Senin, 16 Agustus 2010
Kemenduaan: Menyoal Proyek Pencarian Budaya Indonesia melalui Agama Adat/Ulayat
Oleh Reno Azwir
Judul | Agama dan Kebudayaan: Pergulatan di Tengah Komunitas | Editor | Heru Prasetia & Ingwuri Handayani | Tebal | xlvi + 180 halaman (termasuk indeks) | Penerbit | Desantara Foundation | Tahun terbit | 2010
Syahdan. Kedatangan Datuk ri Tiro untuk mensyiarkan Islam diketahui tetua masyarakat Kajang, Amma Toa. Datuk ri Tiro pun memafhumi bahwa kehadirannya sudah diketahui oleh tetua. Demi membuktikan seberapa hebat tamu yang datang, maka terjadilah adu kesaktian di antara keduanya. Datuk ri Tiro menyusun telur hingga setinggi rumah, Amma Toa menarik satu telur di tengah tanpa merubuhkan susunan itu. Lalu Datuk ri Tiro berdiri di atas pelepah kelapa yang kemudian dibalas Amma Toa yang berdiri di bawah pelepah dengan kepala menghadap tanah. Saat tetirah, Amma Toa menyuguhkan air kelapa kepada Datuk ri Tiro, yang buahnya jatuh langsung setelah dia tunjuk. Tanpa mengurangi rasa hormatnya kepada tetua Kajang, Datuk ri Tiro berdiri lalu melambaikan tangan kepada sebuah pohon kelapa yang kemudian merunduk hingga buahnya bisa dipetik langsung oleh si pelambai.
Sabtu, 31 Juli 2010
Adat Babuhul Sentak
Oleh Ferry Hidayat
Adat Babuhul Sentak, yang diindonesiakan menjadi ‘Adat yang Disimpul Longgar’, adalah sebuah istilah suku Melayu-Minang yang digunakan untuk menyebut segala adat atau ‘hukum sosial’ yang boleh dikenai perubahan, bersifat temporer, dapat diperbarui serta disesuaikan dengan kebutuhan zaman.
Label:
Artikel
Jumat, 30 Juli 2010
Memahami Adat Nusantara Secara Paling Benar dengan Metode Perenial
Oleh Ferry Hidayat
Indonesia memiliki sekitar 472 kelompok etnis (termasuk kelompok-kelompok sub-etnis di dalamnya).[1] Setiap kelompok etnis (bersama dengan kelompok sub-etnisnya) memiliki kultur dan peradaban masing-masing. Meskipun berlainan, kultur-kultur dan peradaban-peradaban itu disebut dengan satu sebutan oleh orang Indonesia masa kini, yaitu ‘adat’.[2] Adat menghimpun secara longgar semua kultur dan peradaban yang berlainan dari semua suku pribumi di Indonesia di bawah satu payung.[3]
Label:
Kertas Kerja
Kamis, 29 Juli 2010
Perenialisme
Oleh Ferry Hidayat
Perenialisme, atau sering pula disebut Tradisionalisme, adalah kecenderungan (tren) akademis yang muncul di Barat awal abad 20 M dan kian mendapatkan momentum di abad ini. Penamaannya berasal dari tulisan Augostino Steuco (1497-1548) berjudul De perenni philosophia libri X (1540), sedangkan isi, bentuk dan sistem mapannya secara historis dibangun oleh René Guénon (1886-1951), Ananda Coomaraswamy (1877-1947), Frithjof Schuon (1907-1998), serta Aldous Leonard Huxley (1894-1963). Semua penulis tersebut memanggilnya dengan nama-nama berbeda seperti Sophia Perennis (Kebijaksanaan Abadi), Religio Perennis (Agama Abadi),Philosophia Perennis (Cinta Kebijaksanaan Abadi), tapi semua nama itu dapat dirangkum dalam satu sebutan: Perenialisme.
Label:
Artikel
Filsafat Indonesia
Oleh Ferry Hidayat
Filsafat Indonesia, sebagai sebuah istilah, memiliki tiga arti: (1) sebuah nama generik untuk tradisi berpikir yang memiliki perjalanan historis yang sangat panjang, terentang sejak kebudayaan neolitikum berkembang (sekitar tahun 3500 sampai 2500 Masehi) di mana komunitas manusia pribumi membentuk kesatuan suku-suku dan etnisitas, hingga kemunculan gerakan nasional di awal abad 20 Masehi, yang mempersatukan suku-suku pribumi ke dalam entitas baru yang dinamakan 'Negara Kesatuan Republik Indonesia' (NKRI), yang terus berlanjut hingga saat ini; (2) sebuah nama kajian baru dalam disiplin ilmu filsafat yang berkembang di Indonesia, dipelopori oleh Mohamad Nasroen (1907-1968), seorang Guru Besar Filsafat di Universitas Indonesia, yang berupaya menggali dan menemukan orisinalitas dan otentisitas dalam tradisi filosofis Indonesia; dan (3) segala produksi pemikiran yang dihasilkan oleh sarjana filsafat lulusan sekolah tinggi, universitas atau akademi jurusan Filsafat di Indonesia, yang banyak didirikan oleh pastor Katolik-Roma sejak awal abad 20 M.
Label:
Artikel
Budaya
Oleh Ferry Hidayat
Budaya adalah bentuk jamak dari budi. Budi sendiri berasal dari Bahasa Jawa Kawi ‘buddhi’ yang memiliki 2 (dua) arti: ‘pikiran’ dan ‘hati’. Dalam khazanah Filsafat Indonesia, istilah budaya atau budi sungguh mendapat tempat istimewa. Buktinya, dari istilah ini orang Indonesia membangun kata-kata derivatif lainnya, seperti Budidaya, Kebudayaan, Budiman, Budiwan, Budiwati, Budayawan, Budi pekerti, dan lain-lain. Justru karena terlalu istimewanya, istilah ini menjadi obyek interpretasi dan obyek pemaknaan dari pelbagai mazhab filsafat berbeda-beda yang berkembang di Indonesia.
Pemakaian yang paling tua dari kata budi adalah dalam teks spiritual Jawa, Serat Centhini, yang ditulis pada tahun 1903, sebagaimana berikut ini:
Label:
Artikel
Adat Babuhul Mati
Oleh Ferry Hidayat
Adat Babuhul Mati, yang diindonesiakan menjadi ‘Adat yang Disimpul Mati’, adalah sebuah istilah suku Melayu-Minang yang digunakan untuk menyebut segala adat atau ‘hukum kosmik’ yang tidak pernah mengalami perubahan, bersifat abadi, dan berlaku di segala zaman dan tempat. Karena itu, adat jenis ini ‘disimpul dengan simpul mati’; sebagaimana benda yang diikat tali dengan simpul mati: susah diubah, sulit diurai, tak bisa dilepas dengan mudah. Orang Melayu-Riau menamakannya ‘Adat Sebenar Adat’, yakni adat yang sejati. ‘Adat Babuhul Mati’ atau ‘Adat Sebenar Adat’ ini diungkap dalam banyak peribahasa, di antaranya ialah:
Label:
Artikel
Langganan:
Postingan (Atom)