Sewaktu kongko-kongko di sebuah kafe di bilangan Senayan,
muncul pemikiran jangan-jangan orang Betawi itu berperan besar dalam
pembangunan karakter, khususnya di bidang keagamaan, baik di Jakarta maupun di lingkup
nasional
Maklum di ibu kota ini banyak masjid dan mushola yang
dibangun di atas tanah wakaf. Artinya, orang Betawi sejak dulu rela menyerahkan
tanahnya untuk kemaslahatan umat.
Mereka yakin bahwa tempat ibadah itu penting dalam pendidikan agama Islam. Sifat seperti itu tumbuh tentunya karena bimbingan ulama. Betawi ternyata memiliki sejumlah ulama besar dan berpengaruh.
Sejak abad ke-19, ulama Betawi mempunyai pengaruh besar dalam penyebaran, peletakan dasar-dasar, dan pembentukan budaya Islam di Betawi. Mereka terdiri dari orang-orang Betawi yang pergi ke Mekkah beberapa lama untuk menuntut ilmu dan pulang sebagai haji.
Mereka yakin bahwa tempat ibadah itu penting dalam pendidikan agama Islam. Sifat seperti itu tumbuh tentunya karena bimbingan ulama. Betawi ternyata memiliki sejumlah ulama besar dan berpengaruh.
Sejak abad ke-19, ulama Betawi mempunyai pengaruh besar dalam penyebaran, peletakan dasar-dasar, dan pembentukan budaya Islam di Betawi. Mereka terdiri dari orang-orang Betawi yang pergi ke Mekkah beberapa lama untuk menuntut ilmu dan pulang sebagai haji.
Mereka merupakan saluran efektif untuk selalu terus
memberikan pengajaran agama baik kepada muslim di Betawi maupun para
pendatang dengan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantarnya.
Berkat peran ulamanya dalam mengembangkan dakwah Islam, orang Betawi kuat dalam memegang teguh ajaran agama Islam. Ulama-ulama Betawi tersebut memiliki jaringan keilmuan di Timur Tengah karena menimba ilmu di beberapa negara Timur Tengah sehingga mereka melakukan penyebaran keislaman di Nusantara, terutama di Betawi.
Namun, kenyataan itu tidak melulu diceritain ke anak-anak
muda Jakarta, khususnya anak muda Betawi. Padahal jika itu dilakukan,
setidaknya ada karakter islami orang Betawi yang dapat dibanggakan dan
ditularkan kepada elemen masyarakat lainnya.
Karena minimnya penonjolan karakter positif orang Betawi,
maka tak banyak masyarakat yang memahaminya. Sayangnya, justru karakter negatif,
seperti suka memeras, berkelahi dan sok jagoan, yang muncul dan dipahami banyak
orang sebagai karakter orang Betawi secara umum.
Memang menggaungkan karakter positif orang Betawi merupakan
tugas individu yang memberikan perhatian soal ini. Namun, tentunya organisasi
seperti Badan Musyawarah Masyarakat (Bamus) Betawi diharapkan lebih berperan
dalam hal ini, mengingat Bamus Betawi ini merupakan organisasi yang menaungi 98
organisasi kemasyarakatan (ormas) kebetawian.
Sebenarnya tidak hanya menggaungkan karakter, Bamus
Betawi juga seharusnya lebih berperan dalam mengenalkan kebetawian, serta menciptakan
kader-kader terbaik pada level kota maupun nasional. Proses untuk mencapai
tujuan itu harus dirancang.
Bamus Betawi juga seharusnya lebih mengenalkan Betawi
yang ramah, rukun, dan cinta damai, serta mampu berkontribusi dalam pembangunan
nasional.
Ulama Betawi
Menurut portal resmi provinsi DKI Jakarta, www.jakarta.go.id, pada abad ke-19 Mekkah merupakan jantung
kehidupan keagamaan di Hindia Belanda. Terbukti dengan mengalirnya orang-orang
untuk belajar di negeri tersebut, terutama dari Betawi.
Menurut orientalis Snouck Hurgronje, di perempat ketiga abad ke-19, sesepuh ulama Jawi di Mekkah adalah Junaed, yang berasal dari Betawi. Lebih dari 50 tahun Junaed menetap di Mekkah dan ia mengajar mukminin dari Betawi dan daerah lainnya di Indonesia, dengan bahasa Melayu sebagai pengantar baik di rumah maupun di Masjidil Haram.
Di samping itu masih banyak ulama lain dari Hindia Belanda yang memberikan pelajaran di Mekkah, misalnya Sumbawa dan Banten.
Meski tidak ditemukan data otentik, namun kenyataan membuktikan bahwa banyak pelajar Betawi yang menuntut ilmu ke Mekkah dan kota-kota lain di Timur Tengah.
Menurut Buya Hamka, ulama-ulama Betawi di sana menjadi kelas menengah yang berpengaruh. Dalam perjanjian antara Raja Ali (putera Raja Husein), penguasa Mekkah, dengan Raja Ibnu Sa'ud yang berhasil merebut Mekkah pada 1925 disebutkan beberapa persyaratan.
Salah satunya adalah supaya beberapa orang besar dan ternama yang menjalin hubungan erat dengan penguasa Mekkah diberi kebebasan, di antaranya memiliki nama yang diujung namanya disebut Betawi. Misalnya Syaikh Abdullah Betawi, Syaikh Ahmad Betawi, dan Syaikh Sa'id Betawi. Keturunan orang Betawi di kemudian hari masih dalam perlindungan Kerajaan Arab Saudi, baik di Mekkah maupun Jeddah.
Di antara beberapa ulama Betawi yang cukup berpengaruh, baik di Betawi maupun di Mekkah, yaitu Syeikh Junaid Al Batawi, Guru Marzuki, Dato Biru, dan Imam Mujtaba.
Pada zaman Belanda dan Jepang, sebenarnya banyak ulama Betawi yang kiprah keulamaannya cukup menonjol, namun sayang sekali tidak banyak yang berhasil didokumentasikan. Beberapa yang berhasil diketahui kiprah dan perjuangannya yakni K.H. Abdullah Sjafi'i, KH Abdurrahman Nawi, dan Guru Mansyur.
Meski bisa dikatakan agak terlambat, barangkali perlu ada upaya mendokumentasikan secara lengkap tentang kiprah ulama Betawi. Bukan untuk menonjolkan diri, tapi demi menimbulkan pemahaman bersama bahwa Betawi berperan dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. (ab)