Menyusuri bumi Allah penuh permai. Terkadang mata melilau ke serata penjuru alam. Terpukau dengan keajaiban ciptaanNya, tak berhenti lidah bertahmid. Lalu, setakat itukah? Bukankah Allah menciptakan sesuatu, punya hikmah dan petunjuk di sebaliknya? Lalu, ia akan ditemui oleh mereka-mereka yang mahu memikirkan.
Tidakkah kau perhati?
Si semut tak jemu menompok rezeki.
Sedia menanti musim dingin yang bakal menjengah muka.
Tidakkah kau perhati?
Si semut tak jemu menompok rezeki.
Sedia menanti musim dingin yang bakal menjengah muka.
'Wahai sang semut. Bukankah hari masih muda? Musim dingin masih bertatih merangkak datang'
'Gusar aku, wahai manusia. Mana tau datangnya terawal, bisa kacau rutinku. Maka aku bersedia sahaja'
Berbondong-bondong suara tawa meluru keluar, memecah hening senja.
'Sang semut, mana mungkin datangnya terawal. Bukankah ia dalam perangcangan yang Khalid? Telah ada aturan alam tentangnya, melalui perkiraan perjalanan bulan dan bumi. Aku sedia maklum jika kau terlepas pandang'
'Tidak wahai khalifah Allah. Aku tidak lupa akan itu. Hanya bersedia untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang ada. Boleh jadi Allah merencananya agar tampil awal tahun ini' katanya sebelum meminta diri untuk meneruskan kerja.
Ayuh melihat si pungguk.
Tidak jemu merenung rembulan.
Terus berharap tanpa putus asa.
'Wahai pungguk, apakah mungkin rembulan berada dalam dakapanmu? Lama sudah kau menanti sedang ia tetap saja menjauh'
'Berhenti berharap bermakna aku tidak punya peluang langsung untuk merasa gemilangnya sinar sang rembulan. Selagi aku tetap berharap, maknanya aku punya matlamat. Usaha sajalah untuk menggapainya'
Ayuh gamit sang suria di sana.
Terus saja ia memberi tanpa langsung menerima.
'Sang suria, tidak jemukah dikau? Bekerja untuk memberi? Apa pula imbalan yang kau peroleh?'
'Selagi aku memberi, hidupku tetap saja bermakna. Kapan aku berhenti, hidupku tidak punya harga.'
Bagaimana pula dengan si rembulan?
Tubuhnya capek, tidak bermaya.
'Kau tidak punya cahaya. Apa perlukah kau bersusah memantul cahaya si mentari?'
'Biar dalam keterbatasan yang nyata, aku tetap menyumbang semampuku'
Intai pula ke bawah, merenung tempat kaki berpijak.
'Wahai si tanah, tidak letihkah dirimu diinjak, dipijak? Dihentak, dirosak? Dinista semahunya?'
'Makna kehidupanku terletak pada erti berdiam. Ianya fitrahku. Tabah itu memang intim denganku. Berbudi denganku nescaya, akan ku balas budinya.'
Dan kita, Khalifah dunia. Ketua pentadbir entiti alam maya. Terus, bisakah kita menyerah kalah? Tidak malukah kita pada mereka? Entiti yang tak punya akal itu?
>Wallahu'alam
'Gusar aku, wahai manusia. Mana tau datangnya terawal, bisa kacau rutinku. Maka aku bersedia sahaja'
Berbondong-bondong suara tawa meluru keluar, memecah hening senja.
'Sang semut, mana mungkin datangnya terawal. Bukankah ia dalam perangcangan yang Khalid? Telah ada aturan alam tentangnya, melalui perkiraan perjalanan bulan dan bumi. Aku sedia maklum jika kau terlepas pandang'
'Tidak wahai khalifah Allah. Aku tidak lupa akan itu. Hanya bersedia untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang ada. Boleh jadi Allah merencananya agar tampil awal tahun ini' katanya sebelum meminta diri untuk meneruskan kerja.
Ayuh melihat si pungguk.
Tidak jemu merenung rembulan.
Terus berharap tanpa putus asa.
'Wahai pungguk, apakah mungkin rembulan berada dalam dakapanmu? Lama sudah kau menanti sedang ia tetap saja menjauh'
'Berhenti berharap bermakna aku tidak punya peluang langsung untuk merasa gemilangnya sinar sang rembulan. Selagi aku tetap berharap, maknanya aku punya matlamat. Usaha sajalah untuk menggapainya'
Ayuh gamit sang suria di sana.
Terus saja ia memberi tanpa langsung menerima.
'Sang suria, tidak jemukah dikau? Bekerja untuk memberi? Apa pula imbalan yang kau peroleh?'
'Selagi aku memberi, hidupku tetap saja bermakna. Kapan aku berhenti, hidupku tidak punya harga.'
Bagaimana pula dengan si rembulan?
Tubuhnya capek, tidak bermaya.
'Kau tidak punya cahaya. Apa perlukah kau bersusah memantul cahaya si mentari?'
'Biar dalam keterbatasan yang nyata, aku tetap menyumbang semampuku'
Intai pula ke bawah, merenung tempat kaki berpijak.
'Wahai si tanah, tidak letihkah dirimu diinjak, dipijak? Dihentak, dirosak? Dinista semahunya?'
'Makna kehidupanku terletak pada erti berdiam. Ianya fitrahku. Tabah itu memang intim denganku. Berbudi denganku nescaya, akan ku balas budinya.'
Dan kita, Khalifah dunia. Ketua pentadbir entiti alam maya. Terus, bisakah kita menyerah kalah? Tidak malukah kita pada mereka? Entiti yang tak punya akal itu?
>Wallahu'alam