Lagi, dan lagi, dan lagi, kita disuguhi tontonan yang sama, Sinetron Ujian Nasional.
Sinetron yang diperankan oleh siswa siswi mulai SD sampai SMA diseluruh pelosok tanah air, dengan karakter utama menonjolkan kecemasan, ketakutan, kekhawatiran, putus asa, kehilangan percaya diri, bahkan keputus asaan.
Betul, menjelang Ujian Nasional yang tinggal menghitung hari, betapa banyak anak yang resah gelisah, sulit tidur dan keluhan lain yang menggambarkan adanya ketegangan, adanya stressor yang hebat.
Inikah yang kita inginkan ?
Generasi yang penuh kecemasan dan ketidak berdayaan ?
Inikah yang kita harapkan ?
Generasi yang stress dan membawa beban berat dan suatu saat akan mereka tumpahkan , akan mereka luahkan bebannya kepada siapa saja dalam bentuk hal hal yang sangat tidak kita harapkan ?
Tawuran, kekerasan, ugal ugalan, bullying, narkotika dan berbagai penyimpangan lainnya, adalah contoh dampak dari beratnya beban yang dipundak pelaku.
Ujian Nasional dan stress, sepertinya bagai dua sisi mata uang.
Tak ada yang "nggak stress" mendengar Ujian Nasional.
Baik siswa, guru, orang tua, semua menanggung stress yang skalanya makin meningkat dengan semakin mendekatnya Ujian Nasional
Banyak anak yang merasa takut karena tidak siap.
Lho, koq nggak siap sih ?
Bukannya sudah bertahun tahun belajar?
Bukannya sudah berulang kali "mendengar" dan "melihat" materi yang akan diujikan ?
Kalau sudah pernah mendengar dan melihat, apalagi berkali kali, artinya pasti ada memori di otak bukan ?
Bagaikan proses fotografi, apa yang dilihat, pasti ada rekaman filmnya di otak.
Tugas siswa sebenarnya kan tinggal memanggil kembali "rekaman" di otak.
Yang tidak disadari atau dipahami, ialah, bahwa "rekaman" itu akan sulit menampilkan gambar gambar yang jelas, bila si empunya rekaman dalam "tekanan", atau dalam keadaan khawatir, takut, sedih, ngeri dll dlsb
Tugas kitalah sebenarnya mengingatkan kemampuan siswa, bahwa mereka semua sudah mempunyai rekaman materi di memorinya masing masing.
Dan tugas kita pulalah membantu menciptakan suasana yang kondusif, menyenangkan, menyegarkan, membangkitkan kepercayaan diri dan membuat mereka mampu memutar rekaman di memorinya masing masing dan menghasilkan "gambar" yang jernih dan jelas
Yang terjadi kan sebaliknya.
Anak ditekan, didera dengan melipatgandakan jam belajar, dengan memperbanyak tugas dan nasihat nasihat atau petatah petitih yang justru "melemahkan" mental;, mengurangi kepercayaan diri dan pada akhirnya menyebabkan kesediha,kegalauan dan kegundahan. Anak merasa tak berdaya.
Saatnya kita, para dewasa dilingkungan siswa yang akan bertarung dimedan Ujian Nasional, membantu menciptakan situasi dan kondisi yang membuat mereka tenang, nyaman, bersukacita dan percaya diri.
Banyak cerita jenaka, banyak bernyanyi, banyak bergembira meneriakkan yel yel yang menggugah semangat, atau bahkan teriakan teriakan yang membuang semua gundah gulana dihati.
UN ? Siapa takut ?
Saturday, March 12, 2011
Tuesday, January 25, 2011
SUKSES
Hiruk pikuk dan gembar gembor "Pembangunan Karakter Bangsa ", mengingatkan kita kepada arti sebuah SUKSES.
Sudah lumrah umumnya orang kagum kepada orang orang "SUKSES", yang kriterianya dipatok oleh masyarakat sendiri : Terkenal, berharta, berkedudukan, bergelar, berpangkat, ganteng, cantik.
Maka, berlomba lombalah orang berburu "KESUKSESAN" dengan berbagai cara, tak peduli dengan "potensi" dan tak hirau dengan "cara"
Wajah dan body di permak habis, gelar diburu dengan bayaran, pangkat dan kedudukan diraih dengan sikut menyikut, harta diraih dengan cara cara yang menghinakan.
Astaghfirullahaladziim.
Sepertinya, generasi muda juga tak diberi keteladanan dalam sikap dan perbuatan.
Bahkan, mereka didorong untuk meraih "kesuksesan " dengan cara apapun.
"Rangking berapa Nak?"< adalah pertanyaan umum yang dilontarkan orang dewasa kepada anak anak yang baru dibagi Rapor.
Otomatis, anak akan menganggap Ranking itu amat sangat penting, dan mereka berlomba meraihnya dengan cara apapun, menyontek menjadi kebiasaan yang tak pernah "diluruskan"
Karena baik orang tua maupun pihak sekolah "bangga" dengan nilai hasil akhir, bukan proses pencapaiannya.
Tak heran, menyontek, sikut sikutan, korupsi, menjadi sulit diberantas, karena memang kita, masyarakat jugalah yang "salah " mengapresiasi seseorang.
SUKSES yang sesungguhnya, sangat erat kaitannya dengan "VALUE", dengan arti sebuah "NILAI", ialah Nilai Nilai Kehidupan, bagaimana kita menjalankan amanah Allah sebagai ummatNYA, ialah berkhidmat kepada mahluk mahlukNYA.
Kalau kita tak ingin bangsa ini terjerumus, terperosok makin dalam kejurang kegagalan, sudah selayaknya kita semua, ya, kita semua tidak silau oleh "SUKSES PALSU" yang ditampilkan oleh mereka yang justru merusak "Nilai Nilai Kehidupan".
Ganteng, cantik, beken, bergelar, berharta, berpangkat, berkedudukan, tapi nggak BENER dan nggak BAGEUR.
Jadi, masih mau nanya : "Ranking berapa kamu Nak ?"
Sudah lumrah umumnya orang kagum kepada orang orang "SUKSES", yang kriterianya dipatok oleh masyarakat sendiri : Terkenal, berharta, berkedudukan, bergelar, berpangkat, ganteng, cantik.
Maka, berlomba lombalah orang berburu "KESUKSESAN" dengan berbagai cara, tak peduli dengan "potensi" dan tak hirau dengan "cara"
Wajah dan body di permak habis, gelar diburu dengan bayaran, pangkat dan kedudukan diraih dengan sikut menyikut, harta diraih dengan cara cara yang menghinakan.
Astaghfirullahaladziim.
Sepertinya, generasi muda juga tak diberi keteladanan dalam sikap dan perbuatan.
Bahkan, mereka didorong untuk meraih "kesuksesan " dengan cara apapun.
"Rangking berapa Nak?"< adalah pertanyaan umum yang dilontarkan orang dewasa kepada anak anak yang baru dibagi Rapor.
Otomatis, anak akan menganggap Ranking itu amat sangat penting, dan mereka berlomba meraihnya dengan cara apapun, menyontek menjadi kebiasaan yang tak pernah "diluruskan"
Karena baik orang tua maupun pihak sekolah "bangga" dengan nilai hasil akhir, bukan proses pencapaiannya.
Tak heran, menyontek, sikut sikutan, korupsi, menjadi sulit diberantas, karena memang kita, masyarakat jugalah yang "salah " mengapresiasi seseorang.
SUKSES yang sesungguhnya, sangat erat kaitannya dengan "VALUE", dengan arti sebuah "NILAI", ialah Nilai Nilai Kehidupan, bagaimana kita menjalankan amanah Allah sebagai ummatNYA, ialah berkhidmat kepada mahluk mahlukNYA.
Kalau kita tak ingin bangsa ini terjerumus, terperosok makin dalam kejurang kegagalan, sudah selayaknya kita semua, ya, kita semua tidak silau oleh "SUKSES PALSU" yang ditampilkan oleh mereka yang justru merusak "Nilai Nilai Kehidupan".
Ganteng, cantik, beken, bergelar, berharta, berpangkat, berkedudukan, tapi nggak BENER dan nggak BAGEUR.
Jadi, masih mau nanya : "Ranking berapa kamu Nak ?"
Subscribe to:
Posts (Atom)