah melakukan perubahan UUD 1945.
Desakan kuat bagi adanya perubahan UUD 1945, salah satu latar belakangnya adalah karena konstitusi ini kurang memenuhi aspirasi demokrasi, termasuk dalam meningkatkan kemampuan untuk mewadahi pluralisme dan mengelola konflik yang timbul karenanya. Lemahnya checks and balances antar lembaga negara, antar pusat-daerah, maupun antara negara dan masyarakat, mengakibatkan mudahnya muncul kekuasaan yang sentralistik, yang melahirkan ketidakadilan. Tidak dipungkiri, sentralisme kekuasaan pemerintah di bawah UUD 1945, telah membawa implikasi munculnya ketidakpuasan yang berlarut-larut dan konflik di mana-mana. Konflik tersebut cukup mendasar, karena mengkombinasikan dua elemen yang kuat: faktor identitas berdasarkan perbedaan ras, agama, kultur, bahasa, daerah, dan lain-lain; dengan pandangan ketidakadilan dalam distribusi sumber-sumber daya ekonomi.
Dengan demikian tidaklah mengherankan apabila gagasan perubahan UUD 1945 dengan cepat segera mengambil hati dan pikiran rakyat, serta menjadi agenda pembicaraan berbagai kalangan. Sakralisasi UUD 1945 selama puluhan tahun yang membuat tidak ada yang dapat mengambil sifat kritis terhadap UUD 1945, runtuh seketika.
MPR hasil pemilihan umum 1999 yang diselenggarakan dengan cukup demokratis, menindaklanjuti tuntutan masyarakat yang menghendaki perubahan UUD 1945 dengan melakukan satu rangkaian perubahan konstitusi dalam empat tahapan yang berkesinambungan, sejak Sidang Umum MPR Tahun 1999 sampai dengan Sidang Tahunan MPR 2002. Perubahan konstitusi tersebut dilakukan MPR karena lembaga negara inilah yang berdasarkan UUD 1945 berwenang untuk melakukan perubahan UUD.
Perubahan UUD tersebut dilakukan MPR guna menyempurnakan ketentuan fundamental ketatanegaraan Indonesia sebagai pedoman utama dalam mengisi tuntutan reformasi dan memandu arah perjalanan bangsa dan negara pada masa yang akan datang, dengan harapan dapat berlaku untuk jangka waktu ke depan yang cukup panjang.
Seiring dengan itu, perubahan UUD tersebut juga dimaksudkan untuk meneguhkan arah perjalanan bangsa dan negara Indonesia agar tetap mengacu kepada cita-cita negara sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang abadi, dan keadilan sosial.
Perubahan UUD 1945 telah mewujudkan konstitusi Indonesia yang memungkinkan terlaksananya penyelenggaraan negara yang modern dan demokratis. Semangat yang diemban dalam perubahan konstitusi tersebut adalah supremasi konstitusi, keharusan dan pentingnya pembatasan kekuasaan, pengaturan hubungan dan kekuasaan antarcabang kekuasaan negara secara lebih tegas, penguatan sistem checks and balances antarcabang kekuasaan, penguatan perlindungan dan penjaminan hak asasi manusia, dan pengaturan hal-hal mendasar di berbagai bidang kehidupan.
Semangat tersebut di atas dapat terlihat dari adanya penegasan yang mengatur pelaksanaan kedaulatan rakyat; pernyataan bahwa Indonesia adalah negara hukum; kesejajaran kedudukan antarlembaga negara sehingga tidak dikenal lagi adanya lembaga tertinggi negara dan tinggi negara tetapi setiap lembaga negara melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai UUD 1945; pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden hanya maksimal dua kali masa jabatan; seluruh anggota lembaga perwakilan dipilih dan tidak ada lagi yang diangkat; pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat; kekuasaan membentuk undang-undang di tangan lembaga legislatif; pembentukan lembaga perwakilan baru Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang memperkuat posisi daerah dalam sistem ketatanegaraan kita; dan pembentukan lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman baru Mahkamah Konstitusi (MK).
Selain itu juga dimuat ketentuan mengenai pemilihan umum setiap lima tahun dan diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri; pengaturan mengenai wilayah negara; ketentuan mengenai hak asasi manusia yang sangat rinci, dan pengaturan hal-hal mendasar berbagai bidang kehidupan seperti ekonomi, pendidikan, pertahanan dan keamanan, ilmu pengetahuan, kesejahteraan sosial, kebudayaan, dan lain-lain.
Berbagai perubahan mendasar tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan penerbitan berbagai undang-undang organik serta peraturan di bawahnya. Kesemuanya diarahkan untuk mewadahi proses transisi ke demokrasi, khususnya sebagai pedoman dalam menyelenggarakan Pemilu 2004 yang diharapkan menjadi batas akhir masa transisi dan mulai dimasukinya era baru bagi bangsa Indonesia, yaitu era konsolidasi demokrasi.
Pemilu 2004 yang diharapkan menjadi “jembatan emas” berakhirnya masa transisi dan mulai dimasukinya era konsolidasi demokrasi telah berlangsung secara damai dan demokratis. Pemilu yang berjalan lancar dan tertib serta demokratis tersebut serta berlangsung tanpa gejolak, kekerasan, apalagi pertumpahan darah merupakan prestasi luar biasa bagi bangsa Indonesia.
Tidak sedikit para pengamat menilai, jika ditinjau dari pemilih yang secara langsung dapat memilih kandidat Presiden dan Wakil Presiden yang disukainya, sistem Pemilu Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia dapat dipandang lebih maju dan setingkat lebih tinggi bobotnya dibanding Pemilu Presiden dan Wakil Presiden di AS, karena pemilih di AS tidak dapat langsung memilih kandidat yang diinginkannya. Mereka hanya memilih electoral collage, baru hasil electoral collage itu menentukan siapa kandidat yang menang di suatu distrik pemilihan dengan sistem “pemenang mengambil semua suara”. Sistem ini di AS makin banyak dikritik karena rumit dan sering tidak mencerminkan kehendak mayoritas pemilih. Hal itu dapat dilihat pada Pemilu 2000 di mana George W. Bush menang karena lebih banyak meraih suara electoral collage, padahal jumlah suara pemilihnya (popular vote) lebih sedikit dibanding Al Gore.
Pemilu 2004 telah menghasilkan pasangan Presiden dan Wakil Presiden, DPR, dan DPD untuk periode lima tahun ke depan. Lembaga-lembaga negara lainnya juga telah berjalan, yaitu MPR, BPK, MA, dan MK. Lembaga-lembaga negara tersebut kini telah bekerja melaksanakan tugas konstitusionalnya sebagaimana diatur dalam UUD 1945 yang telah disempurnakan. Seiring dengan itu UUD 1945 yang telah disempurnakan telah dijalankan oleh penyelenggara negara sesuai ruang lingkup tugas dan wewenangnya.
Pada titik inilah dapat dikatakan bahwa masa transisi telah berakhir dan Indonesia memasuki era baru, yakni dimulainya era konsolidasi demokrasi. Larry Diamond (1999) menjelaskan, masa transisi adalah titik awal atau interval (selang waktu) antara rezim otoritarian dengan rezim demokratis. Transisi dimulai dari keruntuhan rezim otoritarian lama yang kemudian diikuti atau berakhir dengan pengesahan lembaga-lembaga politik dan aturan politik baru di bawah payung demokrasi. Adapun konsolidasi demokrasi mencakup peningkatan secara prinsipil komitmen seluruh elemen masyarakat pada aturan main demokrasi. Konsolidasi juga dipahami sebagai proses panjang yang mengurangi kemungkinan pembalikan (reversal) demokratisasi, mencegah erosi demokrasi, menghindari keruntuhan demokrasi, yang diteruskan dengan melengkapi demokrasi, pendalaman demokrasi dan mengorganisir demokrasi secara berkelanjutan. Pada akhirnya proses konsolidasi akan membuahkan pemantapan sistem demokrasi secara operasional dan memperoleh kredibilitas di hadapan masyarakat dan negara.
Huntington memperingatkan bahwa tahun-tahun pertama berjalannya masa kekuasaan pemerintahan demokratis yang baru, umumnya akan ditandai dengan bagi-bagi kekuasaan di antara koalisi yang menghasilkan transisi demokrasi tersebut, penurunan efektifitas kepemimpinan dalam pemerintahan yang baru sedangkan dalam pelaksanaan demokrasi itu sendiri belum akan mampu menawarkan solusi mendasar terhadap berbagai permasalahan sosial dan ekonomi di negara yang bersangkutan. Tantangan bagi konsolidasi demokrasi adalah bagaimana menyelesaikan masalah-masalah tersebut dan tidak justru hanyut oleh permasalahan-permasalahan itu.
Dahl (1997) memperkuat gagasan bahwa konsolidasi demokrasi menuntut etika politik yang kuat yang memberikan kematangan emosional dan dukungan yang rasional untuk menerapkan prosedur-prosedur demokrasi. Ia melandaskan penekanannya pada pentingnya etika politik pada asumsi bahwa semua sistem politik termasuk sistem demokrasi, cepat atau lambat akan menghadapi krisis, dan etika politik yang tertanam dengan kuatlah yang akan menolong negara-negara demokrasi melewati krisis tersebut. Implikasinya proses demokratisasi tanpa etika politik yang mengakar menjadi rentan dan bahkan hancur ketika menghadapi krisis seperti kemerosotan ekonomi, konflik regional atau konflik sosial, atau krisis politik yang disebabkan oleh korupsi atau kepemimpinan yang terpecah.
Dengan kata lain, Etika Politik adalah sarana yang diharapkan mampu menciptakan suasana harmonis antar pelaku dan antar kekuatan sosial politik serta antar kelompok kepentingan lainnya untuk mencapai sebesar-besar kemajuan bangsa dan negara dengan mendahulukan kepentingan bersama dari pada kepentingan pribadi dan golongan.
Etika politik mengandung misi kepada setiap pejabat dan elite politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata krama dalam perilaku politik yang toteran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya. Etika politik harus menjadi pedoman utama dengan politik santun, cerdas, dan menempatkan bangsa dan negara di atas kepentingan partai dan golongan.
MPR juga memandang bahwa etika politik mutlak diperlukan bagi perkembangan kehidupan politik oleh karena itu MPR menetapkan Ketetapan MPR RI No. VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Dalam Ketetapan tersebut diuraikan bahwa etika kehidupan berbangsa tidak terkecuali kehidupan berpolitik merupakan rumusan yang bersumber dari ajaran agama, khususnya yang bersifat universal, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila sebagai acuan dasar dalam berpikir, bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa.
Rumusan tentang Etika Kehidupan Berbangsa ini disusun dengan maksud untuk membantu memberikan penyadaran tentang arti penting tegaknya etika dan moral dalam kehidupan berbangsa. Pokok-pokok etika dalam kehidupan berbangsa mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, sportifitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa.
Etika kehidupan berbangsa ini diuraikan menjadi 6 (enam) etika yaitu:
1. Etika Sosial dan Budaya;
2. Etika Politik dan Pemerintahan;
3. Etika Ekonomi dan Bisnis;
4. Etika Penegakan Hukum yang Berkeadilan;
5. Etika Keilmuan; dan
6. Etika Lingkungan.
Dalam Ketetapan tersebut juga dinyatakan bahwa Etika Politik dan Pemerintahan dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif serta menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa bertanggungjawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keseimbangan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa. Etika pemerintahan mengamanatkan agar penyelenggara negara memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara.
Masalah potensial yang dapat menimbulkan permusuhan dan pertentangan diselesaikan secara musyawarah dengan penuh kearifan dan kebijaksanaan sesuai dengan nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya, dengan tetap menjunjung tinggi perbedaan sebagai sesuatu yang manusiawi dan alamiah.
Etika Politik dan Pemerintahan diharapkan mampu menciptakan suasana harmonis antarpelaku dan antarkekuatan sosial politik serta antarkelompok kepentingan lainnya untuk mencapai sebesar-besar kemajuan bangsa dan negara dengan mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi dan golongan.
Etika Politik dan Pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap mundur dari jabatan Politik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata krama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya. Tap ini mengamanatkan kepada seluruh warga negara untuk mengamalkan etika kehidupan berbangsa.
Berbicara mengenai etika berpolitik, kita harus mengakui bahwa banyak kalangan elite kita cenderung berpolitik dengan melalaikan etika kenegarawanan. Banyak sekali kenyataan bahwa berpolitik dilakukan tanpa rasionalitas, mengedepankan emosi dan kepentingan kelompok, serta tidak mengutamakan kepentingan berbangsa. Hal ini sangat menghawatirkan karena bukan hanya terjadi pembunuhan karakter antarpemimpin nasional dengan memunculkan isu penyerangan pribadi, namun politik kekerasan pun dapat terjadi.
Elite nasional yang seperti ini cenderung kurang peduli terhadap terjadinya konflik masyarakat dan tumbuhnya budaya kekerasan. Elite bisa bersikap seperti itu karena mereka pun sebagian besar berasal dari partai politik atau kelompok-kelompok yang berbasis primordial sehingga elite cenderung berperilaku yang sama dengan perilaku pendukungnya.
Elite serta massa yang cenderung berpolitik dengan mengabaikan etika. Bahkan elite seperti ini merasa halal untuk membenturkan massa atau menggunakan massa untuk mendukung langkah politiknya. Mereka tidak sadar bahwa sebenarnya kekuatan yang berbasis primordial di negeri ini cenderung berimbang. Jika mereka terus berbenturan, tak akan ada yang menang.
Kurangnya etika berpolitik ini merupakan akibat dari dari ketiadaan pendidikan politik yang memadai. Bangsa kita tidak banyak mempunyai guru politik yang baik, yang dapat mengajarkan bagaimana berpolitik tak hanya memperebutkan kekuasaan, namun dengan penghayatan etika serta moral. Politik yang mengedepankan take and give, berkonsensus, dan pengorbanan.
Selain itu kurangnya komunikasi politik juga menjadi penyebab lahirnya elite politik seperti ini. Yaitu elite politik yang tidak mampu menyuarakan kepentingan rakyat, namun juga menghasilkan orang-orang yang cenderung otoriter, termasuk dalam wacana. Politik kekerasan semakin berkembang karena perilaku politik dipandu oleh nilai-nilai emosi.
Untuk berpolitik dengan etika dan moral, paling tidak dibutuhkan dua syarat:
1. Ada kedewasaan untuk dialog;
2. Dapat menomorduakan kepentingan pribadi atau kelompok.
Perilaku pemimpin nasional pun, sesungguhnya tidak berbeda jauh dengan massanya. Karena itu tumbuhnya kedewasaan politik di antara pemimpin nasional sangat dapat menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran serta untuk menyelamatkan masa depan bangsa Indonesia sendiri.
Untuk menyelamatkan bangsa ini mau tak mau pendidikan kewarganegaraan harus semakin dikembangkan. Sebagai contoh adalah melalui pendidikan kewarganegaraan di semua jenjang pendidikan mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi yaitu pendidikan yang menyadarkan kita terhadap pluralitas dan keberagaman yang tinggi. Pluralitas ini begitu penting dan harus diutamakan.
Berpolitik tanpa kesadaran etika dan moral hanya akan melahirkan krisis kepemimpinan. Karena itu, sekarang yang diharapkan adalah adanya pencerahan dari kembalinya budayawan dan agamawan yang bermoral sehingga kita senantiasa kembali pada etika, moralitas, dan kebhinnekaan.
Krisis kehidupan berbangsa dan bernegara, yang sedang dihadapi bangsa Indonesia, antara lain karena persoalan etika dan perilaku kekuasaan. Silang pendapat, perdebatan, konflik, dan upaya saling menyalahkan terus berlangsung di kalangan elite, tanpa peduli dan menyadari bahwa seluruh rakyat kita sedang prihatinmenyaksikan kenyataan ini.
Kemampuan membangun harmoni, melakukan kompromi dan konsensus di kalangan elite politik kita terkesan sangat rendah, tetapi cepat sekali untuk saling melecehkan dan merendahkan. Padahal untuk mengubah arah dan melakukan lompatan jauh ke depan, sangat diperlukan kompromi dan semangat rekonsiliasi.
Politik bukanlah persoalan mempertaruhkan modal untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar, sebagaimana diyakini oleh sebagian besar pelaksana money politics di Tanah Air kita. Politik bukanlah semata-mata perkara yang pragmatis sifatnya, yang hanya menyangkut suatu tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut, yang dapat ditangani dengan memakai rasionalitas. Politik lebih dari pragmatisme, tetapi mengandung sifat eksistensial dalam wujudnya karena melibatkan juga rasionalitas nilai-nilai.
Karena itulah, politik lebih dari sekadar matematika tentang hubungan mekanis di antara tujuan dan cara mencapainya. Politik lebih mirip suatu etika yang menuntut agar suatu tujuan yang dipilih harus dapat dibenarkan oleh akal sehat yang dapat diuji, dan cara yang ditetapkan untuk mencapainya haruslah dapat dites dengan kriteria moral.
Khusus untuk para politisi muda dan calon politisi lainnya, perlu diketahui bahwa dalam politik itu ada keindahan dan bukan hanya kekotoran, ada nilai luhur dan bukan hanya tipu muslihat, ada cita-cita besar yang dipertaruhkan dalam berbagai langkah kecil, dan bukan hanya kepentingan-kepentingan kecil yang diucapkan dalam kata-kata besar. Hal-hal inilah yang menyebabkan politik dapat dilaksanakan dan harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
Apabila kesadaran etika berpolitik sangat rendah maka tantangan yang mungkin kita hadapi kedepan adalah terjadinya feodalisme maupun kapitalisme dalam politik Indonesia yang dapat mengakibatkan bahwa kemerdekaan nasional justru memberi kesempatan kepada para pemimpin politik menjadi raja-raja yang membelenggu rakyatnya dalam ketergantungan dan keterbelakangan.
Tantangan ini harus kita hadapi dengan penuh kesadaran untuk selalu berjuang menentang feodalisme dan perjuangan untuk membebaskan diri dari cengkeraman kapitalisme. Usaha ini sangat ditentukan juga melalui perjuangan partai politik.
Partai politik hendaknya berbentuk partai kader dan bukan partai massa, karena dengan partai kader para anggota partai yang mempunyai pengetahuan dan keyakinan politik dapat ikut memikul tanggung jawab politik, sedangkan dalam partai massa keputusan politik diserahkan seluruhnya ke tangan pemimpin politik dan massa rakyat tetap tergantung dan tinggal dimobilisasi menurut kehendak sang pemimpin partai. Partai politik sebagai pilar demokrasi haruslah selalu berinteraksi dengan masyarakat sepanjang tahun. Kegiatan sosial kemasyarakatan merupakan agenda wajib begitu pula sikap cepat tanggap dalam menghadapi musibah dan bencana.
Para elit politik partaipun sudah seharusnya sering terjun menemui konstituen, mendengar aspirasi mereka, dan memperjuangkannya. Partai tidak boleh membuat jarak dengan rakyat. Di sinilah sesungguhnya hakikat dari pendidikan politik yang diterapkan oleh partai politik dan elitenya. Dengan demikian, maka apapun sikap dan kebijakan partai tidak akan terlepas dari kehendak masyarakat konstituennya, dan benar-benar menjadi penyambung lidah rakyat. Sehingga dapat mencegah kehawatiran bahwa partai hanya memperjuangkan kepentingan kelompoknya. Kegiatan pencerdasan politik masyarakat harus terus dipupuk oleh partai politik melalui respon terhadap realitas sosial-politik. Selain itu berpolitik hendaknya dilakukan dengan cara yang santun, damai, dan menyejukkan. Kemudian kita juga harus mengembangan sistem multipartai agar kehidupan politik terhindar dari konsentrasi kekuasaan yang terlalu besar pada diri satu orang atau satu golongan saja. Dengan etika berpolitik yang demikian itulah kita berharap masyarakat madani yang kita cita-citakan dapat segera terwujud.***
*) Disampaikan Pada Wisuda Pasca Sarjana, Sarjana, dan Diploma III Serta Dies Natalis Universitas Nasional ke-57 di Jakarta, 21 November 2006 Oleh: Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid, M.A. (Ketua MPR RI)
ETIKA POLITIK
Etika
Etika merupakan pelajaran sistematis mengenai persoalan-persoalan yang paling utama dan terutama dari tindakan manusia (human conduct). Di dalamnya terkandung hal yang bersifat universal, – yang membedakannya dengan sopan santun yang kebanyakan bersifat lokal (misalnya cium tangan/sujud, dll.).
Ada 2 (dua) kata kunci yang perlu dan tidak dapat dilepaskan dalam upaya memahami etika., yakni karakter[2] dan kebiasaan[3]. Di dalam kedua kata itulah termaktub pelbagai pengertian dan perumusan mengenai etika. Jika pengertiannya lebih menekankan pada tingkah laku manusia maka akan dikatakan etika itu adalah pengetahuan mengenai perilaku : ethics is the science of behaviour (Emil Bruner: The Divine of Imperative, 1947, P. 83). Jika kecenderungannya pada nilai-nilai yang membentuk kepribadian (karakter), maka etika akan disebut sebagai ajaran menyangkut karakter manusia (doctrine of human character).
Tidak berbeda dengan pengertian di atas, Jongeneel, salah satu pakar Etika yang cukup dikenal di Indonesia, merumuskan bahwa etika adalah ajaran yang baik dan yang buruk dalam pikiran, perkataan dan perbuatan manusia dan masyarakat (Jongeneel: Hukum Kemerdekaan I, 1980. h. 10). Hal itu lebih diperluas lagi oleh pakar lain yang mengatakan bahwa bukan hanya soal baik dan buruk, tetapi menyangkut persoalan benar dan salah. Apa yang baik di dalam semua tindakan baik?, apa yang buruk di dalam semua tindakan yang salah dan jahat? apa yang benar dan apa yng membuat tindakan yang benar itu benar, apa yang salah dan apa yang membuat tindakan itu salah?, dan mengapa yang benar ditemukan dalam apa yang baik? (Niebuhr: Faith and Ethics, 1957. p.120).
Dalam pertanyaan-pertanyaan di atas sudah tergambar muatan yang sesungguhnya dari etika itu. Namun belumlah cukup. Satu perkataan lain yang sangat akrab di telinga manusia masih diperlukan, yakni: moral[4]. Niebuhr dengan tandas mengatakan bahwa moral sangat memainkan peran dalam etika. Menurutnya keberadaan moral (moral existence) merupakan keberadaan pribadi (personal existence). Masih menurut Niebuhr, dasar dari sebuah keputusan moral adalah hati (reason of heart) dari orang yang sungguh-sungguh. Pengutamaan moral itu, bagi Niebuhr, adalah juga disebabkan pemahamannya bahwa tidak ada alat yang lebih besar bagi penyamarataan kehidupan yang membuat manusia setara (equal), kecuali moral. Dalam relasinya dengan keagamaan, Niebuhr juga melihat kerusakan moral berkaitan dengan dosa, yang dari dimensi religius dikatakannya sebagai pemberontakan terhadap Allah dan upaya untuk menduduki secara paksa tempat atau kedudukan Allah. Kerusakan moral karena dosa, dari dimensi sosial adalah ketidakadilan.
Kata absolutisasi, menjadi suatu pokok tersendiri untuk memasuki wilayah politik dari dimensi etika itu. Semua mengetahui dan mengakui bahwa tidak yang absolut di dunia ini. Satu yang tunggal, yakni Allah pencipta semesta itulah yang absolut. Jika kerusakan moral terjadi dan manusia mencoba dengan paksa untuk menduduki tempat (kedudukan) Allah, maka manusia membuat dirinya absolut, menjadi penafsir tunggal kebenaran atau hukum dan menjadi kebenaran dan hukum itu sendiri. Inilah yang disebut absolutisasi kebenarannya sendiri. Dan, di dalam proses manusia merebut paksa dan kemudian mempertahankan kedudukan yang dimiliki Allah itu, dimensi sosial akan menunjukkan kenyataan yang dipenuhi pelbagai ketidakadilan di segala bidang kehidupan.
Politik
Perkataan yang berasal dari kata Yunani, Po’lis diartikan kota (city). Dalam perkembangan berikutnya kota-kota memperluas diri atau menyatukan diri dan kemudian disebut negara. Sebagai ilmu, politik merupakan analisa tentang pemerintahan, proses-proses di dalamnya, bentuk-bentuk organisasi, lembaga-lembaga dan tujuannya (William Ebenstein; Political Science, 1972. p.309). Dalam bentuk yang lebih operasional, politik merupakan pembuatan keputusan yang dilakukan masyarakat; suatu pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan-kebijakan publik (Joice &William Mitchel; Political Analysis and Public Policy, 1969. p. 4).
Politik jelas akan berbicara tentang pengaturan menyangkut hajat hidup manusia, kepentingan masyarakat, termasuk kepentingan kelompok-kelompok di dalamnya. Dalam perspektif ini, kebutuhan mengenai peraturan, pengatur dan pelaksana (pemerintah) adalah sesuatu yang tidak tertolak. Dalam melaksanakan tugasnya, pemerintah pada tiap negara jelas membutuhkan dan sekaligus akan mengeluarkan pelbagai kebijakan publik sesuai dengan programnya. Berdasarkan kebijakan atau peraturan yang dikeluarkan itu, muatan atau warna politik dari suatu pemerintahan akan terbaca.
Tidaklah salah jika dikatakan bahwa tiap kebijakan atau peraturan yang keluar dalam suatu negara, merupakan produk politik dari rezim yang sedang berkuasa. Di sinilah titik krusial dari politik itu. Sebab, subjektivitas tidaklah dengan sendirinya hilang, bahkan sering dapat mencuat manakala kekuasaan membesar pada seseorang atau sekelompok orang. Paling tidak, para penguasa akan mempengaruhi rumusan dan muatan dari suatu kebijakan publik atau peraturan yang keluar pada masa pemerintahannya, baik itu mengenai ekonomi, hukum, lingkungan hidup, pendidikan dlsbnya.
Dalam sejarahnya, sebagaimana asal kata itu, Yunani merupakan kiblat dari dari ilmu politik. Namun, sejarah juga tidak bisa mengabaikan konstribusi Yahudi dalam proses-proses politik itu sendiri. Gagasan-gagasan awal mengenai persaudaraan manusia (brotherhood of man) dan konsepsi tentang dunia yang satu (one world) sangat memberi inspirasi dalam lintas pemikiran politik. Banyak yang mengaitkan hal itu dengan lahirnya pemahaman monoteisme Alkitab, terutama Perjanjian Lama.
Dalam arus gagasan yang demikian, pemaknaan koinonia dari tri-tugas gereja, jelas memiliki kesejajaran dengan pengertian po’lis itu. Bedanya adalah fundamentalnya, antara persekutuan yang didasarkan keyakinan terhadap Yesus Kristus dan persekutuan yang diikat secara politis kebangsaan, kerajaan atau bentuk2 lain. Inti makna yang dapat dilihat adalah bahwa po’lis atau politik itu adalah penataan kehidupan sekelompok manusia ke arah yang mereka kehendaki. Sementara koinoia terhisab ke dalam pewujudan kehidupan yang dikehendaki Allah, bagi kesejahteraan dan sukacita segenap ciptaanNYA.
Etika Politik
Arena politik merupakan ruang yang sangat memungkinkan bagi pemberlakuan syalom Kerajaan Allah, tetapi sekaligus juga menjadi wilayah yang sangat terbuka bagi terjadinya pemberontakan terhadap Allah. Status Absolut yang merupakan prerogatif Allah semata dan tidak terbagi terhadap siapapun , ternyata dalam sejarah bisa ditarik dan diambil paksa oleh manusia. Namun, selalu ada konsekuensi dari sikap pemberontakan itu, yang selalu merugikan pihak manusia, termasuk orang-orang yang saleh.
Kita dapat melihat kekerasan hati Fir’aun (absolutisasi) yang berujung pada pemberontakan. Kita tidak disodorkan Alkitab jumlah korban, baik fisik material maupun jiwa. Hitler dengan keyakinan Arianisme (absolutisasi) mengakibatkan ratusan ribu nyawa melayang, termasuk orang-orang yang saleh. Termasuk juga diktator-diktator di negara-negara berkembang yang memakan anak-anak bangsanya. Sayangnya, Indonesia tidak sanggup membuktikan berapa banyak korban diktatorisme (absolutisasi) Soeharto melalui pengadilan.
Etika politik sesungguhnya berbicara pada tataran nilai tentang negara dan proses-proses yang manusiawi di dalamnya. Kesadaran tentang keberdosaan manusia dan kecenderungannya untuk menjadi ilah, membuka kesadaran perlunya batas-batas etis menyangkut proses dan perilaku politik dalam suatu negara. Karena itu politik tidak bisa dibiarkan berjalan begitu saja, hanya sekadar diurus orang-orang tertentu atau diserahkan kepada para politisi semata.
Lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat, terutama kelompok-kelompok kepentingan, termasuk lembaga keagamaan, merupakan kekuatan tersendiri untuk mempengaruhi kebijakan publik atau keluarnya suatu peraturan.Lembaga-lembaga yang ada itu dapat mendengar dan menyalurkan pelbagai keprihatinan dan aspirasi yang ada di tengah-tengah sekelompok masyarakat untuk menekan penguasa memberi perhatian atau mengeluarkan kebijakan pada tuntutan masyarakat tersebut.
Keterlibatan politik secara kritis (critical engagement) dari lembaga-lembaga atau kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat akan menjadi sarana dan alat yang sangat efektif untuk mengontrol segala tingkah pongah penguasa dan dengan itu batas-batas etis kekuasaan yang layak tetap terjaga. Upaya-upaya melakukan kritik, menekan pemerintah dan melakukan kontrol, jika dilakukan secara berkesinambungan dan terhormat, jelas akan membiasakan suatu bangsa atau negara hidup dalam keseimbangan yang terukur. Juga, pemerintah akan dididik untuk tunduk pada yang seharusnya.
Pendidikan politik suatu bangsa akan berjalan dengan baik di dalam dan melalui proses kesadaran kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat untuk terus menerus membiasakan diri melakukan kritik dan kontrol terhadap proses politik yang sedang berjalan. Suatu bangsa atau negara, yang berjalan dalam situasi demikian, akan membiasakan dirinya terbuka dan siap melakukan perbaikan. Di samping itu, politik tidak akan menjadi suatu potret seram yang menakutkan, tetapi sesuatu yang wajar dan biasa-biasa saja. Kritik tidak akan dianggap sebagai ancaman, dan para pengritik tidak diperlakukan sebagai musuh.
Perubahan-perubahan yang dilakukan penguasa terhadap kebijkannya yang salah atas desakan masyarakat merupakan pendidikan politik yang paling baik. Dengan itu akan lahir kebiasaan-kebiasaan yang positip yang pada akhirnya akan berujung pada suatu karakter politik yang terbuka dan mau berubah ke arah yang lebih baik dan maju. Kebiasaan-kebiasaan baik yang berjalan dalam pemerintahan itu, akan menjadi etika politik suatu bangsa.
Persfektif Alkitab
Usahakanlah kesejahteraan kota (baca: po’lis, politik)… dan berdoalah untuk kota (po’lis, politik) itu (Yeremia 29:7). Naikkanlah permohonan, doa syafaat dan ucapan syukur untuk semua orang, untuk raja-raja dan untuk semua pembesar, agar kita hidup tenang dan tentram dalam segala kesalehan dan kehormatan (1 Tim 2:1-2).
Gereja di utus ke dunia, ditugaskan ke dunia untuk menggenapkan firman Allah, memproklamasikan Injil Yesus Kristus (Mat. 28:19-20, Mark. 6:15, Luk. 4: 18-19) dan tidak diperintahkan untuk mencari surga. Dalam bahasa realita kontekstual saat ini, Gereja diutus untuk menyampaikan kabar baik bagi orang-orang yang busung lapar, berita pembebasan bagi para buruh, nelayan, petani yang dijerat (tawanan) para pemodal, pendidikan bagi orang-orang pinggiran yang tersisihkan (buta) dan orang-orang tergusur (ditindas).
Semua yang di atas adalah muatan dan realitas politik yang sesungguhnya dan tidak ada satupun yang dapat dilewatkan begitu saja. Lebih tandas lagi: mewujudkan Kerajaan Allah di dunia dalam naungan syalomNYA. Untuk mewujudkan hal itu, Gereja tidak mungkin melepaskan diri dari persoalan-persoalan politik. Apalagi cirri dari syalom itu adalah: kesejahteraan, keadilan, kejujuran, kebenaran dan ketertiban, bagi seluruh ciptaan (integrity of creation).
Etika Alkitab yang dapat merembes ke seluruh bidang dan sendi kehidupan, termasuk ke dalam arena poilitik adalah : kudus dan bertanggungjawab. Prinsi-prinsip inilah yang sesungguhnya masih sangat kurang di dalam arena politik di Indonesia. Itu sebabnya, semua orang bergama, berurusan terus dengan agama dan bahkan fanatik beragama, tetapi korupsinya merjalela. Saat Gereja menggebu dan simultan harus membangun etika politik bangsa.
* Penulis adalah :
Pdt. Saut Hamonangan Sirait, (Ketua Umum Partisipasi Kristen Indonesia “PARKINDO” 2005-2010)
Pendeta HKBP, alumni STT Jakarta, aktif menjadi pengurus di GMKI Jakarta, DPP GAMKI, PIKI, pernah aktif di Biro Pemuda PGI.
Website Hidayat Nurwahid Masih Ketua MPR
Sampai hari ini, Senin, 14 Desember 2009 Pukul 17.00, ketika saya buka halaman websitenya Bapak Hidayat Nurwahid, yang seharusnya jabatan sudah berganti menjadi Ketua BKSAP, tetapi headernya masih Ketua MPR RI. Ketua MPR RI terpilih sekarang adalah Bapak Taufik Kiemas. Bung Admin, siap untuk mengganti headernya?
Tokoh PAN Tidak Punya Etika Politik
Kalau PAN memutuskan untuk tak beroposisi dan ikut dalam pemerintahan SBY-Boediono, kata GM demikian Goenawan biasa dipanggil, sebaiknya para politisinya tak menyerukan Wapres dan Menkeu non-aktif sebelum mereka diusut secara hukum.
"Kalau mau demikian juga, lebih baik secara ksatria PAN beroposisi. Saya imbaukan ini kepada Amien Rais, yang dulu saya bantu dan dukung untuk memimpin Partai dan mencalonkan jadi presiden. Saya juga imbau politisi PAN lain supaya jangan menebarkan suasana fitnah," kata Goenawan.
Menurut Goenawan, mereka, termasuk Amien Rais, selama perjuangan "cicak" lawan "buaya" diam saja, maka seruan-seruan mereka soal Bank Century hanya memberi kesan bahwa mereka tak punya niat baik untuk pembrantasan korupsi. Mereka, termasuk Amin Rais, memberi kesan ingin mendepak lawan politik dan merebut posisi. Seakan-akan PAN, yang sudah punya sejumlah menteri penting di kabinet, masih haus kekuasaan.
"Cita-cita PAN tidak demikian," kata dia menambahkan. "Demokrasi yang hanya memamerkan rebutan jabatan dan tanpa etika akan memberi angin kepada kekuatan antidemokrasi. "
Sumber: Tempo Interaktif.
Etika Politik dan Hasrat Berkuasa
menjadi pemimpin bangsa ini ke depan untuk mengutamakan sikap kenegarawanan
dengan mengedepankan etika politik dan perilaku politik yang baik dalam
memimpin bangsa ini.
Hal itu dikatakan Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng kepada wartawan di
Wisma Negara, Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (21/8), sesaat
setelah mendampingi pengurus Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)
diterima Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Boleh dipastikan, siapa pun setuju dengan harapan itu. Kita senang kalau para pemimpin bangsa ini sungguh-sungguh negarawan: yang mampu berpikir dan bersikap dengan kerangka dan spirit nasionalisme, yang tidak membeda-bedakan rakyat berdasarkan latar belakang etnik, agama, golongan, status sosial ekonomi, daerah asal, dan lainnya.
Kita juga senang jika para pemimpin sungguh-sungguh mengedepankan etika politik dan perilaku politik yang baik dalam memimpin bangsa ini. Etika dan perilaku sama-sama berkait dengan moral, sedangkan moral diturunkan dari norma dan nilai. Jadi, jika etika dan perilaku politik para pemimpin sungguh-sungguh mengindahkan moral yang sesuai dengan norma dan nilai yang kita junjung tinggi, niscayalah persoalan dan masalah yang menimpa bangsa ini tak akan terlalu banyak.
Namun, fakta bicara lain. Soal kenegarawanan, tak sedikit pemimpin yang kerap diskriminatif ketika berhadapan dengan rakyat. Bayangkan jika istilah ”mayoritas” dan ”minoritas” disebut-sebut ketika berupaya mencari solusi di balik konflik antarkelompok di masyarakat seraya mengimbau agar yang ”minoritas” tahu diri. Dalam kategori statistik, mayoritas dan minoritas memang ada dan tak mungkin dibantah. Namun dalam paradigma nasionalisme, kedua istilah tersebut sungguh usang dan karenanya tak sekali-kali boleh diucapkan. Maka, jika masih ada orang-orang yang menggunakannya, mereka patut dianggap kontra-nasionalis. Kalau itu rakyat biasa, mereka perlu dicerahkan. Kalau itu pemimpin, selayaknya dicopot saja dari posisinya. Sebab, mereka telah melanggar sumpah untuk selalu setia kepada Pancasila, UUD 45, dan NKRI.
Soal kenegarawanan ini haruslah ditunjukkan bukan hanya ketika berhadapan dengan rakyat, tetapi juga di saat merancang dan membahas pelbagai peraturan publik di aras nasional dan daerah. Jika peraturan publik yang tidak seutuhnya dan sepenuhnya menjunjungtinggi nasionalisme itu sudah ada, kiranya para pemimpin dengan rendah-hati dan jiwa-besar bersedia merevisinya. Ke depan, kiranya para pemimpin selalu mawas-diri dan meninggikan nasionalisme dalam proses-proses dan kerja-kerja politik agar tidak memproduksi kebijakan politik yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 45, dan NKRI.
Soal etika dan perilaku politik, para pemimpin nampaknya juga masih perlu belajar banyak. Misalkan dalam pemilu si A terpilih menjadi wakil rakyat, itu berarti si A harus selalu bertanggungjawab selama lima tahun kepada rakyat yang menjadi konstituennya. Namun, jika di tahun pertama atau kedua (pokoknya sebelum berakhir masa jabatannya di parlemen) si A kemudian ’loncat pagar’ ikut pilkada demi merebut jabatan kepala daerah (entah gubernur atau
walikota/bupati), tidakkah ia sebenarnya telah ingkar janji kepada rakyat yang sebelumnya telah memberinya kepercayaan untuk menjadi wakil rakyat? Apalagi jika si A menang dan akhirnya melepas jabatannya di parlemen. ”Tapi, itu kan bukti bahwa rakyat juga memberi kepercayaan kepada saya untuk menjadi kepala daerah?” mungkin begitu dalih si A. Jawaban seperti itu bisa saja benar, tapi bisa juga salah. Orang-orang seperti si A, yang sejak pilkada langsung diberlakukan cukup banyak bermunculan, mestinya memikirkannya sendiri dengan hati-nurani.
Itulah hasrat berkuasa yang begitu menggebu-gebunya sampai-sampai mampu mengalahkan etika politik. Jika hasrat tersebut bahkan membuat si A sanggup menabrak rambu-rambu politik, baik di lingkungan internal (partai dari mana ia berasal) maupun eksternal (peraturan pemerintah atau negara), niscaya perilaku-perilaku politik yang menyimpang dari ketentuan atau melanggar peraturan pun sanggup dilakukannya di kemudian hari. Negara rusak dan rakyat menderita punya pemimpin seperti itu.
Fenomena hasrat berkuasa yang membara itu ternyata bisa juga berwujud sebaliknya: dari eksekutif ingin ’lompat pagar’ ke legislatif. Itulah yang diperlihatkan hari-hari ini oleh Fadel Muhammad, Gubernur Gorontalo, yang ingin meraih kursi di DPR. Padahal, sebagai gubernur, ia baru lebih setahun menjalankan masa jabatan keduanya. Tak pelak, Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla pun menampiknya. ”Sebagai kader partai, dia seharusnya memiliki komitmen untuk menduduki jabatan itu selama lima tahun. Jangan sampai di tengah-tengah harus ganti arah. Sudah diberikan amanah dan itu harus dijalankan sesuai dengan waktunya,” kata Kalla.
Menarik sekaligus menggelitik kita untuk bertanya: ada apa di balik hasrat menjadi anggota DPR yang terpendam di sanubari Gubernur Fadel Muhammad? Diduga, dari DPR kemudian ia siap-siap ’lompat pagar’ lagi demi meraih jabatan wakil presiden. Jika itu benar, inilah hasrat berkuasa yang tidak mengindahkan etika politik yang baik. Memang, sejauh ini tidak ada peraturan yang tegas terkait ’lompat pagar’ para pemimpin dari satu lembaga ke lembaga yang lain. Itu sebabnya ada beberapa anggota DPR yang di tengah masa jabatannya kemudian
pindah ke eksekutif menjadi kepala daerah. Ada juga yang dari DPR pindah ke Mahkamah Konstitusi.
Sulit memberi penilaian etis tidaknya kepada mereka yang berperilaku politik seperti itu, karena dasar hukumnya memang tidak ada. Namun, etika memang bukanlah soal hukum (peraturan tertulis), karena etika haruslah dilandasi dengan apa yang di Indonesia disebut ’kepantasan’ atau ’kepatutan’. Jadi, ia haruslah mempertimbangkan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di
masyarakat. Ia juga harus memperhatikan kelaziman-kelaziman serta suasana batin masyarakat sesuai konteks waktu dan perkembangan situasi kondisi. Ada nalar, juga rasa, yang mestinya diseimbangkan. Dengan demikianlah niscaya kekuasaan betul-betul didayagunakan sebagai alat demi mewujudkan kebaikan, keadilan, dan kebenaran bagi rakyat dan negara. Dengan demikianlah kekuasaan tak semata berorientasi kepentingan praktis, melainkan alat belaka untuk melayani. Itulah yang pernah dikatakan oleh Dr Johannes Leimena, seorang deklarator Sumpah Pemuda 1928 dan negarawan besar di era pemerintahan Soekarno.
Ke depan, bagaimana agar etika politik yang baik menjadi pedoman para pemimpin dalam berperilaku politik? Seharusnya setiap agama cukup untuk dijadikan sumber etika. Masalahnya, apakah agama yang dianut para pemimpin itu dipahami dengan benar dan dihayati dengan baik? Jika tidak, sangat mungkin para pemimpin itu hanya mengandalkan intuisi politik dan bukan etika politik. Alhasil, proses-proses dan kerja-kerja politik kehilangan jiwanya sehingga produk-produknya pun tidak berorientasi kebaikan, keadilan, dan kebenaran bagi rakyat dan negara. Maka, tak heranlah jika reformasi yang telah berjalan sedekade ini hanya ”begitu-begitu saja” di mata banyak orang. Ironis dan memprihatinkan, karena biaya yang sangat besar telah dicurahkan untuk mewujudkan agenda-agenda reformasi itu.
* Dosen Fisipol UKI, pengamat sospol.
(www.victorsilaen.com)
Telah dimuat pada Harian Seputar Indonesia, 8 September 2008
Etika Politik, Bukan Hanya Moralitas Politikus
Urgensi etika politik
Kalau orang menuntut keadilan, berpihak pada korban, memberdayakan masyarakat melalui civil society, membangun demokrasi, bukanlah semua itu merupakan upaya mewujudkan etika politik? Dalam situasi kacau, bukankah etika politik menjadi makin relevan? Pertama, betapa kasar dan tidak santunnya suatu politik, tindakannya membutuhkan legitimasi. Legitimasi tindakan ini mau tidak mau harus merujuk pada norma-norma moral, nilai-nilai hukum atau peraturan perundangan. Di sini letak celah di mana etika politik bisa berbicara dengan otoritas.
Kedua, etika politik berbicara dari sisi korban. Politik yang kasar dan tidak adil akan mengakibatkan jatuhnya korban. Korban akan membangkitkan simpati dan reaksi indignation (terusik dan protes terhadap ketidakadilan). Keberpihakan pada korban tidak akan mentolerir politik yang kasar. Jeritan korban adalah berita duka bagi etika politik. Ketiga, pertarungan kekuasaan dan konflik kepentingan yang berlarut-larut akan membangkitkan kesadaran akan perlunya penyelesaian yang mendesak dan adil. Penyelesaian semacam ini tidak akan terwujud bila tidak mengacu ke etika politik. Seringnya pernyataan "perubahan harus konstitusional", menunjukkan etika politik tidak bisa diabaikan begitu saja.
Kekhasan etika politik
Tujuan etika politik adalah mengarahkan ke hidup baik, bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil (Paul Ricoeur, 1990). Definisi etika politik membantu menganalisa korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur yang ada. Penekanan adanya korelasi ini menghindarkan pemahaman etika politik yang diredusir menjadi hanya sekadar etika individual perilaku individu dalam bernegara. Pengertian etika politik dalam perspektif Ricoeur mengandung tiga tuntutan, pertama, upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain...; kedua, upaya memperluas lingkup kebebasan..., ketiga, membangun institusi-institusi yang adil. Tiga tuntutan itu saling terkait. "Hidup baik bersama dan untuk orang lain" tidak mungkin terwujud kecuali bila menerima pluralitas dan dalam kerangka institusi-institusi yang adil. Hidup baik tidak lain adalah cita-cita kebebasan: kesempurnaan eksistensi atau pencapaian keutamaan.
Institusi-institusi yang adil memungkinkan perwujudan kebebasan dengan menghindarkan warganegara atau kelompok-kelompok dari saling merugikan. Sebaliknya, kebebasan warganegara mendorong inisiatif dan sikap kritis terhadap institusi-institusi yang tidak adil.
Pengertian kebebasan yang terakhir ini yang dimaksud adalah syarat fisik, sosial, dan politik yang perlu demi pelaksanaan kongkret kebebassan atau disebut democratic liberties: kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan mengeluarkan pendapat, dan sebagainya.
Dalam definisi Ricoeur, etika politik tidak hanya menyangkut perilaku individual saja, tetapi terkait dengan tindakan kolektif (etika sosial). Dalam etika individual, kalau orang mempunyai pandangan tertentu bisa langsung diwujudkan dalam tindakan. Sedangkan dalam etika politik, yang merupakan etika sosial, untuk dapat mewujudkan pandangannya dibutuhkan persetujuan dari sebanyak mungkin warganegara karena menyangkut tindakan kolektif. Maka hubungan antara pandangan hidup seseorang dengan tindakan kolektif tidak langsung, membutuhkan perantara. Perantara ini berfungsi menjembatani pandangan pribadi dengan tindakan kolektif. Perantara itu bisa berupa simbol-simbol maupun nilai-nilai: simbol-simbol agama, demokrasi, dan nilai-nilai keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan sebagainya. Melalui simbol-simbol dan nilai-nilai itu, politikus berusaha meyakinkan sebanyak mungkin warganegara agar menerima pandangannya sehingga mendorong kepada tindakan bersama. Maka politik disebut seni karena membutuhkan kemampuan untuk meyakinkan melalui wicara dan persuasi, bukan manipulasi, kebohongan, dan kekerasan. Etika politik akan kritis terhadap manipulasi atau penyalahgunaan nilai-nilai dan simbol-simbo itu. Ia berkaitan dengan masalah struktur sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang mengkondisikan tindakan kolektif.
Etika politik vs Machiavellisme
Tuntutan pertama etika politik adalah "hidup baik bersama dan untuk orang lain". Pada tingkat ini, etika politik dipahami sebagai perwujudan sikap dan perilaku politikus atau warganegara. Politikus yang baik adalah jujur, santun, memiliki integritas, menghargai orang lain, menerima pluralitas, memiliki keprihatinan untuk kesejahteraan umum, dan tidak mementingkan golongannya. Jadi, politikus yang menjalankan etika politik adalah negarawan yang mempunyai keutamaan-keutamaan moral. Dalam sejarah filsafat politik, filsuf seperti Socrates sering dipakai sebagai model yang memiliki kejujuran dan integritas. Politik dimengerti sebagai seni yang mengandung kesantunan. Kesantunan politik diukur dari keutamaan moral. Kesantunan itu tampak bila ada pengakuan timbal balik dan hubungan fair di antara para pelaku. Pemahaman etika politik semacam ini belum mencukupi karena sudah puas bila diidentikkan dengan kualitas moral politikus. Belum mencukupi karena tidak berbeda dengan pernyataan. "Bila setiap politikus jujur, maka Indonesia akan makmur". Dari sudut koherensi, pernyataan ini sahih, tidak terbantahkan. Tetapi dari teori korespondensi, pernyataan
hipotesis itu terlalu jauh dari kenyataan (hipotetis irealis).
Etika politik, yang hanya puas dengan koherensi norma-normanya dan tidak memperhitungkan real politic, cenderung mandul. Namun bukankah real politic, seperti dikatakan Machiavelli, adalah hubungan kekuasaan atau pertarungan kekuatan? Masyarakat bukan terdiri dari individu-individu subyek hukum, tetapi terdiri dari kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan yang saling berlawanan. Politik yang baik adalah politik yang bisa mencapai tujuannya, apa pun caranya. Filsuf Italia ini yakin tidak ada hukum kecuali kekuatan yang dapat memaksanya. Hanya sesudahnya, hukum dan hak akan melegitimasi kekuatan itu. Situasi Indonesia saat ini tidak jauh dari gambaran Machiavelli itu. Politik dan moral menjadi dua dunia yang berbeda. Etika politik seakan menjadi tidak relevan. Relevansi etika politik terletak pada kemampuannya untuk menjinakkan kekuatan itu dan mengatur kepentingan-kepentingan kelompok dengan membangun
institusi-institusi yang lebih adil.
Institusi sosial dan keadilan prosedural
Institusi-institusi sosial harus adil karena mempengaruhi struktur dasar masyarakat. Dalam struktur dasar masyarakat, seperti dikatakan John Rawls, sudah terkandung berbagai posisi sosial dan harapan masa depan anggota masyarakat berbeda-beda dan sebagian ditentukan oleh sistem politik dan kondisi sosial-ekonomi. Terlebih lagi, institusi-institusi sosial tertentu mendefinisikan hak-hak dan kewajiban masyarakat, yang pada gilirannya akan mempengaruhi masa depan setiap orang, cita-citanya, dan kemungkinan terwujudnya. Dengan demikian institusi-institusi sosial itu sudah merupakan sumber kepincangan karena sudah merupakan titik awal keberuntungan bagi yang satu dan kemalangan bagi yang lain.
Maka membangun institusi-institusi yang adil adalah upaya memastikan terjaminnya kesempatan sama sehingga kehidupan seseorang tidak pertama-tama ditentukan oleh keadaan, tetapi oleh pilihannya. Keutamaan moral politikus tidak cukup tanpa adanya komitmen untuk merombak institusi-institusi sosial yang tidak adil, penyebab laten kekerasan yang sering terjadi di Indonesia. Maka sering didengar pepatah "yang jujur hancur". Ungkapan ini menunjukkan urgensi membangun institusi-institusi yang adil. Ini bisa dimulai dengan menerapkan keadilan prosedural. Keadilan prosedural adalah hasil persetujuan melalui prosedur tertentu dan mempunyai sasaran utama peraturan-peraturan, hukum-hukum, undang-undang. Jadi prosedur ini terkait dengan legitimasi dan justifikasi. Misalnya, kue tart harus dibagi adil untuk lima orang. Maka peraturan yang menetapkan "yang membagi harus mengambil pada giliran yang terakhir" dianggap sebagai prosedur yang adil. Dengan ketentuan itu, bila pembagi ingin mendapat bagian yang tidak lebih kecil dari yang lain, dengan sendirinya, tanpa harus dikontrol, dia akan berusaha membagi kue itu sedemikian rupa sehingga
sama besarnya.
Dengan demikian, meski ia mengambil pada giliran terakhir, tidak akan dirugikan. Di Indonesia, para penguasa, yang dalam arti tertentu adalah pembagi kekayaan atau hasil kerja sosial, justru sebaliknya, berebut untuk mengambil yang pertama. Tentu saja akan mengambil bagian yang terbesar. Maka banyak orang atau kelompok yang mempertaruhkan semua untuk berebut kekuasaan. Keadilan prosedural menjadi tulang punggung etika politik karena sebagai prosedur sekaligus mampu mengontrol dan menghindarkan semaksimal mungkin penyalahgunaan.
Keadilan tidak diserahkan kepada keutamaan politikus, tetapi dipercayakan kepada prosedur yang memungkinkan pembentukan sistem hukum yang baik sehingga keadilan distributif, komutatif, dan keadilan sosial bisa dijamin. Dengan demikian sistem hukum yang baik juga menghindarkan pembusukan politikus. Memang, bisa terjadi meski hukum sudah adil, seorang koruptor divonis bebas karena beberapa alasan kepiawaian pengacara, tak cukup bukti, tekanan terhadap hakim, dan sebagainya. Padahal, prosedur hukum positif yang berlaku tidak mampu memuaskan rasa keadilan, penyelesaiannya harus mengacu ke prinsip epieikeia (yang benar dan yang adil).
Bagaimana menentukan kriteria kebenaran dan keadilan?
Semua diperlakukan sama di depan hukum. Ketidaksamaan perlakuan hanya bisa dibenarkan bila memihak kepada yang paling tidak diuntungkan atau korban. Secara struktural, korban biasanya sudah dalam posisi lemah, misalnya, warga terhadap penguasa, minoritas terhadap mayoritas. Prinsip epieikeia ini mengandaikan integritas hakim, penguasa atau yang berkompeten menafsirkan hukum. Maka ada tuntutan timbal balik, prosedur yang adil belum mencukupi bila tidak dilaksanakan oleh pribadi yang mempunyai keutamaan moral.
[DR. Haryatmoko, pengajar filsafat di Pascasarjana UI, Universitas Sanata Dharma, dan IAIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta]