Betawi, kini Jakarta, tentunya memberikan banyak cerita. Sebagian dari cerita itu akan ditemukan di blog sederhana ini. Jauh dari sempurna, pasti. Maka komentar dan pendapat anda sebagai pembaca sangat dinanti. Terima kasih dan selamat membaca.

Kamis, 26 Maret 2015

ULAMA BETAWI DAN PEMBANGUNAN KARAKTER



Sewaktu kongko-kongko di sebuah kafe di bilangan Senayan, muncul pemikiran jangan-jangan orang Betawi itu berperan besar dalam pembangunan karakter, khususnya di bidang keagamaan, baik di Jakarta maupun di lingkup nasional

Maklum di ibu kota ini banyak masjid dan mushola yang dibangun di atas tanah wakaf. Artinya, orang Betawi sejak dulu rela menyerahkan tanahnya untuk kemaslahatan umat. 

Mereka yakin bahwa tempat ibadah itu penting dalam pendidikan agama Islam.  Sifat seperti itu tumbuh tentunya karena bimbingan ulama. Betawi ternyata memiliki sejumlah ulama besar dan berpengaruh. 

Sejak abad ke-19, ulama Betawi mempunyai pengaruh besar dalam penyebaran, peletakan dasar-dasar, dan pembentukan budaya Islam di Betawi. Mereka terdiri dari orang-orang Betawi yang pergi ke Mekkah beberapa lama untuk menuntut ilmu dan pulang sebagai haji.

Mereka merupakan saluran efektif untuk selalu terus memberikan pengajaran agama baik kepada muslim di Betawi maupun para pendatang dengan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantarnya.

Berkat peran ulamanya dalam mengembangkan dakwah Islam, orang Betawi kuat dalam memegang teguh ajaran agama Islam. Ulama-ulama Betawi tersebut memiliki jaringan keilmuan di Timur Tengah karena menimba ilmu di beberapa negara Timur Tengah sehingga mereka melakukan penyebaran keislaman di Nusantara, terutama di Betawi.

Namun, kenyataan itu tidak melulu diceritain ke anak-anak muda Jakarta, khususnya anak muda Betawi. Padahal jika itu dilakukan, setidaknya ada karakter islami orang Betawi yang dapat dibanggakan dan ditularkan kepada elemen masyarakat lainnya.

Karena minimnya penonjolan karakter positif orang Betawi, maka tak banyak masyarakat yang memahaminya. Sayangnya, justru karakter negatif, seperti suka memeras, berkelahi dan sok jagoan, yang muncul dan dipahami banyak orang sebagai karakter orang Betawi secara umum.

Memang menggaungkan karakter positif orang Betawi merupakan tugas individu yang memberikan perhatian soal ini. Namun, tentunya organisasi seperti Badan Musyawarah Masyarakat (Bamus) Betawi diharapkan lebih berperan dalam hal ini, mengingat Bamus Betawi ini merupakan organisasi yang menaungi 98 organisasi kemasyarakatan (ormas) kebetawian.

Sebenarnya tidak hanya menggaungkan karakter, Bamus Betawi juga seharusnya lebih berperan dalam mengenalkan kebetawian, serta menciptakan kader-kader terbaik pada level kota maupun nasional. Proses untuk mencapai tujuan itu harus dirancang.

Bamus Betawi juga seharusnya lebih mengenalkan Betawi yang ramah, rukun, dan cinta damai, serta mampu berkontribusi dalam pembangunan nasional.

Ulama Betawi

Menurut portal resmi provinsi DKI Jakarta, www.jakarta.go.id, pada abad ke-19 Mekkah merupakan jantung kehidupan keagamaan di Hindia Belanda. Terbukti dengan mengalirnya orang-orang untuk belajar di negeri tersebut, terutama dari Betawi.

Menurut orientalis Snouck Hurgronje, di perempat ketiga abad ke-19, sesepuh ulama Jawi di Mekkah adalah Junaed, yang berasal dari Betawi. Lebih dari 50 tahun Junaed menetap di Mekkah dan ia mengajar mukminin dari Betawi dan daerah lainnya di Indonesia, dengan bahasa Melayu sebagai pengantar baik di rumah maupun di Masjidil Haram.

Di samping itu masih banyak ulama lain dari Hindia Belanda yang memberikan pelajaran di Mekkah, misalnya Sumbawa dan Banten.
Meski tidak ditemukan data otentik, namun kenyataan membuktikan bahwa banyak pelajar Betawi yang menuntut ilmu ke Mekkah dan kota-kota lain di Timur Tengah. 

Menurut Buya Hamka, ulama-ulama Betawi di sana menjadi kelas menengah yang berpengaruh. Dalam perjanjian antara Raja Ali (putera Raja Husein), penguasa Mekkah, dengan Raja Ibnu Sa'ud yang berhasil merebut Mekkah pada 1925 disebutkan beberapa persyaratan.

Salah satunya adalah supaya beberapa orang besar dan ternama yang menjalin hubungan erat dengan penguasa Mekkah diberi kebebasan, di antaranya memiliki nama yang diujung namanya disebut Betawi. Misalnya Syaikh Abdullah Betawi, Syaikh Ahmad Betawi, dan Syaikh Sa'id Betawi. Keturunan orang Betawi di kemudian hari masih dalam perlindungan Kerajaan Arab Saudi, baik di Mekkah maupun Jeddah.

Di antara beberapa ulama Betawi yang cukup berpengaruh, baik di Betawi maupun di Mekkah, yaitu Syeikh Junaid Al Batawi, Guru Marzuki, Dato Biru, dan Imam Mujtaba.

Pada zaman Belanda dan Jepang, sebenarnya banyak ulama Betawi yang kiprah keulamaannya cukup menonjol, namun sayang sekali tidak banyak yang berhasil didokumentasikan. Beberapa yang berhasil diketahui kiprah dan perjuangannya yakni K.H. Abdullah Sjafi'i, KH Abdurrahman Nawi, dan Guru Mansyur.

Meski bisa dikatakan agak terlambat, barangkali perlu ada upaya mendokumentasikan secara lengkap tentang kiprah ulama Betawi.  Bukan untuk menonjolkan diri, tapi demi menimbulkan pemahaman bersama bahwa Betawi berperan dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. (ab)

Selasa, 09 September 2014

BANG UWO, ANAK KAMPUNG DI PENTAS NASIONAL

Pergaulan Amarullah Asbah, akrab dipanggil Bang Uwo, yang sangat luas membuat semua orang, kawan maupun lawan, aktivis, dan generasi muda Betawi pasti mengenal anak Betawi kelahiran Cikini Ampiun, Jakarta Pusat itu.

Buku berjudul "Bang Uwo, Pemuda Kampung di Pentas Nasional" yang diluncurkan dalam acara sederhana pada Jumat (5/9) malam di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat, menunjukkan luasnya pergaulannya itu. Acara itu sendiri dihadiri oleh berbagai kalangan, seperti birokrat, akademisi, aktivis, ormas keagamaan, dan ormas Betawi.

Melalui testimoni atau pengakuan orang-orang yang mengenalnya, sahabat, mitra, murid, teman aktivis di Nahdlatul Ulama (NU) dan Betawi, serta lawan politiknya, terungkap semua aktivitas dan gaya berpolitik Bang Uwo serta kecintaannya kepada ormas Islam NU dan Betawi.

Buku yang diterbitkan oleh Betawi Foundation ini layak dibaca masyarakat Jakarta, khususnya aktivis politik, ormas keagamaan, dan ormas Betawi, karena testimoni yang dihimpun mampu memberi inspirasi dalam memperjuangkan cita-cita.


Dalam sejarah politiknya, lelaki yang terinspirasi Muhammad Husni Thamrin itu sempat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta sebanyak empat periode dari 1982 hingga 2004. Pertama kali dia mewakili Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan sisanya melalui Golongan Karya (Golkar).

Selain di politik, dia yang lahir pada tanggal 23 Agustus 1945 juga dikenal sebagai motor pergerakan dan pembentukan organisasi Betawi, termasuk organisasi Permata MHT pada tahun 1976 dan Badan Musyawarah (Bamus) Betawi, tempat berkumpulnya organisasi kebetawian, pada tahun 1982.


Bang Uwo yang sejak muda aktif di Gerakan Pemuda Ansor dan NU, yang sejak awal menyebut dirinya "anak kampung", tidak bisa lepas dari dua hal, yakni NU dan Betawi. Dalam beberapa kesempatan dia bilang, kalau dibelah dadanya, darahnya itu adalah NU dan Betawi.

Seperti ditulis oleh mantan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo atau Bang Foke, Bang Uwo yang merupakan motor penggerak Betawi itu seperti dua sisi dari mata uang, di mana ada Uwo di sana terlihat NU dan Betawi.

Dalam perjuangannya di dua ranah itu, menurut Foke, Bang Uwo dikenal sangat konsisten dan peduli, konsisten dalam memperjuangkan nilai-nilai ke-NU-an dan kebetawian.

Kepeduliannya ditunjukkan dengan memberi perhatian pada isu-isu  yang menyangkut keduanya, NU dan Betawi, dan juga pada aktivitas organisasi serta kader-kader muda. Tidak ada peristiwa ke-NU-an dan kebetawian yang lepas dari sentuhan tangannya.


Dalam testimoninya, Rhoma Irama, teman politiknya ketika aktif di PPP, mengatakan bahwa Bang Uwo adalah tokoh pemuda dan tokoh politik yang konsiten terhadap perjuangan politiknya. Dia juga tokoh yang religius. Sementara itu, H.M. Syah Manaf bilang Uwo adalah orang baik yang bekerja tanpa pamrih.

Rekan Bang Uwo di DPRD Provinsi DKI Jakarta, Sugeng Achmadi, mengatakan bahwa Uwo bisa diterima kawan dan lawan politiknya karena dia berkualitas dan bisa bekerja sama, bahkan mewarnai semua dinamika politik yang terjadi di jakarta. Uwo dekat dengan semua unsur, seperti birokrat, Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan tentu saja basis massanya, warga NU dan Betawi.

Bagi anak muda, khususnya anak muda Betawi, Bang Uwo itu seperti abang, orang tua, dan guru. Dia selalu berbagi, bisa diajak berdiskusi berbagai masalah, apalagi politik. Diskusi dengan bang Uwo seperti sedang mengikuti kuliah, yang secara berseloroh dikatakan bobotnya hingga 6 satuan kredit semester (SKS).

Sementara itu, Sylviana Murni, Deputi Gubernur Bidang Budaya dan Pariwisata DKI Jakarta, mengatakan bahwa Bang Uwo adalah salah satu tokoh Betawi yang cerdas, pilitikus yang lurus, yang bila menyampaikan gagasannya penuh makna namun sangat humoris, sangat peduli terhadap kemajuan Betawi.

Bang Uwo sangat berkeinginan untuk menjadikan image atau gambaran Betawi menjadi Betawi yang berpendidikan atau Betawi "sekolaan". Dia termasuk sangat mendukung kemajuan perempuan Betawi. Dia membuktikannya dengan mendukung dan memberikan masukan-masukan saat pembentukan organisasi "Persatuan Wanita Betawi" pada tahun 1983.

Pelukis Betawi Samadi Adam mengatakan bahwa tokoh Betawi yang meninggal pada tanggal 13 Mei 2014 itu ternyata punya perhatian yang cukup besar terhadap seni lukis betawi. Setiap penyelenggaraan pameran lukisan yang dia selenggarakan Bang Uwo menghadirinya.

Buku yang diedit dan diselaraskan oleh empat wartawan senior itu juga dilengkapi oleh foto-foto kegiatan Bang Uwo. Namun, foto-foto tersebut mestinya disesuaikan dengan aktivitasnya. Kegiatan Bang Uwo yang seabrek, kurang tercermin melalui foto-foto itu.

Buku ini sendiri bermaksud selain untuk menghargai perjuangan dan sumbangsih Bang Uwo bagi Jakarta, khususnya bagi Betawi, juga untuk menunjukkan ada satu lagi orang Betawi di pentas nasional. (ab)

Rabu, 27 Agustus 2014

PESEN BUAT ANGGOTA DEWAN NYANG BARU

DKI Jakarta sejak Senin (25/8) punya wakil-wakilnya nyang baru di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sebanyak 106 anggota DPRD DKI Jakarta periode 2014 - 2019 resmi dilantik. Artinya, warga Jakarta, termasuk masyarakat Betawi,  kini punya wakil-wakil baru buat  mengawasi kerja pemerintah provinsi.

Prosesi pelantikan itu turut disaksikan secara langsung oleh Gubernur  DKI Jakarta yang juga Presiden terpilih 2014-2019 Joko Widodo atau Jokowi dan Wakil Gubernurnya  Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, yang langsung menjadi gubernur ketika permohonan mundur Jokowi sebagai gubernur disetujui DPRD.

Jumlah kursi DPRD DKI Jakarta untuk periode 2014-2019 sebanyak 106 kursi. Jumlah tersebut naik dari periode sebelumnya yang hanya 96 kursi. PDI Perjuangan berada di posisi pertama dengan perolehan 28 kursi. Posisi kedua ditempati oleh Partai Gerindra dengan 15 kursi.

Kemudian, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 11 kursi, Partai Demokrat 10 kursi, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 10 kursi, Partai Hanura 10 kursi, Partai Golongan Karya (Golkar) sembilan kursi, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) enam kursi, Partai Nasional Demokrat (Nasdem) lima kursi dan Partai Amanat Nasional (PAN) dua kursi.

Abis pelantikan, Jokowi minta supaya para anggota DPRD DKI nyang baru dilantik itu mendukung program Pemprov DKI Jakarta. "Seluruh anggota DPRD yang baru saya kira harus bisa memberikan dukungan kepada program-program Pemprov DKI," katanya.

Menurut dia, sejumlah program pembangunan Pemprov DKI untuk ibu kota sudah tersusun sedemikian rupa dan terlaksana, sehingga hanya tinggal penyelesaian serta pengawasan di lapangan.

Dan anggota DPRD DKI Jakarta nyang baru dilantik itu bilang mereka siap menjalankan kewajiban sebagai pihak legislatif, termasuk  mengawasi pelaksanaan program-program Pemprov DKI Jakarta.

Buat ngingetin anggota dewan nyang baru.  Boleh-boleh saja mereka bilang siap menjalankan program-program DKI Jakarta. Namun nyang juga penting diperhatikan adalah bahwa mereka kini menjadi wakil rakyat Ibu kota, di mana ada masyarakat Betawi sebagai suku bangsa aslinya tinggal di situ.

Artinya, mereka paling tidak harus ingat bahwa Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta pernah menunjukkan perhatiannya atas keberadaan masyarakat Betawi ini.

Jokowi pernah menjanjikan pengembangan masyarakat Betawi beserta kebudayaannya di Ibu kota negara ini. Sesuatu nyang perlu dihargai mengingat Jokowi sudah menunjukkan bahwa dia menjalankan falsafah hidup orang Betawi yakni “masup kandang kambing ngembik, masup kandang kerbau ngelenguh”.

Komitmen Jokowi itu dimaknai bahwa dia telah menjawab keresahan yang ada di sebagian tokoh dan masyarakat Betawi, yang merupakan “tuan rumah” di Kota Metropolitan, atas minimnya ruang dan lokasi bagi orang Betawi dalam menancapkan eksistensinya di Ibu Kota, khususnya dalam berkebudayaan.

Keberadaan masyarakat Betawi beserta kebudayaannya dianggap banyak kalangan sebagai kekuatan besar yang jika terus dilestarikan dan dikembangkan akan menjadi sebuah potensi tersendiri bagi Kota Jakarta. Karena itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah memantapkan komitmen untuk mendukung hal tersebut.

Komitmen itu antara lain, Pemprov DKI Jakarta akan mengharuskan penggunaan ornamen Betawi pada bangunan-bangunan di Jakarta.

Pemprov juga akan menyelesaikan pembangunan kawasan baru di Kampung Betawi Setu Babakan, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Di kawasan tersebut  dibangun beberapa fasilitas tambahan, seperti ruang pementasan, galeri dan rumat adat Betawi. Kini tengah diatur bagaimana pengelolaan kawasan tersebut.

Demi melestarikan kebudayaan asli warga ibukota, pada 2000 Pemda DKI Jakarta membentuk Perkampungan Budaya Betawi (PBB) di Setu Babakan, Jakarta Selatan. Pembentukan perkampungan budaya ini ditetapkan lewat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 92 tahun 2000 Tentang Penataan Lingkungan Perkampungan Budaya Betawi.

Namun, meski sudah berumur 12 tahun, perkembangan Setu Babakan masih di luar harapan. Padahal gubernur telah membentuk Lembaga Pengelola-Perkampungan Budaya Betawi melalui Peraturan Gubernur DKI Jakarta.

Menurut Sekretaris Masyarakat Peduli Perkampungan Budaya Betawi (MP-PBB) Nanang Nuefitrie, kewenangan yang dimiliki oleh lembaga itu begitu terbatas karena tumpang tindihnya pemangku kepentingan dalam pemerintahan sendiri. Belum lagi masalah perluasan lahan untuk kegiatan berkesenian, akses jalan dan area parkir yang tidak memadai, serta kekurangan-kekurangan infrastruktur lainnya.

Selain itu, komitmen lainnya pelaksanaan pembangunan Masjid Raya Jakarta yang keseluruhannya bangunannya menggunakan karakter Betawi,  serta pembiasaan warga Jakarta untuk menggunakan baju Betawi sekali dalam seminggu .

Pemda juga akan menyegerakan pengenalan kebudayaan dan filosofi Betawi sejak usia dini dengan melaksanakan program muatan lokal untuk sekolah dasar dan sekolah menengah pertama.

Karena itu, bagi anggota dewan yang baru, selain mengawasi dan turut serta melaksanakan program-program Pemprov DKI Jakarta seperti mengatasi banjir, macet, kesehatan dan pendidikan, maka pembangunan dan pengembangan masyarakat Betawi juga diharapkan bisa menjadi prioritas. (ab)