Dana pendidikan negeri ini katanya 20 persen. Entah untuk membiayai apa. Karena nyatanya biaya sekolah tetap mahal. Sudah pernah kita dengar anak yang memilih bunuh diri untuk menutupi rasa malu. Karena mereka menunggak uang sekolah, atau malah sama sekali tak mampu membayar uang masuk.
Ada juga karena soal lain. Anak bunuh diri karena rapornya merah, tak naik kelas, dan tak lulus. Ini juga karena sistem pendidikan kita yang salah sejak awal. Anak-anak di sekolah dikejar-kejar nilai tinggi. Sistem pendidikan mementingkan nilai-nilai di rapor, tidak mengutamakan bagaimana siswa bisa menyerap pelajaran dengan baik.
Kasus terbaru, terjadi pada Basyir. Bocah 11 tahun ini ditemukan gantung diri di sebuah lapak di Pasar Minggu, pekan lalu. Konon, si anak sudah lelah. Beberapa orang dekatnya menduga ia ingin sekolah. Ia juga juga lelah melihat pertengkaran bapak-ibunya.
Sebelumnya ia pernah sekolah sampai kelas dua, lalu berhenti ketika ibunya tak mampu memenuhi permintaannya untuk membeli buku. Ibunya juga tak mampu membelikannya seragam. Si anak patuh itu pun berhenti sekolah dan membantu ibunya mencari duit dengan menjual kardus dan menjadi ojek payung.
Saya jadi teringat tentang Gayus, yang hidupnya bergelimang uang suap. Awalnya hanya ditemukan Rp 25 miliar di rekeningnya. Lalu Rp 60 miliar, lalu Rp 86, lalu ada kabar ia menyuap polisi 100.000 dolar agar tak ditahan. Kenapa sih uang hasil korupsi mesti disita dan dikembalikan ke kas negara? Toh akhirnya akan dikorupsi juga? Kenapa tak langsung dibayarkan ke sekolah2 agar sekolah tersebut menampung semuaaaaa anak di sekitar tempat itu agar bisa sekolah. Jika sekolah gratis, anak-anak seperti Basyir..., ah, sudahlah.
BASYIR. Ia telah melawan dengan caranya sendiri. Ketika kemiskinan makin membelit hidupnya. Ketika kemiskinan tak mengizinkannya meneruskan sekolah. Ketika kemiskinan membuat bapak-ibunya tak berhenti bertengkar. Ketika kemiskinan membuat tidurnya tak pernah lelap di kios-kios pasar yang lembab dan bau. Ia memilih satu cara. Dengan gantung diri di kios gelap, di atas lapak tempatnya tidur sehari-hari.
Selasa, 20 Juli 2010
Selasa, 06 Juli 2010
Usai Ribut Celengan Babi, Bom Molotov Datang
Pekan lalu, majalah Tempo konon habis diborong oleh orang2 yang 'mirip' polisi. Bahkan ada yang jelas-jelas memakai mobil dinas polisi, mengangkut majalah dari lapak loper koran. Demi mendapatkan majalah ini, beberapa orang berinisiatif menjual fotokopian majalah dengan harga Rp 10 ribu.
Menurut saya, isinya bukanlah hal mengejutkan. Data yang dirilis Tempo adalah data dari laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Oleh Tempo, data itu kemudian dilengkapi dengan konfirmasi ke beberapa nama yang disebut memiliki rekening liar dengan isi yang tidak masuk akal. Mengapa tak masuk akal, karena jumlah itu sungguh tak sebanding dengan pendapatan perwira polisi yakni di bawah Rp 10 juta.
Sehingga agak mengherankan melihat reaksi polisi sedemikian keras sampai akan melaporkan Tempo secara pidana dan perdata. Tapi melihat isi laporan yang rasanya memang tak ada yang salah, polisi lalu mempermasalahkan covernya yang bergambar polisi menyeret tiga celengan babi. Katanya haram. Lha, celengan kok haram? Agama apa yang menyatakan celengan itu haram? Yang haram bukannya daging babi dan uang hasil korupsi? :p
Nah, berikut saya sarikan isi majalah Tempo soal rekening2 dan transaksi yang dicurigai PPATK itu.
1. Inspektur Jenderal Mathius Salempang, Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Timur, kekayaan: Rp 8,5 miliar dan US$ 59.842 (per 22 Mei 2009)
Tuduhan: memiliki rekening Rp 2,8 miliar dengan sumber dana tak jelas. Pada 29 Juli 2005, rekening itu ditutup dan Mathius memindahkan dana Rp 2 miliar ke rekening lain atas nama seseorang yang tidak diketahui hubungannya. Dua hari kemudian dana ditarik dan disetor ke deposito Mathius.
"Saya baru tahu dari Anda," begitu kata Mathius, 24 Juni 2010
2. Inspektur Jenderal Sylvanus Yulian Wenas, Kepala Korps Brigade Mobil Polri, kekayaan: Rp 6,5 miliar (per 25 Agustus 2005)
Tuduhan: Dari rekeningnya mengalir uang Rp 10.007 miliar, kepada orang yang mengaku sebagai Direktur PT Hinroyal Golden Wing. Terdiri atas Rp 3 miliar dan US$ 100 ribu pada 27 Juli 2005, US$ 670.031 pada 9 Agustus 2005.
"Dana itu bukan milik saya," kata Sylvanus, 24 Juni 2010
3. Inspektur Jenderal Budi Gunawan, Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian, kekayaan: Rp 4,68 miliar (per 19 Agustus 2008)
Tuduhan: Melakukan transaksi dalam jumlah besar, tak sesuai dengan profilnya. Bersama anaknya, Budi disebutkan telah membuka rekening dan menyetor masing-masing Rp 29 miliar dan Rp 25 miliar.
"Berita itu sama sekali tidak benar," kata Budi, 25 Juni 2010
4. Inspektur Jenderal Badrodin Haiti, Kepala Divisi Pembinaan Hukum Kepolisian
Kekayaan: Rp 2,09 dan US$ 4.000 (per 24 Maret 2008)
Tuduhan: Membeli polis asuransi pada PT Prudential Life Assurance Rp 1,1 miliar. Asal dana dari pihak ketiga. Menarik dana Rp 700 juta dan menerima dana rutin setiap bulan.
"Itu sepenuhnya kewenangan Kepala Bareskrim," kata Badrodin, 24 Juni 2010
5. Komisaris Jenderal Susno Duadji, mantan Kepala Badan Reserse Kriminal
Kekayaan: Rp 1,587 miliar (per 2008)
Tuduhan: Menerima kiriman dana dari seorang pengacara sekitar Rp 2,62 miliar dan kiriman dana dari seorang pengusaha. Total dana yang ditransfer ke rekeningnya Rp 3,97 miliar.
"Transaksi mencurigakan itu tidak pernah kami bahas." (M. Assegaf, pengacara Susno, 24 Juni 2010)
6. Inspektur Jenderal Bambang Suparno, Staf pengajar di Sekolah Staf Perwira Tinggi Polri, Kekayaan: belum ada laporan
Tuduhan: Membeli polis asuransi dengan jumlah premi Rp 250 juta pada Mei 2006. Ada dana masuk senilai total Rp 11,4 miliar sepanjang Januari 2006 hingga Agustus 2007. Ia menarik dana Rp 3 miliar pada November 2006.
"Tidak ada masalah dengan transaksi itu. Itu terjadi saat saya masih di Aceh."
Bambang Suparno, 24 Juni 2010
Dan tadi pagi, saat saya terbangun, saya menerima berita, kantor majalah Tempo dilempari tiga bom molotov sekitar pukul 02.40 dini hari. Cukup sulit bagi saya untuk tidak mengaitkan peristiwa ini dengan berita di atas. Mulai main kasar rupanya....
Menurut saya, isinya bukanlah hal mengejutkan. Data yang dirilis Tempo adalah data dari laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Oleh Tempo, data itu kemudian dilengkapi dengan konfirmasi ke beberapa nama yang disebut memiliki rekening liar dengan isi yang tidak masuk akal. Mengapa tak masuk akal, karena jumlah itu sungguh tak sebanding dengan pendapatan perwira polisi yakni di bawah Rp 10 juta.
Sehingga agak mengherankan melihat reaksi polisi sedemikian keras sampai akan melaporkan Tempo secara pidana dan perdata. Tapi melihat isi laporan yang rasanya memang tak ada yang salah, polisi lalu mempermasalahkan covernya yang bergambar polisi menyeret tiga celengan babi. Katanya haram. Lha, celengan kok haram? Agama apa yang menyatakan celengan itu haram? Yang haram bukannya daging babi dan uang hasil korupsi? :p
Nah, berikut saya sarikan isi majalah Tempo soal rekening2 dan transaksi yang dicurigai PPATK itu.
1. Inspektur Jenderal Mathius Salempang, Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Timur, kekayaan: Rp 8,5 miliar dan US$ 59.842 (per 22 Mei 2009)
Tuduhan: memiliki rekening Rp 2,8 miliar dengan sumber dana tak jelas. Pada 29 Juli 2005, rekening itu ditutup dan Mathius memindahkan dana Rp 2 miliar ke rekening lain atas nama seseorang yang tidak diketahui hubungannya. Dua hari kemudian dana ditarik dan disetor ke deposito Mathius.
"Saya baru tahu dari Anda," begitu kata Mathius, 24 Juni 2010
2. Inspektur Jenderal Sylvanus Yulian Wenas, Kepala Korps Brigade Mobil Polri, kekayaan: Rp 6,5 miliar (per 25 Agustus 2005)
Tuduhan: Dari rekeningnya mengalir uang Rp 10.007 miliar, kepada orang yang mengaku sebagai Direktur PT Hinroyal Golden Wing. Terdiri atas Rp 3 miliar dan US$ 100 ribu pada 27 Juli 2005, US$ 670.031 pada 9 Agustus 2005.
"Dana itu bukan milik saya," kata Sylvanus, 24 Juni 2010
3. Inspektur Jenderal Budi Gunawan, Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian, kekayaan: Rp 4,68 miliar (per 19 Agustus 2008)
Tuduhan: Melakukan transaksi dalam jumlah besar, tak sesuai dengan profilnya. Bersama anaknya, Budi disebutkan telah membuka rekening dan menyetor masing-masing Rp 29 miliar dan Rp 25 miliar.
"Berita itu sama sekali tidak benar," kata Budi, 25 Juni 2010
4. Inspektur Jenderal Badrodin Haiti, Kepala Divisi Pembinaan Hukum Kepolisian
Kekayaan: Rp 2,09 dan US$ 4.000 (per 24 Maret 2008)
Tuduhan: Membeli polis asuransi pada PT Prudential Life Assurance Rp 1,1 miliar. Asal dana dari pihak ketiga. Menarik dana Rp 700 juta dan menerima dana rutin setiap bulan.
"Itu sepenuhnya kewenangan Kepala Bareskrim," kata Badrodin, 24 Juni 2010
5. Komisaris Jenderal Susno Duadji, mantan Kepala Badan Reserse Kriminal
Kekayaan: Rp 1,587 miliar (per 2008)
Tuduhan: Menerima kiriman dana dari seorang pengacara sekitar Rp 2,62 miliar dan kiriman dana dari seorang pengusaha. Total dana yang ditransfer ke rekeningnya Rp 3,97 miliar.
"Transaksi mencurigakan itu tidak pernah kami bahas." (M. Assegaf, pengacara Susno, 24 Juni 2010)
6. Inspektur Jenderal Bambang Suparno, Staf pengajar di Sekolah Staf Perwira Tinggi Polri, Kekayaan: belum ada laporan
Tuduhan: Membeli polis asuransi dengan jumlah premi Rp 250 juta pada Mei 2006. Ada dana masuk senilai total Rp 11,4 miliar sepanjang Januari 2006 hingga Agustus 2007. Ia menarik dana Rp 3 miliar pada November 2006.
"Tidak ada masalah dengan transaksi itu. Itu terjadi saat saya masih di Aceh."
Bambang Suparno, 24 Juni 2010
Dan tadi pagi, saat saya terbangun, saya menerima berita, kantor majalah Tempo dilempari tiga bom molotov sekitar pukul 02.40 dini hari. Cukup sulit bagi saya untuk tidak mengaitkan peristiwa ini dengan berita di atas. Mulai main kasar rupanya....
Langganan:
Postingan (Atom)