Showing posts with label Biaya Politik. Show all posts
Showing posts with label Biaya Politik. Show all posts

Mengatasi Kemiskinan & Mengakhiri Debat Politik

DALAM sambutan di depan Konferensi Kebijakan Sosial yang diselenggarakan Prakarsa, di Jakarta, baru-baru ini Wapres M Jusuf Kalla menyatakan, sepuluh tahun sejak reformasi 1998, Indonesia tidak mengajukan gagasan dan pikiran besar. Wapres juga menegaskan, kita tidak membangun bidang-bidang yang amat diperlukan, seperti pengairan dan infrastruktur. ”Kita menghabiskan banyak waktu untuk berdebat dan berpolitik!” tegasnya.

Akibatnya, menurut Kalla, pengangguran dan kemiskinan membludak. ”Untuk memeranginya kedua persoalan tersebut, Indonesia membutuhkan investasi baru sebesar Rp 1000 triliun (US$ 111 miliar),” tuturnya. Dengan modal seperti itu, menurut perhitungan Kalla, perekonomian nasional bisa tumbuh sampai 7% per tahun, sehingga bisa benar-benar diandalkan untuk mengikis kemiskinan dan pengangguran. Dana investasi itu sendiri diharapkan datang dari swasta nasional, pemerintah, dan modal asing.

Mengingat angka kemiskinan sudah demikian tinggi, Kalla juga mengingatkan. ”Jika kita tidak berhasil mengatasi kemiskinan, rakyat akan marah. Buat apa berdemokrasi kalau tetap hidup miskin," ujarnya. Sementara itu data Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, angka kemiskinan telah mencapai 17% dari 220 juta jiwa penduduk Indonesia. Kaum miskin ini, menurut definisi BPS, adalah mereka yang hidup dengan kurang dari US$ 1,55 per hari. (Jakarta Post,28/6/2007)

Dewasa ini, kalangan civil society menilai, reformasi terasa mandul akibat perselisihan politik yang tak kunjung reda akibat terlalu banyak Parpol, serta lembaga eksekutif yang lemah lantaran dahsyatnya kekuatan legislatif. Belum lagi lembaga yudikatif, yang nyaris berjalan ditempat—mungkin bahkan mundur—dalam soal pembenahan hukum. Tak kalah memprihatinkan, kualitas para teknokrat juga sangat terbatas, sehingga tak mampu menghasilkan terobosan berarti. Mereka praktis hanya bekerja secara normatif dan belum menyuguhkan kinerja inovatif.

Merujuk perspektif ekonom Mubyarto, sampai kira-kira 28 tahun lalu (1975), pembangunan dianggap mampu menghapuskan kemiskinan “dengan sendirinya”. Ketika itu, para teknokrat ekonomi dengan analisis-analisisnya percaya, bahwa pertumbuhan akan mampu mengatasi segala masalah pembangunan dan kesejahteraan nasional. Mereka juga menyajikan angka-angka yang cukup mencengangkan. Selama periode 1976-1996 (20 tahun, Repelita II-V) misalnya, angka kemiskinan Indonesia rontok dari 40% menjadi 11%. Lalu, angka kemiskinan tersebut kembali meroket ke angka 24% gara-gara krisis moneter 1998.

Mubyarto kemudian berkesimpulan, para teknokrat bukanlah pendukung kuat kebijakan dan program-program yang bisa diandalkan untuk menanggulangi kemiskinan secara jangka panjang. Ini karena, menurut Mubyarto, ilmu ekonomi menghasilkan para intelektual universal yang seolah hidup di awang-awang. Maka wajar bila Alejandro Sanz de Santamaria dalam Paul Ekins and Max-Neef & Manfred Max-Neef, Real Life Economics, London-New York: Routledge, 1992, mengutarakan, ”Saya kira waktunya telah tiba bagi para ekonom untuk mulai mengubah diri mereka—dan melakukannya dengan cepat—menjadi intelektual yang lebih spesifik, dan rendah hati.”

Maka tak mengherankan jika Jusuf Kalla merasa prihatin, bahwa setelah 10 tahun memasuki era reformasi, Indonesia masih terseok-seok. Pendidikan dan kesehatan masih mahal, harga sembako kerap tak terjangkau oleh orang kebanyakan, dan antrian pencari kerja makin panjang. Ini semua tentu saja menunjukkan bahwa reformasi birokrasi belum efektif, etos kerja masih lembek, dan kualitas sumber daya manusia yang ada belum memadai.

Sungguh ironis. Sebab, para pengemplang BLBI, yang telah menyebabkan perekonomian Indonesia terpuruk berkepanjangan, masih bisa tetap mempertahankan bahkan menumpuk lebih banyak asset pribadi maupun korporat. Kini, beban BLBI yang harus ditanggung oleh pemerintah adalah Rp 650 triliun, dengan bunga per tahun yang dibayar melalui APBN sebesar Rp 70 triliun.

Di tengah kelemahan institusi-institusi kenegaraan, ekonomi dan politik, maka kepemimpinan (leadership) yang kompeten dan tangguh harus menjadi kompensasi guna menutup lubang-lubang kelemahan kelembagaan tersebut. Di tengah gigantisme birokrasi yang berwatak menak dan berkultur priyayi, maka reformasi budaya harus dicanangkan oleh kepemimpinan nasional untuk melakukan pembaruan dari dalam (reform from within). Saya kira, disinilah keharusan pemerintahan SBY-JK untuk berpacu dengan waktu dalam upaya mewujudkan tata-kelola pemerintahan yang baik (good governance). Dalam konteks kebutuhan investasi, maka kehendak bagi investasi Rp 1000 triliun hanya akan datang jika faktor-faktor non-ekonomi yang mengganggu seperti ketidakpastian hukum, buruknya birokrasi, kelemahan infrastruktur, maraknya biaya siluman, premanisme, ekonomi rente, ketidakamanan dan instabilitas, bisa diatasi secara menyeluruh.

Riuh rendah aliansi kebangsaan maupun koalisi kerakyatan, yang sedang digalang oleh berbagai Parpol belakangan ini, tidak akan bermakna apapun bagi rakyat tanpa kerja kreatif yang sanggup memecahkan persoalan bangsa. Meminjam bahasa Herbert Feith, kita membutuhkan pemimpin, administratur, dan penyelesai masalah yang mumpuni. Bukan politisi, calo kekuasaan, dan penggalang solidaritas yang sarat dengan agenda tersembunyi dan kepentingan pribadsi. Sejarah, seperti dicatat akademisi John Bresnan (Managing Indonesia,1993), sudah membuktikannya tatkala Pak Harto, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Widjojo Nitisastro dan timnya tahun 1966 dulu mengatasi krisis ekonomi Indonesia, menyusul jatuhnya kekuasaan Presiden Soekarno. Prestasi mereka pada waktu itu harus kita akui, sungguh bermakna.

Sayang, Presiden Soeharto kemudian terjerembab kedalam masalah korupsi dan kroniisme. Lalu, ia terkena hukum besi sejarah sebagaimana pendahulunya: ia jatuh dari singgasana karena gagal melakukan reformasi secara struktural, karena terlalu menikmati kekuasaan tanpa checks and balances yang rasional. Sebuah pelajaran yang berharga bagi anak-anak bangsa. Wallahualam

Herdi Sahrasad, Associate Director Media Institute dan Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina

Revolusi Pengetahuan, Kemiskinan, dan Politik

ARY MOCHTAR PEDJU


”Deng Xiao Ping and his allies identified technological progress as key to modernization, a ticket to military power and to economic growth and prosperity” (Oded Shenkar, The Chinese Century, Wharton School Publishing, 2006).

Tulisan ”Iptek, Politik, dan Politisi” (Ninok Leksono, Kompas, 25/2) amat mengena bila diperhatikan program-program dan iklan parpol/politisi di TV dan media lain yang tak pernah menyinggung topik iptek. Acara-acara itu mengesankan ilmu pengetahuan dan teknologi tak terkait masalah-masalah kemiskinan, ledakan penduduk, kesehatan, energi, lingkungan yang rusak, pemanasan bumi, jender, bahkan politik!

Tidakkah sebaiknya para caleg dan capres bersama pimpinan parpol bercita-cita lebih besar dan menjadikan tahun ini awal penciptaan piramida peradaban dan etika baru bangsa demi kehidupan yang bermartabat?

Kurva Maddison

Penelitian sejarawan ekonomi Angus Maddison menghasilkan dua kurva (2001), tentang ”Kemakmuran” manusia serta pertumbuhan penduduk dunia sepanjang 2000 tahun, mencerahkan.

Dari kurva pertama ternyata hampir sepanjang 20 abad, rata-rata manusia sedunia miskin, termasuk orang Eropa. Menjelang abad ke-19, barulah kurva GDP per kapita dunia rata-rata mulai menggeliat ke atas setelah terus mendatar dalam arti miskin, yakni kurang dari 1.000 dollar AS hingga sekitar 6.000 dollar AS tahun 2000 (lihat Tabel). Namun, dari 6.000 dollar AS rata-rata dunia ini, kontribusi terbesar adalah dari Eropa. Rata-rata Eropa sekitar 20.000 dollar AS.

Revolusi pengetahuan

Sejarah perkembangan pengetahuan Eropa sejak akhir periode Renaisans menunjukkan, interaksi dari berbagai cabang ilmu yang terjalin dalam sistem yang kompleks dengan perkembangan sosial dan budaya telah menyebabkan reaksi berantai yang saling mendorong maju.

Namun, banyak ilmuwan sepakat, revolusi sains (Principia Mathematica-nya Newton) abad ke-18, revolusi industri (diawali James Watt penemu mesin uap) abad ke-19, dan revolusi teknologi (dengan berbagai temuan baru) pada abad ke-20, adalah penyebab perubahan drastis kurva Maddison (terjadinya ketiga revolusi dalam sejarah ditandai tiga bulatan hitam dalam Tabel).

Hasil inovasi teknologi baru ini antara lain baterai listrik, telegraf, telepon, lampu Edison akhir abad ke-19, serta mobil, pesawat terbang, TV, komputer, dan material baru pada abad ke-20.

Revolusi teknologi yang berciri kecepatan tinggi dan ketepatan tinggi inilah yang mengefisienkan seluruh sistem ekonomi, sejak tahap input berupa pengadaan keahlian dan bahan baku, lalu tahap pemrosesan produk barang dan jasa, serta distribusi output-nya pada konsumen. Gerak orang dan barang dari satu tempat ke tempat lain untuk kepentingan perdagangan serta perpindahan uang mengalami kecepatan yang belum pernah dialami manusia. Lahirlah revolusi keempat, revolusi ekonomi, sambil revolusi teknologi terus berlangsung.

Kemiskinan

Selain kurva ekonomi itu, Maddison menghasilkan kurva kedua, yakni pertumbuhan penduduk dunia yang bentuknya menarik karena hampir identik dengan kurva pertama. Dengan menggunakan kurva yang sama (lihat Tabel), ternyata sepanjang 1.800 tahun jumlah penduduk dunia kurang dari 1.000 juta. Baru pada abad ke-19, kurva ini mulai melejit naik mencapai lebih dari 6.000 juta jiwa tahun 2000. Sesudah revolusi sains, industri, dan teknologi (iptek), ternyata jumlah penduduk dunia tumbuh secara fantastis.

Namun, dari 6.000 juta penduduk dunia, 85 persen adalah kontribusi dari penduduk miskin yang masyarakatnya—meminjam istilah Jeffrey Sachs—hanya menjadi technological adaptors (50 persen) dan technologically excluded (35 persen). Pertumbuhan penduduk masyarakat cerdas terkendali, sedangkan pertumbuhan penduduk yang tersisih karena penguasaan teknologi yang rendah sulit dikendalikan. Dari peta teknologi dunia (Sachs, 2002) terbukti di wilayah ini pula masyarakat miskin hidup berdesakan dalam kondisi kesehatan yang rendah.

Dengan informasi yang mengaitkan iptek, kemiskinan, kependudukan, dan ekonomi, kita bertanya bagaimana dengan bangsa Indonesia.

Sejarah kontemporer mengajarkan, kunci keberhasilan bangsa-bangsa Timur—India dan China—yang keduanya miskin, tegas memilih technology based development. Dengan usaha luar biasa dalam menguasai dan mengembangkan iptek, mereka berhasil menghapus ”kemiskinan absolut” dalam waktu singkat dalam jumlah tak terbayangkan. Sejak 1990, India membebaskan 200 juta rakyatnya dari kemiskinan, sedangkan China membebaskan 300 juta orang (Sachs, 2005)!

India mengembangkan teknologi elektronika-mikro, komputer dan komunikasi, yang lazim disebut teknologi informasi. Teknologi ini amat ampuh sehingga selama belasan tahun India tidak perlu membangun prasarana yang amat mahal pada awal pembangunan ekonominya. India mengekspor jasa (consulting) teknologi tinggi via satelit ke negara maju.

Dengan teknologi, India memindahkan banyak jasa keahlian profesional (di kantor, rumah sakit, sekolah, restoran, berbagai perusahaan) dari negara maju ke India, dengan waktu produksi yang sama (real time).

Sedangkan China selain mengutamakan iptek, mereka juga menciptakan konstruksi sosial baru yang mendukung percepatan penguasaan iptek dengan kekuatan hukum dan organisasi masyarakat. China menuntut keterbukaan iptek dalam setiap investasi asing untuk kepentingan alih teknologi (Shenkar). Partai politik dan Pemerintah China berperan besar dalam pembentukan budaya saintifik. Krisis keuangan global tentu berpengaruh pada kedua negara timur ini, tetapi peran teknologi, seperti filsafat Deng Xiao Ping pada awal tulisan ini tidak akan berubah banyak.

Belajar dari Barat, India dan China mengutamakan ”mencerdaskan kehidupan bangsa”. Indonesia dapat membuat terobosan baru, memanfaatkan momentum politik tahun ini.

Ary Mochtar Pedju Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI); Anggota Dewan Pakar Persatuan Insinyur Indonesia; Ketua Dewan Encona Inti Industri; Alumnus ITB dan MIT AS


Sumber: Kompas Cetak

Kemiskinan Dalam Pemenangan Politik

Kemiskinan kerapkali menjadi primadona topik pembicaraan baik dalam diskusi atau pun seminar yang seakan tak pernah habis untuk dibahas. Topik kemiskinan selalu hangat menjadi perbincangan di kehidupan berbangsa dan bernegara.

Momentum pelaksanaan Pemilihan Umum (pemilu) legislatif dan pemilihan presiden dan wakil presiden pun ikut mendongkrak “popularitas” kemiskinan. Tak sedikit dari mereka baik tokoh politik maupun partai politik yang menjadikan isu kemiskinan sebagai komoditas kampanye menjaring suara pemilih guna meraup simpati rakyat. Berbagai cara digunakan oleh kontestan untuk meraup simpati masyarakat dengan berbekal kemiskinan. Dari menguraikan air mata, memakan nasi aking, berderma dengan pamrih, beriklan ratusan milyar, mengkritik pemerintahan yang sedang menjalankan amanah, menyerang kandidat lain, merusak pohon (dengan memaku poster dan baliho kandidat), memberikan janji program penghapusan kemiskinan, sampai dengan melakukan berbagai cara agar dapat “menumpang” program-program pemerintah untuk penanggulangan kemiskinan untuk bisa memanfaatkannya bagi kepentingan pemenangan pemilu.


Perilaku kandidat legislatif dan Presiden serta Wakil Presiden yang menggunakan isu kemiskinan telah sedikit banyak membentuk opini masyarakat bahwa kita ini adalah bangsa yang miskin dan terjadi pemiskinan yang parah. Pemerintah seakan-akan tampak bodoh, tidak berbuat apa-apa. Hampir seluruh media, baik media cetak maupun media elektronik telah mencitrakan para kandidat ini adalah seakan-akan pahlawan atau ‘Satrio Piningit’ yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat dalam menghapus kemiskinan.


Dalam menyikapi ini semua, sebagian besar masyarakat awam haruslah pandai-pandai menyaring berbagai informasi yang diterima. Memang sangat disayangkan bahwa isu kemiskinan digunakan oleh para kandidat legislatif dan Presiden serta wakil Presiden sebagai ‘senjata’ politik untuk meraih kepentingan atau kemenangan politik. Ini menunjukkan bahwa kadar kenegarawanan (statemanship) dari para kandidat demikian rendah. Bila kadar kenegarawanannya tinggi, tidak mungkin para kandidat ini akan menggunakan isu kemiskinan ini untuk digunakan menyerang lawan-lawan politiknya. Bila kadar kenegarawannya para kandidat ini cukup tinggi, mereka akan mampu mengeyampingkan segala urusan dan kepentingan politik mereka dan golongannya dan memandang isu kemiskinan ini adalah suatu persoalan bangsa yang harus dibahas bersama tanpa melihat warna politik dan latar belakang ideologinya. Bila kadar kenegarawanannya tinggi, tidak akan ‘tega’ mereka menjual isu kemiskinan untuk kepentingan dirinya dan kelompoknya, sementara masyarakat miskin tidak mendapatkan apa-apa yang nyata dari mereka. Bila kadar kenegarawanannya tinggi, maka mereka akan mengajak lawan-lawan politiknya untuk bekerja bersama menangani persoalan kemiskinan ini.


Hal ini telah dilakukan dan ditunjukkan dengan baik oleh Barack Hussein Obama, Presiden Amerika Serikat periode 2009 – 2014, pada saat berjuang untuk memenangkan kursi kepresidennya. Mengapa di Indonesia yang katanya Negara yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, sikap dan kadar kenegarawan para elit-elit politik sangat rendah? Bisakah mereka bertemu dengan lawan politiknya bahkan mengajak untuk membangun bangsa dan melupakan persaingan atau kompetisi pada saat berjuang meraih kemenangan politik?


Oleh karena itu, jangan disalahkan bilamana masyarakat semakin muak dan bosan dengan perilaku para kandidat dan elit-elit politik saat ini. Isu kemiskinan tidak dilihat lagi secara obyektif tapi sebaiknya isu kemiskinan dijadikan senjata untuk menjatuhkan lawan-lawan politiknya. Dan ini akan menurunkan kepercayaan masyarakat kepada para kandidat tersebut.


Bagaimana menyikapi hal ini, pada hemat saya, sudah waktunya para elit yang sedang dan akan bertarung dalam meraih kemenangan dalam pemilu untuk bicara lebih jelas, konkrit dan memberikan solusi-solusi nyata serta realistis mengenai penghapusan kemiskinan dan tidak terjebak pada memberikan janji-janji kosong, menggunakan isu kemiskinan menjadi bagian dari politik pencitraan atau pelisptikan kemiskinan. Juga tidak terjebak pada perilaku yang sifatnya ‘show of force”, atau ‘menunjukkan dirinya jauh lebih bisa mampu dan handal dalam menghapuskan kemiskinan. Masyarakat sangat paham bahwa penghapusan kemiskinan merupakan tugas dan kerja bersama. Tidak ada satu orangpun yang dapat memproklamirkan bahwa dirinya atau kelompoknya saja yang paling hebat dalam upaya menghapus kemiskinan. Upaya penanggulangan kemiskinan adalah milik rakyat karena rakyatlah yang bekerja paling keras untuk meningkatkan kesejahteraannya.


Sangatlah jelas bagi masyarakat, bahwa para kandidat yang menggunakan isu kemiskinan untuk digunakan menyerang lawan-lawan politiknya dan juga menyerang pemerintahan yang sah adalah kandidat yang kadar kenegarawannya rendah dan diragukan kemampuan dan keteguhannya dalam menghapus kemiskinan. Bilamana menang, belum tentu isu kemiskinan akan menjadi prioritasnya lagi. Sejarah telah banyak membuktikan untuk hal ini. Terpulang kepada masyarakat apakah masyarakat akan memilih kandidat yang kadar kenegarawannya tinggi atau rendah.

Secara faktual, tahun 2009 memang menjadi tahun yang penuh tantangan dan harapan bagi pemerintah khususnya dalam usaha mengurangi jumlah kemiskinan. Sebagai tahun “politik” dan adanya dampak krisis keuangan global maka sedikit banyak akan berpengaruh terhadap dinamika pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan. Di tahun ini pula, ujung pelaksanaan target Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2009.


Oleh karena itu, pemeritah kembali memberikan prioritas lebih bagi pengurangan kemiskinan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2009. Dalam RKP 2009 pemerintah tetap akan menekankan penurunan tingkat kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja. Untuk itu tema RKP 2009 adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat dan pengurangan kemiskinan dengan 3 prioritas yaitu peningkatan pelayanan dasar dan pembangunan pedesaan, percepatan pertumbuhan yang berkualitas, dan memperkuat daya tahan ekonomi yang didukung oleh pembangunan pertanian.


Berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 2008 Tentang APBN 2009, sasaran tingkat kemiskinan pada tahun 2009 ditetapkan pada rentang 12 – 14 % yang berarti lebih rendah dari capaian tahun 2008 sebesar 15,42 %. Adanya target tersebut membuat banyak kalangan dan pemberitaan media massa yang pesimis bahwa angka tersebut akan tercapai. Bahkan mereka memprediksi angka kemiskinan di tahun 2009 ini akan meningkat dibanding tahun sebelumnya. Meski demikian, perasaan optimis dapat mengurangi kemiskinan selayaknya kita tanamkan dalam diri setiap insan di negeri ini. Sebagaimana, rasa optimistis yang dimiliki pemerintah untuk bisa mencapai target ini melalui pelaksanaan program-programnya.


Rasa optimisme tersebut diungkapkan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua Tim Pelaksana Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) dalam evaluasi awal terhadap perkembangan penanggulangan kemiskinan Tahun 2009 pada bulan Februari lalu. Evaluasi tersebut menggunakan capaian pada tahun 2008 sebagai dasar perhitungan (baseline) dengan jumlah penduduk miskin per bulan Maret 2008 tercatat berjumlah 34,96 juta jiwa (15,42%). Dengan pertimbangan perkembangan dampak krisis keuangan global di Indonesia, maka Pemerintah mengusulkan pada DPR untuk merevisi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2009 yang semula direncanakan sebesar 6% menjadi 4 – 5 %, dengan target inflasi sebesar 6,0%. Perubahan target pertumbuhan ekonomi tersebut membuat proyeksi angka kemiskinan berdasarkan prakiraan Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai 29,99 juta jiwa (13,23%).


Akan tetapi jika inflasi melewati angka 9% dan pertumbuhan ekonomi pada tingkat 4,5 %, maka jumlah penduduk miskin diperkirakan mencapai 14,87% atau sekitar 33,71 juta jiwa. Angka tersebut tentunya tetap lebih rendah dari angka kemiskinan tahun 2008. Rasa optimisme turunnya angka kemiskinan tetap terjaga karena adanya intevensi langsung dari pemerintah yang memberikan bantuan tunai masyarakat tanpa lewat birokrasi. Pemerintah juga telah merencanakan berbagai percepatan program-program penanggulangan kemiskinan dalam 3 klaster. Pemerintah juga menetapkan program PNPM Mandiri dan Kredit Usaha Rakyat di Klaster 2 dan 3 sebagai bantalan pengaman untuk menyerap lebih banyak lagi tenaga kerja termasuk menampung PHK.


Demikian juga dengan program-program pemerintah yang tercakup dalam klaster pertama yaitu Raskin, PKH, BLT, Jamkesmas, BOS, akan sangat berperan besar dalam upaya penanggulangan kemiskinan jika dapat dilaksanakan secara efektif sejak triwulan pertama tahun 2009.


Untuk program PNPM Mandiri diperkirakan dapat menyalurkan Bantuan Langsung masyarakat (BLM) sebesar Rp. 11,01 trilyun pada tahun 2009. Dengan jumlah tersebut makan diharapakan jumlah penerima manfaat langsung akan mencapai 8 - 9 juta orang dan penyerapan tenaga kerja sebesar 3 – 4 juta orang. PNPM Mandiri secara tidak langsung juga akan memberikan manfaat kepada lebih dari 33 juta masyarakat. PNPM Mandiri sendiri telah dinyatakan oleh berbagai Lembaga Internasional sebagai program pemberdayaan masyarakat (community driven development program/CDD) yang terbesar di dunia dalam cakupan dan yang paling lengkap. Dengan jumlah peserta aktif dalam program-program yang berada dalam wadah PNPM Mandiri, yaitu PNPM-Perdesaan yang dulu namanya Program Pengembangan kecamatan (PPK) dimulai tahun 1998, PNPM-Perkotaan yang dulunya adalah Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) yang dimulai sejak tahun 1999, dan program-program lainnya, maka peserta aktif sampai dengan bulan Oktober 2008 tercatat sekitar 41, 3 juta jiwa. Dan peserta tidak langsung adalah sekitar 24 juta jiwa. Tersebar di hampir semua desa terutam desa-desa miskin dan tertinggal di Indonesia.


Oleh karena itu, telah sekitar banyak perwakilan dari 33 negara yang dikirim untuk mempelajari PNPM Mandiri ini baik secara keseluruhan maupun pada program-program yang berada dalam PNPM Mandiri. Justru media massa luar negeri lebih gencar dalam mengapresiasi keberhasilan berbagai program penanggulangan kemiskinan yang dijalankan oleh pemerintah saat ini, misalnya PNPM Mandiri, PKH, BLT, BOS dan Jamkesmas (hanya 3 negara yang memberikan Jamkesmas bagi masyarakat miskin yang menanggung secara gratis operasi besar dan berat misalnya operasi jantung, ginjal, kanker, dan lain-lain dan Indonesia salah satunya).


Di sisi lain melalui program Kredit Usaha Rakyat (KUR) sesuai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2009, pemerintah menetapkan tambahan penjaminan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari Rp 1,4 triliun menjadi Rp 3,4 triliun dengan target penyaluran kredit kumulatif sebesar Rp. 34 Trilyun sampai dengan tahun 2009. Besarnya dana penjaminan tersebut diprediksi akan menyerap sebanyak 4,5 juta tenaga kerja.

Di samping itu, peluang bagi mereka korban PHK untuk memperoleh bantuan usaha sangat besar. Pekerja korban PHK bisa diarahkan untuk menghubungi unit pelaksana program PNPM Mandiri seperti Unit Pengelola Kegiatan (UPK) di tingkat kecamatan di desa dan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) di tingkat kelurahan di perkotaan sehingga dapat mengajukan permohonan kredit usaha. Jika beragam upaya yang ada tersebut dapat terlaksana, maka target penanggulangan kemiskinan sebagai indikator pencapaian pemerintah tentunya dapat terpenuhi.

Program-program yang dijalankan oleh Pemerintah saat ini tidak banyak direspon positif dan didukung oleh para elit-elit kandidat yang sedang berjuang untuk meraih suara rakyat dalam pemilu legislatif dan Presiden & Wakil Presiden. Sementara masyarakat, khususnya pemanfaat program-program ini sangat antusias memanfaatkan dan menjalankan program ini. Maka saat ini terjadi adanya kesenjangan aspirasi politik antara masyarakat dan wakil-wakil yang sesungguhnya harus menyuarakan aspirasi masyarakat miskin. Buktinya, masih banyak daerah-daerah yang DPRD-nya menolak untuk menyediakan dana daerah untuk program bersama untuk PNPM Mandiri. Bahkan ada yang secara eksplisit menolak untuk mendukung pelaksanaan PNPM Mandiri dengan tidak menyediakan dana partisipasi daerahnya dengan berbagai alasan, padahal masyarakatnya sangat antusias.

Penutup

Perdebatan mengenai isu kemiskinan yang dilakukan oleh para kandidat yang sedang berjuang dalam pemenangan Pemilu baik pemilu legislatif maupun pemilu Presiden dan wakil Presiden akan menunjukkan sampai sejauh mana kadar kenegarawan masing-masing kandidat tersebut. Bila tarafnya masih menggunakan dan memanfaatkan isu kemiskinan sebagai senjata untuk ‘pamer’ dan digunakan sebagai senjata untuk menyerang lawan-lawan politiknya, maka pada hemat saya, ini menunjukkan kadar kenegarawannya masih rendah. Terpulang kepada kita semua dalam menentukan pilihan kepada kandidat yang betul-betul memperjuangan nasib rakyat banyak terutama rakyat miskin ke depan.


Dimuat di majalah KOMITE, edisi 15-31 Maret ‘09


Sumber: Website PNPM Mandiri

Politik, Kemiskinan, dan Kemanusiaan

Oleh Indra J Piliang



PANTASKAH kita menjadi negara miskin, mendekati negara-negara Afrika seperti Etiopia, Somalia, dan Sudan atau negara gurun pasir lainnya? Rasanya tak pantas, terutama bila ditilik dari posisi geografis dan lingkungan alamnya. Tetapi mengapa kita menjadi bangsa miskin dan membiarkan ratusan bayi mati di tempat pengungsian dan daerah-daerah bencana setiap minggunya? Apa sebetulnya yang terjadi? Dari mana datangnya kemiskinan itu? Menurut SH Alatas, yang melakukan riset mendalam tentang soal ini di kalangan bangsa Melayu (Indonesia, Malaysia, dan Brunei) kemiskinan itu datangnya dari konstruksi yang dibuat peneliti-peneliti kolonial yang "memandang Melayu dari atas kapal atau benteng" lalu membuat kesimpulan.

Konstruksi itu berupa pencitraan bangsa Melayu sebagai bangsa pemalas yang suka mencambuk kerbau atau sapi (yang juga simbol kemalasan) untuk membantunya bekerja. Dalam proses penaklukan Indonesia, konstruksi itu digunakan pemerintahan Belanda untuk menggolongkan bangsa Melayu sebagai bangsa kelas tiga, di bawah bangsa Eropa dan Timur Asing. Lebih jauh "politik pemiskinan" itu digunakan untuk merekrut tenaga-tenaga profesional pribumi sebagai pegawai rendahan pasca-politik etis.

Bahkan P Brooshooft, orang Belanda yang kemudian dikenal sebagai penganut aliran politik etis, ketika melewati fase pertama kehidupannya di Hindia Belanda (Jawa) dalam tulisan berjudul Het Leven in Indie (Kehidupan di Hindia) menggambarkan orang Jawa sebagai "...anak... yang hatinya baik, tetapi menyusahkan karena sifatnya yang tidak kelesa (tidak ada terjemahan kata ini. IJP), lebih cenderung berbohong daripada melakukan kejahatan, lebih cenderung malas daripada tidak peduli, tidak bodoh tetapi juga tidak memiliki bakat cemerlang, dan amat pasti tidak akan pernah memainkan peranan di gelanggang dunia selain daripada peranan pasif". (Elsbeth Locher - Scholten, 1996:12).

Konstruksi ini pula yang dikembangkan "kolonialis-kolonialis pribumi" dengan memberikan tempat rendah kepada pekerja-pekerja Melayu yang memang sudah malas. Bahkan para politisi aliran ekstrem menggunakan kenyataan pahit ini untuk mencari simpati dan dukungan politik, dengan sikap anti-asing dan anti-non-Melayu yang begitu tinggi. Dalam hal ketenagakerjaan, misalnya kegiatan mengekspor para pembantu rumah tangga (ke Arab Saudi) dan kuli perkebunan (ke Malaysia dan Brunei) telah menjadi lahan empuk meraih devisa, demikian juga dengan pemberian upah buruh murah di pabrik-pabrik investasi bangsa asing, baik Barat dan Timur. Pola-pola lama kolonialisme, tentu dengan perubahan tata bahasa, tetap dijalankan bahkan cenderung meluas. Dulu "koeli kontrak" didatangkan dari Jawa ke Sumatera Timur, kini mereka dikirim ke luar negeri.

Padahal kita mengenal Borobudur, suatu karya monumental yang menunjukkan ketelitian, keuletan, dan kerja keras manusia-manusia Indonesia di masa lalu. Memang ada kemungkinan pekerja-pekerjanya berasal dari kalangan budak, baik budak belian atau tawanan perang, mengingat bangunan itu luar biasa besarnya untuk ukuran zamannya. Sayang tidak ada catatan sejarah tentang jumlah pekerja yang digunakan untuk membangunnya, serta berapa yang mati, sebagaimana data-data pekerja yang mati ketika jalan dari Anyer ke Panarukan dibangun Daendels, seperti pembuatan tembok besar Cina dan piramida Mesir yang pasti memakan korban.

Namun patut dicatat, perbudakan telah memberi kontribusi penting di zamannya untuk membangun apa yang dikenal "keajaiban dunia" sekaligus kebiadabannya. Kini perbudakan itu muncul dalam bentuk mentalitas kepemimpinan, termasuk kepemimpinan politik, yang menandakan kita tidak lebih maju dari masa sebelumnya, meski sejarah tidak mengenal "kemajuan" atau "kemunduran". Suara rakyat tidak lebih dari sekadar "budak politik" yang digunakan untuk melakukan apa saja, termasuk untuk memiskinkan rakyat demi tujuan politik perseorangan atau kelompok.

***

PANTASKAH kita menjadi miskin? Rasanya tidak. Kemiskinan kita hanya kamuflase dari keterpurukan mentalitas sebagai bagian dari pengembangan mitos pribumi malas. Sejak semula kita tidak dididik menjadi bangsa semut atau lebah, tetapi dididik menjadi bangsa kuli, atau nyamuk yang suka menghisap darah orang sambil menyebarkan penyakit menular bersama isapannya. Dalam bahasa lebih umum, kita bagian dari bangsa lintah (ingat istilah "lintah darat" yang populer di masyarakat) yang suka gendut mengisap darah korban, dan bekas gigitan itu terus-menerus meneteskan darah.

Mengapa kita tidak pantas miskin? Dalam perjalanan darat dari Jakarta ke Sumatera Barat pada liburan panjang peralihan 2000-2001, amat bermanfaat bagi saya untuk melihat bagian Indonesia, lagi dan lagi. Di sepanjang jalan, banyak tanah-tanah kosong-hutan atau lahan yang ditinggalkan-ketimbang rumah-rumah penduduk. Banyak yang hanya diambil kayunya, lalu dibiarkan telantar.

Padahal, tanah adalah syarat utama untuk lepas dari kemiskinan. Dengan adanya tanah saja Indonesia lumayan kaya-raya, terlepas dari segala jenis persoalan yang menyangkut tanah dan distribusinya yang disebut aktivis pertanahan dengan istilah "tanah untuk rakyat" atau di kalangan pengamat sebagai land-reform. Ketika Jepang melakukan apa yang disebut Restorasi Meiji, kebijakan pertanahan juga menjadi prioritas. Alasan utama kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke Amerika juga untuk mendapatkan tanah. Begitu juga konflik Arab-Israel tak lepas dari soal "tanah yang dijanjikan". Di Indonesia, tanah ditelantarkan dan ini tentu membawa kemiskinan.

Selanjutnya apa yang tumbuh di atas tanah. Sepanjang mata memandang, di kampung saya, atau di Kabupaten Padang Pariaman umumnya, pasti yang dilihat adalah pohon kelapa. Dulu di kenagarian saya ada lebih dari lima pabrik minyak kelapa, kini habis. Harga buah kelapa hanya Rp 100/butir, amat berbeda dengan di awal krisis Rp 1.000/butir (di Jakarta mencapai Rp 5.000/butir).

Kini untuk menurunkan buah kelapa dari pohon, upahnya mesti dihitung sepertiga bagian untuk yang mengerjakan, padahal dulu hanya satu butir per sepuluh butir. Rakyat kecil di daerah saya menyebut Gus Dur sebagai penyebab turunnya harga kelapa. Informasi ini tentu datang dari politisi lokal. Padahal dari pemberitaan dan informasi lain, harga kelapa turun seiring hasil panen kelapa sawit yang dilakukan besar-besaran, termasuk rencana pengembangannya yang melibatkan banyak kepala daerah di Sumatera.

Mungkin benar, harga kelapa turun karena politik, terutama soal perencanaan perekonomian rakyat yang dikerjakan para politisi yang juga kebanyakan berbisnis, baik langsung ataupun tidak langsung. Kegiatan ini, di masa Orde Baru, menimpa perkebunan cengkeh (BPPC), tebu, dan beras (Bulog). Inilah contoh-contoh kecil akibat politik pemiskinan yang dijalankan, yang mungkin luput dari retorika elite-elite politik, baik lokal atau nasional.

***

SAYA tentu tak ingin menulis tentang pertanahan, karena banyak yang ahli. Bahkan puluhan perguruan tinggi dibangun untuk mengurus soal tanah, begitu juga sejumlah kementerian. Tetapi mengapa tanah tetap tidak membawa kesejahteraan bagi rakyat miskin desa? Dari mana asalnya kemiskinan itu? Dari uraian singkat ini asalnya, menurut saya, adalah mentalitas (lebih luas kebudayaan) dan politik. Keduanya bersumber dari para pimpinan negara, pemerintahan, juga politisi yang ternyata gagal melakukan proses dekonstruksi kolonialisme dalam segala bentuk dan variabel turunannya.

Para pemimpin kita juga gagal melakukan proses pendidikan politik wajar yang menyangkut hak-hak rakyat akan tanah (lebih jauh kesejahteraan) karena mereka sibuk mengurus minyak (yang juga berasal dari tanah) dan utang luar negeri. Sebagai pemimpin, mereka buta akan tanah, karena mungkin tak mengalami kehidupan petani miskin yang menggantungkan hidupnya dari tanah dan tanah.

Krisis sejak September 1997 dan menginjak tahun keempat, tidak menunjukkan tanda-tanda menyusut. Bahkan sudah menghadang krisis gelombang II yang datang berimpitan dengan bencana alam, violence, dan pertikaian elite politik yang mengaku pemimpin bangsa. Tingkat pengangguran mencapai hampir 20 persen dari 205 juta penduduk (data BPS terbaru), dengan sekitar dua juta sampai tiga juta penganggur terdidik, siap menjadi bom waktu yang akan menghancurkan ekonomi Indonesia, jika kesabaran mereka habis ditelan waktu dan ketidakpastian. Kondisi ini amat berbeda dengan Irak yang selama 10 tahun diembargo Amerika dan sekutunya. Rakyat Irak masih punya harapan.

Sedangkan rakyat Indonesia masihkah punya harapan atau apa yang lebih sering dikembangkan menjadi utopia? Saya kira ini persoalan orang per orang, meski menurut beberapa polling dan penelitian baik yang dilakukan lembaga penelitian atau media massa-tingkat kepercayaan (sekaligus penitipan harapan) rakyat kepada pemerintah dan politisi makin menurun. Bahkan secara bisik-bisik atau terang-terangan, masa Soeharto (atau lebih luas lagi diktatorisme) kembali dirindukan. Keadaan ini berbanding lurus dengan apa yang terjadi di Rusia ketika pemerintah tak bisa menyediakan roti di toko-toko pasca bubarnya komunisme dan Soviet. Semua persoalan ini terpulang kepada pertanggung-jawaban elite-elite politik, sebab kalau tidak hati-hati harapan atau utopia yang tinggal sedikit itu bisa berubah menjadi ilusi kosong yang tidak berpijak pada realitas.

Seorang utopis, bagi Karl Popper, "Akan mencari kota surgawinya di masa lalu atau di masa depan, mungkin memohon kembali ke alam atau menuju dunia cinta dan keindahan, tetapi imbauannya selalu tertuju pada emosi kita dan bukan kepada pikiran kita. Bahkan dengan maksud paling mulia untuk menciptakan surga di muka bumi sekali pun, utopia hanya berhasil mengubahnya menjadi neraka, yaitu neraka yang dipersiapkan oleh manusia sendiri bagi teman-temannya." Padahal, Indonesia adalah soal hari ini, konkret, nyata. Kemiskinan adalah soal hari ini, juga politik.

Dalam hitungan waktu yang dihitung mundur sejak pukul 00.00 tanggal 1 Januari 2001, menjelang meletusnya "bom-bom dehumanisasi" sebagai titik kulminasi frustasi masyarakat luas yang marginal, perlu upaya lebih serius dengan melakukan apa yang dikenal sebagai politik kemanusiaan. Politik yang selama puluhan tahun didekati secara ideologi, parsial, dan hitam putih, untuk sementara perlu ditinggalkan karena terbukti amat sekali mengundang masalah baru.

Penggunaan human approach dalam persoalan-persoalan politik harus dimajukan selangkah lebih ke depan, ketimbang penggunaan pendekatan-pendekatan lainnya (kawan-kawan, nasionalis-religius, orde baru-orde anu, dan sebagainya). Tentu saja pendekatan itu digunakan bersamaan dengan penegakan hukum dan upaya melakukan modernisasi politik. Human approach digunakan untuk menangani persoalan lebih dari 40 juta rakyat Indonesia, ketimbang pendekatan politik lain yang berbasiskan konstituen partai atau kedekatan ideologis dan personal dengan elite-elite politik.

Pendekatan kemanusiaan yang paling penting itu menyangkut penghapusan terhadap kemiskinan, baik kultural atau politik. Politik tidak lagi menjadi liar dan irasional, jika perut rakyat tidak lagi lapar. Kemiskinan juga bukan soal salah atau benar, tetapi soal sehari-hari yang berpengaruh pada banyak dimensi dalam kehidupan, termasuk masa depan. Kemiskinan sudah dikenal sebagai persoalan struktural yang menyangkut politik kekuasaan, serta menjadi persoalan kultural sebagai timbunan dari proses historis yang tanpa disadari sudah menjadi bagian dari mentalitas bangsa. Pada akhirnya, penghapusan kemiskinan menjadi titik kunci penyelesaian masalah-masalah besar bangsa Indonesia. Akankah persoalan penghapusan kemiskinan ini menjadi utopia? Entah.

* Indra J Piliang, pengamat sejarah dan politik, kini staf peneliti Departemen Perubahan Politik dan Sosial CSIS Jakarta.


Kompas, Senin, 12 Maret 2001

Biaya Politik Tinggi, Anggota DPR Rentan Disuap

Pengamat Kebijakan Publik Universitas Indonesia, Andrianof Chaniago, mengatakan penyebab anggota Dewan terperosok dalam kasus korupsi, karena politik biaya tinggi dan kebijakan rekrutmen calon di partai belum mendasarkan pada kualitas. "Ini yang menjadi biangnya," kata Andrianof melalui telepon, Kamis (5/3).

Dalam kasus terakhir, Anggota Komisi Perhubungan DPR, Abdul Hadi Jamal, yang juga akan maju dalam pemilihan legislatif 2009 tertangkap tangan oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi pada Senin malam lalu saat bersama Darmawati H. Dareho, pegawai Departemen Perhubungan. Dari keduanya penyidik menyita uang yang diduga merupakan suap senilai Rp 1 miliar. Uang itu diduga terkait upaya memuluskan proyek pengembangan dermaga dan pelabuhan di kawasan Indonesia timur senilai Rp 100 miliar.

Dia mengatakan politik biaya tinggi itu dilakukan dengan memberikan iming-iming materi saat mengenalkan diri untuk bisa terpilih kembali kepada konstituen. "Materi itu diberikan untuk meminta dukungan suara," jelasnya. Padahal, kata dia, dalam pengenalan itu membutuhkan biaya yang cukup besar. Jika dihitung dengan materi untuk membujuk pemilih akan bertambah besar biaya yang dikeluarkan.

Andrianof mengatakan calon anggota Dewan juga terjebak pada nafsu menaikkan status sosialnya menjelang pemilihan dengan ukuran materi. Perubahan drastis dari kekayaan dan gaya hidup diyakini akan menaikkan status. "Ini menjebak mereka dalam kehidupan berbiaya tinggi," katanya, "sehingga terdorong mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya."

Partai, kata dia, juga dinilai memiliki peran dengan merebaknya kasus korupsi yang dilakukan Dewan. "Rekrutmen yang dilakukan partai tidak berdasarkan keunggulan," katanya. Rekrutmen itu lebih didasarkan kedekatan dan pengabdian ke partai politik. "Padahal ini bukan jaminan calon itu bisa memperjuangkan visi dan misi partai di parlemen," katanya.

Hal senada diakui Pengamat Politik Universitas Indonesia Arbi Sanit. Menurut dia, budaya money politics telah menggiring anggota Dewan untuk mengumpulkan kekayaan. "Itu risiko budaya money politics," ujarnya.